33 - IN THE MIDDLE OF THE ROAD


Karan memandang jalanan di bawah kamar sembari sesekali menyesap bir yang dipegangnya. Matanya mengamati puncak bangunan apartemen di hadapan Blue Door yang masih disinari matahari meski teriknya sudah berkurang. Menikmati bir dingin, melepaskan pikiran untuk berkelana ditemani sepoi angin sore menjadi pilihannya.

Ketika Deniz membuka pintu dan mendapati Karan sedang duduk termenung di dekat jendela sembari memegang bir, langkahnya terhenti. Tidak ada ceramah tentang menutup pintu tanpa harus menggetarkan seisi Blue Door—Deniz seperti tidak sadar bahwa seringkali timbul suara cukup keras tiap kali dia menutup pintu. Meski kali ini pintu dibelakangnya dia tutup sepelan mungkin, tetap ada derit yang terdengar. Jika suara itu tidak mampu menarik perhatian Karan, dia yakin sahabatnya sedang mengembara jauh dengan pikirannya.

Dia berdeham demi memberitahu keberadaannya. "Aku perhatikan kamu punya hobi baru setelah kembali dari Lisbon."

"Hobi apa?" tanyanya tanpa sekalipun memalingkan wajah.

"Melamun."

Balasan yang diberikan Karan hanyalah kedikan bahu sebelum dia kembali menyesap birnya.

"Tumben udah pulang."

"Semua kerjaan di kantor sudah selesai," jawabnya sembari meletakkan tas dan melepas kancing kemeja dan memperlihatkan kaus putih dibaliknya. "Maia memintaku untuk melihat bagaimana keadaanmu," ujarnya sambil meng-air-quote-kan kalimatnya. "Aku tahu kamu tidak sakit. Kamu cuma ingin sendirian."

"Hmm."

Menyadari suasana hati teman sekamarnya yang benar-benar murung, Deniz meraih kursi yang biasa diduduki Karan, menyeret benda itu hingga gesekan antara kaki kursi dan lantai membuatnya meringis. Namun usahanya menarik perhatian Karan berhasil. Karan memalingkan wajah. "Aku tidak mau penasaran sampai pulang ke Amsterdam nanti kalau kamu tidak cerita sekarang. Cepat atau lambat, kamu pasti cerita, kenapa tidak membuatnya jadi lebih cepat?"

"You realize how annoying you are, don't you?"

Deniz menyandarkan punggung dan meluruskan kaki seraya bersedekap, sebelum berujar, "But I bet you will miss me. Kamu pasti kangen menceramahiku soal pintu atau pakaianku yang berantakan di atas tempat tidur. Admit it, Karan, you will text me, saying how empty this room will be even before I board on the plane."

Karan spontan meraih nota belanja yang tergeletak di atas nakas, meremasnya sekuat tenaga lantas melemparkannya ke arah Deniz. Sayangnya, temannya terlalu gesit hingga kertas itu mendarat di atas laptopnya. "Ingetin aja terus. You love seeing me suffer."

Deniz tergelak. "Oh, I LOVE seeing you suffer because of me, but this?" katanya sembari menggunakan dagunya untuk menggambarkan kondisi Karan yang membiarkan rambutnya berantakan serta menganak kaus yang terlihat sangat lusuh. "Aku tidak suka ini. You're a mess, you know. Is this about your trip to Lisbon with Egil?"

Mendengar nama Egil disebut, yang bisa dilakukan Karan hanyalah membuang napas.

Setelah pertemuannya dengan Oscar di LX Factory, Karan tidak berhasil menguatkan diri untuk memberitahu Egil. Di hadapan pria itu, dia dengan leluasa menutupi emosinya dengan tawa dan cerita yang membuat Egil tidak henti-hentinya tersenyum. Setiap bersamanya, Karan berkonsentrasi keras menyingkirkan Oscar jauh-jauh dari benaknya. Namun semua yang dia lakukan tetap tidak mampu mengurangi rasa bersalah karena menyembunyikan pertemuannya dengan Oscar.

"Kamu ada acara?"

Deniz menggeleng. "It's Monday night, Karan."

"Kamu nggak pernah kenal hari kalau urusan clubbing."

"Thanks to you, I'm no longer a party animal."

"Don't believe you," cibir Karan.

"Kamu mau cerita kenapa jadi sering melamun lagi? It's been a week since you got back from Lisbon and you still keep your mouth shut. Aku bisa saja tanya Egil, tapi aku nggak yakin dia tahu kamu seperti ini. Correct me if I'm wrong."

Karan berdecak. "Buat ukuran cowok, kamu itu sok pengen tahu."

"I'm just trying to prevent myself from seeing a rope hanging in this room and your ghost will haunt me endlessly."

Dengan sekuat tenaga, Karan melempar bantalnya ke Deniz. Namun gerakan tangan Deniz begitu cepat hingga dia bisa menangkapnya. Ada gelak terdengar dari Deniz, sementara Karan tidak kuasa menahan senyum lebarnya. Dia benar-benar akan merindukan Deniz jika sahabatnya itu kembali ke Amsterdam bulan depan.

"I just ... don't know what to do, Deniz."

"Memangnya apa yang harus kamu lakukan?"

Mereka saling bertatapan sebelum Karan meletakkan birnya yang tersisa setengah di atas nakas. "This is going to be a long story."

Deniz menata arlojinya sebelum berkata, "Shall I put the timer on?"

***

"Wow! You really ARE that good in keeping things to yourself," sindir Deniz.

Meski senyuman tampak di wajah Karan, ada kelelahan yang tidak bisa dia sembunyikan. Bukan fisik tentu saja, tapi batin. Dia menceritakan semua kisah cintanya kepada Deniz tanpa ada yang dia tutupi. Tentang Binar, Oscar, dan apa yang membuatnya murung seminggu terakhir. Seperti menyadari bahwa mengungkapkannya bukanlah sesuatu yang mudah, Deniz sesekali bergumam atau melontarkan pendapatnya—tanpa Karan minta tentu saja—hingga tidak memberikan Karan kesempatan untuk tenggelam dalam emosi. Ada lapang yang memenuhi benaknya begitu menuntaskan cerita.

"Kamu harus cerita ke Egil, Karan. As soon as possible," ujar Deniz bahkan sebelum Karan selesai mengungkapkan dilema yang sedang dihadapinya.

"Tapi kamu juga—" protes Karan.

"Nope, I don't want to hear excuses. Any of it." Deniz menurunkan kakinya dari tempat tidur yang dijadikannya penyangga selama mendengarkan kisah Karan. "Kamu menyembunyikan sesuatu yang bisa memengaruhi hubungan kalian, Karan. Egil berhak tahu. Please do it soon before it's too late."

Karan membasahi tenggorokan. Panik menjalarinya hingga wajahnya sedikit menegang menyadari kalimat terakhir Deniz. "Terlambat untuk apa?"

"Sebelum hubungan kalian menjadi lebih jauh. The more you keep it from Egil, the more you surround yourself with guilt and sooner or later, Egil will notice it. And when it happened, it would probably be too late. Aku belum selesai." Denis mengangkat tangannya saat menyadari Karan akan menyahutnya. "Kamu tahu aku pasti akan ada di belakang kamu untuk memberikan dukungan, tapi kali ini, aku harus memaksa kamu untuk cerita ke Egil. Kamu tidak punya pilihan lain, Karan."

"What if I—"

Deniz berdecak keras, diiringi sebuah gelengan. "Stop thinking about what ifs, Karan! It won't get you anywhere."

Menyadari dirinya kehilangan seluruh amunisi, Karan memilih diam.

"I can't imagine what he will say to me," ucapnya setelah tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan kepada Deniz.

"Dia pasti kecewa kamu tidak langsung cerita, tapi dia tahu tentang Oscar. And he loves you, Karan, he will understand why you didn't tell him straightaway."

Karan mengantukkan kepalanya pelan ke tembok. "I don't know where to start."

"Aku yakin kamu sudah tahu. Kamu cuma ingin diyakinkan."

"What would you do if you were me?"

Deniz mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Don't ask me. Aku tidak pernah ada di stuasi serumit itu."

"Deniz ...."

Deniz membuang napas. "Karan, aku tidak mau jawabanku mempengaruhi keputusanmu. Aku percaya kamu sudah tahu apa yang ingin kamu lakukan. You know what's best for you."

"I don't think I know."

"Yes, you do."

Mereka kemudian diam.

Deniz mencondongkan tubuh, menjadikan lututnya sebagai tumpuan kedua siku. Ditatapnya teman sekamarnya lekat. "Aku tidak tahu seberapa dalam perasaanmu ke Egil. Kamu tidak perlu menjelaskannya kepadaku, tapi kamu harus menanyakan ke dirimu sendiri, Karan. Are you sure about all of this? Can you see your future with Egil? Will you be okay when you go back to Indonesia? Assure yourself about Egil."

"Bagaimana kalau Egil marah dan nggak mau ketemu lagi denganku?"

Deniz mengedikkan bahu. "Itu konsekuensi yang harus kamu terima, tapi aku tidak percaya Egil akan bersikap sedrastis itu. Hubungan kalian mungkin akan berubah, tapi dia tidak akan bertindak seekstrem itu."

Karan menutup wajahnya dengan bantal sebelum menggelung badannya. Harapan bahwa Deniz akan mampu membantunya keluar dari dilema justru semakin menambah kebingungannya.

"C'mon, let's have dinner before everyone arrives," ajaknya sembari bangkit dari kursi.

Mendengar kata makan malam, Karan segera membuka bantal yang menutupi wajahnya dan bertanya, "Memang ada makanan? Kapan kamu masak?"

Deniz berdecak. "Let's eat out. My treat."

"Serius?"

"Change your clothes quick. Chop chop!" perintah Deniz sambil menepukkan kedua telapak tangannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top