15 - THE ACCUSATION

"Lo yakin nggak ada perasaan sedikit pun sama Egil? Gue nggak akan nyeramahin lo soal you-know-who, tapi lo beneran nggak pengen nyoba?"

Karan mengembuskan napas bersamaan dengan metro yang berhenti di stasiun Pedras Rubras. Masih ada 15 stasiun lagi sebelum mereka sampai di Póvoa de Varzim. Seperti janjinya, Egil mengundang Zola ke apartemennya untuk makan malam di hari keduanya di Porto.

Egil juga menepati janji untuk menyeret Karan ke sebuah club di Nova de Gaia semalam. Menghadapi Egil, Deniz, dan Zola seorang diri bukanlah perkara sulit, tetapi menghadapi mereka bertiga sekaligus? Karan tidak punya pilihan selain mengiyakan. Ditambah penghuni Blue Door yang lain, Edu dan Maia yang turut serta, benar-benar menyudutkan Karan dan membuatnya tidak berkutik. Yang terjadi kemudian adalah dia menghabiskan sebagian besar malam sebagai penonton sementara teman-temannya bersenang-senang di lantai dansa. Tiga kali—oleh Zola dua kali dan Deniz sekali—dia ditarik ke lantai dansa dan mempermalukan diri di antara orang-orang yang punya gerakan tubuh lebih lincah darinya. Jika ada yang disyukurinya adalah cahaya temaram Opo Club & Lounge dengan sempurna menyembunyikan pipinya yang merona karena malu setengah mati.

Karan membuktikan ucapan Deniz tentang kemampuan Egil di lantai dansa. Matanya tidak lepas dari setiap gerakan pria itu yang membuatnya tertegun sekalgus kagum karena Egil seperti berada dalam elemennya. Mungkin karena Karan belum pernah melihat Egil menggoyang lantai dansa, dirinya pun ikut bersorak tatkala Zola menantang Egil untuk berdansa berdua. Ada yang memukul ulu hatinya melihat Zola langsung akrab dengan Egil. Bukan cemburu, tapi betapa mereka saling menyukai dengan mudahnya. Sesuatu yang tidak bisa dia katakan tentang Zola dan Oscar. Ketidaksukaan sahabatnya bahkan mungkin akan berlipat setelahnya.

"Aku harus bilang berapa kali sih, Zo? Aku nggak mau nerima Egil karena kasihan atau hal lain. Egil tahu ada sesuatu yang belum aku bisa ceritakan ke dia dan dia nggak pernah maksa aku buat cerita."

"Itu karena lo nggak mau nyoba buat buka hati lo lagi." Karan menyandarkan kepalanya pada jendela, tatapannya belum beralih dari Zola. "Gue bisa kan marahin lo kalau sepulangnya ke Indonesia nanti, lo masih belum juga move on? Gue nggak peduli kalau lo mau sama Egil atau bukan, tapi gue nggak akan terima kalau lo masih mikirin dia."

"Dan apa yang akan kamu lakukan kalau memang aku belum bisa lupain Oscar? Will you stop being my best friend?"

Perkataan Karan jelas mengejutkan Zola, karena sedetik kemudian, Zola mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Hati bukan sesuatu yang bisa dipaksa, Zo. Aku nggak bisa janji apa-apa."

"Gue yakin lo bisa. Lo cuma nggak mau. Tapi gue nggak akan berhenti buat nyadarin lo. Someone has to drill senses into your thick skull," tegas Zola sambil mengarahkan jari telunjuknya ke pelipis sahabatnya yang langsung Karan tepis.

Karan lebih memilih diam. Berusaha membuat Zola memahami perasaannya hanya akan menguras emosi dan tenaga tanpa hasil. Kebenciannya sudah terlanjur kuat untuk dipatahkan.

"Kali aja lo belum denger berita, mantan lo itu sekarang digosipin sama model cantik yang belakangan sering wara-wiri di televisi. Gue sih nggak peduli dia mau pacaran sama siapa, tapi dia itu munafik! Lo tahu sendiri gue paling benci sama orang munafik."

Karan sengaja tidak menanggapi pernyataan Zola. Berita yang dimaksud Zola bukanlah hal baru baginya. Dia bahkan tahu siapa nama model yang dimaksud Zola tanpa harus menanyakan namanya. Alasan utama Karan mematikan post notification Instagram Oscar bukan karena banyaknya foto yang diunggah Oscar bersama wanita yang baru disebutkan Zola, tetapi caption yang menyertai foto-foto mereka. Ada sedikit rasa muak bercampur tidak terima yang mengegrus hatinya.

"Kamu tahu sendiri pandangan orang Indonesia tentang homoseksualitas kayak apa, Zo. Dia publik figur dan dia pendatang baru di dunia hiburan. His image is everything. Wajar kalau dia digosipin jalan dengan orang lain," sanggah Karan berusaha menutupi perasaannya yang sesungguhnya.

Ucapan Karan justru mendapat decakan dari Zola. "Dan gue masih nggak ngerti kenapa lo masih belain cowok itu setelah dia ngerendahin lo. Gue juga nggak habis pikir, kok lo mau sama dia padahal tahu konsekuensinya? Atau lo emang sengaja pacaran sama dia karena dia terkenal?"

Jika Karan bersikap sesabar mungkin menghadapi semua keluhan dan tuduhan yang diberikan Zola, apa yang baru didengarnya menguras habis kesabarannya. Karan memandang Zola tajam, seperti kemarahan yang ditahannya terancam akan dimuntahkan dengan segera. Ucapan Zola jauh lebih menyakitkan dibandingkan semua sumpah serapah dan caci yang tidak henti diarahkan kepadanya sejak tahu hubungannya dengan Oscar berakhir. Mendengar racauan Zola tentang Oscar, ketidaksukaannya atas pria itu memang membuat dada Karan sakit, tapi yang baru diucapkannya membuat Karan benar-benar tidak mampu menahan diri lagi.

Kali ini, Karan mematsikan Zola menangkap raut kemarahan yang memenuhi wajah dan suaranya. "Jadi itu yang ada di pikiran kamu? Bahwa hubunganku dengan Oscar cuma karena dia terkenal?" Dia tidak acuh jika Zola mulai menyadari kalimatnya sudah melewati batas dan telah melukai Karan. "Kamu nggak pernah kenal dia, Zo, tapi yang terus-terusan kamu ungkit adalah dia yang udah nyakitin aku. Kamu nggak pernah berusaha ngerti gimana dia bikin aku bahagia. Yang kamu peduliin cuma gimana dia nyakitin aku. Apakah aku pengen hubunganku dengan Oscar putus?" Karan menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya, "Tapi kamu lupa dan sepertinya nggak pernah mau tahu gimana dia bikin aku bahagia."

Jika mereka sedang tidak berada di dalam metro, Karan pasti sudah bangkit dari kursi dan bersiap turun di stasiun berikutnya. Menyenangkan memang memiliki teman yang bersikap terlalu jujur seperti Zola, tetapi saat ini, Karan berharap Zola bisa menahan rentetan kebencian yang dirasakannya terhadap Oscar, paling tidak sampai dia meninggalkan Porto. Ini pertama kalinya mereka bertemu setelah meninggalkan Bali dan hal terakhir yang diinginkan Karan adalah berdebat mengenai seseorang yang bahkan tidak punya andil apa-apa dalam kehidupan Zola.

"Sori, nggak seharusnya gue ngomong gitu."

Karan mengabaikan permintaan maaf Zola. "Aku nggak akan peduli jika yang bilang seperti itu adalah orang yang nggak kenal aku. But you from all of the people? Aku mulai berpikiran kamu dateng ke Porto cuma buat nyeramahin aku soal Oscar."

Zola mengulurkan lengan untuk meraih tangan Karan, tapi Karan menepisnya. Suasana hatinya sudah berubah. Demi Egil dan tanggung jawabnya agar Zola tidak tersesat, Karan berusaha menekan emosi sekuat mungkin. Jika dia bisa menyembunyikan kisahnya dengan Oscar dari setiap orang yang ditemuinya di Porto selama tiga bulan, apa bedanya menahan emosi selama beberapa jam?

***

Begitu sampai di apartemen Egil, seruan dan pujian Zola mengenai betapa cantiknya apartemen Egil—terutama lokasinya—membuat pria itu tersenyum lebar. Martin sedang pulang ke Malaga hingga ada kelegaan yang meliputi Karan bahwa dia hanya harus bersikap pura-pura di depan Egil. Sisa perjalanan mereka menuju Póvoa dipenuhi diam. Sekeras apa pun usaha Zola menebus kesalahannya, Karan tetap bergeming. Bahkan tidak lama setelah mereka tiba, Karan minta izin ke pantai. Zola yang tahu alasan Karan melakukannya hanya diam, sementara Egil berusaha menahannya sebelum mengalah.

Suasana pantai sudah mulai terlihat ramai dibandingkan terakhir kali dirinya berjalan bersama Egil. Disaruknya pasir pantai dengan ujung sneakers setelah Karan membenamkan tangan di saku celana. Matanya tidak beranjak dari ombak yang terus bergulung sementara pikirannya berusaha menyingkirkan segala macam bentuk penyesalan, terutama yang berkaitan dengan Oscar. Apa yang harus disesali dari sesuatu yang membuatnya bahagia? Namun jika ada satu hal yang dia sesali adalah menceritakan perihal putusnya hubungannya dengan Oscar kepada Zola. Jika selama kebersamaannya bersama Oscar, Karan bisa menyembunyikannya dengan rapi dari semua orang—termasuk Zola—kenapa dia mengubahnya hanya karena dia tidak cukup kuat menanggung tekanan emosinya seorang diri?

Merunut mundur, jika Zola tidak pernah tahu tentang Oscar, dirinya tidak akan berada di Porto. Tidak akan ada OPS, Deniz, Blue Door, dan ketertarikan Egil terhadapnya. Hidupnya akan tetap berjalan, mungkin sedikit lebih berbeda dari sebelumnya, tetapi dia tidak harus berada di posisi seperti ini. Menyimpan alasan kenapa dia meninggalkan Jogja dan menutup rapat-rapat masa lalunya bersama Binar terbukti membuat hidupnya jauh lebih mudah. Sekarang semuanya terlambat. Oscar sudah menjadi konsumsi Zola, dan cepat atau lambat, Egil pun punya hak untuk mengetahuinya.

Karan memungut beberapa batu kecil sebelum melemparnya sekuat tenaga. Melihat gulungan ombak menelan batu-batuan yang sebelumnya ada dalam genggaman, mampu mengurangi sedikit sesak di dadanya.

Kabar tentang kedekatan Oscar dengan Farah bukanlah sesuatu yang mengejutkan Karan. Nama itu sudah ada di antara dirinya dan Oscar sejak hubungan mereka memasuki bulan keempat. Farah tidak pernah menjadi orang ketiga dalam hubungannya dengan Oscar. Justru sebaliknya. Mengenal Oscar sejak mereka masih di New York, Farah adalah satu dari sedikit orang yang mengetahui tentang rahasia yang disimpan Oscar dari publik. Mereka sahabat baik. Sebagai wanita berdarah Brasil-Indonesia-Thailand dan dengan tinggi di atas rata-rata wanita Indonesia, ditambah dengan kulit eksotis, tulang pipi menonjol yang menjadikan tampilannya semakin memesona, Farah adalah kamuflase sempurna bagi Oscar. Jika ada wanita yang pantas ada di samping Oscar, untuk alasan apa pun, Farah adalah pilihan yang tepat.

Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Karan tidak menyadari saat Egil berlari kecil menghampirinya, bahkan ketika pria itu tepat berada di belakangnya. Egil sudah mengangkat tangan untuk menyentuh pundak Karan, tetapi dibatalkannya. Alih-alih, dia memajukan langkah menyejajari Karan.

Menyadari ada seseorang di sampingnya, Karan menoleh. Senyumnya tersungging begitu mengetahui siapa yang tiba-tiba muncul di sebelahnya.

"Apakah kamu ke sini buat ngasih tahu kalau makan malam udah siap?"

Egil menggeleng. "Waktu kamu datang, aku melihat kamu seperti menahan sesuatu. You looked sad. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak melakukan hal bodoh. Like throw yourself into the waves or something."

Karan tergelak mendengar gurauan Egil, berharap tawanya mampu menyamarkan isi pikirannya. "Kamu tahu aku nggak akan bersikap sebodoh itu. You also know that I can't swim. Aku nggak punya alasan buat bersikap bodoh, Egil."

Egil mengedikkan bahu. "Mungkin alasan yang masih belum bisa kamu ceritakan bisa jadi alasan yang sangat kuat."

Senyum di wajah Karan memudar. Jika sampai Zola memberitahu Egil tentang Oscar ....

"Jangan khawatir, Karan. Zola didn't say anything without your consent, if that's what you're afraid of," sergah Egil. "Hanya saja, ini pertama kalinya kamu bersikap seperti ini sejak tahu Zola akan ke Porto. You were so happy and excited, even last night. Today you look ..." Egil menelengkan kepala, berusaha mengamati setiap lekuk wajah Karan sebelum melanjutkan kalimatnya, "pissed off."

Karan mendesah. "We just had a bit of argument on the way here."

"Ah, I see."

Mereka lantas terdiam sebelum Karan mengalikan tatapannya kembali ke lautan luas di hadapan mereka. "Kamu nggak ingin tanya kami beragumen tentang apa?"

"Kalau kamu sampai bertanya seperti itu, berarti memang aku tidak punya hak untuk tahu." Egil menggeleng. "No, Karan, I won't ask you things you don't want to share." Egil menundukkan wajah, memainkan ujung sepatunya hingga membentuk bulatan-bulatan tidak teratur di atas pasir. "You know I love spending time with you, right?"

Karan memberikan anggukan pelan. "Kamu juga tahu aku nggak pernah bosen ngabisin waktu sama kamu."

"So, let's keep doing it, Karan. Aku nggak akan minta apa yang belum bisa kamu berikan. Let's just ... enjoy what we have while you're here."

"The thing is—"

"Don't!" potong Egil, menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Whatever it is, please just ... don't. Knowing it will only make everything ... harder."

"Aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Karena udah bersikap nggak adil ke kamu."

Egil medesah pelan. "Aku sama sekali tidak merasa kamu perlakukan dengan tidak adil." Egil kemudian meletakkan tangannya di pundak Karan dan meremasnya lembut, hingga membuat Karan tidak punya pilihan selain menatap Egil. "I'm fine."

Meski ingin memercayai kalimat Egil sepenuhnya, yang tidak diucapkan pria itu justru yang membuat Karan semakin merasa bersalah. Mereka hanya saling berpandangan sebelum Egil memecahnya dengan keceriaan yang selalu ditunjukkannya.

"And yes, the dinner's ready! Aku yakin kamu pasti sudah lapar."

Mengamati rambut Egil yang sudah mulai memanjang, rambut-rambut tipisnya yang sepertinya sengaja dibiarkan tumbuh, ada dorongan dalam diri Karan untuk menyentuhnya. Alih-alih mengikuti nalurinya, Karan malah menundukkan wajah sembari menelan ludah sebelum kembali membiarkan Egil menjadi fokus perhatiannya.

"Thank you, Egil."

Egil hanya membalasnya dengan sebuah senyum lebar dan sebuah anggukan pelan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top