5. Uninvited Hero
***
"Kecoa sialan!"
Dengan kekuatan penuh, Orlin menginjak hewan menjijikkan itu menggunakan sendal rumahannya hingga mati. Entah sudah berapa banyak korban berjatuhan sejak dia berada di gudang. Bukan tanpa alasan dia pergi ke sini, melainkan untuk mengambil peralatan kebersihan.
Karena petugas bersih-bersih yang disewa Deka selalu libur setiap weekend, jadi Orlin berinisiatif untuk menggantikannya. Toh, dia sudah terbiasa melakukan tugas rumahan sewaktu masih tinggal bersama orang tuanya. Ya, hitung-hitung menghabiskan masa cuti dengan hal-hal yang lebih bermanfaat.
"Kamu ngapain?"
Orlin langsung menoleh, dan menemukan Deka sedang berdiri di ambang pintu dengan tangan tenggelam di saku celana.
"Matiin kecoa."
Mengikuti arah pandang Orlin, Deka dibuat terkejut dengan banyaknya bangkai kecoa yang berserakan di lantai dekat kaki Orlin. Pria itu langsung meringis ngeri dan memilih untuk pergi daripada menyaksikan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Orlin.
Sepeninggal Deka, Orlin masih saja sibuk membunuh kecoa yang mengganggunya sebelum keluar dari gudang dengan membawa peralatan kebersihan. Ketika dia menapaki ruang tamu, sebuah pemandangan yang tampak amat sangat membosankan terpampang di hadapannya. Apalagi kalau bukan Deka yang sedang bekerja di depan laptop. Orlin jadi bingung. Apa Deka tidak muak dengan aktivitas monoton yang dilakukannya? Orlin yang melihatnya saja sudah muak, bahkan kalau bisa dia ingin membuang laptop tersebut jauh-jauh.
Memangnya, Deka bekerja keras seperti itu untuk apa? Demi siapa? Padahal uangnya sudah banyak. Orlin yakin, meski Deka hanya ongkang-ongkang kaki saja, pria itu pasti tetap kebanjiran uang, mengingat merk perhiasannya sukses besar di kalangan borjuis.
Apalah aku yang punya visi foya misi foya tapi dana nggak ada.
Dan seperti biasa, Orlin bersikap acuh tak acuh lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi sebelum mulai membersihkan ruang tamu. Namun, di tengah-tengah kegiatannya, dia sempat memergoki Deka yang menatapnya penuh selidik, persis seperti pengawas ujian, membuat mood Orlin mendadak turun drastis. Dia paling tidak suka kalau dilihat-lihat begitu, seolah-olah sangsi kalau dia bisa mengerjakannya dengan baik.
Ingin sekali dia mencolok mata Deka supaya sadar, tapi dia masih cukup waras untuk tidak melakukan itu. Alhasil, dia memilih pindah ke teras rumah daripada menahan kekesalan terus-menerus. Samar-samar, terdengar suara Deka yang sedang berbicara. Ah, mungkin pria itu sedang menelepon. Tak lama kemudian, tampak Deka dengan ponsel di telinga berjalan melewati Orlin. Dia sempat melirik Orlin, tapi hanya sebentar. Orlin juga membiarkan karena bukan urusannya.
Begitu mobil Deka keluar dari halaman rumah, Orlin segera masuk, menaruh kembali peralatan kebersihan pada tempatnya lalu pergi ke ruang tamu dengan banyak camilan serta minuman yang dia bawa dari dapur. Buru-buru dia menyalakan televisi dan mencari draa Korea kesukaannya.
Selagi menunggu drama tersebut tayang, dia menyamankan diri di atas sofa sambil memangku snack. Berbagai macam ekspresi Orlin tampilkan saat menonton adegan demi adegan. Entah itu tertawa, tersenyum, malu-malu kucing, dan menangis hingga banyak bekas tisu bertebaran di bawah kakinya.
Usai menonton drama Korea, Orlin lanjut menonton acara musik. Seolah sedang berada di ruang karaoke, dia bernyanyi dengan suara keras, mengalahkan volume televisi yang juga tak kalah kerasnya. Sampai akhirnya dia mengempaskan tubuh di badan sofa karena kelelahan. Sambil memeluk bantal, dia menatap langit-langit ruang tamu yang memiliki banyak ukiran.
Meski enggan, tapi Orlin akui kalau Deka punya jiwa seni yang menakjubkan. Hanya saja, pria itu terlalu kaku, tidak bisa menikmati hidup seperti Orlin yang seringkali menyenangkan diri sendiri di mana pun berada. Percuma kaya kalau tidak bahagia. Ibarat punya air berlimpah, tapi selalu merasa kehausan.
Perlahan, rasa kantuk menghampiri Orlin. Dia menguap, mencari posisi yang pas lalu mulai memejamkan mata, mengarungi alam mimpi yang berkali lipat lebih indah dari realita.
***
Saat bangun, hal pertama yang diinginkan Orlin adalah es krim. Dia sudah mencari di dalam kulkas, tapi ternyata habis. Dan, di sinilah dia sekarang, minimarket yang ada di dekat kompleks perumahan. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Orlin pergi ke kasir. Namun, karena lumayan ramai, dia harus mengantre.
"Orlin?"
Orlin menoleh kanan-kiri, hingga tatapannya terpaku pada seorang pria yang berdiri tidak jauh dari posisinya. Seketika, raut wajah Orlin berubah. Dia kembali fokus ke antrean, pura-pura tidak mengenal pria itu.
"Kamu beneran Orlin, kan?" Pria itu mendekati Orlin yang langsung menjaga jarak. Beruntung, akhirnya dia mendapat giliran untuk membayar.
"Berapa Mbak?"
"Biar saya yang bayar," serobot pria itu sambil mengeluarkan dompet.
"Berapa Mbak?" tanya Orlin sekali lagi, tapi dengan nada suara yang mendesak.
Meski bingung dengan situasi yang terjadi, kasir itu tetap menjawab, "Dua puluh ribu."
Orlin mengeluarkan uang pas lalu bergegas pergi sambil membawa es krim. Tak disangka, pria itu mengikuti. Dia terus memanggil-manggil nama Orlin yang sayangnya diabaikan oleh si pemilik nama.
"Orlin!" Pria itu berhasil menghentikan langkah Orlin dengan mencekal pergelangan tangannya.
"Aku panggil dari tadi, kenapa nggak jawab?"
Orlin diam. Tatapannya lurus ke depan.
"Lin, kenapa?"
"Lin?"
"Penting buat aku?" tanya Orlin tanpa menoleh, bahkan enggan untuk sekadar melirik.
Pria itu menganga tak percaya. "Lin..."
"Aku sibuk." Orlin langsung menyentak tangan pria itu lalu melangkah pergi. Dia kira sudah tidak diikuti lagi, tapi ternyata salah. Seperti tidak punya urat malu, pria itu berdiri di hadapan Orlin sambil merentangkan tangan. Sontak, Orlin memalingkan wajah.
"Lin, dengerin aku."
"Lin."
"Orlin!" Keduanya langsung menoleh saat mendengar suara lain. Tampak Deka sedang berjalan ke arah mereka dengan penampilan memukau dan ekspresi datar yang selalu menghiasi wajahnya.
Helaan napas meluncur dari bibir Orlin. Untuk saat ini, dia sangat bersyukur dengan kehadiran Deka. Andai saja Deka tidak datang tepat waktu, dia pasti akan terjebak bersama pria yang namanya saja malas dia sebutkan.
"Lin, dia siapa?" Pria itu menatap Deka sinis, sementara yang ditatap malah tidak terpengaruh sama sekali.
"Lin, dia siapa?" Pria itu mulai menuntut, hendak meraih tangan Orlin, tapi langsung dicegah Deka.
"Jangan ganggu Orlin."
Pria itu tersenyum meremehkan. "Kamu siapa? Dateng-dateng, kok, nggak jelas."
"Jangan ganggu Orlin." Sekali lagi, Deka memperingatkan.
"Kamu nggak tau siapa saya? Saya-"
"Orlin istri saya. Jadi saya berhak untuk ikut campur, termasuk memastikan dia aman dari orang seperti kamu." Deka menarik tubuh Orlin supaya berdiri di belakangnya. Orlin menurut saja, sekaligus terpukau dengan kalimat yang diucapkan oleh Deka.
Pria itu kaget. Dia melirik Orlin yang bersembunyi di balik tubuh Deka lalu tertawa keras, membuat beberapa pejalan kaki menatapnya heran.
"Pria seperti saya? Memangnya saya kenapa? Lin, bilang sama orang yang ngaku-ngaku jadi suami kamu ini kalau kamu cinta banget sama aku, sampe kamu nangis-nangis waktu aku putusin."
Orlin mengepalkan tangannya erat, merasa muak dengan kesombongan pria itu yang melebihi Deka. Bahkan, Deka jauh lebih baik karena dia tidak suka mengungkit-ungkit masa lalu.
"Itu dulu, kan? Sekarang kamu hanya sampah yang pernah dianggap berharga, padahal kenyataannya kamu sama sekali tidak berguna."
Pria itu marah, terbukti dari wajahnya yang memerah. Dia melayangkan satu pukulan ke wajah Deka, tapi berhasil ditangkis. Deka maju selangkah, membuat pria itu harus mendongak karena tingginya yang kurang dari Deka.
"Jangan ganggu Orlin. Kalau kamu menunjukkan diri kamu lagi, kamu berurusan dengan saya."
Aura permusuhan yang dipancarkan Deka sukses mengintimidasi pria itu hingga takada yang bisa dilakukan selain mengangguk cepat. Kemudian, Deka berbalik lalu menarik tangan Orlin untuk digenggamnya hangat.
"Kita pulang."
***
To be continued.
Senin, 28 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top