17 - LOVEBIRDS

"Karan! Come here!"

Perlu beberapa detik bagi Karan untuk menyadari lengkingan yang didengarnya berasal dari kamar mandi. Tangannya membeku di atas keyboard laptop sebelum dia beranjak dari single sofa yang di duduki dan bergegas mempercepat langkah saat namanya kembali dipanggil.

Setelah merutuk pelan akibat satu boneka penguin Oscar—yang mengejutkannya saat memasuki kamar Oscar pertama kali adalah koleksi penguin yang tersimpan di satu lemari khusus berisi boneka, snow globe, miniatur, bahkan mug berbentuk burung yang tidak mampu terbang itu—yang tergeletak di dekat tempat tidur hingga membuatnya hampir terjerembap, Karan berlari kecil menuju kamar mandi. Begitu berada di ambang pintu kamar mandi, dilihatnya Oscar merapatkan punggung ke dinding berkeramik biru tua sementara pancuran air masih hidup. Uap mulai membasahi dinding kaca pembatas shower, tetapi Oscar justru tetap berdiri terpaku. Board shorts yang dikenakannya ke pantai masih belum dilepasnya meski dia sudah di kamar mandi lebih dari 10 menit.

"Ada apa?" tanya Karan sambil berjalan menuju shower dan mematikannya begitu menangkap raut muka Oscar menunjukkan ekspresi antara jijik dan geli.

"That little monster!" tunjuk Oscar ke salah satu di sudut kamar mandi.

Karan pun mengikuti pandangan Oscar. Disaksikannya satu kecoak sedang berusaha membalikkan tubuh dari posisi telentang hingga membuatnya berputar-putar tidak tentu arah. Dia menatap Oscar dan kecoak bergantian sambil memeras otak demi mencari korelasi antara teriakan Oscar dengan keberadaan serangga cokelat bersayap itu di kamar mandi.

"Kecoa?"

"Throw. It. Away!" perintahnya.

Belum sempat Karan bereaksi, Oscar sudah terlanjur berlari kecil meninggalkan kamar mandi. Mengukur kepalanya karena heran atas kejadian yang baru terjadi, Karan memutuskan bertanya apa yang harus dilakukannya.

"What do you want me to do?" serunya dari kamar mandi. Tidak cukup keras, tapi dia yakin Oscar mendengarnya.

"Get that little monster out of the bathroom! Kill it! Do something! Anything!"

Baru kali ini Karan melihat Oscar begitu panik hingga dia menggeleng bingung tanpa mampu menahan tawa kecilnya. Dengan langkah ringan, diambilnya dust pan yang ada di luar pintu kamar mandi dan dengan gerakan cepat, Karan menyapu binatang kecil tersebut sebelum membuangnya ke toilet bowl. Begitu siraman air menenggelamkan little monster—julukan yang mengingatkan Karan akan sebutan bagi penggemar Lady Gaga—Karan mencuci tangan kemudian kembali ke kamar. Dengan tubuh setengah telanjang, Oscar duduk di tepi tempat tidur dengan ponsel di tangannya.

"It's gone."

"What did you do?" tanyanya begitu mengangkat wajah.

"Sudah jadi mendiang."

Tawa yang tadi hanya berupa kikikan, berubah menjadi tawa lepas begitu melihat Oscar mengerutkan kening. Maksud hati ingin melucu, tetapi guyonannya ternyata gagal dipahami Oscar. Pria itu memang masih sering bingung jika Karan menggunakan kata-kata yang rumit dan jarang dipakai.

"Men ... diang? What the hell is that?"

Tebakan Karan bahwa Oscar tidak pernah mendengar kata 'mendiang' sebelumnya rupanya tepat. Meski tidak keberatan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi, tidak jarang Oscar bersikeras Karan memakai bahasa Indonesia demi melancarkan kosakata dan pelafalannya. Konsekuensinya, Karan tidak punya pilihan selain menebalkan kesabaran jika Oscar tidak memahami kata yang dia ucapkan. Namun menjelaskan arti sebuah kata kepada Oscar selalu menghibur Karan.

"I got rid of it."

"Aku nggak minta binatangnya dibunuh, Karan. Oh, poor thing," selorohnya.

Mata Karan seketika membesar tidak lama setelah Oscar menyelesaikan kalimatnya. "Oh poor thing?" ulang Karan. "Kamu ketakutan setengah mati, tapi malah kasihan begitu tahu kecoaknya mati?" Karan menggelengkan kepala sambil berdecak.

"Kamu bisa membuangnya ke luar."

"Kalau kecoaknya masuk kamar lagi, kamu mau berurusan dengannya?"

Oscar mendesah kalah, tetapi sebuah senyum kemudian tersungging di bibirnya. "Come here."

Dengan segera, Karan mengayunkan kaki menghampiri Oscar yang masih belum beranjak juga dari tepi tempat tidur. Begitu dirinya duduk, Oscar memiringkan tubuh dan menekuk satu kakinya di atas kasur. Senyumnya masih belum juga sirna.

"Thank you for getting rid of it."

Karan mendengus pelan. "Aku nggak tahu kamu takut kecoa."

"Ugh! That animal is disgusting!"

Lagi, Karan tidak mampu menahan tawanya.

"Enggak lucu, Karan."

"Seorang Oscar James, dengan otot di mana-mana, takut dengan kecoa?" Karan menggelengkan kepalanya takjub. "Apakah ada binatang lain yang kamu takutin?"

Oscar berdecak sebelum menelengkan kepala. "Kamu enggak punya intention to prank me, do you?"

Karan menggeleng. "Biar aku nggak kaget kalau liat binatang yang kamu takutin. So I can be your knight in a cotton armor."

Dahi Oscar mengerut. "Why cotton?"

"Karena semua bajuku rata-rata dari katun. Aku nggak punya baju dari besi."

Menyadari candaan Karan, gelak Oscar langsung terdengar. "Ah, well, aku enggak suka cicak dan bees. How do you say bees in Indonesian?"

"Lebah," jawab Karan. "Kenapa dengan cicak dan lebah?"

"Cicak karena Ibu told me about that myth? Kalau ada yang jatuh, then one of your family members will die? It happened once pas aku 7 tahun. Paman meninggal dua hari setelah ada cicak jatuh di kepalaku. Since then, aku jadi paranoid banget. Kalau belah, I got stung once and it was something I don't want to repeat. Sakit banget!"

"Le-bah, bukan be-lah," koreksi Karan.

"Kenapa sih, banyak words yang similar di bahasa Indonesia? Aku jadi bingung, dong."

Karan tergelak. "Kamu cuma harus kebiasa," balasnya. "By the way, soal cicak, kamu ngingetin aku dengan beberapa tamu dari Korea yang selalu minta pindah kamar jika mereka lihat ada cicak di kamar. Dan soal keluarga yang meninggal, itu cuma ... mitos. I can't believe you still buy that myth."

"Just don't prank me with any of those animals, okay?" pintanya.

"Aku sama sekali nggak punya niat buat itu."

Jawaban Karan mendapatkan kecupan di pipi dari Oscar dan bisikan terima kasih, yang membuat senyumnya mengembang. "Kamu tadi lagi ngapain?"

"Just scribble some ideas."

"Tentang apa ceritanya? Kasih tahu, dong!"

Ekspresi yang ditunjukkan Oscar saat ini tidak ada bedanya dengan anak kecil yang melakukan berbagai cara demi merayu orang tuanya agar diizinkan tidur melewati jam yang sudah ditentukan. "Ditulis aja belum. Masih ide," balas Karan.

"Not even a little?" Oscar mendekatkan ibu jari dan telunjuknya, sambil menyipitkan mata.

"Nope," tolak Karan sebelum menambahkan, "You have to wait like my other readers."

"Tapi aku kan special!"

Karan tetap teguh dengan gelengan kepalanya, menguatkan diri tidak terbahak melihat wajah memelas Oscar. Saat dirinya akan bangkit untuk kembali melanjutkan menuangkan ide, lengan Oscar menahannya.

"Karan?"

"Ya?"

Pria itu malah cengar-cengir saat Karan menatapnya dengan cukup serius. "Kamu mau ke mana?"

"Lanjut nulis. Kamu bukannya mau mandi?"

"Bisa enggak nulisnya nanti lagi?"

Kali ini, Karan mengernyitkan dahi. "Kenapa harus nanti? You hate procrastinator, yet, you asked me to be one." Dia sengaja mengungkapkan ketidaksukaan Oscar dengan orang yang sering menunda pekerjaan. Sesuatu yang pernah diucapkannya beberapa minggu lalu.

Oscar menggeleng. "Bukan maksudnya itu."

"Lalu?"

"Tunggu sampai kita selesai mandi."

Karan menelengkan kepala, berusaha meyakinkan diri bahwa yang didengarnya tidak keliru. "Kita?"

Oscar mengangguk, lengkap dengan seringai jenaka yang mulai dikenal Karan sebagai pertanda dirinya sedang memikirkan sesuatu yang akan membuat Karan tersipu.

"Kamu selalu enggak mau mandi bareng. Ayo dong, jangan malu. It can be sexy, you know."

Dengan kocak, Oscar menaik-turunkan alisnya, tatapannya masih penuh godaan dan canda.

Bukan kali pertama Oscar mengajaknya mandi bersama, dan setiap ajakannya selalu ditolak Karan dengan berbagai alasan. Memiliki momen intim bersama Oscar James masih terasa tidak nyata baginya, sekeras apa pun usahanya melihat Oscar James bukan sebagai publik figur. Oscar sepertinya sadar dengan yang Karan rasakan, hingga dirinya mengusahakan pulang ke Bali setiap akhir pekan dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama Karan.

"Apanya yang seksi?"

Oscar beringsut mendekati Karan hingga tubuh mereka berada begitu dekat. Dengan lembut, dia mengulurkan lengan demi menyilakan beberapa helai rambut yang menutupi pelipis dan kening Karan. Dibelainya pipi kekasihnya itu dengan ibu jarinya.

"Your nervousness is not sexy. Aku tahu kamu masih nervous when you see me naked and," Oscar berdeham pelan sebelum meneruskan ucapannya, "when we make love." Dia menarik napas panjang. "Karan, we're in relationship, aren't we? You're not supposed to be nervous when you're with me."

Karan hanya diam, merasakan begitu dekatnya wajah mereka, hingga mampu melihat jelas kerutan tipis di ujung mata serta tiap helai alis yang membingkai sepasang mata cokelat milik Oscar. Bahkan untuk menunduk pun, Karan tidak memiliki cukup ruang.

"Please?" bisik Oscar hingga embusan napasnya bisa dirasakan Karan.

"Udah cukup lama aku nggak dekat dengan seseorang. And our intimacy ... it shocks me in a way because I've been alone for too long."

"Apakah aku harus do something buat bikin kamu less nervous?" Ibu jarinya kembali membelai pipi Karan lembut. "You can ask me, you know."

"I need," Karan menelan ludah, "time to adjust, Oscar."

"I know," bisik Oscar. "Tapi kamu harus tahu, that we will have many of this." Oscar menyertai kalimatnya dengan menempelkan bibirnya ke Karan.

Meski sudah menduga Oscar akan memberinya ciuman, Karan masih saja belum siap. Dia membalas pagutan bibir Oscar setelah jemari pria itu menekan tengkuknya. Dengan pelan, Karan mengangkat kedua lengannya yang sedari tadi masih bertumpu pada kasur, dan mulai menyentuh bagian depan tubuh Oscar yang telanjang. Dibiarkan jemarinya menelusuri dada bidang Oscar sebelum berjejak pada kedua sisi pundaknya. Perlahan, dia membuka mata saat Oscar mengakhiri ciuman mereka hingga dirinya tidak mampu menahan senyum begitu Oscar mengembangkan bibir dengan lebar. Meski masih sedikit bergetar, Karan mengelus leher Oscar ketika pria itu membelai punggungnya yang masih terbungkus kemeja hijau muda.

"Aku masih nunggu kamu lead the kiss, Karan, or the sex. You need to be proactive once in a while."

Menyadari bahasan tentang dirinya hanya akan menemui bantahan demi bantahan, Karan sengaja mengalihkan topik. "Kamu bukannya harus mandi?"

"Together," sahut Oscar sambil mengaitkan jemarinya pada kemeja Karan dan mulai membuka kancingnya.

Karan hanya bisa terpaku saat semua kancingnya sudah terlepas dan bergidik pelan begitu telapak tangan Oscar menyentuh dadanya. "Apakah ... kamu selalu ... begini?" ucapnya tanpa berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

"Huh?" tanya Oscar ketika mengangkat wajahnya.

"Being so ... seductive."

Oscar pun tergelak ketika menangkap Karan memejamkan mata sesaat sebelum membukanya lagi. Diberikannya seringai nakal bersamaan dengan jemarinya yang mulai melingkari pinggang Karan.

"I just do it in front of my boyfriend." Oscar lantas mendekatkan bibirnya ke telinga Karan dan berbisik, "Let's take a shower and then have a dinner. I don't ... mind having you as my appetizer, but then, I will need the main course AND the dessert as well."

Rona langsung memenuhi wajah Karan. Bukan hanya karena kalimat yang diucapkan Oscar, tetapi juga caranya merendahkan suara hingga terdengar sangat menggoda. Belum sempat Karan menormalkan degup jantungnya, Oscar sudah terlanjur menangkap basah semburat merah di pipinya—yang tidak akan terlihat jika mereka berada dalam jarak cukup jauh. Tawa Oscar justru membuat Karan semakin mati kutu.

"I love it when you're blushing like that," pujinya lantas mendaratkan kecupan di pipi Karan. "Shall we, love?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top