2. Awkward Feeling

***

Pagi hari, Orlin berencana untuk jogging di sekitaran kompleks setelah berabad-abad tidak berolahraga. Dia perlu membakar lemak-lemak yang menumpuk di tubuhnya sekaligus memanfaatkan cuti dengan sebaik-baiknya. Lumayan, kan, beberapa hari terbebas dari tugas kantor yang hampir membuat tremor.

Sekali lagi, Orlin mematut diri di cermin. Celana legging, hoodie dan sepatu. Perfect. Sambil mengikat rambut, Orlin keluar dari kamar. Sekilas, dia menatap kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya. Takada tanda-tanda kehidupan di sana, bahkan lampunya saja mati. Mungkin Deka masih tenggelam dalam mimpi, mengingat pria itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Orlin tidak mau ambil pusing karena Deka memang tipikal orang yang sangat tertutup, seolah memiliki dunianya sendiri.

Namun, ketika menuruni tangga, Orlin dibuat terkejut dengan keberadaan Deka yang sedang mengenakan sepatu di ruang tamu. Yang lebih mengejutkan, pria itu sudah siap dengan pakaian olahraga! Astaga ... ini tidak termasuk daily routine Orlin selama cuti. Haruskah Orlin balik ke kamar dan melanjutkan tidurnya? Tidak, tidak. Orlin masih punya banyak rencana setelah jogging. Jangan sampai semuanya jadi berantakan hanya karena seorang Deanka Elgis Pradipta.

Menganggap Deka tak kasat mata, Orlin berjalan melewati pria itu seraya bersenandung ria. Dia tahu kalau Deka kini sedang menatapnya, tapi Orlin menahan kepalanya supaya tidak menoleh. Aroma perpaduan antara citrus dan mint yang tercium begitu dekat membuat Orlin menduga kalau Deka ada tepat di belakangnya.

"Olahraga juga?"

Orlin memutar kedua bola mata, malas sekali menjawab pertanyaan Deka. Padahal baru kemarin pria itu bilang kalau mereka tidak boleh mengurusi urusan satu sama lain, tapi sekarang dia justru bertanya duluan.

Nelen ludah sendiri, kan, jadinya?

Mungkin karena tidak mendapat respons dari Orlin, Deka akhirnya memilih bungkam, hanya langkahnya yang masih setia berada di belakang. Orlin juga enggan untuk berusaha mengakrabkan diri yang pasti berujung dengan perdebatan.

Begitu Orlin keluar rumah, angin segar langsung membelai wajahnya lembut. Dia sangat menyukai suasana di sini karena jauh dari kepadatan penduduk dan benar-benar asri, jauh berbeda dengan rumah orang tuanya yang berada di tengah-tengah kota.

Orlin melakukan peregangan sebentar untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku, sementara Deka sudah lebih dulu berlari. Setelah dirasa cukup, Orlin mulai jogging mengelilingi kompleks. Tak jarang dia akan menyapa penghuni rumah yang ditemuinya. Namun, belum ada dua putaran, napas Orlin sudah ngos-ngosan. Dia lelah luar biasa. Alhasil, dia duduk di kursi taman dengan kaki yang terjulur ke depan.

Saat sedang beristirahat, dia melihat Deka lewat di depannya sambil membawa air mineral. Mendadak, Orlin kehausan. Dia meraba-raba saku hoodie, tapi tak menemukan uang sepeser pun. Ah, sial! Dia lupa membawa uang.

Seketika, Orlin bimbang. Tidak mungkin dia meminta uang dengan Deka. Pria itu sudah memberinya uang bulanan meski mereka menikah karena kesepakatan. Orlin tahu diri, tapi dia juga tidak bisa kembali ke rumah. Jarak dari posisinya ke rumah lumayan jauh. Bisa-bisa dia pingsan duluan akibat dehidrasi.

Bodo amat! Yang penting dahagaku tersalurkan.

Orlin berlari mengejar Deka yang entah kenapa bisa secepat ini, mungkin karena kakinya yang panjang dibandingkan dengan kaki Orlin yang lebih pendek. Wajar, tinggi badan mereka saja timpang. Orlin yang memiliki tinggi 160 cm hanya sebatas dada Deka yang tingginya mencapai 185 cm. Untuk ukuran orang Indonesia, Deka memang seperti Titan.

"Mas Deka! Mas!" teriakkan Orlin sama sekali tidak digubris Deka, justru dia semakin mempercepat kecepatan larinya, seakan memang sengaja menghindari Orlin.

"Mas Deka!" Sekali lagi, Orlin berteriak, tapi nihil. Deka masih pura-pura tuli. Merasa lelah dan tenggorokannya kering, Orlin berhenti dengan tatapan setajam elang yang tertuju pada suaminya itu.

"Awas aja kamu, Mas. Dasar laki-laki tua!" Orlin melepas salah satu sepatunya, menyisakan kaus pendek berwarna pink sebagai alas kaki. Dia mengangkat sepatu itu tinggi-tinggi seraya memfokuskan tatapan ke satu titik; Deka. Kemudian, dia melempar sepatu itu, dan...

"Aw!"

Tepat sasaran! Sepatu itu mengenai punggung Deka hingga membuatnya hampir tersungkur. Bahkan air mineral yang dibawa Deka sampai jatuh. Orlin bersorak gembira lalu menghampiri Deka.

"Kamu apa-apaan, Lin?" kesal Deka dengan wajah keruh. Punggungnya terasa nyut-nyutan karena lemparan Orlin yang tidak bisa dibilang pelan.

"Jangan salahin aku. Kamu yang salah karena nggak nyahut waktu aku panggil," ketus Orlin. Kalau saja dia tidak kehausan, ogah sekali dia harus mengejar Deka.

"Aku nggak denger."

Orlin melotot. Tidak dengar? Demi kerang ajaib, dia sudah berteriak keras. KERAS! Memang sebanyak apa kotoran di telinga Deka sampai dia tidak bisa mendengar suara Orlin yang hampir setara dengan speaker Mamang sayur?

"Alasan. Kamu memang sengaja, kan, mau balas dendam?" Orlin menuding hidung mancung Deka yang bentuknya seperti prosotan.

Deka menepis tangan Orlin. "Kalau kamu lupa, di perjanjian tertulis kalau kita nggak boleh terlalu dekat. Kamu udah melewati batas, Lin."

Dan karena ucapan Deka, rasa haus Orlin mendadak hilang.

***

Setelah kejadian tadi, seketika Orlin merasa canggung. Dia mulai menjaga jarak dengan Deka, bahkan meninggalkannya untuk pulang lebih dulu. Karena jujur saja, kalimat pria itu menyentil gengsi Orlin sekaligus membuatnya tersinggung.

Alhasil, di dalam kamar, Orlin tak berhenti mengumpati Deka. Gara-gara ucapan pria itu, dia merasa seperti perempuan genit yang sok kenal sok dekat dengan orang asing.

Deka sialan!

Orlin menenggelamkan wajahnya di bantal. Dia memutuskan untuk tidak keluar kamar karena malas bertemu dengan Deka. Pria itu memang tidak pernah mengungkit-ungkit sesuatu di masa lalu, tapi perjanjian mereka jadi pengecualian, membuat Orlin keki setengah mati.

Entah berapa lama Orlin tengkurap sampai suara ponsel tiba-tiba berbunyi. Dia bangkit dan merasakan sesak di dadanya. Mengambil ponsel dari atas nakas, dia melihat nama si penelepon; Mama.

Orlin menggeser tombol hijau lalu menempelkan ponselnya di telinga.

"Halo, Ma?" sapa Orlin sambil bersandar di headboard.

"Halo, Lin. Kamu ada di rumah, kan?"

Kening Orlin berkerut. "Iya, aku di rumah. Kenapa?" Aneh sekali pertanyaan ibunya. Dia baru saja menikah, memangnya dia harus ada di mana? Ya, walaupun pura-pura, dia tetap harus berakting sebagai pasangan yang sedang dimabuk cinta, kan?

"Oh, enggak. Deka juga ada di rumah?" Kerutan di kening Orlin semakin dalam. Dia bahkan menjauhkan ponselnya dari telinga untuk memastikan kembali kalau yang menelepon adalah ibunya.

"Emang kenapa, Ma? To the point coba."

"Jawab dulu, Lin."

Orlin mendengkus pelan. Untung ibunya sendiri, kalau tidak ... tidak apa-apa juga.

"Ada," jawab Orlin sekenanya, walaupun dia tidak yakin kalau Deka memang berada di rumah, mengingat dia yang terus mendekam di kamar, tapi dia tidak mendengar suara mobil, yang berarti dugaannya kemungkinan besar adalah benar.

Hening selama beberapa saat sebelum ibunya bersuara. "Itu ... kebetulan keluarga besar mau ngadain pertemuan bulanan entar sore, sekitar jam lima, kamu ikut, ya? Ajak Deka sekalian. Mereka pada nanyain kalian."

Hah! Orlin ingin sekali mengumpat kasar. Menanyakan yang bagaimana? Nyinyir maksudnya? Topik apalagi yang ingin diangkat jadi bahan gosipan? Apa mereka tidak bosan ikut campur dalam urusan orang lain?

Rasanya Orlin enggan mengakui mereka sebagai keluarga.

"Lin, kamu masih di sana? Kalau masih ragu, kamu bisa diskusi dulu sama Deka. Mama nggak maksa kamu buat dateng, tapi sekarang Deka udah jadi keluarga kita. Mama cuma nggak mau kalian dicap buruk."

Orlin menghela napas panjang. Dia bisa saja menolak, tapi nanti ibunya yang menjadi sasaran. Dia tidak mau ibunya terbebani hanya karena masalah sepele. "Aku usahain buat dateng."

Kemudian, mereka mengobrol sebentar sebelum memutuskan panggilan. Orlin menatap layar ponselnya yang menampilkan menu. Sekarang jam sepuluh pagi, dan acara pertemuan keluarga jam lima sore, berarti dia masih punya waktu sekitar enam setengah jam untuk memberitahu Deka.

Hanya saja, bagaimana caranya?

***

To be continued.

Rabu, 23 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top