Der Nekromant

Pada tenggelamnya matahari di ufuk barat, ketika penduduk-penduduk lain mulai mengosongkan seluruh desa, seorang wanita dengan tudung lusuh yang kelihatan kotor masih berkeliaran.

Berjinjitlah ia ketika berjalan; seolah tidak menginginkan orang lain menyadari keberadaannya di desa, di luar rumahnya, setelah matahari terbenam. Di desa itu, aneh apabila seorang penduduk berkeliaran setelah gelap menyelimuti desa.

Kabut malam mulai berkeliaran, bertebaran di jalanan tempat orang-orang biasanya berlalu-lalang. Namun, kala itu, yang berkeliling desa bisa dihitung dengan satu jari.

Beberapa bulan terakhir, Karoline secara diam-diam menguntit orang-orang di desa. Dia telah mengintip kegiatan para penduduk dari jendela; menguping dengan meletakkan telinganya di permukaan pintu kayu rumah-rumah penduduk; bahkan nekat merapalkan bahasa asing dan menyuruh udara kosong untuk masuk ke dalam suatu rumah.

Intipannya hanya ia lakukan selama sepersekian detik, begitupun dengan aksi mengupingnya. Maka dari itu, pria yang selalu tidak sengaja menyadari sang wanita berkeliaran di malam hari tidak menegurnya.

"Mengapa tidak Anda tegur?" tanya Karoline. "Itu malah lebih aneh."

"Iya, saya tahu," ucap Stephan seraya menggaruk tengkuknya yang tidak kelihatan gatal. "Beri saya waktu untuk menjelaskan karena saya tidak memiliki bakat dalam penjelasan hal."

"Anda mengikuti saya ketika saya sedang menguntit para penduduk. Aksi menguntit bukanlah hal yang baik, saya dapat akui itu. Jadi, sebagai seorang calon kepala gereja, seharusnya Anda bisa menegur saya."

Stephan mengangguk. "Saya tahu, tetapi Anda selalu bergumam kepada diri sendiri. Gumaman ini cukup mudah didengar oleh saya dan lumayan mengalihkan fokus. Beberapa kali, Anda memanggil sebuah nama yang tidak lagi harum di sekitar desa."

Fräu Andria Vogel; nama yang selalu disebut-sebut oleh sang wanita bertudung lusuh. Sesekali, saat aksi menguntitnya, dia memanggil nama tersebut untuk meminta bantuan mencaritahu apakah pemilik rumah yang tengah ia kuntit merupakan apa yang ia cari.

Setelah beberapa jam menguntit beberapa rumah, sang wanita biasanya akan diam-diam kembali ke kediamannya yang ada di dalam hutan.

"Apakah Anda juga mengintip saya?" tanya Karoline.

"Tidak," jawab Stephan. "Saya hanya menguping."

"Itu juga bukan perilaku yang berpahala. Saya tidak paham mengapa Anda membiarkan saya melakukan hal-hal itu dan malah mengikuti jejak-jejak saya."

"Sejujurnya, saya juga tidak paham," ucap Stephan. "Awalnya, saya memperhatikan Anda yang sedang melakukan hal-hal seperti itu karena saya ingin mengumpulkan banyak bahan argumen."

Akan tetapi, sang pria menemukan bahan lain yang terngiang-ngiang dalam benak; berputar bagai piringan yang terbuat dari selembar kertas yang tertiup angin tanpa henti.

Malam itu, Stephan mendengar percakapan sang wanita yang kedengarannya hanya satu arah; seolah orang yang berbicara sendiri. Banyak dari percakapan-percakapannya menanyakan perihal ciri-ciri yang cocok dengan apa yang sedang dicarinya; Volgelingen.

Beberapa nama disebut, keluar dari mulut sang wanita seolah air terjun yang mengalir dengan santai.

"Awalnya, saya pikir Anda cukup kehilangan akal," Stephan mengedikkan bahi, "setidaknya, sampai Anda seolah mengulang suatu kalimat dari Fräu Andria Vogel yang tidak bisa saya dengar."

Ketika bebatuan suci dengan wajah menawannya hancur berkeping-keping, seorang muda akan mendengar ketukan pemanggilan atma.

Dua hari setelah Stephan menguping Karoline di kediamannya, ketika ia tengah menyapu bersih altar gereja, telinganya menangkap bunyi batu bergeser.

"Patung Bunda Maria yang ada di samping altar jatuh begitu saja, padahal tidak ada yang menyenggolnya sama sekali," Stephan menghela napas, "dan kemudian, sebuah ketukan dari pintu gereja terdengar."

Seorang wanita bertudung lusuh menyembulkan kepalanya, pandangannya tertuju ke arah altar.  Dia membelalak ketika mendapati kepingan-kepingan patung Bunda Maria tergeletak di atas karpet merah.

Wanita itu berlari mendekati altar, bertanya kepada sang pria, "Apakah Anda membutuhkan bantuan?"

Tanpa menunggu jawaban sang pria, wanita tersebut menarik jubahnya ke depan dan menyimpan keping demi keping di atasnya untuk dibereskan.

"Itu adalah kali pertamanya Anda berinteraksi dengan saya, Fräu Emilia."

"Apa hubungannya ini dengan Anda yang mempercayai ramalan Galm tertua?"

Stephan tertawa ringan. "Ramalan Galm tertua memiliki potensi yang tinggi untuk terjadi mengingat Echo merupakan hal yang nyata. Beliau mendapatkan penglihatan bukan dari bualan, melainkan kemampuannya sebagai seorang Galm."

"Anda mempercayai penduduk desa masih memiliki Echo?" tanya Karoline.

"Anda memiliki Echo." Stephen mengerjap. "Saya pernah mempelajari mengenai Echo para Galm dari buku tua peninggalan mereka, dan salah satu Echo mereka ialah mampu berinteraksi dengan alam seberang."

"Bisa saja saya memiliki penyakit khayal," tukas Karoline.

"Apabila demikian, Anda tidak akan dengan sengaja melebih-lebihkan apa yang dapat Anda lihat kepada penduduk desa agar terlihat rumit untuk diajak bicara," bantah Stephan.

Stephan menyampaikan bahwa ia mulai membaca buku-buku tua milik para Galm yang ditinggalkan oleh pendeta lama setelah ia menguping Karoline. Dalam buku-buku itu, ada banyak informasi mengenai kisah Galm, Echo, dan ramalan-ramalan yang pernah dipaparkan oleh seorang Galm.

Nama Andria Vogel sempat disebutkan beberapa kali dalam buku tua tersebut. Bahkan, sebagai orang yang memaparkan ramalan-ramalan tua itu kepada penduduk.

"Benarkah ia seorang penerawang?" tanya Stephan.

Karoline menggelengkan kepalanya. "Benar, tetapi Fräu Andria Vogel hanya menyampaikan ramalan-ramalan itu karena penerawangnya bukanlah seorang Prophet, melainkan seorang Nekromant."

Ketika pernyataan itu dilontarkan oleh Karoline, ia dan Stephan langsung beradu pandang. Stephan mengernyitkan dahi. "Pernahkah Fräu Vogel mengatakan siapa Nekromant yang melihat ramalan-ramalan itu?"

"Tidak," Karoline menggelengkan kepalanya, "dia juga tidak menggunakan kata melihat, melainkan mendapatkan ramalan."

Keheningan, untuk kali kesekian, kembali melingkupi ruangan. Kali ini, keheningan yang mengelilingi mereka dipenuhi dengan banyak lirikan dan tatapan kepada satu sama lain.

"Bisakah Nekromant mengirim pesan ke masa lalu?" tanya Stephan.

Karoline menggelengkan kepalanya pelan. "Saya tahu apa yang Anda pikirkan karena saya juga memikirkan hal yang sama; semua ramalan-ramalan itu berasal dari generasi kita, tepatnya dari seorang Nekromant.

"Sebagai seorang Nekromant yang---kemungkinan---terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa saya tidak tahu bagaimana caranya mengirim pesan ke sesama Nekromant.

"Tidakkah ini aneh? Seolah paradox waktu yang akan terus berputar."

Stephan mengembuskan napas sembari melempar senyum tipis kepada Karoline. "Menurut saya, ini menyenangkan. Anda bisa saja mampu berkomunikasi dengan masa lalu."

"Namun, untuk apa?" tanya Karoline.

"Benar," Stephan berjalan melewati Karoline untuk duduk di sofa yang ada di belakang sang wanita, "untuk apa Anda melakukan itu?"

"Tidak ada untungnya saya memberitahu masa lalu. Kalau mau, saya seharusnya menyebarkan berita soal Volgelingen ini kepada penduduk Desa Eichenberg yang sekarang."

Karoline ikut terduduk di samping Stephan. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara; keduanya terlihat asyik tenggelam dalam benak masing-masing.

"Herr Braun!" seru Karoline tiba-tiba. Suaranya yang terdengar cukup tinggi membuat Stephan terkesiap.

Pria itu mengelus dadanya guna menenangkan detak jantung yang tiba-tiba meningkat. "Kenapa, Fräu Emilia?"

Karoline memain-mainkan jemarinya. "Ciri-ciri Volgelingen yang pertama."

"Saya tidak ingat ciri-ciri Volgelingen. Apakah buruk?"

"Tidak, hanya saja ...." Karoline meremas ujung jubahnya dengan pelan.

Pertama,

Wanita itu mengembuskan napas panjang yang dibuang secara sekaligus. "Apa teori yang Anda miliki soal ramalan itu mengenai para Volgelingen?"

Stephan mengangguk.

"Teori apa mengenai Volgelingen, lebih tepatnya?" Karoline membenahi posisi duduknya agar mampu menghadapi Stephan yang terduduk di samping kiri.

Sang pendeta muda bersandar pada sandaran sofa sebelum menjawab, "Volgelingen adalah para Galm yang tamak akan kekuatan dan takhta. Menurutmu, mengapa mereka menunggu darah emas menginjakan kaki di Desa Eichenberg untuk melancarkan ketamakan mereka?

"Maka, bukankah masuk akal apabila para Volgelingen merupakan penguasa Echo dengan pemahaman menyimpang?"

Kerusuhan dan ketakutan merupakan apa yang ingin mereka sebarkan jauh-jauh waktu sebelum "perubahan" yang diyakini.

***

1.183 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top