31 - SPOILING KARAN
Karan mengerjap begitu menyadari matahari sudah cukup terik menembus tirai kamar. Tangannya meraba nakas di samping tempat tidur dan saat menemukan benda yang dia cari, erangan pelannya terdengar mengetahui jam di ponsel masih menunjukkan pukul delapan pagi. Dipandanginya tirai kamar yang melambai terkena embusan angin. Semalam dia membiarkan jendela sedikit terbuka karena tidak kuat menahan gerah. Sayup-sayup, telinganya menangkap percakapan dalam bahasa Portugis di luar kamar, sesuatu yang menjadi bagian dari rutinitas paginya. Kamarnya dan Deniz di Blue Door juga berada di lantai dua sehingga percakapan para pejalan kaki terkadang membantunya bangun jika dia lupa menyetel alarm.
Namun dia tidak sedang berada di Porto, tetapi di Lisbon.
Sembari membasahi tenggorokan, Karan perlahan memalingkan wajah. Meski tahu apa yang akan dia lihat, jantungnya tetap berdegup lebih cepat. Dengan pipi yang menempel pada bantal, mulut sedikit terbuka, rambut pirang yang berantakan, Egil tampak begitu pulas dan ... damai.
Setelah berciuman di depan Convento da Graça, mereka tak ubahnya sepasang remaja yang baru saja berpacaran. Egil menggenggam tangan Karan erat, sesekali mendaratkan kecupan di keningnya dan bahkan membuat Karan salah tingkah dengan tatapannya ketika mereka makan malam di Cabacas. Begitu kembali ke apartemen yang mereka tempati dan menghabiskan dua gelas wine, Karan tidak berhenti memandang Egil yang sedang merebahkan diri di atas sofa di seberangnya. Setiap pria itu mengangkat wajah disertai senyum, Karan tersadar betapa banyaknya waktu yang sudah dia buang demi berpegang pada bayangan akan perasaannya terhadap Oscar. Egil bergeming saat Karan beranjak dari duduknya untuk mengisi ruang kosong di samping Egil. Ciuman kedua setelah di Miradouro da Graça pun tidak terhindarkan. Untuk pertama kalinya, tidak ada kata maaf yang meluncur dari mulut Karan.
Karan tidak berusaha menyembunyikan gemetar yang dirasakannya dan Egil menyadarinya saat mereka menuju kamar tidur. Tidak ada ketergesaan ketika satu per satu tangan mereka melucuti pakaian yang masih melekat. Meski sudah lama tidak merasakan sentuhan pria lain sejak hubungannya dan Oscar berakhir, Karan tidak ingin terburu-buru. Dia menyisihkan ragu yang sempat mengganggu, menggantinya dengan kecupan dan sentuhan untuk mengenal tubuh Egil. Pun setelah keringat membasai kulit dan lelah melingkupi, tidak terselip sesal atau bersalah dalam diri Karan. Yang dirasakannya justru sebuah kebahagiaan kecil yang sudah lama tersisih dalam hidupnya.
Karan memiringkan tubuh, menatap Egil lekat. Tanpa bisa menahan diri, dia mengulurkan lengan untuk menyibakkan anak rambut yang menutupi kening Egil. Gerakan pria itu membuat tangan Karan yang sudah menyentuh rambutnya, membeku sebelum dia menariknya dengan cepat. Erangan pelan Egil lantas diikuti dengan matanya yang mengerjap cepat sebelum terbuka.
"Sorry, I didn't mean to wake you."
Egil mengernyit. "Karan ... isn't it too early to say sorry?" Egil mengucapkannya sambil mengucek mata. Suaranya jelas menunjukkan kantuk yang masih menguasainya. "Kamu sudah bangun lama?"
Karan menggeleng. "Mungkin sepuluh menit?"
"Dan apa yang kamu lakukan selama sepuluh menit? Memandangiku tidur?" Egil menyangga kepalanya dengan satu lengan. Senyum terpasang di bibirnya. "Do I look more handsome when I sleep?"
Karan tidak mampu menahan tawa kecilnya. "It's not a crime, is it?"
Egil mencondongkan tubuhnya dan mendaratkan kecupan di pipi Karan. "Selamat pagi, Karan. And no, it's not a crime."
Karan memutar kepalanya, memandang sekilas cahaya matahari yang terlihat semakin meninggi. "Kita mau ke mana hari ini?"
"Kamu ingin ke mana?"
Karan mengedikkan bahu. "Kamu yang tahu tentang Lisbon. Aku nggak keberatan kita ke mana aja."
"Let's take it easy today. Bagaimana kalau ke Mercado de Ribeira? Itu salah satu tempat favoritku di Lisbon dan kita bisa piknik setelahnya. Ada satu taman yang ingin aku tunjukkan kepadamu. You love parks. Dan karena besok hari Minggu, kita bisa kembali ke LX Factory karena ada flea market di sana."
Senyum Karan langsung mengembang mendengar tempat yang baru dikunjunginya kemarin. "Bagaimana kalau aku kecanduan dengan tempat itu, Egil? Apa yang harus aku lakukan sekembalinya ke Porto?"
Egil tergelak. "Karan, if you want, you can go to Lisbon every weekend just to visit LX Factory. It's not that far from Porto."
"Dan aku akan repot ketika kembali ke Indonesia nanti."
Egil seperti mengabaikan protes Karan, karena detik berikutnya, kedua tangannya sudah menangkup wajah Karan. "Karan?"
Karan hanya menjawab panggilan Egil dengan menatapnya.
"Happy birthday." Ucapan selamat itu diikuti Egil dengan mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka bertemu. "And I will cook the dinner to celebrate it," bisik Egil begitu dia melepaskan ciumannya.
Ekspresi Karan berubah setelah mendengar apa yang terucap dari mulut Egil. Ditatapnya pria yang wajahnya begitu dekat, berharap dengan melakukan itu, dia mampu menyingkirkan kenangan yang langsung menjamahnya. Kejutan Oscar, acara makan malam mereka, fountain pen—yang sengaja ditinggalkannya di Indonesia—serta notebook yang saat ini tersimpan di dalam tasnya, serta kejadian yang menjadi penyebab berakhirnya hubungan mereka dan Oscar, berebutan mengisi benaknya. Di tempat yang jauh dari Bali, dengan pria yang sama sekali berbeda dengan Oscar, Karan kembali dihadapkan pada hari yang tidak pernah disukainya sejak kematian Binar.
Menyaksikan raut muka Karan, Egil mengerutkan kening. Wajahnya dengan segera menunjukkan kekhawatiran. "Apakah aku mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya?"
Kata-kata yang ingin diucapkan Karan tertahan di tenggorokan. Menyebut nama Oscar dan menceritakan apa yang terjadi setahun sebelumnya hanya akan merusak apa yang sudah direncanakan Egil. Karan mengurungkannya.
Dia menggeleng pelan. "Aku nggak nyangka kamu tahu."
Kalimat Karan rupanya mampu menghapus keraguan yang tadi diperlihatkan Egil karena detik berikutnya, dia tersenyum lebar. "Aku harus maksa Deniz buat kasih tahu karena kamu menolak untuk memberitahuku. Dan perjalanan ini memang aku rencanakan agar bertepatan dengan ulang tahun kamu."
Karan menelan kembali rasa bersalahnya, membiarkannya berkumpul dengan tumpukan perasaan yang sama sejak mengetahui perasaan Egil terhadapnya. "Kenapa kamu melakukannya?"
"Because I want to?"
"Egil, I—"
"Simpan semua keberatan kamu, Karan. Baru kali ini aku melihat orang yang merayakan ulang tahun terlihat tidak bersemangat seperti ini."
Meski ribuan rasa bersalah masih menghujamnya, Karan memaksakan senyumnya. "Thank you for whatever it is that you have done, Egil. You've given me too much."
Egil tergelak. "You make me sound like a hairy godfather or genie in a box."
Karan mengernyitkan kening. "Box?"
"Because I don't fit in a bottle, Karan."
Menyadari leluconnya, Karan tergelak. "You don't"
Egil dengan segera merengkuh tubuh Karan dalam dekapannya, membuat Karan terkejut hingga responnya sedikit terlambat. Dia memejamkan mata saat pipinya menyentuh dada telanjang Egil, menghidu aroma tubuh yang jelas belum pernah menguasai indera penciumannya.
"Aku merasa begitu bahagia, Karan." Ucapan Egil itu diikuti sebuah kecupan di ujung kepala Karan.
Lidah Karan kelu. Dengan lembut, didaratkannya kecupan lembut di dada Egil untuk mewakli apa yang tidak mampu diucapkannya.
"Kamu harus berhenti melakukan itu atau kita tidak akan pernah keluar dari kamar."
"I don't mind, Egil, I really don't mind," bisik Karan, tidak peduli apakah Egil menangkap kalimatnya atau tidak.
***
Karan menepuk perutnya setelah menghabiskan tiga buah pastiés de bacalhau, dua salame de chocolate—yang ketika melihatnya pertama kali di Porto dulu, Karan tidak mengira makanan yang dikiranya sosis itu ternyata terbuat dari cokelat—dan botol bir di tangannya tinggal setengah. Disandarkannya punggung di pohon besar tempat dirinya dan Egil menggelar kain yang mereka duduki selama hampir dua jam.
"Kamu lagi baca apa?" tanyanya saat Egil menekuri tablet setelah menghabiskan makan siang mereka.
Menyadari telah mengabaikan Karan, Egil lantas memasukkan benda kotak pipih itu ke dalam tas. Wajahnya terangkat untuk menatap Karan. "Mantan rekan kerjaku dulu memberi tahu ada lowongan di perusahaan tempatnya bekerja. He asked whether I'm ready to go back to Oslo or not," balas Egil sambil tersenyum.
"Lalu apa jawaban kamu?"
Egil mengedikkan bahu. "Aku belum menjawabnya."
"Kamu ingin kembali ke Oslo?"
Egil membuang napasnya sebelum berujar, "To be honest, I don't know."
"At some point, you have to go back to work, right?"
Egil mengangguk. "Mungkin aku akan kembali setelah kamu pulang ke Indonesia."
"Apa hubungannya denganku?" Karan tidak mampu menyembunyikan rasa heran mendengar dirinya dijadikan alasan bagi Egil untuk mengambil keputusan.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kita, Karan. I mean ... I know what I want to happen between us, but it's not up to me alone. Akankah yang kita punya sejak kemarin bertahan begitu kita kembali ke Porto?"
Karan menelan ludah. Dia tahu, hubungannya dengan Egil sudah berubah sejak kemarin, sesuatu yang benar-benar tidak dia rencanakan. Semuanya datang begitu saja. Sekuat apa pun dia mengusir perasaan bersalah yang selama ini menggelayutinya, ada sebagian kecil darinya yang ragu bahwa rasa itu bisa datang lagi. Jika itu terjadi, tidak peduli apa pun yang dikatakan Egil, tidak akan mampu menariknya dari kubangan rasa bersalah.
Menyadari keterdiaman Karan, Egil menggeser duduknya hingga menutup jarak yang ada di antara mereka. "Kamu tahu bagaimana perasaanku, Karan. Jika apa yang kita punya ini bisa bertahan hingga waktu kepulangan kamu tiba, maka tidak ada alasan bagiku untuk tetap di sini. I have to go back to Oslo and find a job. Dan jika kita bisa bertahan dengan hubungan jarak jauh, kita harus segera mencari jalan tengah karena ada saat di mana aku tidak akan sanggup berada jauh dari kamu."
"Maksud kamu, jika kita bisa bertahan, salah satu harus pindah? Aku ke Oslo atau kamu yang ke Bali?"
"Atau kita bisa tinggal di tempat lain, tempat yang netral," sahut Egil. "Karan, kita tidak punya banyak waktu. Aku bisa gila jika harus melihat kamu pergi dan tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Aku bisa saja ikut kamu ke Indonesia, tapi semuanya akan jadi lebih rumit. Don't you think so?"
Karan diam. Bahasan ini sama sekali tidak diduganya.
"Anyway, it's just a thought. Kita tidak perlu membahasnya sekarang."
"Hidupku ada di Indonesia, Egil. Aku nggak tahu apakah bis—"
Egil memotong kalimat Karan dengan sebuah kecupan singkat. "Kita tidak harus membahasnya sekarang, Karan. Don't bother yourself with this. Nothing is set in stone yet."
Meski Karan memberikan anggukan, pikirannya tidak benar-benar bisa beralih dari segala kemungkinan antara dirinya dan Egil. Karan menghabiskan birnya lantas memasukkannya ke dalam kantong plastik yang mereka gunakan sebagai tempat sampah. Dilihatnya Egil sudah merebahkan tubuh, menjadikan kedua lengannya sebagai penyangga kepala. Ada dorongan kuat dalam diri Karan untuk menyandarkan kepalanya di dada Egil, tapi suasana ramai yang ada di Jardim da Estrela membuatnya ragu. Akhirnya, dia memilih untuk berbaring di samping Egil agar berada sedekat mungkin dengan pria itu.
Egil menoleh. "It's dangerous, you know."
Karan menoleh, berusaha memahami apa yang baru didengarnya. "Apanya yang bahaya?"
"You. Being near me like this."
Karan tergelak. "Apartemen yang kamu sewa masih punya dua kamar. Kita bisa tidur di kamar masing-masing seperti sebelumnya."
"Not going to happen."
"Lalu? Apa masalahnya?"
Egil mengedarkan pandangan ke arah anak-anak yang sedang bermain ayunan tidak jauh dari tempat mereka, kemudian beralih ke kolam kecil tempat berkumpulnya bebek-bebek yang sempat mereka beri makan tadi, dan orang-orang yang hanya berbaring dengan malas, beberapa bahkan melakukan sunbathing. "Karena kita ada di tempat umum. I don't want to get caught for public indecency."
Karan hanya menggeleng, tapi tidak mampu menahan senyum lebarnya. "You will let me help you in the kitchen, won't you?"
"Nope. Kamu bisa tidur, menulis, atau melakukan apa pun selain ada di dapur. In fact, I will be really angry and offended if you break that rule."
"Bukankah lebih gampang kalau kita makan di luar? Kamu nggak perlu repot seperti ini."
"Aku tidak merasa repot melakukan ini. I want to make it memorable for you."
"This trip can't be more memorable than this, Egil."
"Lima tahun dari sekarang, apa yang akan kamu ingat dari Portugal?"
Karan memonyongkan bibirnya, sambil berpikir. "Aku udah bilang pas kita mau ke LX Factory kemarin, kan? Sungai-sungainya, pasties de nata ... rasanya semua yang terjadi sejak aku sampai di Porto nggak akan bisa aku lupain."
Jawaban itu sepertinya memuaskan Egil, karena detik berikutnya, dia memandang Karan lekat. "Meeting you and spending time with you will be the most memorable things about my staying in Portugal." Egil lantas memiringkan tubuh hingga dia bisa lebih leluasa menatap Karan. "Even if things didn't go the way I wanted it, nothing will change that."
"Bagaimana kalau aku ngelakuin sesuatu yang justru bikin kamu benci denganku?"
"Seperti apa?"
Karan mengedikkan bahu. "Breaking your heart, for example."
"Itu konsekuensi dari setiap orang yang jatuh cinta, kan? It's not something unusual. Aku jarang membenci seseorang, Karan, apalagi jika aku pernah merasakan sesuatu kepada mereka. Bukankah kadang benci juga jadi bagian dari jatuh cinta? It takes a lot of energy to hate someone, moreover, if you've ever had relationship or feeling towards that person. So ... no, I will never hate you, you can keep my words."
Karan diam. "Apakah kamu akan ngelarang aku bilang terima kasih seperti tiap kali aku bilang minta maaf?"
"Memangnya untuk apa kamu berterima kasih?"
"For ... everything."
Egil tertawa kecil. "Karan, kamu bisa berterima kasih jika aku melakukan sesuatu karena kamu meminta tolong, tetapi apa yang aku lakukan selama ini bukan permintaan kamu, kan? Jadi tidak pas kalau kamu ingin bilang terima kasih."
Karan kehabisan kalimat membalas Egil, maka diulurkannya tangannya untuk membelai pipi Egil sebelum mendekatkan wajahnya. "I will still say thank you." Ucapan Karan itu diikuti sebuah ciuman yang tentu saja, tidak bisa ditolak Egil.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top