36 - THE CHOICE HE HAS TO MAKE

Sudah lebih dari tiga minggu sejak Karan terakhir bertemu dengan Egil. Sudah tiga minggu pula dia tidak tahu kabar pria itu. Mereka benar-benar memutuskan untuk tidak saling berhubungan. Anggapan Deniz bahwa Egil tidak akan mengambil langkah drastis setelah mengetahui tentang pertemuannya dengan Oscar tidak terbukti. Karan memastikan Deniz mendengarnya langsung saat dia berkunjung ke Amsterdam.

Kepergiannya ke Amsterdam akhir pekan kemarin tidak mampu menghapus gundah. Usaha Deniz untuk menjadikan perjalanan Karan menyenangkan tidak sepenuhnya berhasil. Keriuhan gay pride justru menyurukkannya dalam harapan kehadiran Egil di sisinya. Mereka tentu saja membicarakan Egil dan Oscar. Untuk pertama kalinya, Karan membiarkan dirinya dikendalikan alkohol sampai Deniz memberinya ceramah panjang lebar saat pusing tidak lagi menyerang kepalanya. Ketika harus kembali ke Porto kemarin, Karan langsung menuju kamar dan tidur sampai pagi. Hari ini pun dia tidak masuk kantor karena pikirannya masih terlalu keruh untuk mengerjakan apa pun.

Tentu saja ada yang hilang dalam keseharian Karan. Tidak ada pesan singkat atau suara yang menyapanya dengan pertanyaan tentang menu makan siang. Tidak ada gurauan atau nada sombong pria itu ketika berhasil memasak satu resep yang rumit. Karan merindukan Egil. Godaan untuk mengirimi pesan terlebih dulu sangatlah besar, tetapi jemarinya selalu mengambang di atas layar ponsel, tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Waktu seolah menyeretnya kembali ke masa di mana dia harus sendirian keluar dari keterpurukan setelah kepergian Binar dan hubungannya dengan Oscar kandas. Apa yang dirasakannya persis.

Dia menghela napas seraya meluruskan kaki. Dijadikannya pohon besar di belakang sebagai sandaran punggung. Dari tempat favoritnya di Jardim do Morro ini, dia bisa menyapukan pandangan ke sungai Douro dengan leluasa. Dua minggu lagi dia akan kembali ke Indonesia. Jika bisa, ingin rasanya dia terbang sekarang juga ke tanah kelahirannya. Keterdiaman Egil dan ketidakhadiran Deniz di Blue Door jelas menjadikan diam sebagai pilihannya. Menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang tidak banyak, menyusuri jalanan di Porto hingga kelelahan melanda ... dan menulis. Jika ada satu yang disyukurinya dari kejadian ini adalah idenya mengalir dengan deras. Lacunae sudah diselesaikannya tiga bulan lalu dan cerita baru yang sedang dia kerjakan masih belum memuaskan batinnya.

Mengembuskan napas keras, Karan memejamkan mata. Membiarkan wajahnya terpapar sinar matahari sore. Dia mengabaikan surel Oscar, bahkan tidak membacanya lagi. Tidak ada perlunya membalas sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Saat ini, Egil yang menjadi prioritasnya, bukan Oscar.

"I know I can find you here."

Karan terperanjat mendengar suara yang sangat dikenalnya. Begitu dia membuka mata, tampak Egil tertawa pelan sebelum pria itu menempatkan diri di depan Karan. Mengenakan celana pendek biru muda dan kemeja putih, Egil membiarkan rambut-rambut tipis di sekitar bibir dan dagunya tumbuh lebih lebat. Kacamata hitam dan topi kep—yang tidak pernah dilihat Karan—menjadikan penampilan Egil berbeda. Karan tidak yakin akan mengenalinya jika mereka berpapasan di jalan.

Namun kebahagiaan melihat pria itu terlanjur menguasai hatinya hingga semua perubahan yang dia saksikan tidak terasa penting. Tanpa bisa dia tahan, lengannya terulur untuk membelai cambang Egil. "This look doesn't suit you at all." Hati memang bukan sesuatu yang dapat diterka, karena saat ini yang dirasakan Karan ketika telapak tangannya menyentuh Egil adalah tumpukan kerinduan yang sangat besar.

Dia tersenyum. "I'll shave," balas Egil sembari mengarahkan bibirnya untuk mengecup telapak tangan Karan yang masih menempel di pipinya. "Apa kabar, Karan? Ini mungkin jeda terlama kita tidak saling berhubungan."

Karan mengangguk. "Apart from what happened between us, I'm fine." Dia lantas menarik lengannya. "Kamu sendiri?"

"I'm okay. Been busy lately."

Sibuk adalah kata yang tidak pernah Karan asosiasikan dengan Egil. Sejak perkenalan mereka, yang dilakukan pria itu setiap hari adalah pergi ke kelas bahasa Portugisnya, tugas-tugasnya juga tidak pernah menyita banyak waktu. Apalagi setelah ujiannya selesai, praktis waktunya sangat lengang. Setidaknya yang diketahui Karan.

"How did you find me, by the way?"

"Deniz cerita kamu pulang kemarin dan tadi aku tanya ke Beril apakah kamu ada di kantor. She said no, so I went to the only place that I know will be your one and only destination."

Karan mengangguk paham. Dia seharusnya sadar bahwa Egil akan tetap bisa tahu keadannya karena penghuni Blue Door mengenalnya baik. Dia juga tidak akan kaget jika Deniz melaporkan kesehariannya selama di Amsterdam kepada Egil. "Sibuk ngerjain apa?"

Senyum yang tadi begitu lebar menghiasi wajahnya, memudar. "Karan, kita harus bicara. Semakin lama menundanya, semakin ... sulit bagi kita untuk membicarakannya. After all, time is running out."

Karan menelan ludah. Pembicaraan di antara mereka memang tinggal menunggu waktu. Dia mengangguksebelum melipat lutut. Matanya memandang pantulan sinar matahari yang terlihat berkilauan di permukaan sungai Douro.

"Aku memutuskan untuk kembali ke Norwegia."

Karan mengangguk pelan. Dia sudah menyiapkan diri untuk mendengarnya. "And what about us?"

Egil terdiam sesaat, matanya mengikuti pandangan Karan sebelum kembali menatap pria di depannya. "Aku masih ingin kita bersama, tapi aku tidak bisa mengambil keputusan itu seorang diri." Kepalanya tertunduk. "Aku ingin memberi kamu pilihan, Karan," ujarnya seraya menatap Karan. "If you still want to be with me, meet me at the airport before I leave. And then we'll take it from there."

"Kalau aku nggak datang, apakah kamu akan berpikir aku kembali ke Oscar?"

Egil menggeleng. "Aku tidak ingin kamu merasa terpaksa dengan apa yang kita jalani, Karan. Aku tidak ingin kamu merasa bersalah lalu tidak berhenti minta maaf. Aku ingin kamu bahagia. Denganku, dengan Oscar, atau ... tidak keduanya."

"Mana yang akan bikin kamu bahagia?"

"Ini bukan tentang ak—"

"Don't you know that it is about you as well, Egil? Berhenti bilang ini semua tentangku atau tentang kebahagiaanku karena aku juga nggak mau orang mengorbankan perasaan mereka untukku."

"Kamu tahu peras—"

"Dan kamu nggak tahu perasaanku? Itukah yang mau kamu bilang?" potong Karan cepat.

Egil terdiam.

"Aku nggak mau kita bertengkar lagi, Egil. I just ...." Karan menghentikan kalimatnya. "Kalau kamu ingin bersikap pahlawan buat nggak peduli dengan perasaan kamu sendiri, baiklah. I'll do what you want."

"Karan, kebahagiaanmu penting buatku."

"Egil ... just stop. This discussion will lead us nowhere. Aku nggak keberatan jika kamu berpikir aku egois karena nggak peduli dengan kebahagiaan atau perasaan kamu. You clearly have decided that about me."

Kemarahan yang menguasai Karan begitu hebat hingga dia tidak mampu mengungkapkannya dengan lantang.

Jika memang Egil mau aku menuruti keinginannya, then I'll give it to him, batin Karan.

"Karan, look at me."

Ada dorongan kuat untuk beranjak dari hadapan Egil dan pulang ke Blue Door, meninggalkan pria itu sendirian di taman ini. Namun, Egil cukup mengenalnya hingga ketika dia memang berniat bangkit, pria itu menahannya. Tatapannya memohon Karan agar tetap duduk. Jadi, Karan menurut.

"I know you care about my happiness, but sometimes, it just can't go both ways. I need to take care of my heart as well and this is my way of doing that and being selfish, by giving you a choice."

"Kapan penerbangan kamu?"

"Minggu depan."

Karan mengangguk pelan. Pikirannya terlalu sesak untuk menemukan kata-kata yang tepat. Apa yang terjadi dengannya dan Egil mengingatkannya akan satu adegan di Casablanca, ketika Rick menunggu Ilsa di stasiun karena mereka akan meninggalkan Paris bersama, tetapi yang didapatkannya justru surat Ilsa yang mengatakan dia tidak bisa pergi atau bertemu Rick lagi. Beberapa tahun kemudian, mereka dipertemukan di Casablanca, tetapi Ilsa datang bersama pria lain. Ending film itu membekas hebat di benak Karan, tetapi dia berharap dirinya dan Egil tidak akan mengalami akhir serupa.

"Aku ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan kamu sebelum kembali ke Oslo. Kamu keberatan?"

Pertanyaan Egil itu begitu tiba-tiba dan tidak terduga, tapi Karan menjawabnya dengan gelengan.

"We can start it by having dinner. I'm starving!"

Tawa Egil membuat Karan menatap pria itu dengan penuh keheranan. Pembicaraan mereka seperti tidak punya efek apa pun terhadapnya. Namun Karan segera melupakannya ketika Egil menggeser tubuhnya hingga sekarang mereka duduk bersisian.

"Can we wait after the sunset?"

Egil mengangguk. "Tentu saja. I know how much you love it."

"I miss you, Egil," ujar Karan tulus. "So much."

Lengan Egil terulur untuk meremas tangan Karan dan berkata, "I know."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top