16 - THE NEAR REGRET

"Aku perhatikan, kamu lebih sering diam sejak tadi. Did I do or say something wrong?"

Gemuruh ombak yang menghantam tembok pembatas Farol de Felgueiras tidak hanya menyadarkan Karan dari lamunan, tetapi juga membuat pandangannya teralih ke Egil. Pria itu mengajaknya ke Foz do Douro—daerah di Porto yang menjadi pertemuan antara Samudra Atlantik dan sungai Douro—setelah Karan sedikit mengeluh mengenai tempat di Porto yang belum dikunjunginya. Egil tidak mengatakan tujuan mereka saat dia menjemput Karan di kantor, dan saat mobil Egil berhenti tidak jauh dari mercusuar di sudut kota Porto ini, senyum di bibir Karan merekah. Dia juga sadar hatinya sudah tertambat di tempat ini meski baru pertama kali menginjakkan kaki.

"Sorry," balas Karan sembari tersenyum tipis. "And no, you didn't say or do something wrong. You never did, Egil."

Dia tidak pernah melewatkan kebiasaan yang sama setiap Egil memergokinya sedang melamun atau berusaha memancing agar mengungkapkan isi pikirannya. Karan yakin Egil pasti jemu dengan sikapnya, tetapi keterdiaman pria itu dianggapnya sebagai sebuah pemahaman atas sikapnya.

Dan tanggapan Egil memang sekadar anggukan pelan, tanpa menghentikan langkah mereka menuju mercusuar dari arah pantai. Hal pertama yang Karan utarakan saat matanya menangkap bangunan kecil di depan mercusuar adalah warna catnya yang mengingatkannya akan bendera Indonesia. Egil sempat tergelak, tetapi sedetik kemudian, diam kembali menyelimuti mereka.

Begitu mencapai titik aman, mereka berhenti. Egil mengenakan kacamata hitamnya seperti biasa, tidak memedulikan rambutnya yang berantakan karena tiupan angin yang cukup kencang. Karan beberapa kali menggunakan tangan demi merapikan rambut hitamnya yang terlihat sedikit memerah karena aktivitas yang dilakukannya beberapa minggu terakhir menuntutnya berada di bawah terik matahari musim panas. Meski Egil memaksanya mengenakan topi atau kacamata hitam untuk melindungi penglihatannya, Karan tetap menolak.

Setelah meletakkan kedua lengannya di atas pagar pembatas, Egil mengamati Karan yang pandangannya tidak teralih oleh bintang raksasa yang mulai merendah di ufuk barat. "Apakah kamu jadi pendiam karena Zola sudah tidak di sini lagi? Apakah kamu kangen?"

Karan menggeleng, tanpa berniat menoleh demi memandang Egil. "I will see her again in three months," balasnya ringan. Diembuskannya pelan napas sebelum indra penglihatannya beredar ke berbagai titik yang bisa dia capai. "Waktu berlalu cepet banget, Egil," ujarnya tiba-tiba, sembari menjadikan Egil titik terakhir pandangannya. "Waktuku tinggal tiga bulan lagi dan aku ngerasa masih banyak yang belum aku lihat, baik di Portugal maupun di Eropa. I really should follow Zola's suggestion."

"Dan apa itu?"

Karan tersenyum mendengar nada Egil yang sedikit terlalu bersemangat menanggapi ucapannya. "Planning for a trip."

Egil ber-oh pelan. "Ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"

"To be honest with you, that's actually part of the problem. I don't know where to go." Karan lantas memajukan tubuh hingga dadanya menempel pada pagar pembatas. "Yang pasti, aku harus ke Amsterdam awal Agustus nanti karena Deniz nggak akan memaafkanku kalau sampai kembali ke Indonesia dan nggak main ke sana."

Teman sekamar Karan memang akan meninggalkan Porto pada pertengahan bulan Juli dan dia sudah berjanji akan menyempatkan pergi ke kota kelahirannya. Dia bahkan tidak peduli jika gay pride biasa diselenggarakan di waktu yang bersamaan di ibukota Belanda itu. Yang penting baginya adalah mengunjungi Deniz.

"Kamu sama sekali tidak tahu mau ke mana?" Erangan Egil sesudahnya berhasil menyunggingkan senyum di bibir Karan. Dia mulai mengenali berbagai ekspresi Egil jika dirinya sedang heran atau kesal. "You're simply unbelievable, Karan, do you know that?"

Saat Zola memberitahunya tentang Porto, hal pertama yang melintas di benak Karan hanyalah menjauh dari Bali dan luka hatinya. Dia tidak peduli dengan kota-kota besar di Eropa seperti Paris atau Milan. Namun menyembuhkan diri dari Oscar bukanlah perkara mudah, bahkan setelah dirinya berada ribuan mil jauhnya dari Bali. Kehadiran serta perhatian Egil, semua hal baru yang dialaminya sejak menginjakkan kaki di Porto masih belum mampu mengeringkan lukanya.

Argumennya dengan Zola mengenai Oscar dan ketidaksukaaannya—apalagi setelah mengenal Egil—sedikit banyak mempengaruhi Karan. Dia mulai mempertanyakan apakah ketidakmampuannya meninggalkan bayang-bayang Oscar adalah murni karena perasaannya masih sekuat dulu atau dia semata-mata berpegangan pada ilusi yang ingin dipercayainya sebagai kenyataan. Zola berpesan agar dia menjauh dari Porto selama beberapa hari untuk melihat hal-hal baru yang tidak bisa didapatkannya di Porto atau Bali. Dan sejak sahabatnya pergi, Karan merasa dirinya semakin tenggelam dalam keraguan akan perasaannya terhadap Oscar.

Seperti belum cukup, siang tadi saat membuka Instagram, dia mengetahui Oscar sedang dalam perjalanan menuju Eropa dari unggahan fotonya yang menunjukkan lokasi bandara Changi, Singapura, dengan caption 'Europe, here I come'. Hatinya resah karena Oscar tidak menjelaskan kepentingannya ada di Eropa dan pikirannya dengan segera menjejalkan kemungkinan mereka bertemu di Porto.

Ketidakpastian itulah yang membuat Karan lebih memilih diam dan menjawab seperlunya jika Egil mengajukan pertanyaan. Karan tahu, semua usahanya untuk lepas dari Oscar akan sia-sia jika semesta mempertemukan mereka lagi. Jika Oscar masih mengikuti foto-foto yang diunggah Karan, dia akan dengan mudah mengetahui keberadaan Karan saat ini.

"Aku bisa mengajak kamu ke Bergen."

Ucapan Egil kembali menyadarkan Karan hingga selama beberapa detik, dirinya kesulitan mengingat pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dia lantas menggeleng begitu menyadari Egil masih menunggu reaksinya.

"Alasan apa yang akan kamu kasih supaya aku mau ke Bergen, kalau kamu sendiri enggan pulang ke sana?"

"Touché," balas Egil tanpa mampu menyembunyikan senyumnya.

"Terlalu banyak tempat di Eropa sampai aku nggak tahu harus mulai dari mana."

Egil menelengkan kepala hingga dia bisa melihat seluruh wajah Karan dengan jelas. "Kalau masih di sekitar Portugal atau Spanyol, aku bisa menemani kamu. Kalau kamu mau tentu saja. I speak Spanish as well, so you will be safe because no one is going to rip you off."

Karan menggeleng pelan, bukan sebagai penolakan, tetapi lebih untuk menunjukkan keheranannya. "Kamu udah ngelakuin banyak, Egil. Aku nggak mau berutang apa pun ke kamu."

"Kamu sama sekali tidak berutang apa-apa, Karan. You know I love spending time with you."

Karan diam. Dia tidak bisa menyanggah karena keberatannya akan dimentahkan Egil dengan mudah.

"Or we can go to Lisbon. You haven't been to Lisbon, have you?"

Karan menggeleng. "Aku belum ngambil jatah liburku sama sekali."

"Let's go, then!" seru Egil penuh semangat, seperti pergi ke Lisbon semudah mengantar Karan pulang dari kantor. "Mumpung musim panas belum benar-benar mulai. You don't want to travel during summer."

Karan menyipitkan mata. "Kenapa malah kamu yang semangat kayak gitu?"

Egil terkekeh. "I don't know. I guess I'm excited for you."

Karan mengerutkan dahi. "Aku?"

Belum sempat Egil membalas, dinding pembatas diihantam ombak yang cukup keras hingga mencapai tempat Egil dan Karan berdiri. Jika saja Egil tidak menarik lengan Karan dengan cepat dan berlari menjauh, bisa dipastikan mereka akan basah sekujur tubuh.

"That was awesome!" seru Egil begitu mereka berada dalam posisi aman.

Mata Karan melebar, sementara dia masih berusaha mengatur detak jantung dan napasnya yang memburu hebat. Dirasakannya air laut membasahi lengan dan ujung celana pendeknya. Memandang Egil, baju pria itu justru lebih parah. Rambut pirangnya seperti baru saja disiram air satu ember yang berakibat kaus putihnya basah di bagian kerah, pundak, dan dada bagian atas. Yang tidak dipahami Karan, Egil justru terlihat bahagia dengan apa yang baru saja mereka alami. "We could get washed away by the waves, Egil. There's nothing awesome about that," protes Karan.

Egil justru membalas kekhawatiran Karan dengan tawa keras. Mereka berjalan menjauh dari mercusuar, dan Karan berharap angin yang berembus mampu mengeringkan pakaian mereka yang basah. Mereka kemudian duduk di sisi lain Farol de Felgueiras tanpa harus mengorbankan pemandangan matahari terbenam atau dikuntit kekhawatiran akan kembali terkena pecahan ombak.

"So, what do you say, Karan?"

"Say about what?" Karan melurukan kakinya sembari menghirup dalam-dalam aroma laut.

"Pergi ke Lisbon. Mungkin setelah Portugal Day supaya kamu lebih bisa menikmatinya?" Tanpa menunggu tanggapa Karan, Egil mengeluarkan ponsel dari saku celana dan langsung membuka fitur kalender. Matanya terfokus pada minggu kedua bulan Juni. "Bagaimana dengan tanggal 16? Itu hari Kamis, kita bisa pergi sepulang kamu dari kantor dan kembali ke Porto hari Selasa pagi, jadi kamu tidak perlu mengambil jatah libur terlalu banyak. Atau kita bisa pergi Rabu sore dan pulang Selasa malam. You will only take maximum four of your days off. That sounds perfect, doesn't it?"

Karan diam, tetapi pandangannya tidak beranjak dari Egil. Hatinya dipenuhi sesuatu yang tidak mampu dijelaskannya. Mendengar Egil begitu bersemangat merencanakan perjalanan yang bahkan belum dia setujui serta mempertimbangkan hari liburnya, membuat Karan tidak bisa mengalihkan tatapannya dari pria di sampingnya.

Karan tidak tahu apakah ada pamrih di balik semua yang sudah dilakukan Egil. Ketertarikannya terhadap Karan jelas satu alasan yang sulit dibantah, tetapi sulit baginya mencerna alasan Egil masih ingin menghabiskan waktu bersamanya sekalipun dia tidak mendapat respon setimpal atas perasaannya. Untuk pertama kalinya, Karan berharap perasaannya terhadap Oscar sudah sepenuhnya hilang hingga dia tidak perlu melukai perasaan Egil meski pria itu tidak menganggapnya demikian.

Saat tatapan mereka bertemu, ada magnet yang menarik Karan begitu kuat pada sepasang mata hijau Egil. Tidak ada satu pun yang membuka mulut, tetapi jika sebuah pandangan bisa menyemburkan kata-kata, akan banyak kalimat yang sudah terucap di antara mereka. Karan masih diam saat Egil perlahan mendekatkan wajahnya, tetapi ketika dia mulai bisa merasakan embusan napas Egil, bulu tengkuknya meremang. Dengan gerakan cepat, Karan memalingkan muka hingga wajah Egil digantikan kembali oleh samudra luas dan matahari yang perlahan mulai ditelan cakrawala. Karan berhasil mengerjapkan mata beberapa kali meski jantungnya kembali berdegup lebih kencang.

"You will miss the sunset."

Perasaan bersalah menghantam Karan begitu hebat, terlebih setelah dipandangnya ada raut tidak mengerti dan kekecewaan yang jelas terpampang di wajah Egil. Kalimatnya terdengar seperti sebuah penghianatan atas momen intim yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya. Namun Karan tidak ingin menyesali jika tadi mereka sampai berciuman. Jika hal itu harus terjadi, dia ingin perasaannya sendiri yang menginginkannya.

Egil menundukkan wajah sesaaat, jakunnya terlihat naik turun sebelum pandangannya mengekor ke arah barat. Senyum tipisnya terkembang sesudah dia memasukkan ponselnya kembali ke saku. "It's beautiful, isn't it?"

Di sekeliling mereka, pekikan bocah-bocah yang berlarian di pantai, atau obrolan tentang makan malam beberapa pasang manusia berbagai usia, terdengar semakin riuh, mengabaikan keberadaan dua pria yang sedang terduduk memandangi matahari terbenam tanpa satu kata pun terucap dari mulut mereka.

***

"Lalu, kamu bilang apa?"

Karan menjawab pertanyaan Deniz dengan sebuah helaan napas.

Setelah Egil mengantarnya pulang—sekalipun Karan bersikeras naik metro agar Egil tidak perlu bolak-balik—Karan memilih berdiam di kamarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Deniz sejak kakinya menginjak dapur ditanggapinya dengan jawaban singkat. Nafsu makannya bahkan tidak muncul meski dia hanya makan dua potong sandwich saat makan siang. Rasa laparnya tidak lebih penting daripada keruwetan hati dan pikirannya.

Rasa bersalah dan panik menyelimutinya saat Egil mengantarnya pulang. Rasa bersalah karena dengan sengaja dia kembali mengecewakan Egil dan panik karena pria itu bersikap biasa—bahkan sempat melontarkan guyonan—seolah yang hampir terjadi di antara mereka tidak punya efek terhadapnya. Karan membiarkan Egil memeluknya di depan Blue Door, berharap dengan melakukannya, perasaannya akan sedikit membaik. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Ketika Deniz menyusulnya ke kamar dengan membawa dua gelas serta satu botol wine yang sudah dibuka, Karan langsung menandaskannya begitu Deniz menyodorkan satu gelas. Dia menunggu Karan menghabiskan dua gelas sebelum ceritanya bergulir tanpa jeda, termasuk ajakan Egil ke Lisbon.

"Karan, kamu belum jawab pertanyaanku," sela Deniz saat menyaksikan Karan tidak berniat memberikan jawaban. Deniz menahan tangannya untuk mengisi kembali gelas Karan yang sudah kosong saat dia menyodorkannya. "Answer me first."

Menyadari dirinya tidak akan menang jika Deniz sudah bersikap seperti itu, Karan mendengus keras. "Aku minta waktu seminggu buat berpikir. Fill my glass, please."

Deniz menuang lagi cairan berwarna merah gelap ke dalam gelas Karan sebelum mengisi gelasnya sendiri. "Kenapa seminggu? Kamu ingin menyiksa Egil lebih lama?"

Karan diam.

"I don't think you need that long to give him your answer, Karan."

Karan menyesap wine-nya tanpa mengalihkan tatapan tajamnya ke Deniz. Tentu saja dia tidak berhasil mengintimidasi teman sekamarnya agar berhenti membahas sesuatu yang justru tidak ingin didengarnya.

"I think you should go, so you won't be confused anymore."

"Confused? Confused about what?" Kening Karan mengerut mendengar kata bingung yang diutarakan Deniz.

"You have so many questions in your head, Karan, especially since Zola left. Aku mungkin tidak bisa membaca dengan pasti isi pikiran orang, tapi kamu terlalu mudah untuk dibaca. Zola tidak cerita apa-apa kepadaku, tapi yang aku tahu, dia mengkhawatirkan kamu. Saat aku tanya apa maksudnya, Zola hanya berkata ini perkara hati. Aku tidak akan memaksa kamu cerita jika memang tidak ingin, tapi setidaknya, temukan jawaban demi diri kamu sendiri, Karan. It's all for your own good."

Karan memicingkan mata setelah menyandarkan kepala. Dia hanya diam saat lengan Deniz terulur untuk mengambil gelasnya dan meletakannya di atas meja di samping tempat tidur. Dipijitnya kedua pelipis pelan dengan ibu jari dan jari tengah, berharap rasa pusing di kepalanya mereda.

"Aku udah bersikap nggak adil ke Egil, Deniz."

"Then make it fair! Kamu tidak bisa terus-terusan bersikap seperti ini ke Egil. I thought gay relationship is not complicated, but you just proved otherwise."

"I feel like I want to get drunk right now," tukas Karan cepat.

Gelak Deniz bergema di kamar mereka. "Meski aku sangat ingin melihat kamu teler, saat ini yang kamu butuhkan adalah pikiran jernih. Aku tidak akan mengganggumu lagi, dan jika besok kamu tidak ingin masuk kantor, dengan senang hati aku akan memberitahu Maia kamu tidak enak badan." Deniz lantas beranjak dari kursi yang didudukinya. "Have you eaten yet?"

Karan menggeleng, tanpa ada keinginan membuka mata.

"You need to eat, Karan. When I leave, no one is going to be this nice to you, except Egil, and that ... if you're not messing it up."

Meski ingin melempar Deniz dengan gulingnya, Karan dengan malas mengangkat tinggi-tinggi tangannya dan mengacungkan jari tengahnya bersamaan dengan Deniz yang berjalan menuju pintu. Gelaknya terdengar semakin keras saat dia melangkah keluar kamar. Begitu yakin pintu Deniz tidak akan kembali ke kamar, Karan membuka mata. Digesernya tubuhnya hingga dia dalam posisi tidur sebelum meringkuk.

Matanya menatap nanar gelas kosong di hadapannya, dan ekspresi Egil di Farol de Felgueiras tadi kembali berputar di otaknya.

Aku akan terus dihantui perasaan bersalah tentang kejadian sore tadi, batin Karan sembari menutup wajahnya dengan bantal.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top