Prolog

Tetesan air hujan ternyata masih setia menjadi kawanku. Langkah kaki yang mulai terasa berat sedikit banyak memberikan rasa sakit menambah kesulitan yang tengah kutapaki di atas trotoar jalan raya.

Aku lelah, hatiku semakin resah. Seseorang di ujung sana masih saja belum menjawab panggilanku sejak tadi membuatku kehilangan arah kemana lagi aku harus melangkah. Langit mulai malam, dan rintik hujan masih menyertai.

Jaket yang kukenakan untuk menghalau dingin, kini justru memperburuk udara dingin yang menerpaku sejak tadi. Bisa kulihat keriput di tangan dengan jelas sebagai gantinya, aku yang mulai semakin kedinginan masih terus berjalan menembus jalanan ibukota yang sepi akibat hujan yang gak kunjung berhenti.

Aku menemukannya. Menemukan rumah di mana satu-satunya keluargaku yang masih tersisa berada. Meski aku gak pernah ingin datang kesini, tapi saat ini, di sinilah tempatku seharusnya. Aku gak bisa kembali ke sana, tempat yang dibuat bukan untukku. Aku gak ingin merepotkan pria baik seperti om Dinari, aku gak ingin membuatnya kesulitan untuk menjagaku. Karena sulit bagiku untuk bertahan di sana, karena mereka tidak akan bahagia selama aku masih tinggal bersama mereka.

Udara dingin gak mampu memadamkan perasaanku yang menghangat saat melihatnya. Melihat seseorang yang sudah lama gak kutemui, hanya sesekali berbincang lewat telepon dan itupun mama harus membujukku untuk itu. Siapa kira aku akan datang ke sini, datang menemui papa yang telah meninggalkan aku dan mama demi kebahagiaannya sendiri. Kebahagiaan di mana tidak ada aku dan mama bersamanya.

Bisa kulihat papa bahagia melalui jendela besar, dan kini tengah bermain dengan anak yang pernah kulihat dari foto yang papa kirimkan untukku. Entah siapa namanya, aku gak peduli saat itu, tapi papa bilang dia adikku. Kenyataan kembali menghantamku, sebuah kesimpulan akhirnya mulai kembali terlihat jelas di depan mataku. Jika aku mengetuk pintu rumah ini, kebahagiaan papa mungkin saja bisa rusak.

Aku gak menginginkannya, aku gak ingin ada orang lain lagi yang kesulitan karenaku. Mataku mulai memanas, bulir airmata meluncur tanpa bisa kukendalikan. Meski hujan menyamarkannya, tapi hatiku gak bisa berbohong. Rasa sakit hati yang dulu kurasakan kembali muncul, amarah yang pernah teredam kerinduan kini muncul lagi. Gak kusangka akan merasakan hal ini lagi, merasa terbuang, tersisih, dan gak diinginkan. Siapa yang kira kalau aku akan merasakan hal seperti ini lebih dari satu kali dari orang yang sama.

Aku lelah, hatiku kembali gelisah, napasku tersengal meski aku gak berlari sama sekali sejak tadi. Isi kepalaku gak beraturan, aku gak mampu memikirkan apapun hingga membuatku gak sadar telah berdiri di tempat yang sama selama berjam-jam. Ponselku mati, entah kehabisan daya atau terkena air hujan aku gak peduli, karena nyatanya aku masih saja menatap rumah yang telah memberikanku luka tanpa pernah kumasuki satu kalipun.

"Ladi!"

Pandanganku kini terhalang oleh sepasang bola mata yang menatapku dalam. Aku terpaku, gak bergerak ataupun menjawabnya. Aku juga gak berpikir, maupun mengedipkan mataku karena khawatir bahwa semua ini hanya ilusi. Takut bahwa yang kulihat ini bukanlah kenyataan sampai sepasang tangan memegang pundakku.

Tangan Bara menyalurkan kehangatan, melihat bahwa ia nyata ada di hadapanku memberikan ketenangan dalam hatiku. Tanpa tersadar aku bersyukur atas kehadirannya, meski selama ini gak pernah sekalipun kuinginkan kehadirannya, namun saat ini, untuk pertama kalinya aku bersyukur memiliki Bara dalam hidupku. Bersyukur pada Allah yang telah mendatangkan Bara saat ini, karena hal itu untuk pertama kalinya aku ingin kembali bernapas dengan tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top