8 - A NIGHT TO REMEMBER

"What do you think?"

Hujan sudah berhenti lama, tapi angin bulan Desember yang sesekali berembus masih cukup membuat Karan menggigil. Menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal sofa yang membuatnya malas untuk beranjak, Karan berdeham pelan.

"I'm still thinking."

Ucapannya justru mendapatkan gelak dari Oscar yang menyelonjorkan kaki dengan santai. Diraihnya gelas air minum yang ada di meja dan ditandaskannya dengan sekali teguk. Dipandanginya Karan yang sedang menggigit bibir bawah tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop. Oscar tersenyum tipis melihat betapa seriusnya Karan berpikir. Ditekuknya kedua lutut kemudian Oscar menyandarkan dagu sementara jari telunjuk kanannya bermain di ujung gelas miliknya.

"Aku ragu pria seperti Rick ada di dunia nyata. Pria lain udah pasti nurutin ego dengan masukin Victor ke penjara supaya dia bisa bersama Ilsa," ujar Karan sambil meraih satu bantal yang segera dia peluk.

"I always love the ending. Karena Casablanca, aku tertarik belajar film. Aku enggak ingat udah berapa kali nonton film itu. Dan enggak pernah bosan." Oscar menutup kalimatnya dengan senyum lebar. "Kamu bisa enggak bersikap seperti Rick?"

Karan mengukur kepalanya. "I don't think I can."

"Kenapa?"

"Entahlah. Aku ingin bersama dengan orang yang aku cintai, tentu saja. Mungkin jawabanku akan berbeda dulu, tetapi setelah apa yang terjadi dengan Binar ... I don't think I can sacrifice my feeling anymore after knowing how it felt."

Oscar terdiam.

"It's a good movie, Oscar. Thank you for making sure I watched it 'til the very end."

Senyum puas Oscar terkembang. "Aku tepati janji, kan?"

Karan mengangguk. "Aku boleh minta minum lagi?" tanyanya sambil mengangkat gelasnya yang sudah kosong.

"Sure!" balas Oscar cepat lantas meraih gelas Karan. "Do you want some ice cream? Aku enggak bisa makan apa-apa after dinner atau bisa bersalah banget kalau lihat perut."

"Nggak usah, makasih, aku masih kenyang," tolak Karan.

"I'll be right back."

Begitu Oscar meninggalkan gazebo tempat mereka menghabiskan hampir dua jam menyaksikan film besutan Michael Curtiz tahun 1943—yang menurut Oscar memenangkan piala Oscar untuk kategori Film dan Naskah Terbaik—Karan mengembuskan napas keras.

Mata Karan memandang sekeliling. Jalan kecil yang terdiri dari batu-batu kecil putih di depan gazebo mengarah ke teras belakang bangunan utama rumah orang tua Oscar. Lampu-lampu kecil dengan cahaya temaram berderet setinggi pinggang di kedua sisi, menjadi batas antara kolam renang yang ada di sebelah kiri dan kamar Oscar di sebelah kanan. Kamarnya memang terpisah, bahkan ada akses masuk dari depan rumah tanpa harus melalui bangunan utama. Ayahnya yang memang seorang arsitek sengaja meletakkan kamar Oscar di luar bangunan utama atas permintaan putranya. Sebelum makan malam tadi, Oscar sempat menunjukkan bagian-bagian dari rumah yang menggabungkan arsitektur tradisional Bali dan minimalis, membuatnya bercanda tentang kamar yang disewanya hanya berukuran separuh dari ruang tamu.

Sejak menceritakan tentang Binar, Karan tidak memungkiri bertambahnya intensitas komunikasi mereka. Meski kebanyakan hanya melalui instant messaging—kecuali jika Oscar sampai di apartemennya lebih awal maka dia akan menelepon—Oscar banyak bercerita tentang masa kecilnya, tentang New York, alasan menyusul orang tuanya yang sudah lebih dulu tinggal di Bali—jenuh dengan New York dan persaingan yang sangat ketat untuk masuk ke dunia film—hingga awal mula dia terjun di dunia model. Karan pun berbagi cerita tentang pembaca-pembacanya, bagaimana dia mulai suka menulis-setelah pendakian pertamanya di Gunung Lawu sampai hal-hal yang dirindukannya dari Jogja. Sekalipun sosok Oscar James masih sering membuat Karan sedikit canggung, tetapi dia mulai bisa melihat sisi lain darinya yang mungkin tidak diketahui banyak orang.

'I will be in Bali in two days. An urgent getaway. Jakarta is driving me insane!' adalah pesan Oscar tiga hari lalu saat Karan baru saja berjalan dari loker menuju lobi sebelum memulai night shift-nya. Oscar mengundangnya makan malam di rumah-sekaligus menggunakan alasan moviecation setelah mereka memutuskan bertemu di Batu Belig untuk menyaksikan matahari terbenam. Keraguan Karan untuk menerima undangan makan malam itu dipatahkan dengan mudah oleh Oscar. Kegugupannya jelas tidak berusaha dia sembunyikan, tetapi Oscar malah tertawa. Acara makan malam mereka berlangsung sangat santai—Oscar dengan sengaja mengungkapkan kegugupannya di hadapan kedua orang tuanya!—dan Karan harus mengakui masakan Ibu Oscar memang enak.

Secara fisik, Oscar mewarisi gen ayahnya, terutama tinggi badan dan tulang muka. Sulit bagi Karan untuk menyangkal kedekatan pria yang dikenalnya hampir enam bulan lalu dengan ibunya. Tatapan serta ucapan-ucapannya sangat menggambarkan rasa sayangnya. Ibu Oscar memasak soto ayam, tempe goreng, dan Karan berkali-kali menggeleng heran melihat nafsu makan Oscar yang duduk di sebelahnya. Selalu ada percakapan di meja makan, dan Karan selalu dilibatkan dalam setiap topik. Begitu makan malam usai, orang tua Karan langsung ke ruang keluarga yang ada di lantai dua, sementara dirinya dan Oscar menuju ke gazebo. Oscar memang tidak menunjukkan kamarnya dengan alasan berantakan, yang ditanggapi Karan dengan sebuah anggukan.

Karan terlalu tenggelam dalam lamunannya hingga tidak sadar ketika Oscar sudah berdiri di hadapannya. Dehaman Oscar membuatnya terperanjat hingga tawa pria itu langsung pecah. Alih-alih membawa gelas berisi air, Oscar membawa satu botol minum kaca, dua gelas, dan dua buku yang langsung dijatuhkannya ke atas meja agar dia lebih leluasa meletakkan gelas dan botol yang dipegangnya.

"Maaf, lama. I had to take a call from Pipit, she's my ... manager, kind of."

Karan mengerutkan kening. "Kind of?"

Oscar tertawa. "Aku bukan big artist, Karan. It's easier having someone to deal with things I don't know and there are many. Aku juga enggak tahu how they work here." Dia kemudian duduk bersila dan meraih buku yang ada di atas meja. "Dan kamu harus autograph buku-buku ini," pintanya sambil mengulurkan buku-buku yang tadi dipegangnya ke Karan.

"Kamu udah baca semuanya?"

Oscar menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Udah dong. Hello Goodbye is still my favorite."

Karan menelengkan kepalanya sebelum berujar, "Buku itu masih banyak kurangnya."

"But it's an honest book. At least, that's what I feel when reading it."

Karan menelan ludah. "Maybe because it's ... personal."

"I can see that," balas Oscar singkat.

Begitu kedua buku yang diterbitkannya dua tahun terakhir ada di tangannya, Karan membuka halaman pertama Satu Pagi Di Bulan Juni dan membubuhkan tanda tangannya. Tidak banyak yang Karan tuliskan di sana, hanya tanda tangan, nama penanya, serta nomor penerbangan yang mempertemukannya dengan Oscar—yang merupakan ide Oscar saat dia meminta tanda tangan untuk Hello Goodbye setelah malam di Batu Belig.

Benarkah sudah enam bulan aku ketemu Oscar? tanya Karan dalam hati, sepertinya baru kemarin.

Oscar memperhatikan Karan yang tangannya masih memegang buku, tetapi pandangannya terlihat kosong sebelum dia menutupnya dan meletakkannya kembali di atas meja.

"Karan, kamu baik-baik aja? You look a little lost for a moment there."

"Aku baik-baik aja." Karan mengukur tengkuknya pelan tanpa menyadari Oscar sudah menggeser tubuhnya lebih dekat.

"Karan, look at me."

Karan mengangkat wajah, menatap Oscar yang terlihat begitu berbeda dari foto-foto atau pun tampilan profesionalnya. Mengenakan kaus abu-abu tanpa lengan, jogging pants hitam, serta rambutnya yang berantakan, Oscar terlihat begitu biasa, tetapi tidak mengurangi ketampanannya.

"Ya?"

"Aku enggak bagus dengan kata-kata," Oscar menunduk sesaat sebelum kembali menatap Karan, "tapi aku harus bilang." Dia kemudian menarik napas panjang sebelum berucap, "I like you, Karan. And it'll be nice to be coming home to Bali, not only to my parents, but ... to you, as well."

Karan diam.

Tubuhnya seperti terkena setrum yang membuatnya kebas selama beberapa saat. Terlalu kaget untuk menyadari sesuatu. Rasa sukanya kepada Oscar selama ini hanya menjadi konsumsi pribadi karena Karan sadar, ada jurang yang begitu lebar antara dirinya dan Oscar. Apa yang telah diperbuat pria yang sedang mengamatinya sekarang—terutama kegigihannya untuk mengubah pandangan Karan tentang film—sempat membuat Karan memikirkan kemungkinan Oscar tertarik kepadanya. Sesuatu yang dia tertawakan karena saking absurdnya.

Jika ada satu yang dia yakini, perasaannya hanya akan menjadi sebuah angan-angan indah yang tidak pernah berbalas. Namun apa yang baru dia dengar memutarbalikkan semua keyakinannya. Karan tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.

"Okay."

Oscar tertawa kecil sambil menaikkan alis, menunjukkan wajah komikal yang beberapa kali diperlihatkannya di hadapan Karan. "Cuma ... okay?"

Karan berusaha mengendalikan rasa gugup serta bingung yang menjalarinya agar Oscar tidak memperhatikannya. "Aku nggak tahu harus bilang apa."

"Apakah kamu kaget? Atau sedih?"

Kening Karan langsung mengerut begitu Oscar menyebutkan kata terakhir. Tidak ada yang menyedihkan dari pengakuan Oscar, tetapi kaget terdengar terlalu sederhana untuk menggambarkan perasaan Karan. Ada yang jauh lebih rumit dari sekadar terkejut.

"Aku enggak pernah suka ini, Karan. The silence after a confession."

Karan hanya mampu menelan ludah.

"Aku enggak bermaksud bikin kamu kaget, tapi aku enggak bisa terus pretending. It just happened and I have no control over it. Do you realize how easy it is to be around you? Aku jarang bisa click dengan orang cukup cepat, tapi dengan kamu, it just comes naturally." Oscar kemudian mengeluarkan tawa kecil. "Kamu yang enggak suka film malah bikin things easier, enggak tahu kenapa. Have you ever felt that?"

Karan menggeleng. "I can't remember."

"Look, I'm not proposing anything, Karan, if that's what you have in mind. Aku cuma say what I feel dan kalau kamu enggak feel the same, then anggep aja ini enggak pernah terjadi."

Karan masih menatap Oscar. Jika sebelumnya dia hanya membalas setiap ucapan Oscar dengan singkat, kali ini dia benar-benar blank. Namun Karan sadar dirinya harus mengucapkan sesuatu sebelum Oscar menjadi salah paham dengan setiap balasannya.

"Oscar, aku akan bohong kalau bilang nggak ada ketertarikan sedikit pun ke kamu. You're attractive, yes. But the more I know about you, the more I like you as a person. Tapi ada banyak hal yang harus aku tanyakan ke diri sendiri."

"What kind of question?"

"Oscar, we live in two different worlds. Aku nggak yakin gimana harus menghubungkannya."

"Apakah ini karena pekerjaanku?"

Karan menelan ludah. Jika Oscar bukanlah publik figur, Karan yakin kerumitan yang dipikirkannya mungkin tidak akan ada. Namun, Oscar bukanlah pria biasa. Baru kali ini Karan menyadari sebuah profesi bisa membuat hal yang seharusnya sederhana menjadi pelik.

"Where will we stand, Oscar? Kamu tahu bagaimana orang Indonesia nganggep homoseksualitas dan kamu ... you just started your career. Karir kamu bisa berantakan kalau ini sampai ke media. Think about your admirers, the opportunities you might lose if they knew ...."

Mereka saling bertatapan hingga Oscar memecahnya dengan sebuah senyum lebar. Karan mengerutkan keningnya, heran, menyadari tidak ada satu pun kalimatnya yang pantas diberikan senyum.

"Kenapa kamu malah senyum? Ini seri—"

Oscar mengangguk cepat, tidak membiarkan Karan kesempatan menyelesaikan kalimatnya. "It came to my mind that you might have said something like that."

"Seperti apa?"

"What you just have said. Tentang profesiku, karirku, dan using it as your excuse. Pas kita di Milk & Madu, kalau enggak ada yang minta foto, will you still know about me?"

Karan mengangguk. "Aku tahu tentang kamu pas kita ketemu di pantai sore itu."

Oscar tersenyum. "Sneaky!" serunya. "Tapi kamu enggak sama, Karan. What I admire and like the most about you is the choice you made about your writing. Orang lain akan give up atau nulis cerita yang popular so they'll get published, supaya naskah mereka diterima, tapi kamu stand up for your idealism, dan kamu pilih tema di negara yang perceive homosexuality as disease, sin, or whatever. It takes courage to do all that, Karan, dan enggak semua orang brave enough."

Pikiran dan hatinya masih saling berebut tempat, hingga mulutnya masih terkunci cukup rapat.

"Karan, jadi public figure itu efek dari pekerjaan, tapi, aku juga have my own life that I want to keep private, away from public. Kamu benar, aku enggak bisa kenalkan kamu ke semua orang selain sebagai teman, tapi my family and close friends will know about you as more than a friend, and to me, that's enough."

"Oscar, I just," Karan menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya, "need time to process all of this. It overwhelms me at the moment."

Oscar mencondongkan tubuhnya, melipat kedua lengannya di atas meja, tatapannya hanya terfokus ke Karan. "I will give you time. Kita enggak perlu cepat-cepat, tapi kamu udah tahu about how I feel. Kalau memang belum siap, aku ngerti." Tanpa ragu, Oscar kemudian mengulurkan lengannya, meraih tangan Karan yang masih bertumpu pada bantal sofa. "Satu yang aku mau, don't ever see me as Oscar James the public figure. See me as Oscar Andrew James, the guy who is holding your hands right now, who's wearing this old t-shirt and lousy jogging pants. Just a guy. Can you do that?"

Karan masih diam.

"Mungkin enggak mudah, but please try. Okay?"

Karan merasakan jemarinya diremas dengan lembut, membuat keringat di punggungnya mengalir deras. Matanya masih belum beranjak dari Oscar yang memandangnya dengan serius-sesuatu yang belum pernah dilihat Karan di foto atau wawancara Oscar mana pun. Saat Oscar menelengkan kepala-seperti menunggu jawaban-Karan mengembuskan napas pelan. Karan akhirnya mengangguk setelah senyum Oscar membuatnya yakin akan jawabannya.

"I'll try."

"Thank you, that's all I need to hear," balas Oscar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top