23 - AFTER EFFECT

"Apakah ada yang mengganggu kamu, Karan?"

Pertanyaan itu menyentak usaha Karan untuk mengingat kapan terakhir kali dia menginjakkan kaki di ruangan ini dalam jangka waktu lebih dari sepuluh menit. Tangannya sudah berkeringat sejak mendapat telepon dari Bu Indri, Head of Human Resources, yang memintanya datang ke ruangan. Meski tahu alasan dirinya dipanggil, rasa gugup tak urung menyelimutinya.

Pandangan Karan beralih dari tangannya yang terlipat di atas pangkuan. Dengan senyum terbaik, dia menatap wanita yang dulu menaruh kepercayaan kepadanya dan menggeleng. "Sama sekali tidak ada masalah, Bu. Semuanya baik-baik saja."

Karan pun tahu, jawabannya sama sekali tidak meyakinkan.

"Kamu sudah hampir empat tahun bekerja di sini dan saya sangat tahu kinerja kamu seperti apa. Nggak perlu saya ingatkan dua gelar Employee of The Month yang pernah kamu raih, kan?"

Ada ragu yang mendesak sebelum Karan kembali menggeleng. Gelar yang diraihnya di tahun ke-2 serta ke-3 sejak bekerja di Wuluh Tirta, tidak akan mampu meringankan kekhawatiran yang menggelayutinya beberapa menit terakhir.

Dengan pengalaman kerja yang minim di dunia perhotelan, wanita setengah baya ini memberinya kesempatan mencoba setelah melihat riwayat pekerjaannya. Berkecimpung di industri perhotelan tidak pernah mengusiknya. Namun memutuskan pindah ke Bali tanpa menunggu panggilan wawancara menjadikannya tidak punya banyak pilihan. Dia pun melirik satu industri yang menyesaki Bali: perhotelan.

Begitu diterima, Karan memberikan seluruh kemampuan terbaiknya, tidak pernah segan bertanya, dan belajar sampai hal paling remeh dan menabahkan hati setiap mendengar seruan tidak mengenakkan dari Komang—staf senior Front Office yang sampai sekarang sikapnya ke Karan masih sama—sampai kemudian Alya menjadi panutannya.

Kejadian kemarin seperti puncak dari kesalahan-kesalahan kecil yang diperbuatnya sejak hubungannya dan Oscar berakhir. Di sinilah dia berakhir sekarang.

"Saya nggak perlu kasih sejarah panjang Pak Morten di hotel ini. Dia tamu VVIP dan kita selalu memberikan yang lebih untuk dia. Hampir saja dia ketinggalan pesawat karena kelalaian kamu melakukan wake-up call. Kamu nggak mau duduk di ruangan Pak Danny, kan?"

Karan menelan ludah. Angin yang keluar dari air conditioner terasa terlalu menggigil baginya saat menangkap nama General Manager Wuluh Tirta. Keringat langsung mengaliri punggungnya dengan hebat. Jika seragam krem yang dipakainya tidak cukup tebal, bajunya sudah bisa dipastikan basah kuyup saat ini.

Pak Danny bukanlah pimpinan yang otoriter, apalagi kejam terhadap anak buahnya. Namun sudah menjadi rahasia umum jika Bu Ghea—istri Pak Danny dan pemilik Wuluh Tirta—tidak segan mengungkapkan rasa tidak sukanya, termasuk merendahkan karyawan jika ada yang tidak sesuai dengan keinginannya. Memecat pegawai karena kesalahan kecil bukanlah hal baru. Saat ini, kehilangan pekerjaan adalah hal terakhir yang diinginkan Karan karena kehidupan pribadinya sudah cukup membuatnya lelah secara emosional.

"Saya mengerti dan hargai jika kamu nggak ingin mengungkapkan masalah pribadi kepada saya. Tapi saya juga punya kewajiban memastikan apa pun yang sedang kamu alami nggak mengganggu pekerjaan. Saya berhasil bicara ke Pak Danny supaya kamu nggak diberikan surat peringatan. Meskipun fatal, nggak ada komplain serius dari Pak Morten dan ini saya anggap keteledoran besar pertama yang kamu buat sejak bekerja di sini. Dan untung Bu Ghea sedang nggak ada di Bali." Kalimat terakhir itu diucapkan Bu Indri dengan pelan, diiringi sebuah senyum tipis.

Karan mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu."

"Saya juga dengar dari Alya, beberapa kali kamu salah memasukkan reservasi dan mencatat special request dari tamu-tamu yang akan menginap. Kamu beruntung ada orang seperti Alya yang segera memperbaikinya. Dia cerita ke saya karena peduli dengan kamu, Karan, dan dia juga hafal sekali kinerja kamu. Kalau kamu teledor, pasti ada yang mengganggu kamu secara personal."

Karan membasahi tenggorokan. Jika kesalahan kecil ini sampai ke telinga Pak Rio—Front Office Manager—bisa dipastikan dia akan mendapat ceramah panjang lebar. Dan bisa dipastikan, hari-harinya akan diselingi komentar-komentar pedas kalau Komang tahu.

"Apa kamu perlu mengambil annual leave? Saya lihat kamu masih punya banyak hari libur."

"Saya baru saja mengambilnya dua bulan lalu, Bu Indri. Tidak etis kalau saya harus mengambilnya lagi," sahut Karan.

Bu Indri hanya mengamati Karan yang sekali lagi menundukkan wajah. Kertas yang sedang dipegangnya memperlihatkan jadwal yang sudah dibuat Alya untuk bulan September. Dehaman pelan terdengar sebelum dia menyandarkan punggung. "Saya sudah lihat jadwal yang dibuat Alya untuk bulan depan dan juga sisa untuk bulan ini. Mungkin ada baiknya kamu satu shift dengan dia selama beberapa hari sampai kamu mampu mengatasi masalah apa pun yang sedang mengganggu kamu. Saya akan bicara dengan Gede agar dia meng-cover kamu untuk night shift. Yang saya lakukan ini jangan kamu anggap sebagai perlakuan istimewa karena jika kesalahan serupa terjadi lagi, saya tidak yakin bisa membantu lagi."

Saat ini, hanya anggukan yang mampu diberikan Karan. Pikirannya terlalu tumpul untuk memikirkan alternatif lain. "Terima kasih, Bu, saya pastikan kejadian kemarin tidak akan terulang."

Bu Indri tersenyum. "Baiklah, itu saja yang perlu saya sampaikan. Ada lagi yang ingin kamu tambahkan?"

Karan menggeleng. "Terima kasih sekali lagi, Bu Indri."

"Sama-sama. Kamu belum makan siang, kan? Tadi saya lihat Alya baru berjalan ke kantin. Ada Rio dan Gede yang bisa meng-cover kalian buat beberapa menit. Lagipula tinggal satu EA (expected arrival) yang belum check-in, kan? Semua ED (expected departure) sudah semuanya check-out."

"Baik, Bu."

"Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, datang saja ke ruangan saya."

Sekali lagi, Karan mengucapkan terima kasih dan dengan langkah terburu, segera berlalu dari ruangan Bu Indri. Meskipun lega karena dirinya terhindar dari ruangan Pak Danny, Karan harus lekas menyisihkan Oscar dari pikirannya. Konsekuensinya terlalu berat jika kesalahan yang sama—atau bahkan lebih besar—diperbuatnya.

Kehidupan pribadinya sudah berantakan, dia tidak ingin kehidupan profesionalnya menemui nasib serupa.

***

"Diceramahin apa sama Bu Indri?" tanya Alya begitu Karan memilih kursi di depannya.

Melepas udeng, Karan meletakkannya di samping nampan berisi nasi, satu buah tempe goreng, plecing kangkung, dan segelas air putih. Diliriknya nampan Alya yang tinggal menyisakan beberapa potong semangka sementara suasana kantin tidak begitu ramai.

Meski nafsu makannya tidak lagi menggelora, disuapkannya dengan malas sesendok nasi. Begitu suapan itu melewati tenggorokan, Karan menatap Alya yang masih menunggu jawabannya.

"Nggak diceramahin apa-apa. Soal Pak Morten kemarin dan apakah aku mau ngambil libur lagi."

"Terus?"

"Aku tolak. Komang bisa nggak berhenti nyinyir kalau tahu aku ambil libur lagi. Lagipula," Karan memainkan plecing kangkung dengan garpunya, "nggak ada perlunya aku ambil libur."

Begitu menandaskan potongan terakhir semangkanya, Alya menegakkan punggung dan memasang muka serius. "Seriously, though, what is wrong with you? Pikiran kamu tuh kayak nggak di kerjaan. Nggak biasanya kamu begini."

Not that again, keluh Karan dalam hati. Bukan hanya Alya atau Bu Indri, bahkan Zola pun melontarkan pertanyaan serupa setiap kali memergokinya melamun. Walaupun dorongan untuk memuntahkan kekesalannya atas pertanyaan itu begitu besar, Karan memilih menyimpannya sendiri.

Dan balasan yang diberikannya pun tidak berbeda. Jawaban yang mengkhianati perasaannya. "I'm okay."

Alya mengembuskan napas pelan, sembari menyingkirkan nampannya ke samping. "Kita memang nggak pernah deket sebagai temen, tapi kalau ada yang mau kamu ceritain, I'm all ears. Bu Indri cerita soal reservasi itu nggak?"

Untuk pertama kalinya, Karan tersenyum. "Thanks for covering up for me."

"Asal jangan keseringan. Lagian kamu juga pasti akan ngelakuin hal yang sama kalau aku bikin salah, kan?"

Karan mengangguk. "Bu Indri tadi bilang supaya kita satu shift buat beberapa hari. Gede bakal cover shift malamku."

"Daripada sama Komang, bisa makin kusut mukamu nanti," ujar Alya sambil menyomot potongan tempe milik Karan yang tidak disentuhnya dan menyuapkannya ke mulut. "Nanti aku ubah jadwalnya."

"Thanks."

Karan pun kemudian menikmati makan siangnya dalam diam. Kebijakan dari hotel yang tidak memperbolehkan karyawannya membawa ponsel selama bekerja—ponsel harus ditinggal di loker—membuat istirahat menjadi ajang bertukar obrolan. Atau gosip. Namun karena Karan tidak begitu suka menghabiskan waktu di kantin, dia biasanya hanya menggunakan 20 menit dari satu jam istirahatnya.

"Eh, kamu mau denger gosip nggak?"

Karan menatap Alya heran. "Sejak kapan kamu mau cerita gosip ke aku? Kamu tahu aku nggak suka gosip," jawab Karan setelah menandaskan gelas berisi air putih yang tinggal setengah.

"Yang ini beda dan beneran lagi hot banget!" seru Alya penuh semangat.

"Apaan memangnya? Kucing ngelahirin bayi anjing?"

"Ini tentang Oscar James. Kamu inget, kan?"

Jika saja Karan tidak mampu menahan emosi, bisa dipastikan gelas yang sedang dipegangnya pasti sudah meluncur dari tangannya. Pecah berkeping-keping. Untung cengkeramannya cukup kuat dan Alya mengangkat topik ini saat sisa makanannya tinggal sedikit. Dia tidak yakin mampu mengisi perut jika rekan kerjanya itu mengucapkannya saat perutnya belum terisi. Demi menghindarkan kecurigaan, Karan menanggapi pertanyaan Alya dengan anggukan.

"Inget. Kenapa dia?"

"Kabarnya dia gay. Ada foto dia tuh pas lagi di Thailand sama cowok. Gandengan tangan pula. Gue nggak nyangka cowok kayak dia justru jeruk makan jeruk. Sayang banget ...," keluh Alya seraya bertopang dagu.

Begitu mampu menguasai diri, Karan memutuskan untuk mengucapkan nama pria yang masih memenuhi hatinya. "Udah dikonfirmasi sama Oscar James sendiri kalau itu foto dia? Kali aja mirip."

Ingin rasanya Karan menepuk pundaknya sendiri karena bisa bersikap setenang ini sementara jantungnya berdegup begitu hebat.

"Dia bilang itu adik temennya yang punya sedikit gangguan mental. Menurut ceritanya sih, pas lagi di bandara, dia ngeliat adik temennya itu lagi mondar-mandir kayak kesasar gitu. Karena dia kenal, dia gandeng sebelum temennya nemuin mereka. But that's total bullshit. Nggak ada yang percaya sama ceritanya. Lagi heboh banget di infotainment, sampai-sampai banyak yang ngulik kehidupan dia pas masih di Amrik dulu. Ada juga yang bilang, dia sengaja nyebarin foto itu biar makin populer. Aku sih nggak tahu mana yang bener, tapi kalau dia sengaja, bukannya dia nanti malah ditinggalin penggemarnya, ya?"

Karan hanya menanggapinya dengan kedikan bahu sebelum berujar, "Balik, yuk! Nggak enak lama-lama di sini." Sejujurnya dia tidak sanggup jika bahasan tentang Oscar ini menjadi lebih panjang.

"Kok nggak diabisin makannya?"

"Kenyang," jawab Karan asal.

"Awas kalau sepuluh menit lagi kamu bilang masih lapar."

Karan cuma memberikan senyum lebarnya. "I won't."

***

Semesta sepertinya dengan sengaja menguji kesabaran Karan dalam satu hari.

Serapahnya meluncur dengan pelan saat melihat sosok yang dikenalnya berjalan menuju lobi. Nama yang tertera di expected arrival sungguh tidak diperkirakannya adalah nama wanita yang ditemuinya bersama Oscar beberapa bulan lalu di Jakarta. Menyadari Farah semakin dekat, Karan mengabaikan emosinya yang menggelegak hebat dan segera memamerkan senyumnya.

Mengenakan terusan selutut berwarna hijau muda, Farah terlihat semakin memesona dengan rambut yang sengaja dikuncir kuda dengan kacamata hitam besar yang bertengger di kepalanya. Ada keterkejutan saat melihat siapa yang berdiri menyambutnya di balik meja resepsionis, tapi Farah kemudian tersenyum.

"Good afternoon and welcome to Wuluh Tirta," sapa Karan dengan nada seformal dan seramah mungkin meski keringat mengaliri punggungnya.

"Karan! What a surprise!"

"Apa kabar?"

"Baik banget!" serunya. "Lega akhirnya bisa punya waktu buat ke Bali."

Senyum Karan masih belum pudar. "Boleh pinjam paspornya untuk saya kopi?" tanya Karan seraya mengulurkan check-in form untuk ditandatangani Farah. "Saya hanya perlu tanda tangan Mbak Farah, biar yang lainnya nanti saya isi."

Farah meraih pulpen yang diberikan Karan dan langsung membubuhkan tanda tangannya. "Sibuk?"

Karan menggeleng. "Tidak terlalu. Saya kopi sebentar, ya?"

Menuju mesin foto kopi yang berada di belakang lobi, Karan berusaha memanfaatkan jeda beberapa menit yang didapatkannya dengan menarik napas sedalam mungkin. Matanya tidak beranjak dari rekaman CCTV yang ada di kantor Front Office, berharap sosok Oscar tidak akan muncul di sana dengan tiba-tiba. Untuk pertama kalinya, dia tidak ingin melihat wajah Oscar James.

Setelah selesai, Karan kembali ke lobi untuk mengembalikan paspor Farah. "Mbak Farah bawa banyak koper?"

Farah menggeleng. "Cuma satu, tapi nanti bisa saya ambil sendiri. Saya tinggal di mobil."

Karan lantas menjelaskan fasilitas Wuluh Tirta, termasuk voucher spa yang bisa digunakan selama satu jam, waktu sarapan, serta di mana letak kolam renang. Farah hanya mengangguk pada setiap penjelasan Karan. Saat dirinya menjelaskan tentang letak vila nomor 12 setelah menyerahkan kunci, Alya menghampiri mereka dan meminta Karan mengantar Farah ke kamar.

Karan tentu saja tidak bisa mengelak.

Meninggalkan lobi, Farah langsung mengalihkan pandangan ke Karan setelah mengenakan kembali kacamata hitamnya.

"I'm so sorry about what happened," ujarnya saat mereka menjauh dari lobi.

Alih-alih menanggapi kalimat Farah, Karan justru menjelaskan sejarah singkat Wuluh Tirta, serta keunikan yang terdapat di tiap vila. Namun saat mereka hampir mencapai vila yang dipesan Farah selama dua malam, dia memberanikan diri mengatakan apa yang sedari tadi mengganggunya. Bersikap tidak profesional dengan menanggalkan atributnya sebagai staf Wuluh Tirta.

"Aku harap ini bukan ide Os—nya supaya kamu menginap di sini." Karan merutuk dalam hati saat menyadari dirinya hampir saja menyebut nama Oscar.

Farah menunduk sebelum membiarkan tatapannya kembali ke Karan. "Kamu kenapa nggak mau ngucapin nama dia, Karan?" Farah memperhatikan Karan yang menghindari tatapannya sebelum menambahkan, "Meski dia nggak bilang, aku tahu Oscar kangen kamu."

Karan terdiam. Tolong berhenti nyebut nama Oscar, pekik Karan dalam hati.

"Aku bawa mobil Oscar, tapi dia nggak ikut ke sini. Jangan menghindar kalau misalnya nanti kamu ketemu dia, ya?"

Karan tidak menanggapi apa yang didengarnya hingga mereka berada di depan vila nomor 12. Diambilnya langkah panjang demi mencapai teras sebelum tangannya membuka pintu dengan kunci yang dipegangnya. Begitu Farah masuk dan Karan berniat undur diri, wanita itu menahannya.

"Aku nggak akan ngoreksi apa yang aku bilang pas kita ketemu dulu, Karan. He likes you very much and he still does. Apa yang terjadi memang di luar kuasa kalian dan Oscar nggak—"

Karan mengangguk, memotong kalimat Farah. "Kamu nggak perlu mengulang apa yang sudah aku tahu. Karirnya jauh lebih penting saat ini." Karan kemudian tersenyum. "I wish him luck and success, Farah. Dan nggak ada perlunya kami ketemu. It will only hurt us deeper than it already has. Tolong sampaikan itu ke dia."

"Kamu nggak benci dia, kan?"

"I'm trying not to," jawab Karan sedatar mungkin. Dengan satu tarikan napas, dia menelan ludah sebelum memundurkan tubuhnya hingga berada di luar pintu masuk vila. "I hope you will enjoy your stay in Wuluh Tirta. Good afternoon."

Dengan cepat, Karan membalikkan tubuh. Dipercepatnya langkahnya karena pertemuan dengan Farah benar-benar mengacaukan seluruh pertahanan yang berusaha dia bangun. Saat mencapai jalan masuk ke kompleks vila nomor 12-15, Karan menghentikan langkah. Ditariknya napas dalam-dalam, sekuat tenaga mengalihkan pikirannya dari kenangan yang dimilikinya bersama Oscar. Namun usahanya sia-sia.

Karan memaksakan diri untuk kembali berjalan, berharap Alya tidak akan menangkap sesuatu yang berbeda darinya. Ketika menemukan partner kerjanya itu duduk di balik meja resepsionis, Karan mengungkapkan hal pertama yang terlintas di pikirannya tanpa menimbangnya lebih lanjut.

"Alya, aku ke toilet bentar, ya? Kebelet pipis."

Alya berdecak menanggapi permintaan Karan. "Ih, 15 menit lagi juga kita balik. Tahan bentar kenapa?"

Karan berdecak. "Kamu mau aku ngompol?"

"Ya udah, buruan! Awas kalau kamu nggak balik lagi dan nunggu sampe jam tiga di sana."

Karan hanya memberikan acungan jempolnya sebagai balasan.

Yang dia perlukan sekarang adalah membasuh mukanya dengan air dingin.

Dan berharap Oscar tidak akan menampakkan dirinya dengan tiba-tiba dua hari ke depan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top