7 - LANGIT BIRU

Begitu masuk area Pura Petitenget, Karan segera mencari tempat kosong untuk parkir. Tempat parkir di dekat Pura Petitenget ini memang luas dan selalu ramai. Begitu mendapatkannya, Karan melepas jaket sebelum turun dan langsung berjalan menuju jembatan kayu. Meski tidak sepenuhnya yakin, Karan melangkah menuju sosok yang sedang menekuri ponselnya tepat di tengah jembatan. Jantungnya berdegup kencang begitu langkahnya semakin mendekat. Belum sempat kakinya menyentuh jembatan kayu, pria itu menoleh. Karan tersenyum menyadari pria yang dilihatnya memang Oscar.

"Karan."

"Aku harap kamu nggak nunggu lama."

Oscar menggeleng. "Aku baru sampai sepuluh menit lalu."

"Apa kabar?"

"I'm great! You look nice, Karan."

Karan hanya tersenyum simpul menanggapi kalimat Oscar. "Thank you. You don't look bad yourself."

Oscar mengenakan kemeja denim lengan panjang biru yang digulung hingga ke siku, celana pendek hitam, dan sandal jepit. Tampilan Oscar benar-benar sangat biasa hingga orang-orang melewatinya begitu saja tanpa sadar siapa Oscar. Karan bahkan sempat menunduk ketika menyadari dua kancing kemeja Oscar sengaja dibuka dan wajahnya bersih dari rambut-rambut tipis. Oscar tampak lebih segar dan ... menarik seperti biasanya. Karan sendiri mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak hijau putih dan celana jin biru tua.

"Kamu mau duduk di mana?"

"Do you mind if we take a walk? Mungkin ke arah sana," tunjuk Oscar ke sisi kanan jembatan.

"Okay," balas Karan sambil melepaskan sandal dan menentengnya di tangan kanan.

"Hotel ramai?"

Karan mengedikkan bahu. "Nggak terlalu. Kamu sendiri? Sibuk pastinya."

"Biasa saja," jawab Oscar sambil memberikan cengirannya.

"Tumben cuma sehari di Bali."

Oscar mengerang pelan. "I know. I wish I could stay longer."

"Ke Bali cuma buat pemotretan aja? Di mana kalau aku boleh tahu?"

Oscar mengangguk. "Aku lupa namanya, it's in south and starts with P."

"Pecatu?" tebak Karan.

"Yes!" tukas Oscar penuh semangat. "That's the place."

"Jauh dong kalau dari sini."

"Iya, nanti aku ke Jimbaran karena udah booking hotel di sana. I'm helping a friend, actually. Dia mau buka butik di Bali dan I love her designs even before I moved to Indonesia. Ayo kalau kamu mau lihat."

"Lihat kamu pemotretan?"

Oscar mengangguk. "Iya."

"Aku nggak mau ganggu. I have few things to do tomorrow," tukas Karan cepat. Sebenarnya tidak ada yang harus dilakukannya besok, tapi Karan tidak ingin egonya berlonjak kegirangan jika dia mengiyakan ajakan Oscar.

"Why didn't you tell me?"

Oscar menghentikan langkah ketika mereka baru saja melewati Alila sebelum pria itu menatapnya.

Karan membalas tatapan Oscar penuh tanya. "Cerita tentang apa?"

Oscar mengangkat telunjuknya, meminta Karan menunggu sebentar. Dia kemudian meraih sesuatu dari messenger bag-nya. "Ini," ucap Oscar sambil mengangkat satu buku di hadapan Karan.

Napas Karan tertahan begitu mengetahui buku apa yang dipegang Oscar. Dia menelan ludah sebelum menundukkan wajah. Meski ingin tersenyum lebar, Karan memutuskan untuk mengulumnya.

"So?"

Ketika Karan kembali mengangkat wajah, dia melihat Oscar masih menunggu jawabannya. "Dari mana kamu dapet buku itu?"

"Sekarang aku tahu kenapa you love reading so much. Aku harus panggil kamu Karan atau Langit? Langit Biru is a nice pseudonym, by the way." Oscar memasukkan kembali buku yang sempat dipegangnya dibarengi senyum puas yang terpasang di wajahnya.

"Hanya pembaca-pembacaku yang manggil Langit."

"But I am you reader, Karan. Jadi aku bisa panggil Langit, kan?"

Karan mengeluarkan tawa kecil. "Terserah kamu."

"Aku baru tahu Langit Biru juga dari akun kamu di Instagram. When you liked my post a few days after our lunch in Milk & Madu, aku penasaran dong. When I found out it was you, I was thinking of confronting you right away, but then I decided to wait. Setelah tahu kamu punya buku, I ordered them. Aku belum baca semua, baru buku ini yang selesai. You're such a good writer, Karan! And you have more than ten thousands followers on Wattpad!"

Karan meringis mendengar Oscar mengungkapkan jati dirinya yang lain. Teman-teman di kehidupan nyatanya tidak banyak yang tahu profesi Karan sebagai penulis—kecuali Zola yang tidak pernah membaca satu pun ceritanya—dan Karan memang tidak berniat untuk memberitahu semua orang. "Aku bukan penulis besar, Oscar. Cuma penulis independen."

"Independent or not, you're still a writer and you've published three books! Aku suka kamu enggak menerbitkan buku kamu di penerbit besar."

Karan menarik napas dalam. Selama ini, tidak pernah ada yang mengungkit perkara tulisannya, apalagi tentang buku-bukunya yang diterbitkan secara independen. "Sayangnya, aku nggak milih, tapi memang itu satu-satunya cara."

Tatapan Oscar ke Karan dibarengi kerutan di keningnya. "What do you mean the only way?"

"Kamu harusnya tahu kenapa jika memang udah selesai baca buku itu."

"To be honest, I don't."

Karan mendesah pelan. Penjelasan tentang ini tidak pernah mudah bagi Karan. "Semua bukuku bertema homoseksualitas. Kalau kamu baca blurb buku-bukuku dan profilku di Wattpad, kamu pasti tahu aku cuma menulis buku bertema homoseksual. Di Indonesia yang masih menganggap homoseksualitas sebagai dosa, bahkan penyakit yang bisa disembuhkan, pasar untuk buku seperti punyaku nggak banyak. I tried sending my scripts few times but the only thing I got was rejection letters. Satu-satunya cara aku tetap bisa nerbitin buku adalah lewat jalur independen, paling nggak, yang beli buku-bukuku memang ingin baca tulisanku."

"I see. Aku enggak tahu homophobia juga sampai ke literature."

"Welcome to Indonesia," balas Karan dengan sarkasme yang tidak berusaha disembunyikannya.

"Udah coba tulis dengan tema lain?"

"I have. Tapi ada yang hilang setiap kali nyoba nulis dengan genre yang berbeda. It's just ... I don't know, I didn't feel like myself when I write other than gay fiction. My heart's not in it."

"I like your idealism," ujar Oscar sambil tersenyum.

"Maybe I am, at least when it comes to my writing."

"Aku suka banget karakter Kevin. I see a bit of myself in him."

Karan tertegun. Kevin adalah karakter dari salah satu cerita pendek yang ada dalam Hello Goodbye—buku yang tadi dipegang Oscar. Pandangannya masih belum beralih dari Oscar. Dia kemudian tertawa dan menggelengkan kepala. "What a funny joke."

"Joke yang mana? Tentang Kevin?"

"Iya."

"It's not a joke, Karan. I'm serious."

"Kenapa?" Jantung Karan kembali berdegup lebih kencang setelah mengajukan pertanyaan itu.

Oscar mengedikkan bahu. "There's just something about him that spoke to me. Mungkin his view tentang beberapa hal is similar to me. Aku suka karakter dia. So strong. I told you, aku enggak suka baca, apalagi cerita romantis. Cerita-cerita ... bukan cuma tentang cinta, Karan, tapi how to survive being your own self, dan juga about choicec meski kamu masih pakai romantisme sebagai base."

Karan hanya bisa menelan ludah, kehilangan kata-kata untuk diucapkan ke Oscar.

"Komentar-komentar dari your reader ... aku setuju banget. You're good, Karan."

Berbagai komentar atas cerita-ceritanya adalah satu dari alasan kenapa dia tetap menulis. Namun baru kali ini Karan merasa dirinya tidak pantas mendapatkan pujian dari Oscar, terutama tentang Kevin. Apakah fakta bahwa pujian itu diberikan oleh Oscar James membuatnya berbeda? Karan merasa tidak bisa menemukan alasan lain.

"Kok diam?"

Karan menelan ludah. "It surprised me, that's all."

"C'mon now. Don't sell yourself short."

Karan berhenti ketika mereka hampir mencapai Batu Belig. Tidak banyak lampu yang mencapai sisi pantai ini, hingga keadannya sedikit gelap. Meski begitu, Karan masih bisa mengamati sosok Oscar dengan jelas, termasuk rambutnya yang berantakan terkena angin.

"Karan is gone every time I write. Aku jadi ... orang lain dan aku ngerasa bebas."

"Jadi itu terapi kamu?"

"I think so."

Oscar kemudian menyejajari Karan, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana sementara pecahan ombak terakhir dibiarkannya membasahi kaki dan ujung celananya. "Kamu mau tahu apa terapiku?"

Karan memalingkan wajahnya dan tatapan mereka bertemu. "Pasti terapi yang mahal."

Oscar tergelak. "Only for skydiving," jawabnya. "Yang lain, seperti naik motor or simply camp somewhere will be enough. Sekarang yang bisa cuma naik motor dan sky diving."

Berdiri di samping pria yang digilai banyak orang, ada yang menggelitik Karan. Dipandanginya Oscar yang memandang gelapnya lautan di depan mereka.

Apa yang akan dilakukan groupies kamu jika mereka ada di sini sekarang?

Tidak ada suara lain yang menyelinap di antara mereka selain suara ombak, angin, dan beberapa percakapan yang terdengar samar di telinga Karan.

"Boleh aku tanya sesuatu, Karan?" tanya Oscar tanpa mengalihkan pandangannya.

Karan mengangguk, tapi kemudian menyadari Oscar mungkin tidak melihatnya, Karan membalasnya. "Mau tanya apa?"

"I read about your author note at the end of the book."

Karan langsung menyadari apa yang akan diucapkan Oscar, tapi dia tetap diam.

"Forgive me for asking, kamu boleh enggak jawab kalau memang too personal. You dedicated that book for Binar. Is he your partner?"

Sejak kepindahannya ke Bali, tidak pernah ada orang yang menyebutkan nama Binar di hadapan Karan. Zola bahkan tidak tahu siapa pria yang disebutkan Oscar. Jawaban yang diberikan Karan setiap kali pembacanya bertanya tentang identitas Binar, Karan hanya menjawabnya dengan sebutan partner. Sering, jawabannya memuaskan mereka, tetapi tidak jarang justru membuat pembacanya semakin penasaran. Jika sudah seperti itu, Karan mengabaikannya.

Mendengar Oscar mengucapkan nama Binar benar-benar tidak diduga Karan. Dia tidak siap, tapi sudah begitu lama Karan menyimpan nama yang pernah begitu berarti baginya seorang diri.

"He was."

Oscar masih menunggu Karan melanjutkan kalimatnya, karenanya dia tetap diam.

"Dia meninggal saat pendakian di Gunung Semeru lebih dari empat tahun lalu. Keputusanku untuk pergi dari Jogja dan pindah ke Bali karena aku nggak bisa tetap di sana. Terlalu banyak kenangan. Mungkin kalau saat itu aku ikut Binar mendaki, dia mungkin masih hidup. Aku—" Karan menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. "Mengalihkan cintaku pada laut dan matahari terbenam. Sunrise and mountains always remind me of him."

Tanpa sadar Karan mengangkat lengannya untuk mengusap matanya yang mulai basah. Tidak akan dibiarkannya dirinya menangis di hadapan Oscar. Dia menelan ludah, berusaha menetralkan emosinya.

"I still miss him sometimes."

Karan merasakan remasan lembut di pundaknya, dan ketika dia memalingkan wajah, Oscar hanya memberinya senyum tipis.

"Sudah lama aku nggak cerita tentang Binar. I'm sorry if my emotions got the best of me."

"Enggak perlu minta maaf, Karan."

Karan menarik napas panjang sebelum menyunggingkan senyum tipis yang tidak ditujukannya ke siapa pun. "Semoga jawaban itu cukup."

"Aku harus minta maaf karena enggak bisa tahan diri. If I had known ... I wouldn't have asked. I'm sorry."

"Aku juga nggak akan cerita kalau kamu nggak nanya." Karan menatap Oscar.

"I'm sorry."

Karan mengangguk kemudian merasakan kembali remasan di pundaknya. "Life must go on, right?"

"Yes."

Mereka terdiam. Sesekali, Karan menundukkan wajah dan memainkan pasir di kakinya, sedangkan Oscar beberapa kali menarik napas dalam, pandangannya jauh ke samudra luas di hadapannya.

"Kamu mau balik sekarang? We can stop by somewhere. Mungkin beli minum?"

"Kamu bukannya harus bangun pagi besok?"

Oscar tersenyum. "Aku biasa tidur beberapa jam, Karan. Let's walk back and tell me more about your writing. Or you can tell me about Some Like It Hot!"

Karan tidak mampu menahan tawa kecilnya sebelum dia mengangguk dan keduanya pun berjalan menjauhi bibir pantai, menuju tempat mereka bertemu tadi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top