4. Miracle Wish Necklace

***

Rumah dalam keadaan gelap gulita saat Orlin bangun tengah malam karena rasa lapar yang melanda. Dengan hanya mengandalkan penerangan dari senter ponsel, dia berjalan menuju dapur, tapi langkahnya tiba-tiba berhenti ketika melewati ruang tamu dan melihat Deka yang duduk di salah satu sofa dengan laptop di pangkuannya.

Orlin sontak menggeleng. Pria itu benar-benar penggila kerja. Bukannya istirahat setelah pulang dari acara pertemuan keluarga, dia justru meneruskan pekerjaannya, seolah-olah takada hari esok. Orang-orang seperti Deka pasti tidak punya waktu untuk me time.

Orlin kembali melanjutkan langkah ke dapur, mengambil beberapa snack dan minuman untuk dibawa ke kamar. Namun, lagi-lagi langkah Orlin tertahan di ruang tamu. Kali ini dia bingung karena Deka tidak bergerak sama sekali, posisi duduknya bahkan masih sama. Anehnya, layar laptop Deka yang tadi dia lihat masih menyala, kini sudah mati.

Merasa curiga, perlahan Orlin mendekati Deka. Dia berdecak pelan saat menyadari kalau Deka ternyata ketiduran. Pantas saja pria itu seperti patung.

"Kalau udah ngantuk, kenapa dia malah kerja?" dumel Orlin. Dia paling benci dengan orang yang suka memforsir tubuhnya terlalu keras. Kalau sudah sakit, baru menyesal.

Tak sengaja, tatapan Orlin jatuh pada benda berkilauan yang tergeletak di atas meja. Penasaran, dia menyoroti benda tersebut dengan senter ponselnya. Mata Orlin langsung berbinar saat melihat sebuah kalung yang sempat membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama meski tidak bisa dia miliki. Dan kalung itu juga yang membawa Orlin pada titik ini. Dia bahkan masih sangat ingat bagaimana perjanjian tersebut terjadi.

Tepat sehari setelah Orlin menemukan kalung itu-saat jam pulang kerja-dia dikejutkan dengan kedatangan seorang pria berpenampilan kece di kantornya yang berkata ingin berbicara dengannya. Meski bingung dan sempat terpesona karena wajah pria itu yang ganteng, Orlin tetap mengiyakan ajakannya untuk berbicara empat mata di sebuah Cafe yang berada tidak jauh dari kantor Orlin.

Di Cafe, mereka duduk berhadapan di dekat jendela. Tadi mereka sempat berkenalan sedikit, dan Orlin langsung merasa kalau Deka-Deanka Elgis Pradipta-adalah pria yang minim ekspresi. Terbukti dari sorot datarnya yang selalu menghiasi wajah pria itu.

Orlin mencomot kentang goreng lalu memakannya. "Jadi, apa maksud kamu pengin bicara sama saya?"

"Kalung itu ... tolong kembalikan." Selain minim ekspresi, ternyata pria itu juga to the point, tapi Orlin tidak paham dengan arah pembicaraan Deka. Kalung? Kalung apa?

"Saya nggak merasa ngambil kalung kamu."

"Kalung yang kemarin kamu lihat di dekat tong sampah."

Mendengar ucapan Deka, Orlin langsung menyipitkan mata, curiga.

"Apa hubungan kamu sama kalung itu?"

Deka menyesap kopi hitamnya perlahan. "Kalung itu punya saya."

Orlin jadi semakin curiga. Siapa yang percaya dengan ucapan Deka? Pasti pria itu berbohong. Mungkin saja Deka hanyalah saksi mata yang mengaku-ngaku karena tergiur dengan kilauan kalung itu.

"Nggak ada bukti kepemilikan. Jadi saya nggak bisa gitu aja percaya."

Deka menghela napas pendek. "Kalung itu memang punya saya."

Orlin tersenyum sinis. "Ada bukti? Saya tidak segampang itu percaya sama orang asing kayak kamu."

Deka menipiskan bibir. Ternyata perempuan yang dia hadapi cukup keras kepala, dan dia tidak punya waktu banyak untuk menghadapi Orlin lebih lama lagi. Pekerjaannya sudah menunggu.

"Saya belum bisa membuktikannya-"

"Ya, udah. Kalau enggak punya bukti, berarti kalung itu bukan punya kamu." Orlin masih saja tetap pada pendiriannya.

Deka memijit pelipisnya yang terasa pening. Dia mengeluarkan ponsel dari saku blazer, membuka galeri lalu menunjukkan sebuah gambar yang sangat mirip dengan kalung itu ke hadapan Orlin.

"Miracle Wish Necklace dari El & Co. Apa itu masih belum bisa meyakinkan kamu?"

Sejenak, Orlin terpesona dengan model kalung itu. Memang tidak sesederhana kalung yang dia temukan, tapi benar-benar mirip. Dia melirik Deka dan gambar kalung itu secara bergantian.

Kemudian, Orlin bersedekap. "Oke, bukti kamu masih bisa saya terima. Tapi bukan berarti saya bakal percaya seratus persen."

Deka mendengkus. Dia memasukkan kembali ponsel ke saku blazer lalu menyatukan jari-jemarinya di atas meja. "Win win solution. Kamu kasih kalung itu, saya akan lakuin apa pun untuk kamu."

Meski Deka berat untuk mengatakannya, tapi hanya itu jalan satu-satunya.

Bibir Orlin terbuka sedikit. Pria itu serius? Dia tidak salah dengar, kan?

"Kamu bercanda, ya?"

Deka menggeleng.

"Segitu berharganya kalung itu? Buat pacar kamu?" tanya Orlin lagi.

"Bilang mau kamu, dan urusan kita selesai."

Kini, giliran Orlin yang mendengkus. Belum pernah dia bertemu orang yang sombong seperti Deka. Ternyata penampilan kece hanya kedok untuk menutupi sikap minusnya.

Orlin ingin menolak, dia tidak ingin berurusan lagi dengan Deka, tapi tiba-tiba ucapan keluarganya yang memintanya untuk segera menikah terngiang di kepala Orlin.

Diam-diam, Orlin melirik Deka. Kalau dilihat dari segi fisik, Deka bisa dimasukkan ke dalam daftar suami potensial. Malah jauh lebih unggul dari calon-calon yang pernah disodorkan oleh keluarga besarnya.

Senyum penuh muslihat muncul di bibir Orlin. Dia hanya diminta untuk menikah, dan itu berarti untuk masalah calon suaminya tetap dia yang memegang kendali.

"Oke. Saya bakal kembaliin kalung itu. Sebagai imbalan, kita kawin kontrak."

Deka membelalak, sebuah ekspresi baru yang akhirnya bisa Orlin lihat. "Kamu gila?"

Orlin mengedikkan bahu. "Itu permintaan saya."

"Saya nggak mau." Dengan lantang Deka menolak. Tentu saja. Mereka baru saling kenal dan Orlin sudah mengajaknya untuk kawin kontrak? Otak perempuan itu ada di mana?

"Kalau gitu, saya nggak bisa ngembaliin kalung itu."

"Ada banyak permintaan yang lebih waras."

"Tapi saya maunya kita kawin kontrak."

"Saya nggak mau nikah sama kamu."

"Namanya juga kawin kontrak, ya, cuma pura-pura. Nggak beneran."

"Sama aja."

"Ya, beda lah!"

Deka mengusap wajahnya frustasi. Bukan hanya gila, perempuan itu benar-benar psycho!

"Apa alasan kamu?"

Orlin tahu maksud Deka, tapi tak kunjung menjawab. Dia justru memainkan pipet jus alpukat pesanannya yang belum disentuh sama sekali. Deka juga tidak mau mengulang pertanyaannya lagi. Hanya menunggu.

"Saya didesak untuk menikah sama keluarga besar saya. Mereka nggak mau kalau saya jadi perawan tua. Saya bisa aja ngehindar, tapi ibu saya pasti kepikiran. Jadi, cuma kamu yang bisa nolongin saya." Orlin mendongak, menatap Deka yang sudah kembali pada ekspresi semula; datar.

Deka masih diam. Ucapan Orlin membuatnya ingat dengan sang ibu yang juga memintanya untuk segera menikah. Tawaran yang Orlin berikan mungkin bisa jadi jalan keluar, tapi sungguh, ini pilihan yang sulit. Dia harus menikah dengan orang yang bahkan baru dia kenal selama kurang dari satu jam. Takdir benar-benar sedang mempermainkannya.

"Gimana? Kalau kamu nggak mau, ya-"

"Besok saya bakal kasih peraturan kawin kontraknya."

Ternyata, kalung itu memang sangat berarti bagi Deka. Namun, bukan untuk pacarnya seperi praduga awal Orlin, melainkan untuk proyek besar yang sedang digarap pria itu. Sebagai seorang design perhiasan, kehilangan desain terbaik merupakan kesalahan paling fatal yang pernah dialami oleh Deka. Jadi wajar saja kalau Deka akhirnya bersedia untuk kawin kontrak.

Orlin memeluk snack dan minumannya menggunakan satu tangan lalu mengambil kalung yang bernama Miracle Wish Necklace itu dengan hati-hati sambil melirik Deka yang masih pulas. Senyum mengembang di bibirnya saat mengetahui kalau desain kalung itu sudah diupgrade semakin memukau, dan di baliknya ada ukiran berbentuk El & Co yang dia sendiri baru tahu kalau merk itu adalah kepunyaan Deka.

Orang kaya mah beda.

Menaruhnya kembali, Orlin memilih kembali ke kamarnya sebelum Deka bangun. Ah, andai ada orang yang mau memberinya kalung sebagus itu, dia pasti sangat senang.

***

To be continued.

Minggu, 27 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top