35 - ALL IS OUT
"Yakin nggak ada yang ketinggalan?"
Meski menjawab dengan gelengan, Deniz tetap mengedarkan pandangan ke seisi kamar yang akan ditinggalkannya. Satu koper besar sudah dia letakkan di dekat pintu, tempat tidurnya sudah rapi, begitu pun mejanya. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, dia menghampiri Karan yang sedang menekuri ponsel.
"Have you told Egil?"
Karan mendongak, kaget dengan pertanyaan Deniz yang tiba-tiba.
Egil, Maia, dan beberapa penghuni Blue Door terlibat percakapan di ruang tamu di lantai bawah, bersiap mengantar Deniz ke bandara. Seminggu terakhir, Karan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Deniz seolah mereka sudah terpisah tahunan lamanya. Fakta bahwa mereka tidak hanya bertemu di kantor setiap hari, tapi juga berbagi kamar, justru membuat Karan semakin sulit membayangkan kamar yang ditempatinya sejak sampai di Porto hanya akan berisi satu orang. Karan berusaha tidak bersikap sentimental—karena dia bisa mengunjungi Deniz di Amsterdam kapan pun dia mau—tapi sulit baginya untuk tidak merasa sedih. Beradaptasi dengan kesendirian setelah empat bulan selalu ada orang lain di kamar jelas akan perlu waktu sekalipun ada kelegaaan karena akhirnya dia akan memiliki privacy penuh. Karan berencana menginap di tempat Egil malam ini, sesuatu yang sudah beberapa kali dilakukannya terutama di akhir pekan.
"Aku belum nemu waktu yang tepat." Alasan Karan masih belum berubah setiap kali Deniz mengajukan pertanyaan yang sama.
"Karan ...."
Karan mendesah. "Aku bener-bener nggak tahu bagaimana harus bilang ke dia, Deniz. Tolong jangan paksa aku."
"This is for your own good. Aku tidak akan memaksa jika tidak peduli dengan kamu dan Egil. Terlepas apakah nanti hubungan kalian berlanjut atau tidak, kalian tetaplah temanku. And I hate seeing my friends got hurt."
Kebenaran dalam kalimat Deniz memang tidak bisa dibantah. Karan sangat sadar konsekuensi yang harus diterimanya jika keberanian untuk memberitahu Egil akhirnya muncul.
"Please?"
Dalam sejarah pertemanan mereka, Karan tidak pernah melihat Deniz memohon, apalagi demi sesuatu yang sama sekali tidak memberikan keuntungan apa-apa untuknya. Mereka saling bertatapan. Karan memasukkan ponselnya ke saku celana sebelum berdiri dan menghampiri Deniz. Dia pun akhirnya mengangguk.
"I will tell him later after we dropped you at the airport."
Senyum Deniz mengembang begitu lebar. "Then we shall get going now."
Deniz berjalan menuju pintu, tangannya menyeret koper sementara yang Karan lakukan hanyalah diam mematung.
Akankah aku mampu bilang ke Egil?
***
"How do you feel?"
"Sekarang masih baik-baik aja. Mungkin besok kalau kembali ke Blue Door dan liat kamar udah kosong ...." Karan sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya.
Egil meremas tangan Karan lembut. "You have me."
Karan mengangguk pelan dan menyesap bir demi mengusir rasa bersalahnya selama beberapa detik. Setelah mengantar Deniz ke bandara, dia memang langsung ke apartemen Egil. Angin sepoi yang berembus di pertengahan musim panas sungguh meningkatkan level malas Karan untuk beranjak dari balkon. Menyaksikan ombak yang bergulung serta orang-orang yang berjalan di pantai sedikit menenangkan pikiran. Egil tidak banyak bicara sejak mereka meninggalkan bandara dan dia berterima kasih atas pengertian pria yang sekarang duduk di sampingnya. Ucapan Deniz menggema lebih jelas sekalipun temannya itu sedang dalam perjalanan ke Amsterdam.
"Aku nggak bisa bayangin kalau pulang nanti."
Ada saat di mana Karan sangat menunggu waktu kepulangannya, kembali ke tempat yang sangat dikenalnya. Namun Porto telah meninggalkan jejak yang tidak akan mampu dihapusnya, terlebih dengan kehadiran Egil. Pria itu menjadikan enam bulan masa tinggalnya jauh lebih berbekas.
"Kamu masih punya 1,5 bulan, Karan."
Hati Karan semakin terimpit saat menyaksikan ekspresi Egil berubah seketika saat mengatakannya. "And it goes fast."
"Kamu yakin tidak mau mengunjungi tempat lain?"
Karan menunggu Egil melanjutkan kalimatnya.
Egil mengedikkan bahu. "Kita bisa ke Amsterdam bulan depan dan mengunjungi Deniz sekalian menyaksikan gay pride, aku tidak keberatan menunjukkan Bergen dan Oslo, atau kamu mau ke Italia? Florence is beautiful. Or we can go to Spain. Anywhere you want, Karan."
Karan tidak mampu menahan senyum tipisnya. Kegigihan Egil untuk menjadikan sisa waktunya di Eropa berkesan benar-benar membuatnya cukup tersentuh. "Thanks, Egil, but I prefer to stay here. Aku mungkin masih bisa ke Amsterdam karena aku masih punya jatah libur. But that will be my last trip."
"Do you know it will be hard for me, too, right?"
"Kamu udah tahu mau ngapain?"
"Kelasku sudah selesai, hasil ujian terakhir sudah keluar. Basically, I'm just wasting my time here, but I ... I think I will go back to Oslo."
Karan membasahi tenggorokan dengan sisa birnya. Meski bukan kali pertama mereka membahas tentang kemungkinan Egil kembali ke Norwegia, tetap saja mendengarnya lagi tidak membuat dadanya lega.
"Egil ...." Karan menelan ludah, menyadari jika bukan sekarang, dia akan memiliki alasan-alasan lain untuk menunda apa yang dijanjikannya ke Deniz. "Ada yang ingin aku omongin ke kamu," lanjutnya.
Egil menoleh, senyumnya mengembang. "Dari nada suara dan ekspresi kamu, ini pasti hal yang serius."
Keceriaan yang ditunjukkan pria itu justru membuat apa yang harus dikatakannya terasa semakin berat. Karan menunduk, lantas mengangguk pelan. Keberaniannya menatap Egil tiba-tiba lenyap. "Aku ketemu Oscar di LX Factory."
Berhasil mengungkapkan apa yang satu bulan dia pendam ternyata tidak sepenuhnya membuat Karan lega. Karena saat dia mengangkat wajah, Egil membuang muka. Tangannya yang tadi menggenggam Karan, terlepas. Semuanya akan tetap baik-baik saja kalau aku nggak cerita, sesalnya tiba-tiba.
"Kenapa kamu baru cerita?"
"I don't know how to tell you. I ...."
"A month, Karan! What else did you keep from me?"
"Nggak ada, Egil. Aku cuma—"
"Did he ask you to give him a second chance? Or did you enjoy spending time with him?"
Suara Egil tidak keras, tetapi kejenakaan yang tidak bisa dilepaskan dari kepribadiannya berubah. Dua pertanyaan beruntun itu jauh dari kesan hangat yang selama ini selalu diberikannya. Tuduhan Egil sangat wajar dan Karan pantas mendapatkannya, tetapi sakitnya tetap tidak berkurang.
"I told him I was seeing someone."
"Kamu masih belum menjawab pertanyaanku, Karan," tukas Egil.
"It doesn't matter what he said, Egil."
"But it does matter to me!"
Saking kagetnya, Karan hanya mampu diam tanpa bisa mengalihkan tatapan dari Egil. Selama mengenal pria itu, dia tidak pernah mendengar Egil menggunakan nada seperti yang baru saja didengarnya.
"He said he missed me, but he had no right to ask me anything after I told him that I was with someone. Tapi dia kirim ini." Karan meraih ponselnya dan membuka surel yang dikirim Oscar. Diserahkannya benda itu ke Egil. "Aku ingin bersikap jujur ke kamu, Egil. Mudah untuk nyembunyiin ini, tapi aku nggak mau bohong ke kamu."
Karan memang memutuskan tidak akan menyembunyikan video dan surel Oscar dari Egil setelah apa yang dilakukannya kepada pria itu. Jantungnya berdegup kencang saat Egil menerima ponsel Karan dan langsung membaca isi surel Oscar.
Karan tidak mengalihkan perhatian ke hal lain. Dia memperhatikan Egil yang seolah menutup keran emosinya karena ekspresinya begitu datar dan tidak bisa dibaca Karan. Suara Oscar yang muncul di antara mereka seperti mengebaskan perasaan Karan terhadap Oscar. Kehadiran Egil ternyata cukup kuat untuk menghapus apa yang selama ini mengganggunya tentang isi surel Oscar.
Begitu selesai, Egil mengulurkan benda itu tanpa melihat Karan.
"Kenapa kamu menyimpannya begitu lama, Karan? Give me ... explanation."
"Aku terlalu takut bikin kamu kecewa. We just ... we just started, Egil, and telling you about Oscar would be ... wrong. I don't want to hurt you."
"He still loves you."
Mendengarkan pernyataan itu dari Egil tidak ubahnya menyayatkan pisau ke nadinya. Sakit luar biasa.
"You hurt me already by not telling it right away. Menyimpannya dariku justru membuatku bertanya-tanya, apakah yang terjadi dengan kita sebulan ini hanya pelampiasan rasa frustasi kamu karena belum bisa melupakan Oscar. Atau parahnya, kamu merasa kasihan denganku." Egil memandang Karan sebelum bertanya, "Was it a pity, Karan?"
"No, it was never that," aku Karan.
"Lalu apa?"
Mulut Karan terbuka, tetapi tidak ada kalimat yang keluar. "Aku ...." Namun dia tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Otaknya tidak mampu mencari kalimat lanjutan. Maka dia memilih untuk menundukkan wajah.
"Itukah yang membuat sikap kamu akhir-akhir ini berbeda? Kamu menutupi ini dengan semua yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya. Bermalam di sini, memintaku memasak makanan Indonesia, mengajakku keliling Porto ... apakah itu demi menyembunyikan pertemuan kamu dengan Oscar?" tuduh Egil.
"Aku nyari cara buat bilang ke kamu."
"You can just tell. As simple as that."
"Yeah, because it's easier to say than done it," balas Karan tanpa berniat terdengar sinis dengan kalimatnya.
"No, because IT IS easy!" sergah Egil.
"Aku beruaha jaga perasaan kamu."
"I know how to handle my own heart, Karan. I've told you that, haven't I?" Egil memiringkan sedikit tubuhnya. "Kamu pasti senang bertemu lagi dengannya. After all, you're still thinking about him, aren't you?"
Karan menyadari, semua jawaban yang dia berikan tidak akan memperbaiki hubungannya yang sudah retak dengan Egil. Pria itu sudah terlanjur kecewa. Keputusannya menyimpan ini dari Egil ternyata berujung pada ketidakmampuannya menghadapi reaksi pria yang sedang menatapnya lekat-lekat saat ini.
"Are you happy after seeing him?"
Pertanyaan sesederhana itu pasti bisa langsung dijawabnya dengan cepat dua bulan lalu. Namun setelah apa yang terjadi di antara mereka, jawabannya seperti tersekat di tenggorokan. Tidak mudah mengakui perasaannya, tetapi Karan tidak ingin lagi menyimpan sesuatu dari Egil.
"Bohong jika aku nggak seneng ketemu Oscar lagi. Tapi bukan berarti aku akan kembali kepadanya. Banyak yang udah berubah dalam hidup kami. I'm not the same Karan anymore. Kita nggak perlu bahas tentang Oscar lagi, Egil. He's not in Portugal anymore. We can—"
"Dia ada di Bali pun, kamu masih belum bisa lepas dari dia, Karan. Apa bedanya sekarang?"
Karan menarik napas sedalam mungkin. "Because things have also changed between us, Egil."
"Aku tidak pernah mau memulai sesuatu jika masih ada masa lalu yang belum selesai, Karan. Hubunganmu dengan Oscar mungkin sudah berakhir, tapi hati kalian masih saling terikat. It's not too late for us to get back to where we were, as friends. Mungkin memang cuma sebatas itu hubungan kita. So the wound won't be," Egil menelan ludah, "deeper."
Menyadari apa yang diinginkan Egil, tawa getir Karan berderai. "So that's it?" Karan menggelengkan kepala. "Kamu nggak jauh beda dengan Oscar."
Egil mengernyit. "Apa maksud kamu?"
"Giving up is always easier, isn't it? You give up on us just like that."
"Karan, aku tidak menyerah, tapi aku peduli dengan kamu. I care about your happiness."
"Then you should ask me, shouldn't you? Don't you think I care about your happiness?"
"Kebahagiaan kita tidak akan pernah bersinggungan, Karan. Oscar is your happiness while you are mine. Where does that take us?"
"Egil, ayolah kita bicara tentang kita. This isn't about me and Oscar."
"Oscar akan selalu jadi bagian dari kita bahkan jauh sebelum Lisbon, Karan."
"Jadi apa yang kita miliki nggak penting? What about your feeling? What about mine?"
"We need a break. Maybe that will do us good," sahut Egil seraya memalingkan muka.
Karan memandang Egil lama, sebelum sadar keputusan pria itu tidak mampu lagi dibantahnya. Kendati masih banyak yang ingin dikatakannya, tapi Karan sadar, mengungkapkannya hanya akan sia-sia. "Okay, if that's what you want. I can do that."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top