20 - UNFORGETTABLE
Karan merapatkan jaket yang sejak memasuki area Taman Nasional Doi Inthanon, Chiang Mai kemarin, hanya dilepasnya saat mandi. Terlebih setelah matahari tenggelam, suhu di titik tertinggi di Thailand ini menurun. Malam ini mendung bahkan menggantung semakin pekat.
Meski sedang mengalami musim penghujan, Karan beruntung karena selama dua hari ini, hanya mendung yang menaungi The Roof of Thailand—julukan untuk Doi Inthanon karena letaknya. Ajakan makan malam Oscar tadi langsung diiyakannya karena takut mereka akan terlalu malas keluar tenda jika hujan turun. Gemuruh suara guntur serta air terjun Siriphum membuat Karan merindukan kamar indekos miliknya yang panas.
"Are you cold, Karan?"
Karan bergidik saat Oscar menyentuh punggung tangannya. Dengan segera, pria itu meletakkan ponselnya dan bangkit dari rebahan. Dengan hati-hati agar tidak menyentuh atap tenda yang mereka sewa, dia duduk di sebelah Karan. Tanpa menunggu, lengannya langsung merengkuh Karan, mendekatkan tubuh mereka hingga tidak ada lagi jarak. Jarinya mengusap lembut lengan Karan yang tertutup tiga lapis pakaian: kaus, kemeja, dan jaket. Apa yang dilakukannya memang tidak banyak membantu menghangatkan tubuh Karan, tetapi cukup mengalirkan rasa nyaman dan aman.
"Aku heran kamu bisa cuma pakai jumper seperti itu," gerutu Karan di sela-sela giginya yang bergemeretak. Hanya mengenakan kaus tipis yang dilapisi dengan jumper, Oscar memang seperti tidak terganggu dengan suhu yang turun hingga 11˚C.
Tenda yang mereka sewa seharga 250 THB untuk dua malam dipenuhi gelak Oscar. "Aku used to weather like this, Karan. It's okay. Kamu harus tahu rasanya ada di New York pas winter. This is nothing."
"Untungnya aku nggak punya rencana pergi ke sana saat musim dingin," tukas Karan, yang lagi-lagi dibalas Oscar dengan tawa.
"Kamu enjoy our vacation?" Oscar memalingkan wajah untuk memandang Karan yang masih berusaha menahan dingin.
Karan mengangguk, meski tatapannya tidak beranjak dari pintu tenda di hadapannya, sementara guntur masih setia menemani mereka dengan gelegar.
Bagaimana mungkin Karan tidak menikmatinya? Dengan sengaja, Oscar memilih Laos dan Thailand sebagai tujuan liburan mereka. Alasannya? Karena dia begitu menyukai dua negara tersebut.
Setelah mendarat di Vientiane, mereka menghabiskan dua malam sebelum menuju Luang Prabang melewati Vang Vieng dan menginap semalam di sana. Setelah dua hari di Luang Prabang, mereka bertolak ke Chiang Mai menggunakan pesawat dan pilihan Oscar untuk menyewa tenda dan menginap di Doi Inthanon sempat mengejutkan Karan. Setelah dari Chiang Mai, mereka akan bertolak ke Koh Samui selama dua hari sebelum menghabiskan sisanya di Bangkok. Menjadikan Bangkok sebagai tujuan terakhir tidak lain karena Oscar ada pemotretan di sana sehari setelah mereka harus kembali ke Indonesia.
Membayangkan harus ada di pesawat seorang diri dari Bangkok menuju Denpasar, tak urung membuat Karan bergidik. Kali ini karena ketakutannya harus terbang sendirian setelah Oscar selalu ada di sisinya semenjak mereka meninggalkan Bali.
"Kenapa?" tanya Oscar sambil mengerutkan kening.
"Thinking about my flight back to Bali."
"Kamu akan baik-baik aja, Karan. Kita sering terbang kan di sini?"
Karan menelan ludah.
Dia sudah menghitung berapa penerbangan yang akan dijalaninya bahkan saat Oscar menjelaskan rencana perjalanan mereka. Rute Denpasar-Vientiane, lalu Luang Prabang-Chiang Mai-Koh Samui-Bangkok-Denpasar sempat membuat kepanikan melandanya dengan hebat. Namun genggaman tangan Oscar dalam setiap penerbangan serta kata-kata yang dibisikkannya begitu pesawat mulai meninggalkan/menuju runway selalu berhasil menenangkan ketakutannya. Sayangnya dia harus menghadapi ketakutannya seorang diri beberapa hari lagi. Bayangan itu saja cukup membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
"Kita lay down, ya?"
Karan pun menurut saat Oscar membuka kantong tidur yang muat untuk dua orang dan segera menyusupkan tubuh jangkungnya di sana. Dia memang sengaja membawa sleeping bag sendiri dan berada dalam pelukan pria itu selama dua malam—meski tidak bisa bergerak dengan leluasa—cukup mampu membuat Karan tertidur dalam rasa hangat. Begitu Oscar menarik ritsleting hingga menutupi sebagian tubuh mereka, Karan menggunakan tangannya sebagai tumpuan. Oscar tersenyum sebelum mencuri satu kecupan singkat.
"Warmer?"
"Kamu nggak pernah cerita tentang mantan-mantan kamu," ujar Karan, mengabaikan pertanyaan Oscar.
Karan tidak tahu kenapa justru pertanyaan itu yang diutarakannya. Beberapa hari yang mereka habiskan bersama, menguak banyak sisi Oscar yang sebelumnya tidak dia ketahui. Kelihaian pria itu membaca peta, kesediannya makan di warung pinggir jalan saat mereka menuju luang Prabang serta dengkuran pelan yang tidak pernah Karan dengar sejak mereka tidur bersama—Oscar beralasan lelah membuatnya mendengkur, adalah beberapa di antaranya. Namun jika ada satu hal tentang Oscar yang sangat menuntut untuk dia ungkapkan adalah tentang masa lalunya yang berkaitan dengan hati.
Oscar mengembuskan napas pelan. "What do you want to know?"
"Apa saja yang mau kamu bagi," ujar Karan setelah mengedikkan bahu.
"Aku tidak punya banyak hubungan, Karan. Seingatku, in the past ten years, aku cuma punya lima hubungan dan ... well, they didn't last, obviously. Aku enggak punya hubungan seperti yang kamu punya dengan Binar. I don't think I've found a real love, yet. It always ends for the similar reasons."
"Which are?"
"Jealousy and possessiveness."
Kali ini giliran Karan yang bingung. Dia berusaha mengaplikasikan jawaban Oscar ke dalam hubungan mereka. Cemburu dan posesif? Siapa yang harus Karan cemburui? Dia memahami jika fans-fans Oscar bersikap berlebihan karena itu adalah bagian dari konsekuensi menjadi publik figur. Sedangkan tidak ada pria-pria yang mengelilingi Karan hingga Oscar harus merasa cemburu.
Bersikap posesif jelas tidak pernah menjadi wataknya. Oscar milik publik dan tidak ada niat untuk mengekang kebebasannya. Untuk apa? Lagipula hanya segelintir orang tahu mengenai ubungan mereka. Pertengkaran-pertengkaran kecil mereka justru karena hal-hal sepele dan miskomunikasi akibat jarak Jakarta-Bali, tidak pernah berkaitan dengan cemburu atau perasaan posesif.
Gagal memahami dua hal itu sebagai penyebab berakhirnya hubungan Oscar di masa lalu, Karan mengerjap. Kebingungan masih memenuhi benaknya.
"I'm not a jealous type of guy, Karan, but my ex-boyfriends were," jelasnya seraya menyilakan beberapa helai rambut yang jatuh di kening Karan. "Mereka selalu cemburu berlebihan setiap kali aku meninggalkan New York. Baik itu untuk urusan pekerjaan atau modeling. Alasannya sangat shallow, I think. They always used the fact that because I' was surrounded by good looking men with killer bods, that I instantly would fuck them if I had a chance. Jadi tiap kali aku mau pergi, lebih sering we had argument and ... yeah, it just never lasted. Pas aku masih kerja di office pun, things didn't really change that much. Sometimes, I wonder why."
"Mereka pasti tahu kamu punya ... kualitas untuk disukai banyak orang."
Oscar tersenyum lemah. "I don't know. They've never given me exact reasons why they acted that way."
"Itukah alasan kamu nggak pernah bawa mereka ke acara yang berhubungan dengan kerjaan?"
Dahi Oscar mengernyit. "Dari mana kamu tahu?"
"Farah told me. Dia bilang, pas kamu masih di NY pun, kamu jarang ngajak pacar-pacar kamu ke pemotretan atau pesta-pesta."
"Mereka akan getting crazier and jadi makin posesif. Mereka akan curiga siapa saja yang menurut mereka menarik. I just couldn't deal with that. That's why I've been single for a while. Until I met you."
Karan tertawa kecil, menganggap ucapan Oscar berlebihan. "I don't believe you."
"Why should I lie, Karan?"
Tatapan yang diberikan Oscar saat ini menghapus tawa Karan yang masih tersisa. Dia menelan ludah, berusaha mencari kebenaran dalam sepasang mata pria di depannya ini. Dan memang itu yang ditemukannya.
"Capek banget terus punya that kind of relationship. Aku juga mau fokus di dunia entertainment di sini. So, relationship was not my priority."
"What made you change your mind?"
Pertanyaan itu ditanggapi Oscar dengan sebuah senyum lebar. "Because you're different. And because I knew it felt right. Being with you feels right, Karan."
"Kenapa kamu begitu yakin? Things could go wrong. Nggak ada jaminan apa yang kita punya ini, meskipun menyimpannya dari publik ... that it will last."
"I didn't say everything will go smoothly, Karan. Tapi, sama kamu ... aku selalu feel like I've found a shelter, like I belong. Dan aku enggak pernah seperti ini before about someone. Mungkin the fact only few people know about us helps, tapi I feel right about this. Enggak ada doubts sama sekali."
Sesungguhnya masih banyak yang ingin diungkapkan Karan, termasuk menantang semua yang didengarnya dengan berbagai logika. Dangkal rasanya jika pria seperti Oscar bisa merasa seperti itu terhadapnya, yang notabene bukan siapa-siapa. Namun kemungkinan mereka justru akan terlibat argumen kecil mengurungkan niat Karan. Satu-satunya hal yang tidak dia inginkan adalah merusak kebahagiaan yang ada di antara mereka beberapa hari terakhir.
Jadi dia mengangguk.
"Are you happy?"
"Aku mulai berpikir itu pertanyaan favorit kamu saking seringnya kamu bertanya."
Suara tawa Oscar terdengar di sela rintik hujan yang mulai jatuh, menimbulkan kegaduhan di tenda mereka. "Aku cuma mau make sure."
"Jawabanku nggak akan berubah, Oscar." Dia lantas mengangguk. "I am happy."
"Have you ever imagined this ... after Binar?"
"This?"
Oscar mengangguk. "Another relationship."
"Saat sendirian di kamar dan nggak ada yang bisa aku lakukan, aku kadang merindukan punya seseorang. Tapi aku selalu berusaha supaya nggak terlalu dipikirin. I never really let that thought consumed me."
"Kamu enggak ... you know, feel lonely?"
Karan mengembuskan napas pelan. "Sometimes. Tapi aku udah empat tahun sendirian, jadi udah ... terbiasa. Setelah Binar, satu-satunya yang aku hindari adalah merasa kesepian. I write, I read, I try to do anything to occupy my mind. Nggak selalu berhasil, tapi seenggaknya aku masih hidup."
"I can't imagine how it feels ... losing someone you love abruptly."
Binar tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari percakapan mereka, tetapi membicarakannya juga tidak membuat Karan merasakan kesedihan. Mungkin waktu memang mengeringkan lukanya. Masih meninggalkan bekas, tetapi rasa sakitnya sudah lenyap. Kehadiran Oscar sedikit banyak mempercepat proses itu.
"Rasanya seperti mimpi."
Oscar diam. Tatapannya sama sekali tidak beranjak dari Karan sedikit pun. Jakunnya naik turun dan tidak lama kemudian, dia mendekatkan wajah hingga bisa dirasakannya embusan napas Karan. "But you're here with me now. If what we have here doesn't last, I hope it won't be because of fate, but our choices. Aku enggak mau kita saling benci kalau kita nanti udah," Oscar menelan ludah, "kalau perasaan kita enggak sama lagi."
Segala kekhawatiran Karan sudah dia ungkapkan saat Oscar mengutarakan perasaannya dulu. Bahkan tidak jarang, dia selalu menyelipkan kemungkinan-kemungkinan seperti apa saja yang akan memaksa mereka mengakhiri hubungan. Oscar memang selalu menanggapinya, tetapi dengan nada malas, seolah apa yang terucap dari mulut Karan hanyalah rasa panik dan takut berlebihan. Namun yang baru dia dengar menyadarkannya bahwa pria itu juga menyimpan ketakutan yang sama. Hanya saja dia mungkin memilih tidak mengungkapkannya ke Karan.
"Berapa lama yang kita punya?"
Oscar mengecup bibir Karan sebagai jawaban. "We have now and that's all that matters."
***
Berada di negeri orang benar-benar mengubah kebiasaan mereka. Salah satunya adalah keengganan Oscar melepas tangan Karan dalam genggaman. Dia tidak segan menggandeng tangan Karan, bahkan di tempat yang paling ramai. Meski hanya sebatas itu, tetapi bagi Karan yang sama sekali tidak pernah menerima perlakuan yang sama saat masih bersama Binar, atau pun dari Oscar saat mereka ada di Indonesia, melakukan public display of affection membuatnya tersipu. Jika sudah seperti itu, Oscar tidak akan berhenti menggodanya.
Seperti saat ini.
"Aku mau banget rekam kamu, Karan. The way you blush every time I hold your hand is priceless."
"I don't blush," elaknya.
"This one will do," balas Oscar diikuti kecupan singkat di pipi Karan. Saat Karan mengusap pipinya dengan segera, tetapi terlambat menutupi semu merah yang muncul, Oscar tergelak puas. "I'm afraid you're wrong."
"Bagaimana kalau ada yang lihat? Kita lagi di bandara," protesnya saat mengedarkan pandangan dan menyadari betapa ramainya bandara Suvarnabhumi.
"Kamu enggak pernah protes sebelumnya. Lagipula kita enggak bisa ketemu sampai minggu depan. I have right to show you my affection, haven't I?"
Karan hanya menggeleng, sementara tangan kanannya beberapa kali membenarkan letak tas yang digendongnya agar pundaknya tidak terlalu pegal. Oscar menawarkan diri membawanya, tetapi Karan menolak. Sepuluh hari berlalu begitu cepat hingga Karan sempat diliputi bimbang. Kembali ke Bali dan merasakan kasurnya sendiri memang membuatnya ingin segera meninggalkan Thailand. Namun mengetahui Oscar tidak akan ada di sampingnya membuat rasa enggan membebaninya.
"It's one of the best vacations I've ever had, Karan, thank you. I hope I made this trip memorable for you."
"Aku yang harusnya bilang terima kasih. You showed me a lot."
Obrolan mereka terputus saat Karan melakukan check-in. Begitu tas ranselnya masuk ke bagasi dan mendapatkan boarding pass, mereka berjalan ke salah satu sudut bandara yang tidak terlalu ramai.
Mereka saling berpandangan sebelum Oscar meletakkan dua tangannya di kedua pundak Karan.
"You don't know how much this trip means to me. Aku mau banget get on that plane and be by your side. But I will see you next week, okay?"
Meski perhatian Oscar terkadang terasa begitu berlebihan, Karan mengangguk. Kecanggungan akan intimasi yang dirasakannya memang sudah luruh. Oscar jujur mengakui bahwa tujuan trip mereka adalah demi melunturkan segala macam rasa tidak percaya diri serta canggung yang dirasakan Karan. Dan harus diakuinya, cara Oscar memang jitu. Namun ada sedikit perasaan lega mereka akan berpisah. Setelah sepuluh hari yang mereka habiskan berdua, kebersamaan tanpa jeda membuatnya perlu sedikit ruang untuk bernapas. Waktu yang memisahkan mereka hingga minggu depancukup bagi Karan untuk mendapatkan kembali ruang itu.
"Kabari aku bagaimana pemotretannya."
"Pasti," balasnya mantap.
"Aku lebih baik masuk sekarang."
Oscar mendekatkan tubuh untuk merengkuh Karan dalam pelukannya. Didekapnya erat tubuh pria yang jauh lebih pendek darinya itu, sebelum berbisik, "I will miss us, Karan." Begitu pelukan mereka terlepas, Oscar mendaratkan satu kecupan lagi di pipi karena Karan masih belum sepenuhnya merasa nyaman menerima kecupan di bibir. Senyumnya mengembang lebar. "Jangan takut. Just imagine I was sitting by your side, holding your hand. And I've put something in your iPod."
Alis Karan mengernyit. "Kamu naruh apa?"
"You'll know."
***
Dan Karan pun tidak mampu menyembunyikan senyum sekaligus perasaan leganya. Setidaknya hanya kehadiran Oscar saja yang harus dia bayangkan.
Begitu menemukan tempat duduk, Karan mengeluarkan pemutar musik dari sakunya dan langsung mencari apa yang dimaksud Oscar. Ada satu daftar baru di playlist-nya, berjudul KARAN'S FLIGHT, dan ketika menyumbat telinganya dengan earphone, suara Oscar langsung memenuhi indera pendengarannya saat dia menekan tombol play.
Awan menggantung di atas Bangkok, tidak berbeda seperti setahun lalu saat dia meninggalkan Kuala Lumpur. Namun ketakutannya akan terbang sudah tidak separah dulu. Saat bangun tidur dan mengetahui cuaca berawan, kepanikan langsung menyergapnya. Oscar menenangkannya dengan berbagai cara, termasuk tidak melepaskan genggaman tangannya sejak mereka masuk taksi. Karan memejamkan mata ketika dirasakannya pesawat bergerak perlahan. Dia membayangkan Oscar duduk di sampingnya, jemari mereka saling terjalin, dan di telinganya, suara Oscar bercerita tentang hal-hal random, terkadang tawanya terselip.
Begitu pesawat bersiap take-off, semua yang mereka lalui sepuluh hari ini memenuhi benak Karan. Dirinya tidak pernah yakin dengan apa pun, kecuali beberapa pengeluaran serta pemasukannya tiap bulan, tetapi saat pesawat beranjak meninggalkan landasan, ada satu hal lagi yang diyakininya: perasaannya terhadap Oscar semakin kuat.
Dan untuk pertama kalinya setelah lebih dari empat tahun, Karan benar-benar merasa kebahagiaan yang sempat hilang dari hidupnya kembali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top