4 - CLOSING CEREMONY


"KarJooo!!! Lo keliatan kereeen bangeeet!"

Seruan Zola saat Karan baru saja turun dari motor sempat membuatnya menggeleng bingung. Dihampirinya Zola yang sedang bersandar di pintu, mengepit clutch berwarna senada dengan terusan hitam selutut yang membuat tubuhnya tidak terlihat terlalu bongsor.

"You look lovely, Zo."

"Gue sama sekali nggak nyesel ngajak lo malam ini. Kapan lagi gue bisa liat lo tampil kayak gini?" Dengan tangannya, Zola merapikan kerah kemeja biru langit dan menyapu pelan lapel blazer biru tua yang dikenakan Karan. "Gue nggak tahu lo punya blazer."

Karan menanggapinya dengan kedikan bahu. "Jarang dipakai karena memang nggak pernah ada acara yang cocok."

"Next time, kalau gue ada acara kayak begini lagi, gue nggak usah bingung mau ngajak siapa."

"Don't push your luck and count on my willingness, lady."

"Lo mau minum dulu? Gue udah mesen taksi, paling bentar lagi juga dateng."

Karan menggeleng. "Nggak usah, nanti beser." Memasukkan tangannya ke saku celana, Karan menyandarkan punggungnya ke daun pintu. "Kamu masih belum mau ngasih tahu ini acara apa, bahkan setelah kita mau berangkat?" Sejak mendapat ajakan Zola dua minggu lalu agar dirinya tampil serapi mungkin, Karan masih belum tahu ke mana dan acara seperti apa yang akan didatanginya. Pertanyaannya selalu dijawab ala kadarnya oleh Zola hingga Karan akhirnya capek untuk bertanya. Namun melihat tampilan Zola, Karan yakin acara yang akan mereka hadiri pasti membuatnya tidak betah berlama-lama.

"Yang pasti, lo bakal suka deh. Gue jamin."

"Kamu tahu aku nggak suka pergi ke party, Zo."

Zola menatap Karan sambil menyilangkan lengan. "This isn't a party, KarJo."

"Lalu apa?"

Zola mendengus. "Lo tuh, ya? Nggak sabaran banget."

"Rasanya aku udah cukup sabar buat nggak ngajuin pertanyaan yang sama selama dua minggu ini."

"Fine!" tegas Zola. "Gue dapet undangan closing ceremony Festival Maya."

"Festival Maya?"

"Iya, festival film gitu."

Tanpa sadar, Karan langsung menggigit bibir bawahnya mendengar penjelasan Zola. Pertemuan tidak sengajanya dengan Oscar lebih dari sebulan lalu di dua tempat yang berbeda dan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, membuat Karan tidak pernah absen mengecek akun Instagram OJams_84 setiap hari. Sudah dua hari ini Karan mengetahui Oscar ada di Bali, dan dalam salah satu unggahannya, dia menyebutkan tentang Festival Maya. Mengetahui dirinya akan berada di malam penutupan festival membuat Karan sulit mengendalikan kegugupannya.

Jangan konyol dan kepedean, Karan. Belum tentu juga kamu ketemu Oscar di sana. Kendalikan diri kamu.

"Lo kok malah ngelamun?"

Menyadari ada Zola di sampingnya, Karan bergegas tersenyum agar terhindar dari tatapan menyelidik sahabatnya. "Nothing. Tiba-tiba inget sesuatu tentang kerjaan."

"Gue yakin, ini nih yang bikin lo masih jomblo."

"Apa hubungannya kerjaan dengan statusku yang masih sendiri?"

"Banyak!" Zola merapikan rambut keriting lebatnya yang dibiarkan tergerai. "Sejak gue kenal lo, KarJo, belum pernah gue liat lo pacaran atau cerita ke gue lo lagi naksir siapa. Nada!"

"Memang belum ada yang ditaksir, terus apa yang mau diceritain?"

Zola berdecak. "Karan Johandi, kadang gue kepikiran buat set up blind date buat lo. Coba bilang ke gue, cowok macem apa yang lo mau? Lo doyan bule? Orang mana? Italia, Prancis, Inggris, Australia, Amerika? Atau lo lebih suka lokal? Atau lo lebih klop dengan cowok campuran? Coba kasih tahu gue. Lo tahu gue punya banyak kenalan."

Karan membelalakkan mata tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Sejak mengenal Zola, dirinya memang belum pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun. Pria-pria yang ditaksirnya tidak cukup penting untuk diceritakan ke Zola. Terlebih lagi, Karan tidak tahu bagaimana memulai lagi sebuah hubungan setelah Binar. Memang sudah empat tahun, tetapi ....

"Jadi?"

Dipandanginya Zola yang sedang menunggu reaksinya atas tawaran yang terdengar asal dan absurd. Tidak banyak yang berubah dari Zola sejak perkenalan mereka tiga tahun lalu. Yang berubah hanyalah bingkai kacamata yang selalu digantinya enam bulan sekali dengan alasan bosan. Mewarisi tubuh bongsor ayahnya, badan yang cukup tinggi serta rambut keriting lebat membuat sosok Zola terlihat mengintimidasi untuk ukuran wanita. Namun yang disukai Karan adalah Zola tidak tergoda atau terobsesi dengan gambaran sempurna wanita. Meski berkali-kali mengatakan dirinya tidak cantik, Karan selalu mengatakan sebaliknya. Pun statusnya yang masih sendiri tidak bisa Karan pahami. Karan tahu ada beberapa pria yang mendekati Zola, tetapi setiap kali dia bertanya kenapa status pria-pria itu tidak berubah menjadi pacar, dalih yang diberikan Zola adalah belum adanya kecocokan.

"Not interested. Sorry, Zo."

"Gue rela lembur buat nyari dan nyeleksi cowok buat lo, KarJo, dan lo bilang nggak tertarik?" Zola kembali berdecak. "Gue kurang baik apa coba sebagai sahabat lo?"

Belum sempat Karan menanggapi ucapan Zola, terdengar bunyi klakson yang memberitahu bahwa pesanan taksi mereka sudah datang.

"Yuk!" ajak Karan.

***

Karan sempat tertegun menyaksikan keramaian yang mengisi ballroom salah satu hotel di daerah Jimbaran. Dirinya memang tidak terbiasa dengan acara pesta, clubbing, atau sejenisnya karena hingar bingarnya terlalu pekak bagi Karan. Disc jockey yang mengisi musik malam ini sepertinya menyesuaikan acara dan tempat, hingga Karan pun tidak sadar mengetukkan sepatunya di atas karpet yang melapisi hotel berbintang empat ini. Sejak datang, Karan berusaha tidak berada jauh dari Zola karena tidak ada satu pun wajah yang dia kenali. Sesekali Karan mencuri pandang saat Zola tidak memperhatikan, berharap akan menemukan sosok jangkung yang diharapkan akan ditemuinya di sini. Namun sampai sekarang, pria bernama Oscar James itu belum juga terlihat.

Memegang satu botol bir—agar ada yang dipegangnya—perhatian Karan tidak lepas dari pajangan foto-foto penyelenggaran Maya Festival tahun-tahun sebelumnya. Ketika sedang membaca keterangan yang tertera di bawah sebuah foto penganugerahan untuk Audience Award for Short Film dua tahun lalu, Karan merasakan senggolan pelan.

"KarJo!"

Mengetahui hanya ada satu orang yang menggunakan KarJo sebagai panggilan, Karan menoleh. Melihat wajah Zola berbinar—seperti baru memenangkan undian berhadiah rumah satu miliar—Karan mengerutkan kening. "Kamu kenapa?"

"Gue liat Oscar James!"

Jantung Karan langsung berdegup lebih cepat mendengar nama yang sedari tadi tidak lepas pikirannya. Menyesap birnya, Karan menahan diri sekuat mungkin agar tidak mengangkat wajah untuk mengedarkan pandangan dan mencari keberadaan Oscar.

"Siapa?"

"Oscar James! Cowok yang lagi hits banget sekarang."

"Dia siapa, sih? Aktor? Penyanyi? Kamu tahu aku nggak ada tv di kos dan nggak suka nonton tv juga. Fill me in, please."

Zola langsung menggamit lengan Karan dan memutar tubuh mereka hingga membelakangi papan yang menampilkan info seputar penyelenggaraan Festival Maya. Dari ekor matanya, Karan melihat Zola mengedarkan pandangan sebelum tangannya menyentuh sisi wajah Karan dan mengarahkannya ke sosok yang berdiri di dekat panggung.

"Itu!" seru Zola.

Karan menggigit bibir bawahnya saat melihat Oscar James sedang berbicara dengan seorang wanita. Dari ekspresi wajahnya, Karan menebak mereka sedang terlibat dalam percakapan yang seru, karena sesekali, tampak Oscar mengeluarkan tawa kecil. Ada senyum tipis yang terpasang di bibir Karan mengetahui keinginan kecilnya terkabul.

"Dia cakep banget, KarJo."

Karan menelengkan kepala. "Sejak kapan kamu heboh lihat cowok cakep?"

Karan mengaduh pelan saat Zola mencubit pinggangnya. "Dia ini boyfriend material, KarJo. Kamu kalau liat foto dia telanjang dada pasti langsung nafsu deh, gue yakin. Dadanya itu sender-able banget. Gue sampai deg-degan begini, tauk!"

"Kamu mau foto sama dia?"

"Niatnya begitu, soalnya, kapan lagi gue ketemu dia coba? Tapi gue yakin pasti banyak yang pengen foto juga sama dia."

"Ya udah. Minta foto sana."

"Temenin gue, ya?"

"Not in a million years!"

"Lo kejem banget sih jadi temen? Itung-itung sebagai balesan karena udah gue ajak ke sini."

"Kamu nggak ngajak, Zo, tapi maksa."

"Sama aja! Duh mana gue kebelet pipis lagi."

Kali ini, Karan tidak mampu menahan tawa kecilnya.

"Kok lo malah ketawa sih?" Zola lantas mengulurkan gelas berisi red wine-nya ke Karan. "Pegangin! Gue mau ke toilet."

Dengan segera, Zola melepaskan lengannya dari pinggang Karan sebelum menjauh dan hilang ditelan keramaian. Karan hanya menggeleng pelan mengetahui sikap sahabatnya yang tidak biasa ini. Membalikkan tubuh untuk kembali mengamati foto-foto yang tadi disela oleh kehadiran Zola, Karan membiarkan bir rasa lemon yang dipegangnya membasahi tenggorokannya.

"Karan?"

Tanpa menunggu lama, Karan langsung menoleh. Melihat Oscar berdiri di sebelahnya, terlebih lagi mengetahui yang mengenalinya adalah pria yang ditunggunya, membuat senyum Karan mengembang cepat.

"Hey."

"Saya enggak yakin lihat kamu. I wanted to make sure before I embarrassed myself by approaching the wrong person." Oscar kemudian mengulurkan tangannya. "Apa kabar?"

"Baik, kamu sendiri?" balas Karan sambil menjabat tangan Oscar.

"Never been better." Oscar memasukkan tangannya yang sedang tidak memegang bir ke saku celana. "Saya kaget banget lihat kamu di sini. Kamu kan enggak suka film," sindirnya.

Karan tergelak. "I'm with a friend, actually. Dia minta saya temenin ke sini tanpa tahu ini acara apa sebelumnya. Dia baru ngasih tahu tadi sebelum kami berangkat."

"I was about to say that I have succeeded in turning you into a cinephile," canda Oscar.

"You have to be disappointed, then."

"Ouch!" seru Oscar sambil memegangi bagian kiri dadanya. "I am hurt, Karan." Oscar mengedarkan pandangan, senyum lebarnya masih belum lepas dari bibirnya. "I love this kind of crowd. Saya selalu suka film festival. Jika ada yang saya kangen dari New York, is the film festival."

"Ada film kamu yang ikut kompetisi?"

"Kamu mau honest answer or not?"

"Whatever suits you."

"Ada satu film pendek, tapi enggak menang apa-apa. It's a collaboration with my friend in London."

"Really?"

"Saya belum pernah bikin film di Indo, jadi ini pertama kali."

"I wish I could see it."

Oscar terlihat terkejut dengan ucapan Karan. "I'm flattered that you want to see my movie, but not The Third Man," ujar Oscar sambil menyebutkan salah satu film yang direkomendasikannya ke Karan saat pertemuan pertama mereka.

"Di mana saya bisa nonton film pendek kamu?"

Oscar menyesap birnya sebelum mencondongkan tubuhnya. "Kamu masuk kerja besok?"

"Saya dapet shift malam."

"Excellent! Saya terbang ke Jakarta besok malam, tapi the whole day, saya enggak ada kegiatan apa-apa. Wanna grab some lunch? Then I can show you my short movie."

Karan menelan ludah. Jika bertemu Oscar adalah kebetulan demi kebetulan—termasuk malam ini—ajakan makan siang jelas bukanlah sesuatu yang diduga Karan. Jika saja Oscar mengajukan ajakan itu sebelum Karan memberitahu jadwal kerjanya, dia tentu masih bisa menggunakan shift sebagai alasan untuk menolak. Sekalipun ingin langsung mengiyakannya, Karan menunduk memandangi ujung loafer-nya.

"Lunch?" ulang Karan, berusaha mengulur waktu untuk memikirkan ajakan Oscar.

"Yes. Ada satu tempat yang saya suka banget. Pernah dengar Milk & Madu?"

Karan menggeleng.

"Tempatnya di Canggu, dan saya sering pergi ke sana."

"Saya tinggal nggak jauh dari Canggu."

Senyum Oscar melebar. "Let's say ... we meet around 1? Will that be okay for you? But, wait! You haven't said yes."

Karan memaksakan senyum untuk menutupi kegugupannya. "Oke. Nanti biar saya cari lokasinya di peta."

"Excellent!"

Karan mengurungkan niat untuk membalas Oscar saat dilihatnya Zola berjalan ke arahnya. Saat mengetahui siapa yang sedang menjadi lawan bicara Karan, Zola memelankan langkah. Tatapannya menuntut penjelasan dari Karan sekaligus menunjukkan kebingungan. Bahkan saat Karan menyerahkan kembali gelas minumannya, Zola menerimanya dengan ragu. Dia masih belum berani mengalihkan tatapannya ke Oscar.

"Kamu pasti temannya Karan?" ujar Oscar saat menyadari kesunyian yang muncul di antara mereka.

Anggukan serta ekspresi Zola membuat Karan sekuat tenaga untuk menahan tawa karena tidak ingin mempermalukan sahabatnya.

Andai saja Oscar tahu apa yang bikin Zola kebelet pipis.

"Saya Oscar," ujar Oscar sambil mengulurkan tangan.

Zola melirik Karan sekilas sebelum membalas uluran tangan Oscar. "Zola."

"Senang bertemu dengan kamu, Zola. What a beautiful name."

Zola kembali mengangguk. "Terima kasih."

"Saya mau banget ngobrol lebih lama, tapi saya udah dipanggil." Lambaian tangan Oscar membuat Zola dan Karan mengikuti arah pandangan pria di hadapan mereka.

"It's fine," balas Karan.

"It's nice seeing you here, Karan." Oscar memberikan anggukan pelan ke arah Karan sebelum beralih ke Zola. "Kamu juga, Zola."

"Sama-sama, Oscar."

"Saya permisi dulu. Selamat malam semua."

Setelah Oscar berlalu dari hadapan Karan—dan Karan yakin, Oscar sempat mengedipkan mata ke Karan—Zola langsung mencengkeram lengan Karan dengan kuat dan menggiring sahabatnya ke pojok ruangan, mengabaikan protes Karan.

"Gue nggak peduli kalau musti nyiksa lo, tapi lo musti cerita sekarang gimana Oscar James bisa tiba-tiba ada di depan lo."

"Lepasin dulu tangan kamu. Sakit, Zo." Karan masih mengulum senyum di antara nyeri akibat cengkeraman Zola.

Alih-alih mengendorkannya, Zola justru mengeratkan pegangan tangannya. "Nggak akan gue lepas sebelum lo cerita."

"Iya, nanti aku cerita, tapi nggak di sini. Banyak orang." Karan meneguk birnya sementara pandangannya tidak lepas dari Zola. "Kamu kenapa jadi aneh begini? Biasanya nggak seperti ini juga tiap lihat cowok cakep."

"Karena ini beda kasus!" gertak Zola. "Because that was Oscar fucking James!" Zola akhirnya melepaskan tangannya dari lengan Karan sebelum berkacak pinggang. Tatapan tajamnya masih belum beralih dari Karan. "Lo cerita nggak? Gue doain lo jomblo seumur hidup kalau nggak cerita juga. SEKARANG! Nggak ada nanti-nanti!" ancam Zola.

"Kamu mau aku mulai dari mana?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top