7. SIAPA LAGI?

Nehvadise tersungkur hingga tengkurap, karena tersandung akar yang melintang di jalan tertutup genangan air berlumpur. Setelan piyama biru muda yang dikenakannya langsung berubah menjadi cokelat menjijikan dan bau. Tanpa mengeluh sedikit pun dia segera bangun walau dengan susah payah. Namun, wajahnya yang coreng-moreng tidak karuan itu meringis menahan sakit ketika perih rasa-rasanya seperti menggigit, dan menjalar ke seluruh badan.

Ibu jari kaki kanan berdarah dan telapaknya pun sudah banyak bekas luka tusuk. Ajaib sekali rasanya masih bisa berdiri, tetapi nyatanya dia benar-benar mampu melakukannya. Bahkan masih sanggup bertahan meski dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

"Ya, Allah Ya Tuhanku ...." Bibir bergetar menggumam, sembari mata menutup perlahan. Seperti kristal, cairan bening menuruni pipi berkilau tertimpa cahaya bulan yang semakin mendekati pagi malah semakin terang benderang.

Saat terus berlari, dia bisa mengabaikan rasa sakit karena adrenalin fokus memacunya untuk terus berlari menjauh dari orang bertopeng itu. Akan tetapi, ketika berhenti seperti ini rasa sakit itu pun datang seperti sengaja mengejek, membuatnya kembali mengasihani diri dan merasa takut kakinya akan semakin sakit jika dia harus berlari lagi.

"Ish." Dia mendesis sambil menekan lutut, lalu mulai melangkah perlahan dengan sedikit berjinjit. Menoleh ke belakang untuk memastikan orang bertopeng itu masih mengejarnya atau tidak, Nehvadise bisa sedikit merasa lega karena tidak ada tanda-tanda keberadaan sosok tersebut. Bahkan suara kecipak air yang terinjak pun tidak terdengar.

Bukan berarti Nehvadise naif, menganggap psikopat itu telah menyerah. Dia hanya ingin menikmati sedikit kebebasan yang ada untuk sekadar mengatur napas sebelum akhirnya berlari lagi. Tertatih-tatih gadis itu melangkah ke tepi jalan yang banyak rerumputan, lalu mendongak.

Menatap bulan yang bersinar benderang, gadis itu tidak tahu harus bersyukur atau mengeluh. Karena cahaya bulan dia bisa melihat keadaan skitar dan bisa leluasa berlari tanpa menabrak pohon, tetapi karena cahaya bulan itu juga si orang bertopeng bisa melihat sama jelas sepertinya.

Nehvadise menoleh ke segala arah hanya untuk memastikan situasi masih aman, kemudian kembali menatap ke depan. Sambil menarik napas dalam-dalam dia menutup mata, mempersiapkan diri untuk menerima rasa sakit saat nanti berlari.

"Kamu pasti bisa, Nehva," gumamnya tegas untuk menyemangati diri sendiri. Tidak terbersit sedikit pun dalam pikiran bahwa menutup mata di saat sekarang ini---walaupun sejenak---bukanlah keputusan yang bijak. Begitu membuka mata ....

"Aaa!" Nehvadise serta-merta meloncat mundur sambil berteriak histeris karena orang bertopeng itu ternyata sudah berdiri di depannya. Suara jeritan inilah yang didengar oleh Altair.

"Nehva ...." Mendengar suara jeritan itu, Altair disadarkan bahwa dirinya masih memiliki seseorang yang harus dilindungi.

Suara jeritan Nehvadise telah membangkitkan kembali semangat Altair. Seperti mendapat suntikan tenaga, dia mulai menarik simpul tali yang mengikatnya menggunakan gigi.

Cepatlah Altair. Nehvadise membutuhkan pertolonganmu. Dia sedang berjuang sendirian di luar sana. Sambil terus berusaha mengurai simpul mati pada ikatan, Altair juga terus menyemangati diri sendiri.

Dia tahu Nehvadise keras kepala, pemberani juga tangguh, tetapi hanya bermodalkan itu saja tidak cukup untuk menghadapi orang bertopeng yang saat ini mengejarnya. Meskipun sudah tidak muda lagi dan kakinya pincang, tetapi pria bertopeng itu masihlah jauh lebih tangguh dari Nehvadise. Altair tahu, sangat tahu akan hal itu.

"Aaarrrggghhh!" Altair menggeram sambil mengetatkan rahang supaya suaranya teredam. Dia frustrasi karena usahanya masih belum ada hasil, sementara di luar sana entah bagaimana nasib Nehvadise.

"Ya Allah, aku mohon lindungi adikku. Jangan biarkan manusia jahanam itu menyentuhnya."

Altair yang benar-benar tidak rela jika orang bertopeng itu sampai menyakiti Nehvadise, segera melanjutkan usahanya untuk mengurai simpul tali.

"Aaa! Lepaskan aku! Lepaaas!" Tiba-tiba suara jeritan Nehvadise terdengar cukup dekat.

"Nehva ...." Mata Altair nanar menatap langit-langit.

Mendengar jeritan Nehvadise, adrenalin dalam dirinya mengajak berpacu. Namun, Altair justru memejamkan mata dan mengatur napas. Suntikan semangat memang diperlukan, tetapi yang lebih dia butuhkan sekarang ini adalah ketenangan pikiran. Panik dan tergesa-gesa hanya akan membuatnya seperti, orang bodoh menguras kolam renang menggunakan ember. Dia harus mempercayai Nehvadise, percaya bahwa adik perempuannya itu pasti mampu melawan juga mampu bertahan.

"Bang Alta percaya kamu pasti bisa bertahan, Nehv."

Sementara Altair masih berjuang mengatasi rasa panik, Nehvadise tengah diseret oleh orang bertopeng. Dalam posisi tengkurap dan salah satu pergelangan kaki dicengkeram, Nehvadise nyaris tidak berdaya. Namun, tekatnya untuk tetap hidup sangat besar, mampu mengalahkan rasa takut juga mampu menyingkirkan pesimistis.

Kesepuluh jari beserta telapak tangannya mungkin telah hancur, terluka oleh tanaman berdaun tajam juga tanaman berduri, serta benda-benda lain yang sembarangan diraih untuk mencoba bertahan. Dia tidak lagi berteriak minta dilepaskan karena hanya buang-buang tenaga. Sekarang yang bisa dia lakukan adalah menunggu kesempatan dan berharap tidak segera sampai tujuan sebelum kesempatan itu datang.

"Kenapa diam? Sudah menyerah, huh?" Setelah mencemooh, orang bertopeng itu terbahak-bahak. "Bersabarlah, sebentar lagi kita sampai. Akan kubuat arwah orang tuamu tidak tenang."

Nehvadise harus berjuang keras untuk menenangkan hati yang rasanya bergolak karena orang bertopeng itu menyebut kedua orang tuanya. Tidak bisa dihindari, peristiwa pembantaian itu pun kembali terbayang. Wajah Nehvadise mengeras dan gigi-gigi yang saling merapat bergemeretak, seperti sedang menghancurkan tulang.

Aku bersumpah akan membuatmu membayar semua ini! Aku bersumpah!

Tiba-tiba Nehvadise memiringkan badan, membuat orang bertopeng yang mengira gadis itu sudah sekarat, terkejut dan hampir saja cengkeramannya terlepas. Memanfaatkan peluang tipis dari rasa terkejut orang itu, sekuat tenaga Nehvadise mengayun kaki yang satunya dan cukup telak menghujam area bawah pusar. Orang itu meraung panjang dan spontan melepaskan kaki Nehvadise, lalu membungkuk mendekap perut.

Tidak peduli pada kepala yang rasanya pusing dan pandangan berkunang-kunang, Nehvadise bergegas bangkit secepat yang dia mampu. Sempat oleng ketika sudah berdiri, tetapi gadis itu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

"Mampuuus!" Sambil meraung panjang, Nehvadise mendorong orang bertopeng itu hingga terkapar, lalu menginjak-injak aset berharganya tanpa ampun. "Ini untuk mama! Untuk mama! Untuk mama! Mamaaa!"

"Aaarrrggghhh! Aaarrrggghhh! Aaarrrggghhh!"

Rasa sakit yang diderita orang bertopeng itu bisa diukur lewat lolongan panjangnya yang serasa mengiris hati seperti sembilu. Nehvadise yang seperti kesetanan tidak ingin berhenti, bahkan juga menyasar ke bagian tubuh yang lain.

"Ini untuk papa! Untuk Bang Alta! Untuk papa! Untuk Bang Alta!"

Kresak .... Srek srek srek ....

Suara seperti daun kering terinjak itu serta-merta menghentikan Nehvadise. Beringas dan amarah yang sempat mewarnai parasnya pun seketika sirna tanpa sisa dihalau kengerian. Tubuh yang tadi gemetaran karena antusias sekarang kembali menggigil akibat deraan rasa takut. Nehvadise sungguh tidak berharap akan muncul peserta lain dalam permainan maut ini, tetapi sepertinya orang bertopeng itu memang tidak sendiri.

Siapa lagi?

Penyangga tubuh yang sudah nyaris kehabisan tenaga perlahan melangkah mundur, sembari matanya jelalatan menyelisik sekitar. Tiba-tiba orang bertopeng itu terbahak-bahak, Nehvadise pun sontak geragapan dan saat itu juga mengayun langkah seribu.

"Dia datang, kamu pasti habis! Dasar bodoh!" Sesudah berteriak mencemooh dia tertawa, tetapi segera setelahnya meringis sambil menjepit kedua tangan di antara paha. "Kamu harus mati, gadis bodoh. Harus membayar---aaarrrggghhh!" Dia kembali melolong saat sahabat kecilnya berdenyut-denyut, terasa berkali-kali lipat lebih besar dan seperti ada sesuatu yang mendesak ingin keluar. "Sialan, tidak ada ampun bagimu keturunan Prasat," ancamnya dengan suara bergetar.

Sementara orang bertopeng itu tengah tersiksa oleh rasa sakit dan Nehvadise terus memaksa kakinya yang gemetaran untuk berlari, di dalam pondok Altair semakin antusias karena sudah berhasil melonggarkan simpul tali. Pemuda itu berhenti dengan niat beristirahat barang sebentar. Napas terengah-engah, bibirnya berdarah-darah karena bergesekan dengan tali berbahan goni yang notabene kasar.

"Sedikit lagi. Tetaplah bertahan dan terus berjuang sampai Bang Alta datang, Nehv. Bang Alta janji akan menyelesaikan orang itu."

Kerongkongan terasa kering kerontang, dia pun kembali menelan ludah. Ingatan akan hal-hal menjijikan sudah tidak lagi mengusiknya, karena sekarang dia punya hal yang jauh lebih penting untuk diprioritaskan. Memikirkan betapa takut dan menderita Nehvadise di luar sana, dia pun kembali menggigit bagian simpul yang telah melonggar, lalu menariknya.

Aku mohon lepaslah! Nehvadise sedang menungguku di luar sana! Lepas, aku mohon lepas, lepaaas!

"Eeerrrggghhh!" Sambil menggeram panjang Altair mempererat gigitan, kemudian menarik kepala ke belang. Namun, belum saatnya dia berhasil. Tali yang digigit sudah semakin longgar, tetapi untuk menariknya sampai lepas dia masih harus berusaha lebih keras lagi.

Tidak ada waktu untuk mengeluh atau mengasihani diri, Altair segera menggigit tali itu dan menariknya. Berapa puluh kali harus melakukan itu sampai kepala yang terus bergerak terasa sangat pusing, dia sama sekali tidak peduli.

Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil yang semakin lama semakin mendekat, Altair yang sempat berhenti hanya untuk mendengar lebih jelas segera kembali melanjutkan usahanya.

Apakah dua orang itu kembali? Aku harus segera pergi dari sini.

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top