3. Meet Family
***
Ini sudah tiga jam berlalu sejak ibunya menelepon, tapi Orlin masih belum memberitahu Deka. Dia justru pergi ke dapur untuk membuat pancake. Gara-gara Deka, daily routine yang sudah dia rencanakan menjadi terhambat. Bahkan, dia harus menggabungkan sarapan dengan makan siang, dan kini pria itu menghilang entah ke mana. Orlin tidak mau tahu. Kalau perlu, mereka jangan bertemu dulu sampai kekesalannya lenyap. Lama-lama menatap wajah Deka membuat Orlin darah tinggi.
Sambil mendengarkan lagu Don't Fight The Feeling milik EXO, Orlin menyelesaikan sesi terakhir dari pembuatan pancake; menuangkan sirup maple dan lelehan cokelat. Kemudian, dia mengambil pancake dan berbalik.
"Astaga!" Orlin hampir saja menjatuhkan piring berisi pancake saat mendapati Deka sedang duduk manis di pantry seraya bertopang dagu. Tatapan pria itu datar, dengan rambut acak-acakan khas orang baru bangun tidur.
Oh, dia habis tidur. Pantes nggak keliatan.
Orlin mengangkat bahu, mencoba abai dengan keberadaan Deka. Dia meletakkan pancake di atas meja lalu duduk di hadapan pria itu. Alih-alih menawarkan pancake kepada Deka, dia malah memakannya sendiri. Seperti kata pria itu, mereka tidak boleh terlalu dekat, dan Orlin sedang melakukannya, meski terbesit keinginan untuk menjambak rambut Deka yang dipotong undercut.
Alhasil, hanya terdengar alunan lagu Ariana Grande yang memenuhi dapur sampai tiba-tiba Deka beranjak menuju kulkas. Orlin melirik gerak-gerik Deka yang seolah mencari sesuatu. Dia penasaran, tapi enggan untuk sekadar bertanya. Malas sekali kalau harus kembali diingatkan tentang perjanjian yang bahkan dia hapal di luar kepala.
"Lin, kamu nggak beli susu?"
Orlin langsung gelagapan saat Deka menoleh tanpa aba-aba. Dia berdeham dua kali untuk menutupi kegugupannya karena kepergok curi-curi pandang.
"Aku lupa beli," ucap Orlin sambil memasukkan sepotong pancake ke dalam mulutnya.
Deka menghela napas lalu kembali duduk di pantry dengan sekotak jus mangga setelah menutup kulkas. Ekspresi pria itu memang masih datar, tapi Orlin bisa melihat setitik kekesalan di wajahnya.
"Kamu pengen buat apa?" Orlin seketika mengumpati dirinya yang dengan lancang bertanya. Padahal dia sudah berjanji untuk tidak ikut campur ke dalam masalah Deka. Pasti pria itu akan berceloteh lagi tentang perjanjiannya dan membuat hubungan mereka semakin canggung.
"Aku mau buat sereal."
"Ya?" Orlin mengerjap, berusaha memastikan kalau telinganya tidak bermasalah. Suara itu memang berasal dari Deka, kan? Bukan makhluk halus yang menghuni rumah ini?
"Lain kali jangan lupa beli susu."
Nah. Berarti Orlin memang tidak salah dengar. Entah apa yang sedang merasuki Deka, mungkin karena dia baru saja bangun tidur jadi otaknya masih tertinggal di kamar. Orlin juga tidak mau membahas, nanti yang ada Deka sadar dan balik ke mode menyebalkan.
"Iya." Orlin hendak bangkit dari duduknya, tapi mendadak dia teringat dengan pesan ibunya. Sontak, dia menatap jam yang menempel di dinding dapur, 12.30. Baiklah, daripada dia semakin mengulur-ulur waktu, lebih baik dia bilang sekarang.
"Mas Deka."
Deka hanya mengangkat sebelah alisnya.
"Mama ngundang kita buat dateng ke acara pertemuan keluarga nanti sore," mulai Orlin seraya menunduk, memainkan sisa-sisa sirup maple dan cokelat yang menempel di piring dengan garpunya. Meski dia tidak melihat, tapi dia merasa kalau Deka kini sedang menatapnya.
"Kalau kamu nggak mau ikut, nggak apa-apa. Lagian, di perjanjian nggak ada keharusan buat ikut pertemuan keluarga kalau enggak penting-penting banget."
"Jam berapa?"
"Hah?" Orlin mendongak, menatap Deka bingung.
"Pertemuannya."
"Oh? Eng, jam ... lima?" Jawaban Orlin justru terdengar seperti pertanyaan. Bukan apa-apa, hanya saja dia masih ragu dengan kesanggupan Deka.
Namun, ternyata Deka mengangguk, meski di mata Orlin, anggukan pria itu tampak dipaksakan.
"Kalau memang nggak mau, ya, nggak usah." Orlin mengerti kalau Deka pasti risih berada di antara keluarganya yang suka julid, seperti saat mereka baru saja menikah. Deka bahkan langsung izin pergi ke kamar hotel demi menghindari ocehan keluarganya yang memuakkan.
"Aku ikut supaya keluarga kamu nggak curiga tentang pernikahan kita."
Dan, ya. Orlin juga seharusnya tahu kalau Deka punya alasan di balik keikutsertaannya.
***
Makan malam baru saja usai. Kini keluarga besar Orlin dari pihak almarhum ayahnya sedang asyik mengobrol di meja makan sambil menikmati dessert. Orlin hanya mendengar sesekali, tak berminat untuk masuk ke dalam pembicaraan mereka yang bahkan dia sendiri tidak paham. Karena kenikmatan pudding cokelat yang sedang dia makan terlalu menarik perhatiannya.
"Kamu udah program hamil, Lin?"
Mendadak, seluruh tatapan tertuju pada Orlin. Seperti de javu, dia menghentikan suapannya dan menatap si pemilik pertanyaan-Tante Irma-yang dulu juga sering menanyakannya, "Kapan menikah?".
Orlin sudah menebak kalau ini akan terjadi, tapi dia tidak menduga kalau sekarang adalah harinya. Well, dia dan Deka baru saja menikah, tentu bagi sebagian orang yang berpikiran terbuka, mereka sedang berada di fase saling mengenal, mendalami perasaan satu sama lain dan menghabiskan waktu bersama sebelum menyiapkan diri untuk memiliki keturunan.
Anggap saja, mereka juga begitu meski pernikahan mereka berbeda dari yang lain. Dan, pertanyaan Tante Irma tentu membuat Orlin kesal. Dia seperti tidak diberi kesempatan untuk hidup dengan tenang.
"Kamu normal, kan? Nggak mandul?" tanya Tante Irma sembari mengambil pie susu.
"Jangan suka nunda-nunda punya anak, Lin. Nanti beneran nggak dikasih, baru kamu nangis-nangis." Dengan santainya, Tante Irma memakan pie susu tanpa tahu kalau ucapannya sudah memancing emosi Orlin.
"Kak, udah. Jangan dipojokkan anakku." Ibunya Orlin yang menyadari perubahan di wajah Orlin, berusaha menghentikan iparnya, tapi sia-sia saja. Tante Irma masih belum selesai.
"Liat tetangga sebelah, tuh. Sibuk ke sana-kemari cuma buat bayi tabung, ujung-ujungnya nggak berhasil. Sekarang jatuh miskin. Uang nggak ada, anak apalagi. Amit-amit." Tante Irma mengetukkan kepalan tangannya di kepala lalu di atas meja berulang kali. Anehnya, tidak ada satu pun orang yang menghentikan kejahatan mulut Tante Irma dalam membuka aib seseorang.
Aku yang amit-amit punya keluarga kayak Tante Irma!
"Atau enggak, jangan jauh-jauh, deh. Ibu kamu aja, pacarannya lama banget habis nikah. Jadi punya anaknya telat. Terus, waktu mau nambah lagi, papamu keburu nggak ada."
Tangan Orlin terkepal di atas pahanya yang tertutupi dress selutut. Dia ingin membuka suara, tapi ternyata sudah lebih dulu diserobot Deka.
"Kapan pun Orlin siap, saya nggak masalah. Itu tubuhnya, dan dia yang berhak menentukan."
Orlin langsung menoleh, dan menemukan Deka yang menatap lurus ke arah Tante Irma dengan ekspresi datar. Bukan datar yang biasa dia tampilkan, tapi ini lebih dingin, seakan mengintimidasi siapa pun yang melihatnya.
Orlin tiba-tiba bergidik. Padahal bukan dia yang ditatap demikian. Sementara Tante Irma sontak salah tingkah. Dia yang biasanya paling ahli bersilat lidah seketika bungkam.
"Anak itu rezeki. Enggak bisa dijadikan sebagai ajang balapan atau pamer, tapi bukan berarti kami enggak pernah berusaha. Cuma Tuhan yang tau kapan kami siap diberi anugrah itu."
Deka tersenyum tipis lalu mengelap bibirnya menggunakan tisu. Gaya pria itu begitu elegan, seolah ingin menunjukkan kalau dia berasal dari orang yang berpendidikan.
"Terima kasih atas sarannya. Nanti kalau istri saya melahirkan, saya akan mengabari Tante lebih dulu."
Orang-orang yang ada di meja makan hanya bisa menganga, masih tidak percaya kalau menantu baru di keluarga besar mereka bisa seberani itu.
Diam-diam, Orlin tersenyum puas. Mengagumi akting Deka yang sangat berbakat. Sepantasnya pria itu ikut audisi pemilihan aktor saja, pasti banyak yang suka. Setidaknya, selama enam bulan ke depan, dia punya sekutu yang akan membantunya melawan penjajah berkedok keluarga.
***
To be continued.
Sabtu, 26 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top