though the delusion may be coming soon

(Tidak semua orang paham bahwa keindahan tak semata dapat dipandang dari sebuah mahakarya seni belaka.)

"Maaf jika ini mengganggumu. Tetapi, bolehkah aku meminta bantuan akan sesuatu?"

Beberapa waktu lalu, aku baru menyadari suatu detil yang tidak pernah terpikirkan sama sekali untuk berada dalam kepalaku. Perihal yang masih bersangkutan mengenai aku yang suka membaca seolah itu menjadi bagian dari hidupku—baik sejak belia ketika masih hidup bersama bangsat itu, maupun sekarang saat aku mampu untuk perlahan memanjat martabat tertinggiku.

Sebutlah buku sebagai perantara yang akan membawaku pada dunia yang belum pernah terjamah. Tentang sejarah panjang manusia bermula, dari sisi teknologi dan sosial yang berkembang, masa depan yang bisa diraih dengan beberapa pemikiran maju para cendekiawan. Dunia politik menjadi destinasi ketertarikan utamaku. Jurusan yang kutempuh akan menjadikanku pengacara, seperti apa yang pernah kumau.

"Minta tolong soal?"

Tapi, ada satu perkara dari buku itu yang membuatku tidak terlalu tertarik dalam mencari tahu. Hal sederhana yang tidak perlu manusia mana pun pikirkan terlalu matang, tatkala konsep dalam indra dapat mereka haturkan sejauh apa pun mereka berkehendak dalam merealisasikan pemikiran abstrak yang tak terhalang. Bukan seperti diriku sama sekali yang mencari kedamaian atas akhir dunia yang tak adil menjadikan penghuninya berbeda-beda.

Di saat mataku telah gelap akan menggeledah jati diri terhadap kebahagiaan semu, aku tidak akan pernah merasa puas hanya dengan menikmati sesuatu dalam sekali pandang yang membuat imajinatifku melayang.

Mungkin itu adalah soal estetika. Atau apa pun yang berhubungan dengan untai ciptaan dari kepiawaian tangan yang mengantarkan ilusi pikiran menjadi kenyataan. Meskipun kuakui aku masih menyukai beberapa komponen dari bagian-bagian itu, seperti bagaimana cara buah cipta menarik atensiku—aku tidak tahu mengapa. Namun keterikatanku cukup sampai di situ.

Dan kembali lagi. Sebab apa yang membuatku masih bisa menerima sebuah kanvas dalam genggam yang telah berpindah; kuyakini bukanlah karena di dalamnya tergambarkan sosok lelaki yang begitu kukenal lekat luar dalam selama ini. Lelaki pemberani yang kini menjadi batu loncatan di mana aku akan memanfaatkannya sampai nanti dia melarat mati—aku bersumpah. Suatu hari nanti, dia dan kebodohannya pasti akan mati di tanganku.

"Itu ... hasil lukisanku yang khusus kubuat untuk Jojo—maksudku, Jonathan. Apakah kau berkenan untuk membantuku menyerahkan padanya? Bukankah kalian saudara?"

Sejenak pernyataan membuat mataku membulat, lalu aku bertanya kembali apa gerangan yang membuatku mewajibkan diri untuk memberi pertolongan. Sebelum pertanyaan itu sempat terlontar, tatapan perempuan yang malu-malu di hadapanku, telah membuatku mampu memindai situasi tanpa perlu mengungkit lebih banyak lagi.

Ah. Hal seperti ini ... aku, Dio; tentu sudah mengerti ke mana ranahnya. Mengesampingkan mengenai aku yang digadang memiliki kedekatan sebagai 'saudara' dari Tuan Terhormat itu, makhluk mana yang tidak akan menyukai laki-laki dengan kemuliaan dan bersih hati layaknya sulung Joestar, Jojo-ku yang selalu menjadi primadona di mana pun kami mengemban pendidikan?

Wajah yang begitu tampan, tanpa kecacatan, dalam kombinasi kekayaan sebagai keturunan bangsawan. Semua titik kesempurnaan yang melekat pada dirinya adalah satu-satunya hal yang membuatku bermimpi untuk menyeretnya bergema dalam liang kubur. Seandainya aku yang berada di posisinya, aku pasti akan memiliki wewenang dalam mengendalikan dunia seperti apa yang kumau.

"Jangan khawatir. Aku pasti akan menyerahkannya."

Aku adalah pendusta paling ulung. Berkebalikan dengan seseorang yang nekat untuk melangkah maju tanpa memahami konsekuensi; dan aku hanya tertawa sedikit dalam mengingatnya kembali. Pandangan menghina. Tidak pula kutunjukkan. Dikarenakan perempuan ini, justru menamparkan pada realita bahwa aku tengah membicarakan diriku seorang.

.

.

.

Lantas, apa fungsi yang kuperoleh hanya dengan membuatku mendamba kematiannya diam-diam?

Aku menyembunyikan tindakan berikutnya dengan memiliki hasil kanvas itu untuk diriku sendiri tanpa perlu Jojo mengetahuinya. Berlarut-larut dalam waktu yang tak dapat disebut, hari di mana lelaki itu menorehkan lenggok tubuh gemulainya dalam ramping yang membuatku merasa amat pias. Iritasi itu tidak sekadar bisa kuludahkan di depan wajahnya—pun betapa senyum idiotnya yang tidak pernah ada ubahnya, membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya dia pikirkan di dalam otak busuknya.

Tentu. Dia barangkali akan mempecundangiku sebagai agresor. Sudah jelas terpancar dari bagaimana kemarahannya berhasil membuatku terpental jauh beberapa tahun lalu. Tetapi demikian aku tidak menolaknya. Denial yang tidak perlu dilakukan setelah di masa lalu, aku merebut begitu banyak hal darinya.

Seluruh kepercayaan diri, rasa rendah hati, bahkan cinta pertama ... aku tidak mengatakan diriku telah bersalah bahkan ketika aku mencuri kesucian bibir Erina untuk kali pertama, dan bukanlah dirinya; walaupun keterlibatanku pada perempuan itu cukup sampai di sana. Di depannya; aku berpura-pura tidak ada yang perlu kami perdebatkan setelah dia menghancurkan wajahku satu kali.

Ah. Menyedihkan. Aku pernah menangis di hadapannya. Kuhardik dia yang tidak akan mengerti ketersiksaan batin dengan hidup di bawah tekanan pria bajingan yang membesarkanmu dengan sebutan sebagai seorang ayah. Ibu yang menjadi satu-satunya pelindung tidak bisa kuharapkan, pria itulah yang secara tak langsung membunuh kemanusianku oleh karenanya.

Terlahir dengan memiliki segalanya, Tuan Joestar memaksa Jojo untuk memahami posisiku dan itu menguntungkanku. Bisa kupahami bahwa kepala keluarga itu telah menganggapku sebagai anaknya juga; terlepas dari 'kenakalan' yang pernah kuperbuat pada Jojo untuk mengintimidasinya. Hari itu berakhir dengan kami dilerai. Aku memenangkan kesalahpahaman. Jojo harus mendekam diri untuk menekan rasa sakit hatinya.

Pun, andaikata memang kesenangan duniawi mendapatkan sentimen yang serupa seperti yang tervisualisasi dalam lukisan yang selalu aku pandang; maka aku lebih suka untuk menyulap sukacita yang tidak pernah kurasakan dalam dekapan ibu ke dalam bentuk yang tidak ada beda. Sungguh anak kecil yang malang. Tanpa mendapatkan pengalaman merasai kasih sayang, tidak kusangka perubahan rencana malah membuatku luluh untuk menambah keintimanku dan Jojo sebagai saudara di kemudian.

"Hentikan—Dio!!"

(Mengenai itu, mengenai apa yang selalu membuatku terlarut memikirkannya ...)

Anak bangsawan bodoh itu tidak akan mengerti bagaimana cara bertahan hidup dengan mengerat dari dunia bawah. Tentang betapa aku merangkak untuk mencapai puncak, dengan semua etiket yang persis didiktekan buku sebagai satu-satunya kawan penunjangku untuk mengetahui dunia luar. Aku mempelajari segala hal selayak aku tidak memiliki daya untuk meninggalkan ilmu—sehingga aku akan mengajarinya, sama seperti estetika yang sama membalut tiap barisan tulang belakang lelaki yang akan aku pelorotkan turun dari singgasananya.

Aku mendorong tubuhnya agar terperangkap dalam kurungan tangan dan menjerembapkan kepalanya pada bantal. Dalam satu kali hentak menyakitkan, Jojo menjerit dan memintaku untuk berhenti bergerak. Riuh rendah napas panas yang membuatku hanya bisa tertawa licik menyaksikan kegagahanku seorang—Jojo tidak bisa melawan, sehingga yang dia lakukan adalah tetap beradu kekuatan meski aku telah mengikat tangannya kencang.

"Apa yang kau lakukan—Dio—"

"Memperkosamu."

Perkataan yang vulgar dan lugas, tidak ada yang perlu kusesali. Ah. Apa dirimu mengerti betapa aku menunggu saat-saat seperti ini untuk menjatuhkan harga dirimu, Jojo? Betapa aku selalu membatasi diriku untuk terlarut dalam mimpi basah yang sama setiap aku menatap kembali pada hasil lukisan itu? Tidak senonoh, rupanya; aku juga bertanya mengapa perempuan itu memilih untuk menggambar tubuh telanjangmu.

Kepuasan akan dominasi membuatku menukik seringai, menggenggam dengan erat yang membuatku semakin buta akan kesenangan yang tidak pernah terbantahkan. Bagaimana Jojo harus menerima rasa sakit dan keterhinaan—dalam belenggu kenaifan alam bawah sadar dan pikiran. Di dalam otaknya, Jojo bisa jadi masih percaya bahwa semua hal ini hanyalah terjadi dalam imajinasi dan aku tidak mungkin berada untuk membuatnya merasa kembali begitu sulit.

"Kau sudah gila—Dio! Akh!"

Kecam aku sebagai orang sinting semaumu. Tetapi aku akan senantiasa membuktikannya padamu, Jojo. Karena ini adalah hal yang pantas untuk kau nikmati.

Akan bagaimana tubuh lelaki yang menolak tidak bisa terlepas dari jerat yang mendorongnya sampai di titik terendah itu sama sekali—Jojo mengejang sebab perasaan jijik telah membuatnya nyaris muntah. Namun aku menahannya, dengan mulutku yang mengarahkannya untuk terus tertutup dan hanya boleh menyebut namaku.

Ah. Jojo. Jojo-ku yang kukagumi. Aku membencinya hingga aku ingin menghancurkannya. Aku membiarkannya terlarut dalam nada yang pilu, paling tidak itu menegaskan padanya bahwa aku masih mengasihaninya. Timbul tenggelam dalam nada yang terpatah-patah, mengalihkan fungsi jantung untuk memompa seirama apa yang aku lakukan pada tubuhnya.

Bukankah kau mencoba menerimanya? Menikmatinya dengan mata terpejam dan rintih yang tak putus—memaafkanku meski dengki telah mencoba menyadarkanmu, bahwa ada yang salah terhadap dirimu yang denial dan mencoba untuk mempercayaiku sekali lagi?

Meski jika ini adalah delusi, meski nantinya Jojo akan terus berbohong baik pada diriku maupun dirinya sendiri nanti. Kenihilan dalam mencoba lepas kembali itu dikonklusikan pada detik dirinya terjebak dalam peluk eratku—pada tiap bait gerak-gerik; yang tergores pada lukisan dalam darah pekat yang kubayangkan untuk terlahir sebagai hadiah baginya nanti.

Apa yang serupa dengan jari—tiap inci yang membentuk isi kepalaku menjadi kemelut. Kalau Jojo mencoba untuk melepaskan dirinya dari rasa nikmat yang dia definisikan dengan tindakan kotor ini, mengapa pula dia mencengkramku sekuat tenaganya?

"Ahhhh!"

Aku tidak akan melepaskannya. Menjadikannya milikku, untuk kubuang ke dasar palung lautan yang beku. Air mata tidak cocok untuk Jojo-ku yang kuat—dia harus bersabar untuk mencapai akhir pertarungan kami, melepaskan emosinya sebagai saudara yang telah menghabiskan waktu bersama tanpa mencoba untuk menerima niat kejiku kembali.

Aku mempersembahkan ini, kepadamu; Jojo—karena aku peduli akan pencapaian obsesiku. Kaulah kepuasan estetikaku.

"Kau tahu, Jojo."

(Dan aku meleburkan lukisan itu pada pembakaran yang sama menjadi kuburan terakhir Danny, dengan segala jenis ucapan kutukan serta sumpah serapah yang keluar dari mulutku. Kau tidak akan pernah mampu mencapai jenis afeksi apa pun—selain kau dapatkan hal tersebut dariku; Dio, untuk mencapai klimaksmu.)

"Aku membencimu sampai akhir hayatku. Sampai bertemu dalam 100 tahun lagi, wahai Jojo yang kucintai."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top