5. MELARIKAN DIRI [REVISI]


Penerangan redup menjadi saksi bisu peristiwa sadis dan brutal yang terjadi di dalam pondok ini. Nehvadise yang tidak sadarkan diri tergeletak begitu saja di lantai tanah lembap, tidak jauh di sampingnya orang bertopeng sedang mengintimidasi Altair yang tubuhnya sudah babak belur.

"Jadi kamu lebih suka dihajar daripada menikmati tubuh segar gadis itu, huh?"

"Menjijikan! Aku---"

Satu tamparan keras mendarat di wajah Altair disertai hardikan, "Kurang ajar! Berani-beraninya kamu bicara seperti itu padaku!"

Alatir meludahi wajah orang itu, sudah tentu hanya mengenai kain penutupnya saja, kemudian berteriak, "Kenapa harus tidak berani?! Tentu saja aku berani, bajingan! Lepaskan aku! Ayo, bertarung dengan jantan!"

Mata pria bertopeng itu semakin nanar, amarah sangat besar terakumulasi di sana, seperti mengobarkan api. Dia mencengkeram kerah baju Altair, lalu menariknya hingga wajah mereka nyaris tanpa jarak.

Dengan gigi terkatup rapat dia berbicara, "Aku perintahkan sekali lagi atau kamu dan dia mati bersama. Perkosa dia. Hancurkan hidupnya---"

"Tidak akan pernah!" Altair meraung sekuat tenaga tepat di depan wajah orang bertopeng. "Bunuh aku, bunuh! Kamu mungkin bisa membunuhku, tapi demi apa pun aku bersumpah kamu tidak akan pernah bisa menyentuh adikku!"

"Bangsat!" Orang itu mencampakkan Altair, lalu berdiri dan menendangnya bertubi-tubi. "Mampus saja dasar tidak berguna! Mampus, mampus, mampus!"

Altair yang tangan dan kakinya dalam kondisi terikat tidak mampu melakukan apa-apa. Hanya bisa pasrah menjadi bulan-bulanan pria psikopat yang benar-benar tidak segan hendak menghabisinya.

Orang bertopeng itu sangat bernafsu menghajar Altair sampai-sampai melupakan Nehvadise, atau mungkin dia berpikir gadis itu tidak akan sadar dalam waktu dekat.

Dia tidak tahu, kenyataannya gadis itu sudah sadarkan diri sejak lama. Tetap berdiam diri dan berpura-pura pingsan, dia telah mendengar semuanya. Pun sesekali mengintip dari kelopak mata yang dibuka secelah dia juga sudah melihat betapa sadis orang itu menyiksa Altair. Sekarang hatinya jauh lebih sakit dan berharap mati saja supaya tidak mengetahui kebenarannya.

Akan tetapi, mengingat apa yang telah orang bertopeng itu perbuat terhadap papa dan mamanya, lalu sekarang abangnya dianiaya seperti itu, Nehvadise tidak bisa tinggal diam. Pikirnya, dia telah kehilangan kedua orang tua, tentu saja tidak ingin kehilangan abangnya juga.

Bola mata berkaca-kaca bergulir memantau sekitar dan berhenti pada tumpukan kayu yang dipotong dalam ukuran selaras. Tidak jauh di dekat kakinya dan hanya dengan memanjangkan tangan saja bisa diraih. Tubuhnya gemetar, tangan pun terus bergoyang seperti penderita tremor parah. Lututnya pun terasa lemas, tetapi semangat untuk melindungi si abang mampu mengatasi semua itu.

Beruntung juga posisi orang bertopeng itu membelakangi sehingga tidak bisa melihat pergerakannya. Dia perlahan-lahan bangun dari baring, lalu bangkit untuk mengambil kayu. Namun, karena tangannya gemetaran kayu itu pun terlepas dari genggaman dan jatuh dengan suara berkelontang. Orang bertopeng itu menoleh, Nehvadise semakin gemetaran bahkan nyaris ambruk.

"Kamu! Kamu bajingan kecil mau coba main belakang, huh?!" Orang bertopeng itu bergegas menghampiri Nehvadise yang gemetaran berpegang pada tumpukan kayu.

"Lari! Lari! Nehva, lariii!" Altair meraung histeris sepert gila karena hal-hal buruk yang kemungkinan akan menimpa Nehvadise melintas begitu saja di pikirannya.

Mendengar suara Altair, Nehvadise seperti disadarkan bahwa hidupnya dalam bahaya. Adrenalin dalam diri terstimulasi dan tanpa sadar tangannya, seperti bergerak sendiri. Bergerak dengan kecepatan yang cukup luar biasa bila melihat kondisi Nehvadise saat ini.

"Aaarrrggghhh!!!" Sambil mengayun kayu dan memukul orang bertopeng yang nyaris meraih lengannya, gadis itu meraung. Kayu menyasar pada tulang kering orang bertopeng membuatnya mengaduh kesakitan sambil refleks memegangi kaki.

"Aaaarrrrggghhh, bocah sialan!"

Nehvadise tidak menyia-nyiakan kesempatan, kembali mengayun kayu bermaksud memukul bagian kepala, tetapi meleset dan bersarang di bahu. Orang itu kesakitan, tetapi nekat berdiri untuk menangkap Nehvadise yang seperti kesurupan terus mengayun kayu untuk memukuli kakinya.

Sekuat-kuatnya orang bertopeng menahan pukulan jika dihajar bertubi-tubi seperti itu pasti juga akan jatuh. Orang itu oleng, lalu ambruk. Nehvadise memukul kakinya beberapa kali lagi, lalu mencampakkan kayu dan berlari hendak menghampiri Altair.

"Bang Alta!"

"Jangan mendekat! Lari! Pergi!"

Langkah Nehvadise terhenti sebelum sampai pada Altair. Dengan mata basah dan kabur dia menatap abangnya tidak percaya. "Bang---"

"Lari! Kamu satu-satunya harapan! Kamu satu-satunya saksi! Kamu tidak ingin pembunuh papa sama mama bebas begitu saja, kan?!"

"Ta-ta-tapi---"

"Jangan coba-coba! Di sini kamu tidak mungkin lolos!" Pria bertopeng itu terbahak-bahak seperti tidak waras.

"Abang janji pasti kembali. Abang mohon, lari. Nehva, lari!"

Nehvadise berdiri gemetaran di antara dua laki-laki yang sama-sama tengah terbaring di lantai. Namun, kondisi orang bertopeng jauh lebih baik dan tampaknya akan segera pulih dari rasa sakit, sedangkan Altair benar-benar mati kutu kerana tubuhnya terikat.

Gadis itu terus melihat bergantian ke mereka, bingung apa yang harus dilakukan. Dia tidak ingin meninggalkan Altair, tetapi juga tidak ingin mati konyol di sini.

"Bang Alta---"

"Lari, Nehv! Lariii!"

"Jangan harap!" Orang bertopeng itu meraung sambil melompat hendak menerkam Nehvadise.

"Aaa!!!" Sambil menjerit histeris, kaki Nehvadise refleks melangkah serabutan ingin mencari selamat

"Lari, Nehv, lariii!"

"Percuma!"

Raungan Altair dan orang bertopeng itu ibarat cambuk yang melecut Nehvadise untuk berlari semakin kencang. Dia menabrak pintu hinga terbuka dan terus mengayun langkah cepat meski kakinya tidak mengenakan alas. Nehvadise akhirnya lepas dari kungkungan, berlari dan terus berlari mencari kebesan yang sesungguhnya tanpa pernah menoleh lagi.

Kaki-kaki ramping nan jenjang tetap berlari meski kini jalan yang dilaluinya bukan lagi tanah kering. Di atas permukaan jalan becek kakinya terus mengayun secepat yang dia mampu. Cairan yang terinjak oleh entakan telapak kaki tanpa alas memercik ke udara, hingga ada yang singgah di wajahnya. Bau busuk yang sedari tadi menyiksa penciuman pun semakin tajam menyengat.

Butiran peluh sebesar-besar biji jagung membanjiri wajah kemerahan dengan bibir kering nan pucat. Embusan napas tidak beraturan berhamburan dari celah bibirnya yang terbuka---tiada henti menciptakan kepulan uap tipis yang segera terburai oleh angin dan membaur dengan udara. Detak jantungnya bertalu-talu hingga rasanya menggema di dalam kepala.

Rambut ikal tergerai, beterbangan diterpa angin malam yang seolah hadir memang untuk turut menderanya. Mendera dengan rasa dingin tak terperi hingga menembus tulang rasanya. Di mana dirinya berada saat ini? Dia sungguh tidak tahu dan tidak mau tahu. Dia hanya ingin segera terbebas dari orang bertopeng yang masih terus mengejarnya.

Tempat ini sungguh mengerikan, seluruh pijakannya digenangi oleh lumpur yang aromanya semakin lama semakin busuk. Sejauh mata memandang hanya ada bangunan-bangunan tua yang sudah tidak lagi berdiri sempurna bahkan banyak yang telah ambruk.

Kedua penyangga tubuhnya sudah lelah, raga ingin rebah, tetapi otak terus memerintah agar dia terus melangkah. Suara kecipak air berlumpur dari arah belakag memberitahu bahwa orang itu tidak jauh di belakangnya. Satu hal yang masih patut dia syukuri dalam situasi segenting ini, orang yang mengejarnya itu kakinya pincang sehingga kecepatan larinya tidak maksimal.

Napas Nehvadise sudah sulit dikontrol, dada pun mulai terasa sakit dan sesak. Dia menekan dada kiri dan dalam hati terus menyemangati diri.

Jangan menyerah, Nehva. Kamu pasti bisa ... kamu pasti sanggup. Kamu harus tetap hidup untuk mengungkap kebenaran.

Gadis itu mengayun langkah memasuki hutan, lalu masuk ke dalam semak-semak. Duduk meringkuk sambil memeluk lutut di balik pohon besar yang terlindung semak-semak, tubuh Nehvadise gemetar sampai seperti menggigil kedinginan. Dia menjilat bibir yang terasa sangat kering, seketika itu juga wajahnya mengernyit menahan sakit dan perih. Karena bibirnya pecah-pecah lidahnya pun mengecap rasa besi.

Wajah berpeluhnya tampak mengilap, licin juga coreng-moreng tidak karuan. Ditambah dengan rambut yang acak-acakan, gadis itu tampak persis seperti orang gila yang suka berkeliaran di jalan.

Bang Alta. Air mata yang sudah kering pun kembali merembes saat teringat Altair. Menahan isak tangis karena takut ketahuan, tenggorokannya terasa tertekan dan sakit . Ya Allah, aku mohon lindungi Bang Alta. Lindungi Nehva juga. Nehva belum mau mati, Ya Allah.

Henig tiba-tiba pecah oleh suara benda jatuh. Bahu Nehvadise terlonjak, kedua tangan pun refleks membekap mulut yang nyaris saja memekik. Lewat celah-celah daun, mata yang membeliak maksimal merefleksikan kengerian itu intens bergulir ke sana-kemari.

Setelah suara yang tadi, beberapa suara lain yang serupa mengikuti, membuat adrenalin Nehvadise seperti berpacu. Seluruh urat syaraf menegang dan kelima indra pun dipertajam. Saat ini, suara sekecil apa pun pengaruhnya sangat besar bagi Nehvadise yang tengah bersembunyi dari seorang penjahat bedarah dingin.

Sreek ... sreek ....

Sekali lagi Nehvadise menjengit. Itu sepertinya suara daun kering yang dinjak, terdengar sangat dekat dari arah kiri. Bahkan suara deru napas ngos-ngosan pun bisa didengarnya sangat jelas di malam sunyi dan mencekam ini.

Suara langkah yang seolah beralaskan daun kering, perlahan semakin mendekat. Nehvadise pun semakin menyusut, merapat pada pohon. Bahkan berharap bisa menembusnya, lalu melarikan diri ke arah yang berlawanan.

"Jangan mimpi bisa keluar dari sini, gadis bodoh ...."

Orang bertopeng itu melintas di depan Nehvadise sambil mencemooh. Saking takutnya, gadis itu pun tanpa sadar menahan napas dan mata pun refleks menutup rapat-rapat. Ya Allah, lindungi Nehva, Ya Allah.

Orang bertopeng itu meski kaki kanannya timpang, tetapi masih bisa berjalan cukup cepat. Begitu dia berlalu, Nehvadise langsung megap-megap dan rakus menghirup udara. Seluruh syaraf yang menegang pun mengendur dan tubuhnya seketika itu juga lunglai. Menyandar lemas pada pohon, mata yang selalu meneteskan cairan bening itu tatapannya menerawang jauh. Dia benar-benar tidak menyangka akan seperti ini jadinya, penyesalan datang dan membuatnya merasa tercekik.

Seandainya saja dia tidak menolak pergi, papa dan mamanya sekarang pasti masih hidup. Pa, Ma, maafkan Nehva. Seharusnya Nehva dengerin Papa. Gadis itu terisak-isak sampai megap-megap.

Ingatan terhadap orang tuanya telah membuat Nehvadise hilang kewaspadaan. Dia mengasihani diri, terisak-isak tanpa menahan diri, tidak sadar bahwa suara sedu-sedannya itu bisa didengar oleh orang yang tengah mengejarnya.

Dalam remang hutan yang tidak terlalu lebat, sosok berkaki timpang itu berjingkat-jingkat menghindari dedauanan kering supaya suara langkahnya tidak terdengar. Kaki timpang akibat tulang kering dihantam balok kayu, adakalanya sangat merepotkan karena sakit dan lebih susah dikontrol, mengharuskan dia untuk berpegang atau merambat pada pohon.

Nehvadise yang masih belum menyadari bahwa bahaya tengah mendatangi, terus tersedu-sedu hingga orang bertopeng itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya seperti adegan jump sacre dalam film horor.

"Nehva ...."

"Aaa! Aaa!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top