34 - THE ATTACHMENT

"Itu foto yang aku pilih buat buletin, bukan?" tanya Karan begitu dia duduk di samping Deniz setelah kembali dari ruangan Maia.

Deniz mengangguk. "Maia bilang apa?"

"Dia minta draft kasarnya minggu depan. Kalau bisa dapet balesan dari para partner minggu ini, harusnya aku bisa ngasih bahkan sebelum Maia minta. Kemarin sore sebelum pulang, aku belum dapet jawaban sama sekali dari mereka. Apa susahnya sih ngasih tahu project yang baru mereka kerjain?" gerutu Karan sembari membuka laptop dan membuka surelnya.

Namun kekesalannya digantikan oleh keterkejutan saat mendapati nama Oscar James muncul di urutan teratas kotak masuknya. Matanya juga menangkap bahwa pria itu mengirim sebuah attachment. TO KARAN adalah judul yang tertera di kolom subject, seperti ingin memberikan penegasan lebih kepada siapa surel ini ditujukan.

Menyadari Karan yang tiba-tiba diam, Deniz mengalihkan tatapan dari foto yang sedang dieditnya. Dia mengerutkan kening melihat jemari Karan membeku di atas touchpad. "Ada apa, Karan?" tanyanya setelah satu menit berlalu dan reaksi Karan masih belum juga berubah.

Tersadar oleh pertanyaan Deniz, dengan lirih, Karan berujar, "Oscar kirim email."

"What is it about?"

Karan menggeleng. "Aku bahkan belum buka." Meski ada ketakutan akan isi surel Oscar, rasa ingin tahunya tidak kalah besar. Dengan sekali gerakan, Karan menyentuh touchpad dan mengarahkan kursornya untuk membuka surel yang dikirim Oscar.

Dia menelan ludah begitu membacanya.

Karan,

Apa kabar? Semoga kamu enggak kaget terima email dari aku. I can picture your facial expression every time something surprises you. Aku attached something di email ini, tapi please jangan buka dulu.

Let me say something first.

Despite all the secrecy in our relationship, we were happy, weren't we? Aku mungkin kayak begging to give our relationship a second chance, dan aku enggak malu mengakui itu. Anggep aja ini part of my effort, yang kamu bisa abaikan karena udah ada orang lain. Tapi kita enggak pernah tahu sebelum mencoba kan?

Karan, there was a pang of jealousy when you said you were seeing someone, something that happened rarely in my previous relationships. I want to see you smile, and I don't mind telling you that I am hoping to be the one to bring that smile on your face.

Maybe this will convince you that I meant what I said. Kamu boleh buka attachmentnya sekarang.

Karan menoleh, seolah ingin memastikan Deniz akan menyelematkannya dari apa pun yang akan ditemukannya di attachment itu. Menggigit bibir bawahnya, Karan berkata, "Dia kirim attachment."

"Foto?"

"Aku nggak tahu. Mungkin."

"What are you waiting for?"

Karan membasahi tenggorokannya sebelum mengarahkan kursor ke arah attachment yang disertakan Oscar. Saat melihat ukuran file-nya, Karan yakin, lampiran itu berupa video. "It's a video."

Kecepatan internet yang sangat cepat membuat Karan tidak perlu menunggu lama. Diraihnya earphone dari tas sebelum memasangnya. Dia menyerahkan satu bagian ke Deniz, tapi sahabatnya itu menolak.

"You can tell me later on. I believe Oscar wanted you to hear it personally," ujar Deniz seraya menggeser kursinya sedikit lebih jauh untuk memberi Karan ruang. Dia menatap laptopnya setelah meyakinkan diri bahwa Karan baik-baik saja.

Karan menyumbat telinganya dan membuka video yang telah selesai diunduh. Wajah Oscar langsung memenuhi video player-nya. Rambutnya sedikit berantakan, dia mengenakan kaus tanpa lengan, dia belum bercukur, dan mengamati background-nya, Karan tahu Oscar sedang duduk di gazebo saat merekam video ini.

"Karan, I know things are different now, but there are few things that stay the same. Kamu inget aku pernah bilang, how easy it is to be with you, right? That hasn't changed. Bahkan setelah kita ketemu di Lisbon, I felt like I haven't met you for a day or two, not a year.

Aku memang sacrificed our relationships for my career and that must have been the stupidest thing I've ever done. Not a day passed without me thinking of you and the mistakes I've made. Do you remember what Julia Roberts said to Hugh Grant towards the end of Nothing Hill?

Aku enggak bisa standing in front of a man that I love, but aku tetap ingin bilang ...."

Oscar menundukkan wajah sebelum kembali menatap layar dan melanjutkan kalimatnya yang terpotong.

"Aku cuma Oscar Andrew James, begging to a man he loves, to forgive him, and if possible, giving their relationship a second chance. I love you, Karan, and ... thank you for loving this man who doesn't mind wearing old t-shirts and lousy jogging pants when we were together. You showed me that I can be loved as me, not how the public sees me.

And I miss you."

Saat layar laptopnya menunjukkan warna hitam, napas Karan seperti tertahan karena dadanya benar-benar terasa sesak oleh emosi.

"Are you okay?" tanya Deniz setelah menyadari Karan hanya mampu diam.

Karan memandang Deniz. "I need to go to the toilet. Excuse me."

***

"How are you?" sapa Egil lembut setelah lengannya berhasil merengkuh Karan dalam pelukannya.

"Cuma sedikit capek." Karan tidak ingin memberikan jawaban 'baik-baik saja' karena dirinya jauh dari kata itu.

"Kamu langsung dari kantor?"

Karan mengangguk.

"Aku tidak sempat masak, jadi kalau kamu mau, kita bisa delivery atau makan di luar."

"Aku belum lapar."

Egil melepaskan pelukannya sebelum memandang Karan dengan senyum lebar. "Aku kaget waktu kamu bilang mau ke sini. I thought I did something good today that I deserved such surprise."

"Perlukah aku ngecek tempat tidur kamu? Mastiin nggak ada pria lain di sana?"

Karan belajar, bahwa bersikap biasa di depan Egil adalah cara terbaik menyembunyikan semua yang tidak ingin dibaginya dengan pria itu. Terlebih sekarang saat emosinya tak ubahnya seperti badai yang tidak berkesudahan.

Gelak Egil terdengar begitu keras menanggapi gurauan Karan. "By all means, Karan. Tapi, kalau kamu tidak menemukan siapa pun, aku terpaksa harus mengurungmu di tempat tidur sebagai hukuman."

"And what will you do?" tanya Karan sambil menelengkan kepala.

"I don't know. Maybe persuading you to stay here as long as possible?"

"Kamu keberatan kalau aku nginep di sini malam ini?"

Sejak membaca surel dari Oscar dan melihat video yang dikirimkannya, Karan tahu dia harus bertemu Egil. Keputusan yang tidak akan diambilnya dalam keadaan normal karena yang dilakukannya tidak berbeda dengan menjadikan Egil sebagai pelampiasan. Dia belum memutuskan apakah akan menceritakan pertemuannya dengan Oscar hingga surel yang diterimanya hari ini atau tidak. Dia hanya ingin bersama Egil. Menginap di tempat pria itu adalah sebuah spontanitas karena dia tidak berniat untuk bermalam di sini.

Egil mengerutkan kening. "Ada apa, Karan? Is everything okay?"

"Is it a yes or a no?"

"Of course you can stay here, you know that. I just want to make sure that everything is okay." Egil lantas mengulurkan lengan untuk meremas lembut pundak Karan. "Aku senang kamu akhirnya mau menginap di sini, tapi kamu tidak ada masalah dengan Deniz, kan?"

"Kami baik-baik aja. Mungkin aku kangen pantai da—"

"And not me?" potong Egil. Senyum jenakanya tampak jelas.

"Kita baru ketemu dua hari lalu dan tadi siang juga kamu baru telepon. Aku malah ngira kamu bosen."

"How can I be bored with you, Karan? That's utter nonsense."

Karan mengedikkan bahu. "Bisa saja, kan?"

"You're unbelievable," ujar Egil sebelum mencium Karan. "Aku sedang mengerjakan sesuatu. Kamu bisa ke kamar kalau mau istirahat sebentar. Aku nanti menyusul."

"Aku nggak tahu kamu punya sesuatu buat dikerjain."

Egil berdecak. "What makes you so witty all of a sudden?"

Karan tidak mampu lagi menahan tawanya. "Jangan usil kalau aku ketiduran. Aku capek sekali."

"I won't. I know you need your beauty sleep." Egil merapikan rambut Karan yang berantakan terkena angin. "Anggap tempat kamu sendiri, Karan. You know where to find things."

"Aku boleh pinjem baju kamu?"

"Kamu tidak bawa ganti?"

Karan menggeleng. "Aku sebenernya nggak berniat buat nginep, tapi ... aku berubah pikiran setelah tadi liat kamu."

"Why? Because I'm so handsome or because you can't resist my charm?"

Karan menundukkan wajahnya, tersipu. "Because I want to make sure no man is hiding inside your closet?"

Egil kembali tertawa. "Bajuku pasti kebesaran, tapi mungkin kamu bisa menemukan beberapa baju lamaku." Egil membalikkan badan dan berjalan menuju kamarnya. Karan mengikutinya. "Atau, kamu bisa telanjang. After all it's summer, it's hot, and it's only me," tambahnya saat mereka hampir mencapai pintu dan Egil berhenti untuk menatap Karan.

"No one is going to stop you from imagining it, Egil, but turning it into reality is another thing. You better try harder than that."

"Let's say challenge accepted." Egil mengucapkannya sambil mengedipkan mata, yang membuat tawa Karan lagi-lagi berderai.

***

Karan masih terjaga, meski di sampingnya Egil sudah terlelap. Ini pertama kalinya dia menginap di apartemen Egil setelah mereka kembali dari Lisbon, sekalipun Egil tidak pernah absen menawari Karan untuk menghabiskan akhir pekan di sana, bahkan sebelum mereka pergi ke Lisbon. Memandang wajah Egil yang begitu tenang, bibirnya yang sedikit terbuka, serta dengkuran pelan yang tidak pernah diakuinya, Karan menyadari cinta telah membuat kesalahan dengan membuat pria sebaik Egil jatuh hati kepadanya.

Sisa surel Oscar yang dibaca Karan setelah berkali-kali dia membasuh mukanya dengan air dingin hanya membuatnya semakin risau. Oscar meminta izinnya untuk mengadaptasi salah satu cerita pendek dalam Hello Goodbye—Oscar selalu memuji cerita dengan tokoh utama bernama Kevin itu—menjadi sebuah film pendek. Karan tentu saja belum membalasnya, karena mengiyakan atau menolaknya berarti dia harus berhubungan dengan Oscar lagi. Sedangkan saat ini, itu adalah sesuatu yang belum bisa dilakukannya. Menceritakan tentang Oscar pun menjadi hal terakhir yang diinginkannya saat ini.

Mengembuskan napas pelan, dia memutar kembali semua yang pernah dilaluinya bersama Egil. Pertemuan pertama mereka di tempat ini, kerelaannya menemani Karan seharian mengelilingi taman-taman di Porto, menunjukkan toko buku yang menginspirasi J.K. Rowling saat menciptakan Hogwarts, hingga sejarah tentang Porto yang tidak pernah gagal mengejutkan Karan. Membayangkan masa depannya dengan Egil memang menggoda—terlebih setelah percakapan mereka di Jardim da Estrela—tapi setelah apa yang dia alami hari ini, ada keraguan besar menyusupinya.

Karan menggeser tubuh agar lebih dekat dengan Egil. Gerakan pria itu seperti tahu apa yang diinginkan Karan tanpa harus terbangun dan membuka matanya. Karan memejamkan mata saat lengan Egil merengkuhnya. Menghidu dalam-dalam aroma tubuh Egil, Karan berharap akan terbangun esok dan ketika melihat kotak masuk surelnya, tidak ada nama Oscar di sana. Bahwa yang terjadi hari ini, hanya terjadi dalam pikirannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top