Dorfbewohner
Di kaki Gunung Rosenfeld, dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi, sebuah desa terpencil singgah. Desa itu terpisah dari kehidupan masyarakat luar; kebanyakan penduduk bertahan hidup dengan memancing ikan di danau, berburu rusa di hutan, bahkan bertani.
Di kaki Gunung Rosenfeld, sebuah desa bernama Eichenberg berdiri. Para penduduk yang tinggal di sana gemar bertegur sapa dengan satu sama lain; membantu sesama dan berbelanja menggunakan sistem barter.
Di kaki Gunung Rosenfeld, sebuah desa dibatasi oleh benteng tinggi yang terbuat dari beton kokoh. Beberapa tahun silam, para petinggi desa yang mereka sebut dengan sebutan Galm, memutuskan untuk membangun benteng pencakar langit yang mengelilingi desa.
Akan tetapi, benteng itu tidak dibuat untuk melindungi penduduk desa dari negeri luar, melainkan melindungi negeri luar dari penduduk Desa Eichenberg.
"Demi Tuhan, Fräu Emilia. Hendaknya Anda berhenti melanjutkan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan ajaran-Nya, tinggalkanlah selagi Anda masih bisa dimaafkan," seru pria itu sambil sesekali memberikan gestur tangan menunjuk-nunjuk dengan lembut.
Wanita muda di hadapannya memutar bola mata dengan malas. Kedua tangan sang wanita ada di depan dada, sudah terlipat. "Titahmu tidak akan bisa menggerakan hati saya, Herr Braun. Apa yang saya gemari bukanlah sesuatu yang mencoreng jalan Tuhan."
"Saya tidak memperintahkan Anda apa-apa, melainkan kembali dan menyadari bahwa apa yang Anda lakukan tidak membuahkan keuntungan," bantah pria itu.
Seorang pria lain mendekati dua orang yang tengah beradu argumen. Dengan alis bertaut ia bertanya, "Adakah masalah yang menimpa kalian berdua di siang hari yang cerah ini?"
"Herr Braun lagi-lagi mengganggu saya," jawab sang wanita dengan cepat.
Pria di hadapannya menggelengkan kepala. "Saya tidak bermaksud untuk mengganggu Fräu Emilia, Herr Lehmann. Maksud saya mencegatnya siang ini adalah untuk mengingatkan bahwa ketertarikannya pada dunia kematian itu sudah terdengar seperti obsesi."
"Saya tidak terobsesi," bantah sang wanita.
"Kelihatannya Anda terobsesi," balas sang pria.
"Cukup," pria dengan baju serba hitam itu memberikan gestur tangan kepada dua orang di depannya untuk berhenti, "tidak ada habisnya apabila kalian berdua berargumen, apalagi soal sesuatu yang sepele, di hadapan rumah Tuhan."
"Tetapi, Herr Lehmann," pria dengan baju putih yang kelihatannya kotor akibat tanah menoleh, "Fräu Emilia bergelut dengan sesuatu yang ada di luar jangkauan kita sebagai manusia. Apabila ia masih bersikukuh untuk menggali lebih dalam soal jiwa-jiwa yang seharusnya tenang di bawah tanah, bukankah itu sama saja seperti meragukan-Nya?"
Pria dengan baju serba hitam akhirnya menyuruh sang wanita untuk kembali kepada rutinitas yang tadinya ia kerjakan. Sementara itu, pria dengan baju putih diajaknya untuk masuk ke dalam gereja.
Ketika pintu gereja ditutup, pria berbaju hitam berkacak pinggang. "Kamu tidak seharusnya mengurus ketertarikan seseorang hanya karena menurutmu itu salah, Stephan."
Stephan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya hanya tidak ingin Fräu Emilia terjerumus ke sebuah ajaran sesat."
"Tertarik dengan dunia kematian bukanlah sesuatu yang menentang Tuhan, Stephan," pria berbaju serba hitam menggelengkan kepalanya pelan, "melainkan sebuah bukti bahwa ia tengah mencaritahu kebenaran dengan caranya sendiri. Kematian juga kita pelajari, benar?"
Teguran yang diberikan oleh pendeta tersebut Stephan telan bulat-bulat. Pria berbaju serba hitam hendak pergi menelusuri gereja untuk duduk di belakamg altar ketika sebuah ketukan terdengar di pintu di belakang mereka.
Roman, kepala gereja, berbalik dan meraih gagang pintu untuk membukanya dan mendapati wanita yang baru saja berargumen dengam Stephan berdiri di hadapan ambang pintu.
"Fräu Emilia!" seru Roman. "Adakah yang bisa saya bantu?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. Dia berusaha untuk mengintip ke dalam dan Roman menyadari hal tersebut. Maka, ia membuka pintu gereja lebih lebar untuk menampilkan Stephan dan seisi gereja kepada sang wanita.
Kedua manik mata sang wanita tertuju ke ujung-ujung kakinya. Beberapa kali ia melirik ke arah Stephan, lalu kembali memalingkan pandang.
Stephan mengerutkan dahi, mendapati bahwa gestur yang diberikan sang wanita cukup abnormal. "Adakah yang ingin kautanyakan pada saya, Fräu Emilia?"
"Saya ingin memohon maaf atas perilaku saya ketika Anda mengingatkan saya," sang wanita memainkan ujung-ujung jarinya, "dan untuk memberitahu kalian bahwa saya menemukan seorang pria yang terluka dua hari lalu, dekat gerbang desa."
"Oh?" Stephan mengambil satu langkah maju. "Siapa yang Anda temukan terluka?"
"Saya tidak mengenalinya. Oleh karena itu, saya pikir lebih baik saya memberitahu kalian terlebih dahulu sebelum saya memberitahu siapa pun perihal pria ini. Siapa tahu dia memerlukan pemberkatan di atas tanah Eichenberg. Saya berniat untuk memberitahu semalam, tetapi saya terlanjur lupa."
Roman melirik Stephan dari ekor matanya. "Herr Braun, bisakah Anda menjaga gereja selama saya pergi bersama Fräu Emilia?"
Stephan mengangguk untuk menunjukkan bahwa ia setuju. "Komme gut nach hause, Herr Lehmann."
"Danke." Roman memberikan kunci gereja kepada Stephan, mengingat perjalanan menuju kediaman sang wanita cukup jauh dari gereja yang posisinya dekat dengan danau di ujung desa.
Sang wanita tinggal di dalam hutan, dekat dengan tempat para penduduk biasanya memanen ranting-ranting kering dan berburu kelinci hutan untuk makan malam dan kegiatan jual-beli mereka.
Tinggalnya ia di dalam hutan merupakan sesuatu yang dilakukan secara sengaja, mengetahui bahwa sang wanita tidak menyukai keramaian dan lebih menginginkan tinggal seorang diri, jauh dari penduduk lainnya, walau sesekali di siang hari ia masih berkeliaran di desa untuk bersosialisasi.
"Anda bilang, pria ini Anda temukan dekat dengan gerbang dua hari lalu," ucap Roman yang dijawab dengan anggukan singkat oleh wanita.
"Kalau boleh saya tahu, Fräu Emilia, kapan Anda menemukan pria ini?"
"Malam hari."
"Apa yang Anda lakukan, berkeliaran malam hari di desa?"
Sang wanita mengedikan bahu. "Salah satu arwah meminta saya untuk pergi ke desa, tepatnya ke gerbang, entah untuk apa. Lalu, saya menemukan pria itu di luar gerbang desa, meringis dengan luka yang cukup lebar di perut dan hampir tak sadarkan diri. Mungkin, arwah tersebut merasa iba kepada sang pria."
Roman tersenyum kikuk. Agaknya, dia melupakan bahwa sang wanita yang ada di sampingnya juga merupakan orang yang sama yang diyakini kehilangan akal karena percaya kepada apa yang tak nampak untuk penduduk lain di desa.
***
"Oh, Karoline! Kamu kembali," seru seorang pria dengan perban pada perutnya. Pria itu tengah berdiri di hadapan sebuah teko, memanaskan suatu minuman.
Karoline mendengkus. "Maklumi dia, Herr Pfarrer Lehmann, untuk cara bicaranya yang terlalu santai."
"Benarkah demikian?" seru sang pria sambil menuangkan secangkir teh ke dalam gelas kecil. "Saya pikir cara bicara saya sudah cukup sopan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Karoline."
"Tolong berhenti memanggil saya dengan nama depan saya," ucap Karoline sambil memainkan ujung-ujung jarinya.
"Oh, maaf, Fräu Emilia." Sang pria memberikan senyuman canggung. Dia memberikan Karoline secangkir teh yang wanita itu tolak.
Roman berjalan mendekati sang pria yang kini terduduk di tengah ruangan, di hadapan meja bundar kecil yang sepertinya Karoline biasa gunakan untuk makan malam. Pendeta itu menganggukan kepalanya kepada sang pria untuk memberikan sebuah gestur sapaan yang ramah.
Sang pria mengembalikan sapaannya kepada Roman dengan senyuman lebar yang menawan.
"Saya dengar, Anda terluka tepat di luar gerbang desa kami, apakah benar demikian, Tuan?" tanya Roman.
Sang pria mengangguk. "Saya tidak berpikir perjalanan saya akan menghadapi begitu banyak rintangan dan bebatuan. Malam itu, saya hendak pergi ke negeri seberang. Lalu, entah karena apa---saya lupa---saya terlempar dari kereta."
"Kereta?" beo Roman.
"Iya, kereta kuda. Sebuah batu yang lancip menusuk saya tepat di perut ketika saya terlempar. Untungnya, saya mendarat tak jauh dari suatu gerbang. Ketika saya mencoba untuk meminta bantuan, penjaganya kelihatan tertidur. Jadi, saya memutuskan untuk bersandar saja di sana sampai dia bangun."
Roman mengembuskan napas pelan. "Oh, itu Herr Klein. Kala malam menyambut, dia biasanya minum anggur merah hingga tak sadarkan diri. Bitte, entschuldigen sie sein schlechtes verhalten."
Sang pria terkekeh. "Keine sorge. Pasti melelahkan menjaga gerbang dari pagi sampai pagi. Saya memahami lelahnya Herr Klein."
"Anda pria yang murah hati," puji Roman.
"Ah, biasa saja."
"Kita belum memperkenalkan diri," Roman berseru seraya memberikan tangannya untuk berjabat dengan sang pria, "saya Roman Lehmann, seorang kepala gereja di Desa Eichenberg."
Sang pria meneriba jabatan tangan Roman. "Saya Andreas; Andreas Henrich von Württemberg."
Keheningan mengisi ruangan.
Beberapa detik kemudian, Roman melepaskan jabatan tangannya, "... von Württemberg?"
Andreas mengangguk.
"Sang putra mahkota Negeri Waldheim?" tanya Roman.
Andreas kembali mengangguk, kali ini lebih pelan dengan senyuman yang lebih ragu.
Sang pendeta menoleh ke arah Karoline dengan tatapan kaku. "Fräu Emilia, Anda tidak memberitahu saya bahwa pria tak dikenal yang Anda temukan adalah seorang putra mahkota!"
Karoline mengerjap beberapa kali. "Saya tidak tahu bahwa negeri kita punya seorang putra mahkota!"
"Oh, tidak. Tidak, tidak." Roman menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Anda tidak seharusnya berada di sini, Eúre Majestät. Mari, saya bisa antarkan Anda ke gerbang. Herr Klein bisa mengantar Anda ke tempat tujuan awal Anda."
Melihat kepanikan Roman yang entah datang dari mana, Andreas mengernyitkan dahi. Alih-alih menuruti keinginan Roman, sang putra mahkota menolak dan menginginkan sebuah penjelasan mengenai mengapa ia tidak seharusnya berada di Desa Eichenberg.
"Anda orang yang sangat penting, Eúre Gnaden. Tidak sepantasnya Anda ada di desa kumuh seperti Eichenberg."
"Saya tidak keberatan," tukas Andreas. "Lagipula, desa ini tidak terlalu buruk, Herr Pfarrer Lehmann."
Roman menoleh ke arah Karoline, mencoba untuk memberikan sebuah isyarat dengan tatapannya untuk bantuan. Alih-alih membantu Roman dalam menjelaskan situasinya kepada Andreas, Karoline mengedikkan bahu.
"Akan menjadi pilihan yang tidak bijak apabila kita mengusir seorang putra mahkota dari desa, benar?"
"Iya, tetapi tidakkah kamu mengingat seperti apa Desa Eichenberg sebenarnya?" tanya Roman sedikit berbisik.
Benteng yang mengelilingi Desa Eichenberg tidak dibuat untuk melindungi penduduk desa dari negeri luar, melainkan melindungi negeri luar dari penduduk Desa Eichenberg.
Manusia normal mana yang bisa bertahan di antara turunan para Galm; manusia-manusia yang diyakini memiliki kutukan iblis mengalir dalam darah mereka?
***
1.552 kata.
KAMUS UNTUKMU!
1. Fräu adalah sebuah title untuk seorang wanita yang belum menikah. Mirip seperti Miss/Ms. dalam bahasa Inggris.
2. Herr adalah sebuah title untuk seorang pria. Mirip seperti Mister/Mr./Sir dalam bahasa Inggris.
3. Pfarrer artinya adalah Pendeta/Pastor/Bapak.
4. Eúre Majestät artinya Yang Mulia; Your Majesty.
5. Eúre Gnaden artinya Yang Mulia; Your Grace.
6. Komme gut nach hause artinya hati-hati dalam perjalanan.
7. Danke artinya terima kasih.
8. Bitte, entschuldigen sie sein schlechtes verhalten artinya tolong maafkan kelakuannya yang buruk.
9. Keine sorge artinya tidak apa-apa.
10. Dorfbewohner artinya penduduk; villager.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top