9. BAYAR UTANG
Di saat yang bersamaan, di bawah bayang-bayang pohon pinggir jalan di sebuah gang, seseorang berpakaian serba hitam juga mengenakan penutup wajah hitam, melangkah berjingkat menghampiri sebuah mobil pick up. Berpegang pada pinggir bak mobil dalam sekali lompat dia sudah mendarat di dalam bak, lalu berbaring sambil menarik terpal yang ada di situ untuk menutupi dirinya.
Tidak lama kemudian, seorang pria keluar dari rumah kontrakannya dan berjalan menuju ke mobil pick up tersebut. Dia adalah Pak Jajak, sopir keluarga Prasat, langsung masuk dan duduk di bagian kemudi tanpa menaruh curiga sedikit pun pada bagian belakang mobilnya. Setelah menyalakan mesin dia merogoh ke saku jaket dan mengeluarkan sesuatu berwarna hitam, lalu membungkus kepalanya.
Mobil sudah bergerak, orang di bak belakang yang tidak lain adalah Bi Siti, perlahan menyingkap terpal pada bagian kepala dan langsung menatap langit dini hari yang terang benderang. Bulan purnama yang tengah menuju fase pudar itu seperti mata langit, menjadi saksi bisu segala hal yang berlaku di muka bumi.
Berbaring diam sambil mengamati apa saja yang dilewati, semakin lama pucuk-pucuk bangunan digantikan oleh pucuk-pucuk pohon, dan aroma perkotaan yang identik dengan polusi udara babau bahan bakar kendaraan berubah dengan aroma segar tumbuhan hutan. Bi Siti tahu ke mana mobil itu pergi. Ke luar Jakarta menuju ke sebuah lokasi syuting film kolosal yang sudah terbengkalai karena pemiliknya bangkrut.
Tidak ada yang tahu bahwa pemilik baru tempat itu adalah Jack. Pimpinan Bandit Elit itu membiarkan tempat tersebut dalam kondisi terbengkalai, rusak, dikelilingi oleh semak belukar serta pepohonan yang semakin lama semakin rimbun hingga menyerupai hutan. Lokasi terpencil membuat tempat itu menjadi pilihan terbaik untuk menyekap target serta melakukan banyak hal ilegal lainnya.
Di jalan sunyi bebas hambatan, mobil dilajukan dengan kecepatan di atas standar dan sampai tujuan dalam waktu yang cukup singkat. Memasuki area tujuan yang telah berubah menjadi hutan dengan jalan yang tidak rata, kecepatan laju pun berkurang drastis.
Mendengar suara mobil semakin mendekat, Altair pun menggigit dan menarik ikatan seperti orang kerasukan.
"Eeerrrggg!" Sambil mengerang panjang dia melempar kepala kebelakang dan sukses, ikatan akhirnya terlepas. "Alhamdulillah," ucapnya dengan napas ngos-ngosan, bibir berdarah-darah dan peluh bercucuran.
Tidak ingin lagi disiksa oleh para penculik, Altair yang mengira yang datang adalah mereka, segera melepaskan tali yang mengikat kaki tanpa peduli pada rasa sakit yang seakan mencabik-cabik bagian dada saat tubuhnya terlipat.
Suara mobil semakin mendekat, Altair tidak punya waktu untuk sekadar berhenti dan mengatur napas. Pemuda itu berniat bangkit, tetapi begitu dia bergerak seluruh tubuhnya terasa sakit semua, kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Tidak ingin kembali rebah, sebisa mungkin dia melempar diri ke dinding dan menjadikannya sebagai tumpuan.
Dalam posisi berdiri dengan badan membungkuk yang sepenuhnya mengandalkan dinding sebagai tumpuan, dia megap-megap seperti orang sekarat, sesekali meringis menahan sakit yang seakan-akan bagian dalam tubuhnya ditancapi banyak benda tajam.
Ya Allah, mohon beri hambamu ini kekuatan. Adikku membutuhkan aku, Ya Allah.
Sambil berdoa dalam hati, dia perlahan berdiri lebih tegak. Berhenti untuk mengatur napas, lalu kembali mengucapkan doa yang sama dalam hati, kemudian merambat sedikit demi sedikit. Tidak sabar pada diri sendiri, Altair bermaksud melangkah lebih cepat. Namun, panggulnya sakit luar biasa seperti mau copot. Dia pun nyaris ambruk, akhirnya menempel pasrah pada dinding.
"Ya Allah, mohon mampukan aku demi Nehva. Aku harus segera menolongnya sebelum didahului orang-orang itu."
Altair mendekap perut dan dadanya, lalu kembali mencoba untuk berdiri dan melangkah perlahan. Namun, ketika menyadari bahwa suara mesin mobil itu sudah tidak terdengar lagi, tubuhnya langsung menegang. Segala pikiran buruk pun rasa-rasanya mencengkeram hati, dia takut semua sudah terlambat.
"Nehva."
Dengan hati dan pikiran yang rasanya lebih kacau-balau dari kondisi tubuh, Altair mengabaikan semua rasa sakit dan mencoba melangkah lebih cepat.
"Argh!" Dia mengerang dengan geraham rapat dan meringis lebar, rasa-rasanya seperti ada jarum ditancapkan di setiap pori-pori kulit.
Namun, semangatnya tidak lantas luntur. Dia tetap melangkah meski dengan kaki diseret seperti tahanan elit yang kakinya dirantai dan diberi bemberat bola besi, badan membungkuk seperti memikul berkarung-karung beban, wajahnya yang sudah buruk semakin tampak buruk karena meringis menahan siksa.
Selangkah demi selangkah sambil merapat pada dinding dia terus bergerak mendekati pintu. Bahkan bila di luar pintu bahaya maut sudah menunggu, dia tetap tidak peduli. Pikirnya, lebih baik mati saat tengah berjuang daripada hanya diam di tempat menunggu. Meskipun akhirnya akan sama-sama mati, setidaknya dengan berjuang dia tidak akan mati membawa rasa malu.
Sementara itu, Pak Jajak yang sudah memarkir mobil tidak jauh dari pondok, bergegas turun. Begitu dia memutar badan hendak berjalan ke arah pondok, Bi Siti yang sudah siaga langsung melompat dengan pisau di tangan kanan. Namun, pergerakannya bisa dirasakan oleh Pak Jajak. Pria itu menoleh tepat ketika ujung pisau sudah sangat dekat dengan tengkuk. Berhasil menghindar ke samping, tetapi nyaris saja lehernya yang tergores.
"Bangsat!" Hanya sempat mengumpat sekali, setelahnya Pak Jajak harus bergerak cepat menghindari terkaman lawan.
"Mampus! Haaargg!" Bi Siti meraung garang, mengayun benda tajam di tangan dengan niat menghabisi sasaran. "Kamu harus mati!"
Pak Jajak menangkis tangan perempuan itu dan terkejut luar biasa saat melihat wajahnya. "Bi Siti!" Tanpa pikir panjang dia menyerukan nama perempuan itu.
"Ya, ini aku, Jajak." Perempuan itu tersenyum sinis. "Aku malaikat maut yang akan mengantarmu bertemu Nyonya Anggita!" Sembari sesumbar, kaki kiri dan kanan bergerak cepat bergantian melayangakan tendangan. Pak Jajak dibuat kelabakan, mundur tidak teratur sambil menangkis semampunya. "Tidak punya hati nurani! Teganya kamu mengkhianati Tuan Prasat! Kamu harus mati di tanganku!"
Di balik topeng, wajah Pak Jajak pucat pasi, dia tidak menyangka Bi Siti yang dalam keseharian sangat bersahaja dengan baju daster, sandal jepit, dan rambut disanggul cepol satu, ternyata menguasi ilmu bela diri. Bahkan sangat lihai. Dengan rambut ikal tergerai, pakaian ketat press body serba hitam, dan polesan bibir berwarna gelap, figur perempuan itu tampak seperti bidadari maut utusan langit.
"Siapa kamu sebenarnya? Bagaimana bisa tau ini aku dan tempat ini?"
"Dasar bodoh! Kan, sudah kubilang, aku adalah malaikat mautmu!"
Bi Siti melompat sambil mengayun tendangan dan bersarang tepat di dada Pak Jajak, membuatnya terdorong mundur lalu jatuh terjengkang. Sebelum pria itu mampu menguasai diri, Bi Siti langsung menyerbu. Namun, sebagai salah satu anggota komplotan Bandit Elit, tentunya Pak Jajak tidak akan kalah semudah itu. Bahkan, dalam posisi tidak nyaman pun dia bisa menggulung tubuhnya kebelakang untuk menghindari lutut Bi Siti yang mengincar perut bagian bawahnya.
"Sialan!" Sambil mengumpat Bi Siti bergegas bangun, kemudian merangsek maju dengan langkah lebar.
Namun, kali ini Pak Jajak sudah jauh lebih siap dari sebelumnya. Dia berguling ke samping untuk menghindari tendangan Bi Siti, akibatnya kaki perempuan itu hanya menghajar tanah berumput. Sebelum dia menyerang lagi, Pak Jajak segera melompat bangun dan memasang kuda-kuda.
"Aku tidak ingin menyakiti perempuan---"
"Bah! Kamu pikir bisa menyentuhku?! Coba saja!"
Seperti sudah putus urat takutnya, Bi Siti menerjang maju sambil mengayunkan pisau. Namun, Pak Jajak hanya memiringkan badan sambil menangkis tangan Bi Siti dengan mudah, lalu mendorong bahunya cukup keras hingga perempuan itu terhuyung-huyung.
Bi Siti meraung murka, lalu kembali menyerang dengan sangat bernafsu. Kaki kanan kiri bergantian menendang, sesekali berputar dengan tendangan lingkar, mempersempit ruang gerak Pak Jajak, memaksanya mundur tanpa memberi kesempatan untuk membalas.
Pertahanan Pak Jajak cukup ampuh. Diserang bertubi-tubi tidak ada satu pun yang mampu mengenai, tetapi sepertinya kemampuan bertarung pria itu tidak sebagus Bi Siti. Dia seperti mati kutu, hanya bisa menangkis dan menghindar, membuat Bi Siti merasa berada di atas angin. Semakin ganas dan gencar menyerang.
Melihat pohon besar di belakang Pak Jajak, perempuan itu tersenyum miring dan semakin bersemangat mendorongnya mundur hingga di waktu yang dirasa tepat, Bi Siti tiba-tiba melakukan manuver, melompat dan mejejak. Tepat mengenai dada Pak Jajak, membuatnya terdorong mundur hingga punggung menghantam pohon, lalu terpental maju dan disambut tendangan T yang membuatnya kembali terbentur pohon.
Sekali lagi Bi Siti mengayun tendangan T. Akan tetapi bukan untuk menghajar, melainkan hanya untuk menekan tubuh Pak Jajak ke pohon.
Berpikir ada peluang untuk melakukan serangan balik, Pak Jajak bermaksud mencengkeram kaki Bi Siti, tetapi sayangnya perempuan itu sangat gesit menarik kaki, lalu mengubah arah sasaran. Memanfaatkan kondisi tubuh Pak Jajak yang merendah akibat tergelincir, dia memukul bahu kiri pria itu menggunakan tumit kanan.
Pak Jajak pun akhirnya jatuh tersungkur dalam posisi merunduk, tetapi segera setelahnya langsung membalik badan dan sekali lagi juga langsung disambut tendengan yang tepat mengenai alat vitalnya. Seketika itu juga dia meraung kesakitan sambil menjepit kedua tangan di antara paha.
Memanfaatkan ketidakberdayaan Pak Jajak yang karena kesakitan meraung-raung seperti gila, Bi Siti mengangkat pisau dan tanpa berkedip sekali pun menghujamkannya ke dada kanan pria tersebut. Lolongan panjang pun memecah hening.
Altair mendengarnya sangat jelas dan menghentikan langkah tepat di depan pintu. Nehvadise juga mendengarnya, tetapi dia terus berlari karena pria bertopeng itu masih terus mengejar. Gadis itu tidak tahu bahwa orang yang dia sangka masih mengejar ternyata berhenti karena mendengar suara lolong kesakitan itu.
"Jajak ...." Dia bergumam sambil menelengkan kepala. "Dasar bodoh! Selalu saja ceroboh!" Setelah menggerutu, pria bertopeng itu pun kembali melangkah terpincang-pincang ke arah Nehvadise pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top