9 - PORTO
Porto, Portugal.
"Karan, have you finished it?"
Pandangan Karan masih terfokus pada layar laptopnya, jari telunjuknya mengetuk pelan permukaan meja, sementara pikirannya berusaha mencari padanan kata untuk artikel yang sedang ditulisnya. Dia terlalu berkonsentrasi hingga pertanyaan Deniz—teman sekamarnya—dan juga keriuhan yang ada di sekelilingnya tidak dia gubris. Senyum di bibirnya mengembang begitu dia bisa mengganti struktur kalimat yang tidak efektif dan tidak mewakili apa yang ingin disampaikannya. Dengan penuh semangat, Karan mengarahkan kursor dan langsung menghapus tiga kalimat yang ditulisnya untuk buletin OPS, sebuah NGO tempatnya menjadi volunteer satu bulan terakhir.
Yakin serta merasa puas dengan susunan kalimatnya yang baru, Karan meregangkan lengan sebelum mengembuskan napas lega setelah hampir dua jam berusaha memenuhi deadline yang diberikan Maia, founder OPS, supaya dirinya menyerahkan draft pertama buletin untuk bulan Maret dua hari lagi. Akan dia endapkan tulisannya hingga esok sebelum mengoreksinya, memastikan tidak ada kesalahan penulisan, dan bisa mengecek tulisan yang Deniz tulis untuk dipasang di website OPS beserta foto-foto yang diambilnya selama training course yang mereka selenggarakan dua minggu lalu.
"Karan?"
Kali ini, dia menoleh dan melihat Deniz sudah memasukkan laptopnya ke dalam tas. Dari gelagatnya, Deniz sepertinya bersiap untuk pulang. Karan melirik jam tangannya dan keningnya mengerut, masih ada sekitar satu jam sebelum mereka bisa meninggalkan kantor.
"Kamu mau pulang sekarang?"
Deniz menatapnya seolah ingin mengatakan you-must-be-kidding-me sebelum mengerang pelan dan memutar kursinya—hal yang paling dibenci Karan. Setelah dua kali putaran, Deniz menggeser kursinya lebih dekat ke Karan meskipun tempat duduk mereka sudah cukup dekat dan bersebelahan. "We should get going! Ingat acara ulang tahun Martin?"
"Oh."
Karan tiba-tiba ingat dia mengiyakan ajakan Deniz untuk menemaninya ke acara ulang tahun Martin sekalipun dia tidak mengenal dan belum pernah bertemu dengannya. Mengiyakan ajakan Deniz daripada menolaknya jauh lebih menghemat waktu karena penolakan berarti argumen tanpa henti yang justru membuat kepala Karan pening. Rencananya mereka akan langsung pergi ke tempat Martin yang ada di Póvoa de Varzim dari kantor agar tidak perlu pulang ke Blue Door—sebutan bagi rumah yang ditinggalinya bersama lima volunteer lainnya karena pintu dan jendela-jendelanya memang bercat biru.
Karan sendiri tidak tahu letak pasti tempat yang mereka tuju karena dia belum banyak menelusuri Porto kecuali Livraria Lello dan pusat kota Porto. Cuaca yang masih sering mendung meski sudah memasuki musim semi membuat Karan malas meninggalkan kamar. Adaptasinya atas cuaca di kota terbesar kedua Portugal masih belum sepenuhnya berhasil. Dia masih sering melapisi pakaiannya meski kebanyakan orang yang dilihatnya santai-santai saja mengenakan kemeja lengan pendek tanpa jaket.
"Kamu sudah setuju untuk menemaniku ke sana."
Karan mengangguk, ekor matanya menatap mendung yang menggantung di luar jendela kantor. Cuaca yang berubah sewaktu-waktu membuat suasana hatinya juga tidak menentu. "Let me reply this one email from Jan, then we can go. Dia baru saja mengirimkan foto-foto tentang street art project yang mereka galakkan di Cagliari."
"Aku tunggu di bawah. I need to smoke first."
Karan menghadapi layar laptopnya setelah membalas ucapan Deniz dengan sebuah anggukan. Dibukanya surel dari Jan, salah satu partner OPS di Italia, dan meski sudah menulis artikel tentang street art project yang dilakukan Jan dan NGO-nya, Karan masih belum mendapatkan foto sebagai pendamping. Dengan cepat, dia mengetikkan terima kasih dan meminta beberapa informasi tambahan yang mungkin bisa dia tambahkan ke dalam tulisannya. Begitu ada notifikasi surelnya terkirim, Karan segera mematikan laptopnya.
Diedarkannya pandangannya ke seisi kantor yang masih sibuk. Enam meja diatur saling berhadapan—masing-masing tiga di setiap sisi kanan dan kiri dari pintu masuk—dan satu meja di ujung yang ditempati Xavi, salah satu teman serumahnya. Dari enam orang yang tinggal di Blue Door, selain dirinya, Deniz, dan Xavi, hanya Beril yang ada di ruangan ini. Jumlah volunteer yang hanya enam orang juga membuat ruangan ini terkesan sepi karena Angie dan Louie—dua orang penghuni Blue Door lainnya—ada di lantai atas, bersama dengan Maia dan staf tetap OPS.
Tidak ada jam kerja yang pasti, tiap volunteer bisa berangkat dan pulang kapan pun mereka mau, asalkan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepada mereka diselesaikan. Meski begitu, Karan biasa meninggalkan Blue Door pukul sembilan pagi dan pulang dari kantor lepas pukul lima. Dia terkadang bisa tinggal lebih lama jika sedang ingin ber-video call dengan Zola karena akses internet yang sangat cepat di kantor. Dilihatnya Xavi masih sibuk menekuni iMac yang memang disediakan khusus karena tugasnya yang berhubungan dengan desain grafis, sementara Beril sudah meninggalkan kantor setengah jam lalu.
Karan menarik napas dalam-dalam begitu laptopnya sudah mati. Setelah memasukkannya ke dalam tas, dia bangkit dari kursi dan merapikan meja Deniz yang selalu berantakan. Karan menatap Xavi. "Xavi, aku pulang dulu."
Xavi mendongak dan mengangguk. "See you at home, Karan!" balasnya sambil tersenyum.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Karan meninggalkan mejan. Dengan langkah pelan, dia keluar dari kantor dan menuruni tangga menuju ke lantai pertama yang sering digunakan sebagai tempat pameran. Jika sedang tidak ada acara, maka lantai satu ini lebih sering kosong. Disusurinya lorong menuju pintu utama yang sangat berat karena bangunan yang dialihfungsikan sebagai kantor ini sudah berdiri selama hampir seratus tahun. Begitu keluar dari pintu, dilihatnya Deniz bersandar ke tembok sementara asap rokok masih mengepul hebat.
"Shall we go now?" tanya Karan sambil memandang langit yang masih kelam. "Let's go, Deniz, before it starts to rain."
Setelah membuang puntung rokok dan menginjaknya dengan sepatu kets putihnya, Deniz lantas menghampiri Karan. "Xavi masih di atas?"
Karan mengangguk. "Apakah dia selalu begitu?" tanyanya begitu mereka berjalan meninggalkan bangunan yang menjadi kantornya sebulan terakhir.
"Maksudmu pulang paling akhir?"
"Aku nggak pernah lihat dia pulang lebih dulu."
"He takes his works seriously and I admire him for that."
"Kita naik metro yang mana?"
Sampai saat ini, Karan masih sering membawa peta metro di tasnya karena selain jalur yang diambilnya setiap hari dari Blue Door ke kantor, dia sama sekali belum hafal tujuan setiap jalurnya. A, B, C, D, E dan F, adalah enam jalur metro yang ada di Porto dan yang diambilnya dari Blue Door adalah jalur D atau dikenal dengan yellow line, sebelum turun di Trindade, kemudian menggantinya dengan jalur C, B, E, atau A untuk turun di Campo 24 Agosto. Jarak kantor dan stasiun yang tidak jauh, membuat Karan tidak bingung setelah tiga kali Deniz menemaninya. Namun untuk ke tempat lain, dia masih mengandalkan peta yang tidak berani diperlihatkannya jika sedang bersama Deniz atau dia akan mendapat cibiran tanpa henti.
"Kita naik red line," jawab Deniz, yang berarti jalur B.
"Kamu kenal Martin di mana?"
"Kami ketemu pas OPS ada acara di kampus. Dia membantu logistik kami di sana, dan sejak saat itu, jadi sering ketemu."
"Dan dia nyewa apartemen di Póvoa?"
Deniz mengedikkan bahu. "Dia tinggal bareng Egil, teman kakaknya. Egil offered the place since his rented apartment has two bedrooms. Kalau aku jadi Martin, aku tidak akan menolak tawaran seperti itu. Apartemen di depan pantai dan dia hanya membayar sepertiga dari uang sewa? That's a deal anyone will not refuse."
"Jadi tempat yang kita datangi deket pantai?" Ada kegembiraan yang tidak mampu disembunyikan Karan begitu mendengar satu kata yang sangat dirindukannya dari Bali.
"Kenapa kamu jadi bersemangat seperti itu?" tanya Deniz begitu mereka menuruin tangga stasiun. "Ah, kamu kangen pantai di Bali?"
Karan mengangguk. "I do."
Mereka melewati beberapa musisi jalanan yang saat pertama kali melihatnya, Karan tidak bisa melanjutkan langkah. Datang dari negara di mana musisi jalanan dianggap sebagai gangguan, Karan tidak bisa menyembunyikan keheranan melihat musisi jalanan di Porto sangat rapi dan bagus. Tidak jarang, dia merelakan koin dua Euro-nya jika apa yang dia saksikan benar-benar menyentuh hati. Semua hal baru yang dilihatnya benar-benar mengalihkan pikiran Karan dari apa yang memang ingin dia sisihkan.
"Karan, kamu baik-baik saja?"
Mereka sudah berdiri menunggu metro bersama dengan puluhan orang lainnya saat Deniz mengajukan pertanyaan yang tidak dipahami Karan.
"Of course, I'm fine! Why did you ask me that?" tanyanya curiga.
Karan tidak tahu alasan yang membuat Deniz rajin menanyakan kabarnya padahal mereka tidak hanya bertemu setiap hari, tapi juga berbagi kamar. Kecurigaan Karan sangat beralasan karena dia merasa sehat, sedikit merindukan Bali, tapi bahagia bisa ada di Porto.
"Aku perhatikan pandangan kamu sering ... kosong. Like your mind is million miles away. Aku tidak mau menanyakannya langsung karena tahu kamu pasti akan menjawab tidak ada apa-apa. Kalau memang ada yang ingin kamu ceritakan, aku siap mendengarkannya."
Perkataan Deniz membuat Karan terpaku karena tidak menyangka Deniz ternyata memperhatikannya dengan saksama.
Karan menelan ludah, tetapi dianggukkannya kepalanya. "Okay."
"Semua yang ada di Blue Door adalah keluarga, Karan. Mungkin kamu tidak bisa cerita ke semua orang, aku tahu, tapi jangan sampai kamu memendam semuanya sendiri, apalagi kamu yang datang paling jauh di antara kita."
"Aku akan ingat itu. Thanks."
"Let's go!"
Metro yang akan membawa mereka ke Póvoa berhenti tepat di hadapan mereka dan bersamaan dengan puluhan orang lainnya, Karan memasuki kendaran umum yang langsung dia sukai begitu pertama kali dia menaikinya. Ucapan Deniz seperti tenggelam oleh percakapan commuters dalam bahasa Portugis yang masih belum dipahaminya sama sekali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top