Chapter 5 : Yamu the Assasin

Awalnya aku tidak percaya bahwa dia adalah seorang pertarung dari sikapnya yang santun, tetapi ....

Sang pembawa gitar—orang gundul sebelumnya sudah terbaring tidak berdaya karena menginjak jebakan Yamu. Karena terkejut dengan hal tersebut, memberikan Amu kesempatan untuk membuat kilatan cahaya dan membutakan pandangan orang dengan salju sehingga kami dapat kabur.

Ketika kami bersembunyi, Yamu langsung menerjang manusia dengan salju tersebut. Dia berbisik menyuruhku kabur ke arah utara sebelum pengebom itu menyadarinya.

Pertanyaanku hingga sekarang, "kalau begitu, kenapa kita pergi ke arah barat?!"

Amu berbicara, "mungkin dia sengaja mengincar tempat itu untuk memalsukan tujuan sekaligus mencari tempat yang cocok untuk bertarung?"

"Kenapa kamu berpendapat seperti itu?"

"Sebab, terdapat jebakan yang sudah Yamu siapkan," merasa ceroboh, "aku tidak menyadari seberapa banyak jebakan yang ada sebelum terjadi reaksi dari kekuatan Yamu. Maafkan aku," Amu merasa sedih.

"Tidak apa, kita juga tidak pernah bertarung, soalnya," ucapku menggandeng tangannya menarik untuk lebih cepat berlari.

"Ah," Aru menahan langkahnya yang membuatku hampir terjatuh.

"Ada apa Amu?"

"... kakak hampir menginjak jebakan."

"Apa?!" aku kaget dan langsung melompat ke belakang.

"Ini bukan milik Amu, ini sebuah bom."

Sebuah cahaya merah padam perlahan menyala di bawah pohon kelapa. Amu merasakan reaksi energi lain.

"Kak! Lompat ke depan!"

"Eh?!" aku langsung melompat sekuat tenaga untuk menghindari bom di hadapanku. Setelah berhasil melompat jauh dan terlutut Aru kembali memberi arahan, "ayo lari sekuat tenaga, cepat!"

Kami berlari dengan sebuah suara decitan di belakang. Rupanya ledakan tadi mengaktifkan semua bom yang ada secara berantai sehingga jika kami berhenti berlari, kami akan meledak.

"Tarik nafas teratur, jangan berhenti berlari," arah Amu.

"Bertahanlah, sebentar lagi tidak ada bom di depan sana."

Aku berlari dengan sekuat tenaga, berharap segera keluar dari rantai kematian ini.

Kami sampai di sebuah tempat kecil dengan suasana dingin dan udara sejuk. Tempat ini terletak di antara bangunan tua yang memutar kotak dan pencahayaannya terlihat sangat biru, biru tua.

"Selamat ...."

"—datang di tempat kami!" seru seseorang dengan rambut panjang diikat.

"Gayanya sama seperti orang tadi, jangan bilang ...."

"Kamu sudah bertemu dengan Yuo-ku, bukan? Tapi, yang tidak kamu tahu, Yuo milikku itu lebih dari satu!"

Di sekitarnya banyak orang dengan penampilan serupa tertawa bersamanya. Aku sambil melentangkan tangan menjaga Amu perlahan mundur.

Entah kenapa, mataku tidak bisa berkedip. Tubuhku merinding saat melihat bom yang mereka pegang. Saat salah satu bom dilemparkan ke arah kami, aku mulai putus asa.

Tiba-tiba ada suara benturan keras dari arah kanan dan sesuatu menghalangi pandanganku. Sebuah perasaan hangat menyelimuti tubuhku dari belakang, "kak, jangan dilihat!"

"S—siapa kau?!"

Suara berikutnya yang kudengar adalah suara gesekan, cipratan dan teriakan. Aku tidak bisa melihat apa-apa karena sesuatu menghalangi mataku.

Ketika mendengar suara-suara itu, perlahan tubuhku semakin merinding. Aku sangat ketakutan. Bagaimana jika itu adalah hal buruk?

"Jangan takut, Amu di sini untukmu," bisik suara di telingaku.

Amu yang selama ini memelukku. Ah, begitu ya. Dia menutupi mataku agar tidak melihat adegan mengerikan di depan. Namun, sembari menutup mataku dengan kedua tangannya, dia pasti ....

"...!" aku membuka pelukan tangannya. Saat ini, aku tidak boleh berpaling dengan apa yang berada di hadapanku. Itulah yang kupikirkan, tapi ....

"Ghk!" aku langsung terjatuh pingsan saat itu juga.

Pandanganku kosong. Yang terlihat hanyalah kegelapan hingga kesadaranku memudar.

***

Angin sepoi menggelitik kulitku. Aku membuka mata dan melihat cahaya terang-benderang di sebuah ruang berbentuk persegi. Ketika mataku mulai menyesesuaikan, terlihat pemandangan di balik jendela dengan tirai terikatnya.

"Di mana ini ...?"

"Ah! Kak, kamu sudah sadar?" seseorang terlihat dengan mata kiri setengah tertutup menyeru kepadaku.

"Amu ...," dari penampilannya, dia tertidur hingga aku bangun dan mengejutkan dirinya untuk menyapaku.

"Kamu tidak istirahat?"

Menggeleng, "tidak perlu," dia menguap sambil tersenyum. Matanya sudah terbuka lebar. "Aku sudah pernah melihat pemandangan seperti dulu."

Mendudukkan diri dengan benar, menghadap ke luar jendela, "meski ingatanku hilang, tetapi jiwaku masih mengingatnya. Kenangan berdarah seperti itu sudah sering aku alami."

Dia tersenyum. Hal itulah yang membuatku kesal dan jengkel, terutama pada diriku sendiri. Sebelum perasaan itu menghilang ketika aku tersadar akan penampilan Amu yang berbeda.

"Amu, rambutmu itu ...."

Menyisir rambutnya, "Um ... kata Yamu kita harus mengubah paling tidak warna rambut untuk menyamar, jadi aku memilih warna putih."

"Ah ...."

Amu di pandanganku sangat cantik. Dia terlihat lebih dewasa dan rambutnya berkilau di samping kilauan cahaya dari jendela.

"Selain itu ...," memberikan cermin. "Aku sudah memilihkan warna yang sama untuk kakak, apa kakak suka?"

Aku memandangi rambutku yang kini berwarna putih. Rasanya seperti melihat orang yang berbeda.

"Jika tidak suka, aku bisa memanggil seseorang dan meminta tolong untuk menggantinya."

Aku tersenyum. Meski menghadap cermin kecil, tetapi senyum ini kutujukan kepada Amu. "Tidak, aku suka ini."

Menaruh telapaknya di dada bersyukur, "begitu, ya? Terima kasih telah menerima pilihanku."

"Tidak masalah," ucapku menarik menyentuhkan kepalanya ke kepalaku. Dia menutup matanya dengan lembut.

Aku mengelus kepalanya. Kami saling memberi senyum, menikmati momen ini. Tidak ada hal buruk yang akan kembali terjadi. Seharusnya kami sudah aman di sini.

Atau begitulah seharusnya ....

***

"Lapor, unit D dan E dalam misi mendapatkan pecahan kaca telah dikalahkan! Unit C sedang bertarung di desa. Unit A dan B masih dalam penyelidikan."

Seorang pria tua mendecakkan lidah. "Mereka pasti sudah kembali ke markas. Tarik kembali semua unit yang tersisa."

"Baik!"

Dia memberikan sebuah perintah, "suruh unit F dan G untuk melakukan penyelidikan. Unit A, B dan C segera bersiap untuk melakukan penyerangan besok pagi."

"B—Baik."

Usai memberikan perintah, pria itu berbalik ingin meninggalkan ruang kontrol kendali. Seseorang di depan pintu bertanya. "Ketua, kamu ingin ke mana di saat seperti ini?"

Mendengarnya, pria tua itu tersenyum. Perlahan, senyumnya semakin melebar dan tertawa. Dia menarik perhatian.

Pria yang menanyakan hal tersebut merasakan firasat buruk. "Jangan bilang ...."

Pria itu berhenti tertawa tetapi tetap tersenyum, "aku akan memanggil unit AA, AAA dan S. Keberadaan pecahan kaca tidak boleh dianggap enteng dan jatuh di tangan mereka."

Berusaha menyangkal, "tetapi, jika kita menurunkan ketiga unit yang berjaga di markas besar, markas kita akan rentan diserang!"

Mendengarnya, senyuman dari pria tua itu semakin lebar. Dia terlihat seperti iblis yang licik. Pria yang menyangkal itu merasa bahwa dia telah melakukan kesalah fatal.

"Kalau begitu ...," melangkah keluar, "kita kirimkan unit S, Peleton Tiga - Pawai Kematian."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top