27 - CHASING THE REMEDY
Karan mengembuskan napas lega begitu pikap yang disewanya meninggalkan halaman indekos. Yang tertinggal di kamar hanyalah barang-barang kecil yang bisa dibawanya ke tempat Zola dengan motor. Beban hebat menggelayuti dirinya melihat kekosongan yang memenuhi kamar yang ditempatinya sejak diterima di Wuluh Tirta. Ruangan kecil ini sudah seperti rumah dan meninggalkannya terasa begitu berat.
Dengan pelan, ditutupnya pintu kamar sebelum berjalan menyusuri sudut-sudut kamar. Kehidupan barunya dimulai besok saat kakinya menginjak pesawat yang akan membawanya pergi jauh dari Bali. Di satu sudut yang sebelumnya ditempati rak buku, Karan terduduk. Dia menekuk lutut untuk menyangga dagu sementara matanya lurus memandang ruang kosong bekas ranjangnya berada. Dinding di sini sudah menyaksikan segala macam bentuk emosinya, termasuk semua yang berhubungan dengan Oscar. Kesibukan di hotel serta segala macam persiapan sebelum keberangkatannya ke Porto benar-benar menyita seluruh konsentrasinya 2,5 bulan terakhir. Di hadapan banyak orang, Karan berhasil menutupi perasaannya dengan senyum. Bahkan Zola pun hanya sesekali menyinggung tentang Oscar. Namun begitu memasuki kamar, seluruh pertahanannya roboh begitu saja. Tidak ada tangisan, hanya kerinduan yang masih belum mampu dia lepaskan.
Ada pertanyaan-pertanyaan yang masih mengganggunya dan usaha untuk menemukan jawaban belum juga berakhir. Mungkinkah hubungannya dengan Oscar bisa diselamatkan andai saja Oscar dapat berpikir lebih matang saat foto yang mengubah hubungan mereka tersebar di internet? Akan sia-siakah jika dia berjuang cukup gigih mempertahankan apa yang mereka miliki? Masihkah Oscar memikirkannya—meski sedikit—saat ini? Atau bagaimana perasaannya terhadap Karan saat ini? Pertanyaan terakhir jelas tidak bisa dia jawab kecuali bertanya langsung. Sayangnya, justru pertanyaan itu yang paling sering mengusiknya.
Di saat bersamaan, Karan berupaya melihat Porto sebagai efek positif berakhirnya hubungan yang dia jalani dengan Oscar. Jika Oscar masih berada dalam kehidupannya, kesempatan merasakan hidup di tempat yang sama sekali asing mungkin tidak akan pernah dimilikinya. Itulah satu-satunya prinsip yang harus terus digenggamnya jika keinginan mengirimi Oscar direct message muncul. Dia harus belajar menerima fakta bahwa hubungan mereka tidak akan mungkin kembali terjalin.
Karan menelan ludah ketika ponselnya berdering. Diraihnya benda itu dari saku celana dan saat melihat nama Zola, dia langsung mengangkatnya.
"Lo lagi di mana?"
"Masih di kos. Mau bersih-bersih sebentar sebelum ngasih kunci. Kenapa?"
"Ntar lo langsung ke sini aja kalau udah kelar, bantuin gue masak."
Karan berdecak, tetapi senyumnya terlalu jelas untuk bisa dia sembunyikan. "Kamu tahu aku nggak biasa di dapur. Memangnya mau masak apa?"
"Bantuin potong-potong aja. Gue lagi pengen banget makan urap."
"Sejak kapan kamu suka makan daun-daunan?"
"Lo kira gue kambing makan daun-daunan? Udah nggak usah protes. Lo bakal nangis di Porto nanti karena kangen masakan Indo."
Karan tergelak. "Ada yang perlu aku beli?"
"Beli camilan aja deh lo, abis makan nanti kita ke pantai dan ngobrol di sana."
"Ngapain ke pantai?"
"KarJo, pas lo nyampe Porto dua hari lagi, lo bakal nyesel nggak ngabisin malam terakhir di pantai karena di sana masih masuk musim dingin. Nggak sedingin bagian Eropa lainnya, tapi lo beneran bakal berharap nurutin ide gue."
"Belum berangkat saja kamu udah nakut-nakutin gitu. Kamu mau apa?"
"Apa aja deh, yang pedes pokoknya."
"Noted."
"Ya udah, buruan bersihin kamar lo terus ke sini."
"Iya!"
Begitu sambungan terputus, Karan memandangi layar ponselnya. Rumah Zola memang tidak besar, tapi dia bersikeras agar Karan menaruh barang-barangnya di sana selama dia ada di Eropa—dia menjual tempat tidur, lemari, serta benda-benda besar lainnya. Sahabatnya pula yang memaksanya bermalam di malam terakhirnya di Bali karena besok, Zola memaksa mengantarnya ke bandara.
Meski banyak yang belum dia ceritakan kepada Zola tentang Oscar, ada satu hal yang ingin dia ungkapkan. Sesuatu yang sudah disembunyikannya cukup lama. Karan merasa, sudah saatnya Zola tahu tentang Binar.
***
Zola memandang Karan lama sebelum menggeleng heran. "Kali ini, gue beneran nggak yakin tahu tentang lo, KarJo. Lo kok bisa sih nyimpen hal-hal begini selama kita sahabatan?" Zola berdecak keras. "Pengakuan apa lagi yang masih lo simpen dari gue?"
"Nggak ada lagi, Zo," balas Karan sembari meluruskan kaki, merasakan butiran pasir menempeli betisnya. "Aku rasa, bukan karena aku mau nyimpen ini dari kamu, tapi aku belum siap cerita. Karena hidupku pasti akan berubah setelah ninggalin Bali, aku pengen ngurangin beban yang aku punya ke kamu. Binar salah satunya. Aku ngerasa dengan cerita soal dia, hatiku seperti bawa koper kosong ke Porto."
"Jadi berapa lama hubungan lo sama Binar berjalan?"
"Tiga tahun. Kami ketemu pas mendaki di Lawu. Dia ngasih banyak tips tentang naik gunung karena waktu itu aku baru mulai suka mendaki. Setelah itu, kami jadi lumayan sering ketemu. Kami nggak pernah bilang cinta atau gimana, tapi kami sama-sama tahu." Karan membasahi tenggorokan sebelum kembali berujar, "Kami jadi sering naik gunung bareng, bahkan punya rencana buat ke Nepal dan naklukkin Himalaya, tapi dia keburu pergi justru saat aku nggak mendaki bareng dia." Karan memainkan batang pohon yang ditemukannya di atas pasir sebelum melemparnya asal. "Setahun setelah dia nggak ada, aku masih belum bisa naik gunung dan belum bisa lupa. Then, I just decided to leave Jogja for good. Nggak ada siapa atau apa-apa yang nahan aku di sana."
"Lo bukannya punya kakak?"
Karan mengangguk. "Aku nggak pernah dekat dengan Mas Gilang, apalagi setelah dia tahu aku gay. Ibu nggak pernah tahu sampai beliau meninggal dan aku selalu bersyukur karena Mas Gilang nggak pernah cerita."
"Jadi itu juga alasan lo kenapa nggak mau pulang ke Jogja?"
Membuang napas pelan, Karan menatap Zola. "Salah satunya. Sebisa mungkin, aku mencoba nggak pulang kecuali urusan administratif yang memang mengharuskan aku pulang. Bali udah jadi rumah buatku, Zo. This is the only life that I've known."
"Setelah Binar, lo praktis nggak pacaran."
Meski bukan pertanyaan, Karan mengangguk. "Sampai aku ketemu Oscar."
"Dia tahu soal Binar?"
"Dia tanya tentang siapa yang aku maksud dengan partner di buku pertamaku, jauh sebelum kami pacaran. So, I told him."
"Jangan bilang dia orang pertama yang lo ceritain soal Binar."
"He was."
Meski tidak keras, Karan tidak mampu menahan senyum mendengar umpatan yang keluar dari mulut Zola. Karan memang memilih pantai di daerah Legian karena selain ramai dan terang, dia tidak ingin berada di tempat yang terlalu sepi. Pantai di depan hotel Pullman menjadi pilihannya saat Zola bertanya pantai mana yang harus mereka tuju.
"Gue mungkin kedengeran kasar tiap kali ngomongin cowok itu, tapi lo juga harus ngerti, gue nggak kenal dia secara personal. Lo bener, yang gue tahu cuma dari apa yang gue baca di media dan cerita lo yang gue yakin masih ada yang sengaja lo simpen. Gue cuma pengen lo bahagia, KarJo, apalagi setelah denger cerita soal Binar. Ada untungnya gue nggak kenal cowok sialan itu, karena kalau kenal, dia pasti udah gue labrak dan mulut gue ini pasti udah ngeluarin kata-kata yang nggak bakal dia lupain."
"Promise me you won't do that if you meet him," tukas Karan cepat.
"Gue mungkin udah balik badan kalau ketemu dia. Nggak sudi banget liat tampangnya."
"Dia bikin aku bahagia, Zo, itu yang harus kamu inget. Sekarang pun aku masih belum sepenuhnya bisa lupain Oscar."
"Gue boleh nyeramahin lo sekali lagi nggak?" tanya Zola begitu dia menggeser duduknya agar semakin dekat dengan Karan sebelum mengulurkan lengan untuk meraih pergelangan tangan sahabatnya.
Karan menanggapinya dengan gelak. "Aku yakin kamu akan sering nyeramahin aku ke depannya."
"Buka hati lo. Kalau di Porto nanti lo nemu cowok yang lo suka atau syukur-syukur, dia yang suka ke lo, jangan biarin cowok sok kecakepan itu jadi penghalang. Dia pernah bikin lo bahagia, ingat kata pernah, yang berarti udah nggak lagi. Tapi lo musti inget, yang lo rasain sekarang juga karena dia. Kalau nanti gue yang dapet kesempatan ke Porto buat mid-term meeting, gue harap nggak akan denger nama dia lagi."
Karan mengembuskan napas panjang. Permintaan Zola memang terkesan simpel, tidak rumit. Namun, Karan tidak yakin hatinya mampu menepatinya. "Aku nggak mau janji apa-apa, Zo, tapi aku akan coba."
Zola mengangguk. "Itu yang penting, lo nyoba, tapi jangan males-malesan juga. Gue yakin, kalau bener-bener mau, lo bisa banget move on."
***
"Lo deg-degan?"
Karan tertawa menanggapi pertanyaan Zola. Bukan karena lucu, tetapi betapa sederhananya pertanyaan itu untuk mewakili perasaannya sekarang. Begitu selesai check-in dan kopernya masuk bagasi, Karan kembali keluar dari area penumpang untuk menghabiskan sisa waktunya di Bali tanpa harus dibebani dengan 19 kilo isi kopernya.
"Aku gugup, Zo. Nggak kebayang bosennya ngabisin 14 jam di pesawat."
Pesawatnya akan transit di Singapura untuk kemudian melanjutkan penerbangan ke Amsterdam sebelum akhirnya sampai di Porto. Saat mengetahui pesawat yang akan dinaikinya, Karan hanya mampu menelan ludah. Maskapai yang dipilih OPS adalah maskapai yang mempertemukannya dengan Oscar 20 bulan lalu.
"Lo bisa tidur atau nonton film. Percaya deh, nggak akan kerasa," ujar Zola sambil merapikan kerah kemeja biru muda yang dikenakan Karan, tidak menyadari ucapannya justru semakin menajamkan ingatan Karan tentang pertemuannya dengan Oscar. "Lo jangan duduk terus. Sekali-kali ke toilet meski lo nggak kebelet pipis, biar nggak capek karena duduk lama. Nggak usah takut, pesawat lo akan baik-baik aja."
Karan berdecak. "Penting ya ngingetin aku soal itu sekarang?"
Zola justru tertawa. "Katanya udah nggak takut terbang."
"Aku cuma bilang udah nggak separah dulu, tapi bukan berarti hilang."
"Bayangin aja wajah gue pas pesawat take off dan landing, pasti takut lo langsung ilang," canda Zola.
"Yang ada justru makin horor, Zo."
"Eh, kampret lo!" seru Zola sambil mencubit lengan Karan.
"Aku masuk sekarang aja, ya? Takut antrinya lama di imigrasi."
Zola mengecek jam tangannya. "Ya udah. Gue bakal di sini sampai lo lewat imigrasi. Jangan telepon gue, puas-puasin aja mata lo liat cowok-cowok cakep yang berkeliaran di terminal nanti."
"Nanti aku kabarin begitu ada di ruang tunggu." Dia kemudian mengulurkan lengan untuk memeluk sahabat yang tidak akan ditemuinya-mungkin dalam waktu enam bulan. Begitu hidungnya menangkap aroma mawar yang menguar dari tubuh Zola, Karan tersenyum. "Thank you for everything, Zo. I owe you this."
Dengan lembut, Zola menepuk punggung Karan. Matanya mengerjap agar tangisnya tidak pecah. "Lo nggak utang apa-apa ke gue. You deserved this and much more. It's just one small thing that I could help you with." Zola kemudian memejamkan mata seraya menarik napas sedalam mungkin. "Lo kudu janji bakal jadi Karan Johandi yang nggak gue kenal lagi. Install Grindr kalau perlu! Awas kalau gue nanti ke Porto dan lo bilang belum nge-bang siapa-siapa. Gue yakin cowok-cowok yang bakal lo temuin di Eropa nanti jauh lebih kece dari mantan sialan lo itu. Orang kayak dia nggak pantes lo pikirin lama-lama."
Karan tersenyum simpul. Ada nyeri dan haru berkejaran dalam hatinya. Haru karena mengetahui orang lain bisa bersikap sebaik ini kepadanya. Nyeri karena dia tahu, tidak akan mampu mengiyakan ucapan Zola tentang dating application. Dilepasnya pelukan Zola sebelum emosinya benar-benar tumpah.
"Kabari aku tentang Bali, ya?"
Zola menyeka matanya sambil mengangguk. "Tapi gue nggak bisa janji sering-sering biar lo nggak kangen. Have a great time there, KarJo." Zola kemudian menepuk kedua pipi Karan. "Jaga diri baik-baik, kabari kalau udah sampai Amsterdam. Nanti gue pastiin lagi ke Maia supaya nggak lupa jemput lo. Gue jamin, temen-temen serumah lo bakal nerima lo apa adanya. Nggak usah pura-pura jadi orang lain."
Karan mengangguk. "Kamu juga jaga diri ya?"
"Udah, buruan sana sebelum gue beneran mewek."
Karan menghapus pipi Zola yang masih basah sebelum mengecupnya. "Thanks again, Zo."
Zola mengangguk cepat sebelum mendorong tubuh Karan menjauh.
Karan pun beranjak menjauh dari Zola sebelum melambaikan tangan begitu kakinya kembali memasuki area penumpang. Sahabatnya membalas lambaian tangannya dan demi menghindarkan Zola melihat perubahan emosinya, Karan membalikkan badan dan mempercepat langkahnya melewati antrian check-in untuk langsung menuju security.
***
"Did you enjoy our holiday?"
"It was great. Thank you for taking me here."
"You deserved it, dear."
"And I'm glad we could find some time together. Being away from you has never been easy."
"I know, but it's for our future as well."
Percakapan itu diikuti sebuah kecupan di pipi sebelum salah satu mengulurkan tangan untuk memegang tangan kekasihnya.
Karan tidak berniat menguping, hanya saja, dia tidak mungkin meminta pasangan gay di sebelahnya berhenti mengumbar kemesraan. Dia juga tidak terang-terangan memperhatikan keduanya. Ekor matanya menangkap adegan intim itu tanpa bisa dia cegah. Dirinya tidak pernah keberatan dengan public display of affection, tetapi saat kepergiannya dari Bali menjadi usahanya untuk menyembuhkan luka hati, yang tersaji di sebelahnya tak ayal membuatnya meringis.
Digesernya letak duduknya agar lebih nyaman sebelum pengumuman tentang tujuan penerbangan mereka dikumandangkan dalam tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Belanda. Jika dulu Karan selalu memejamkan mata dan meraih sandaran lengan sekuat tenaga saat pesawat akan lepas landas, saat ini dia menekan ketakutan dengan membiarkan matanya terbuka lebar. Jantungnya masih berdegup kencang, keringat masih mengaliri punggung dan lengannya, tetapi Karan menahan diri begitu pesawat bergerak perlahan sebelum meningkatkan kecepatan.
Dibasahinya tenggorokan ketika pesawat mulai menanjak sebelum Karan menyerah, tapi bukan pada ketakutannya. Dipejamkannya matanya sambil membayangkan apa yang dilakukan Oscar jika dia duduk di sebelahnya saat ini.
Aku di sini. Kamu bisa pegang tanganku.
Kalimat yang diucapkan Oscar setiap kali mereka terbang berdua—yang bisa dihitung dengan jari—mengisi pikirannya. Ketika pesawat akhirnya berada dalam posisi stabil, Karan membuka mata dan tanpa disadarinya, pipinya sedikit basah. Disekanya perlahan sambil memandang kegelapan di luar pesawat.
Kehidupannya di Bali sudah ditinggalkannya, dan tidak akan ada jalan kembali sekarang. Karan menarik napas panjang sebelum mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
"I will be okay," ucapnya lirih.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top