Sastrawan Dadakan


Bagi Samatoki, seorang kakak kelas, mantan ketua osis, bahkan tersebut-sebut sebagai selebritis sekolah yang tidak pantas eksis (tentu saja karena mulut kasarnya), mendapatkan perhatian publik itu hanyalah perkara kecil.

Lain halnya mendapatkan perhatian dari sang kekasih. Samatoki sampai-sampai harus menekuk kaki berharap welas asih bagi sang kekasih untuk menolehkan kepalanya dari hamparan buku yang menyedot atensi. Sejujur-jujurnya, Samatoki rasa ketimbang berbaring berharap secuil keajaiban akhirnya akan mampir ke kepala kekasihnya untuk menyadari bahwa Samatoki masih di sini, ia diam-diam berpikir bahwa setidaknya akan lebih enak kalau saat ini keluar membawa motor dan memacu kendaraan itu selaju-lajunya di lajur sepi, karena kalau begini, bisa mati ia bosan menanti.

"Oi, Chia! Kalau sampai dua menit lagi kau masih menatap buku-buku sial itu, aku akan pergi dari sini!" rajuk Samatoki akhirnya dengan dua tangan terlipat di depan dada. Alisnya juga tak kalah terlihat lebih menekuk dari yang biasa-biasanya.

Chia menghela nafas, kemudian memilih menutup bukunya. Samatoki sudah lima belas menit melakukan akrobat abstrak mulai dari berguling-guling di atas sofa,  menyedot minuman dengan keras, mengetuk-ngetuk meja, mencoba menaruh kaki kiri ke atas pundak kanan, mencoba menggerakkan benda dengan memelototi benda itu terus, dan banyak lainnya hanya untuk mendapatkan perhatiannya. Padahal baru lima belas menit itu juga Chia membuka buku.

Ia memutar bola matanya malas, kemudian menatap Samatoki yang masih bersedekap dengan wajah merengut dan alis menukik tajam menyiratkan ketidak senangan dengan frontal. Padahal sudah besar, tapi masih saja berlaku seperti anak baru lulus sekolah dasar kamu itu. Tentu saja, Chia hanya membatin, mana mungkin dikatakan secara gamblang kecuali Chia sudah memiliki keputusan lelah menjalani dunia mungkin akan ia katakan. Pada akhirnya ia hanya menghela nafas lagi.

"Oke, kau sudah mendapatkan atensiku sepenuhnya, Kiki. Sekarang apa?" tanya Chia datar.

Kendatipun sekarang sudah mendapatkan perhatian, empunya surai putih itu kini malah menatapnya balik, kemudian, sesedikit kerutan di dahinya berkurang menjadi lebih santai. Chia rasa wajah santai itu memang lebih cocok untuk Samatoki.

"Ya, kalau kau sudah sekarang kita ngapain?" ujar Samatoki polos atau tolol yang mana pun saat ini terserah karena Chia sudah bersiap-siap ingin melayangkan salah satu buku ke wajah (yang sialnya) tampan kekasihnya tersebut.

"Mau kubacakan puisi saja biar otakmu yang aneh itu setidaknya memiliki nilai seni?" sarkas Chia.

Samatoki mendengus, oke, oke. Dia tahu kalau Chia belakangan sedang getol-getolnya membaca puisi dan terkadang mencoba menulis juga walaupun selalu berakhir dengan puisi dengan bentuk yang berantakan karena Chia sendiri ingin membuat puisi romansa padahal rasa pekanya terhadap cinta bukan main hampa.

Dan demi Dewa Neptunus, setiap Samatoki mendengar seseorang, bahkan Chia, membaca puisi, ia akan merinding geli dari ujung ahoge sampai jemari kaki dengan batin berharap-harap kalau ia bisa mampus detik itu saja lalu bangkit kembali seakan-akan tidak pernah mendengar pembacaan syair romansa yang dilebih-lebihkan bernama puisi yang baru saja dibacakan.

"Tidak. Terima kasih, aku baru ingat bagaimana kalau kita berjalan-jalan di luar? Kencan ringan begitu?" tawar Samatoki setelah berdeham sehabis memikirkan akan betapa gelinya ia kalau sampai harus mendengar Chia membacakan puisi barang hanya sebait.

Memangnya ada kencan berat? Begitu pikir Chia.

Tapi kemudian ia hanya mengangguk, berpikir kalau toh ia dan Samatoki akan sangat jarang bisa menghabiskan waktu seperti ini lagi sebentar lagi. Samatoki sudah akan lulus, sementara Chia masih harus menempuh setahun lagi tahun ajaran, namanya juga adik kelas. Itu berarti mereka akan LDR karena Samatoki sendiri mengatakan sesuatu yang tidak bisa Chia percaya kalau ia akan mengambil kuliah segera setelah lulus.

Dan ya, maka dari itu saat ini mereka sudah berjalan-jalan di mall, sebelumnya mereka hendak berjalan-jalan di taman karena masih pagi dan segar, tapi taman begitu penuh entah kenapa, lelebih, matahari mendadak menusuk panas sampai rasanya hendak memanggang mereka detik itu juga. Sebab itu mereka memutuskan untuk pindah ke mall saja.

"Padahal masih pagi, kenapa mataharinya terik sekali, ya?" Samatoki bertanya-tanya keheranan sejak tadi. Karena sepanas-panasnya matahari pagi, di kulit Samatoki biasanya selalu terasa hangat, bukannya panas membara bagaikan terik siang hari.

Netra ruby Samatoki melihat Chia yang menyalakan layar gawainya kemudian mematikannya lagi, lalu menatap Samatoki dengan senyum kagok terpasang.

"Ada apa?" Samatoki menaikkan satu alisnya melihat raut Chia.

"Eh... Ini, loh. Kupikir kita yang salah,"  ujar Chia seraya mengarahkan layar gawainya ke arah Samatoki dan menyalakannya.

pukul 12:45 siang hari.

Oh, dasar tolol.

"Sebentar, aku kira daritadi masih pukul sembilan?" bingung Samatoki.

"Bagaimana bisa?" tanya Chia. Tumben-tumben dia juga ketularan buta jam seperti Samatoki masalahnya.

"Tadi saat di rumahmu, aku lihat masih pukul sembilan," balas Samatoki dengan raut menerka-nerka. Tangan mereka yang bergandengan berayun pelan seiring otak mereka mencoba berpikir.

"Jam yang mana?" Chia bertanya, rasa-rasanya Chia merasakan sesuatu yang aneh.

"Yang itu loh, di atas perapian, berbentuk seperti ceper dengan pinggiran setengah emas dan perak itu!" jawab Samatoki lagi.

Chia menepuk jidatnya dengan satu tangannya yang kosong. Samatoki ini sudah berapa kali mampir ke rumahnya tapi masih saja tidak sadar kalau benda-benda di atas perapiannya itu hanyalah pajangan?

"Kiki... Jelas saja salah, yang kau lihat itu hanya pajangan, bukan jam betulan! Jam betulannya kan yang ada di pojok ruangan!" seru Chia kesal.

Oke, Samatoki masih berpegang teguh pada keyakinannya kalau hidup tidaklah adil dan membuatnya tidak percaya akan keberadaan Tuhan atau apapun itu di atas sana, tapi kalau memang Tuhan ada, Samatoki ingin berdoa kutuk dia jadi lantai atau alas bangunan atau apa saja lah daripada harus malu di depan Chia akibat ketololannya sendiri seperti ini. Atau bikin ia mampus detik sekalian juga tidak apa. Eh atau jangan mampus dulu, kalau Chia jadi sedih nanti bagaimana?

"Ya sudah, ayo kita ke-"

Kalimat ajakan Chia mendadak terpotong oleh dering gawai Samatoki. Samatoki nampak tersadar dari wajah terbengong-bengong tololnya beberapa menit lalu dan lekas mengangkat teleponnya tanpa melihat siapa penelpon.

"Halo?" sapa Samatoki. Sejenak kemudian air wajahnya berubah menjadi lebih tenang dan serius.

Chia duga Samatoki mendapat telepon dari rekan osisnya. Sebentar lagi mereka akan mengadakan acara perpisahan untuk kelulusan, juga prom. Ya, Chia sudah mendapat ajakan untuk menghadiri prom dengan Samatoki tentunya. Mana mungkin Samatoki mau mengajak gadis lain? Toh, penampilan preman pasar seperti dia juga bukan orang brengsek.

"Ah, Chia, maaf. Sepertinya aku harus ke sekolah mengurus acara perpisahan. Ada guru besar kesenian yang dulu mengajar di sekolah kita, beliau katanya akan mampir di acara perpisahan dan kami harus memikirkan acara tambahan khusus untuk menyambut beliau," terang Samatoki dengan raut bersalah.

Chia mafhum saja, toh kalau Samatoki sibuk ia bisa kembali mengganti kedudukan Samatoki sebagai pacar nomor satunya dengan buku-buku koleksinya.

Senyum manis Chia tampilkan. "Tidak apa, Kiki! Semangat, ya!" ujar Chia dan mengepalkan kedua tangannya memberi gestur semangat untuk Samatoki dan bisa ia lihat samar merah meledak di kedua pipi lelakinya.

"Oh.., iya, tentu," Samatoki tergugu, aduh Chia-nya ini terlalu lucu, bisa-bisa ia mati membeku kalau sekali lagi diberi serangan dadakan seperti barusan. Jarang sekali ia melihat Chia berperilaku manis seperti ini.

"Tapi biarkan aku mengantarmu pulang dulu," lanjut Samatoki dan menggandeng tangan Chia.
.
.

|

"Cecunguk! Muncul kalian! Masa memikirkan satu acara tambahan tanpa bantuanku saja tidak bisa? Otak kalian isinya batu semua apa bagaimana?!" amuk Samatoki sesampainya di ruang Osis yang seharusnya sudah tidak perlu ia masuki lagi. Harusnya apa yang mereka perlukan darinya sepadan dengan meninggalkan kencan dadakan dengan Chia manisnya demi ini.

Beberapa anak di dalam ruangan tersebut nampak terkejut akan bantingan keras pintu secara tiba-tiba dan makian serapahan yang menyusul sedetik kemudian. Sementara dua lainnya nampak sudah begitu terbiasa akan kelakuan ketua osis yang satu ini.

"Bukan begitu, Samatoki. Tentu saja kami bisa, kami memanggilmu ke sini untuk memastikan apa kamu mau melakukannya atau tidak, karena Amayado-sensei sendiri yang menyampaikan ke Rosho-sensei agar kau yang melaksanakan sambutan langsung bagi beliau," jelas Jyuto dan membenahi kacamatanya yang melorot ke pangkal hidung selama ia berbicara.

Samatoki memelotot. Apa-apaan? Sudah datang tiba-tiba, request pula harus siapa yang membawa acaranya?

"Bangsat, kenapa aku?" tanya Samatoki.

"Mana kami tahu. Mungkin karena kamu ketua osisnya," ujar Riou.

"Mantan ketua osis," ralat Jyuto atas ucapan Riou.

"Ya itulah pokoknya," balas Riou menolak peduli pada penyebutan apapun itu.

"Pokoknya karena aku sudah di suruh sebagai pembawa acara sambutan, aku tidak mau memikirkan acara apa! Urusan itu kalian saja!" seru Samatoki kesal.

"Bagaimana kalau kau tidak setuju?" tanya Jyuto.

"Ck, aku akan setuju oleh apapun itu! Jadi cepat kalian diskusikan saja dan hasilnya nanti kirim di chat saja! Brengsek, merepotkan sekali menjadi ketua osis," rutuknya. Samatoki sebenarnya hanya berniat menjadi pengurus osis tapi ogah menjadi kacung juga, niat dia masuk osis agar ada yang bisa ditulis saat hendak mendaftar perguruan tinggi nanti, tapi malah tiba-tiba ditunjuk menggantikan posisi ketua osis yang problematik saat itu.

"Baiklah kalau itu maumu," Jyuto mengendikkan bahu acuh seraya Samatoki mengangkat kaki keluar dari ruangan itu dengan membanting pintunya tertutup. Membuat beberapa adik kelas calon pengurus osis selanjutnya terpekik ngeri.

Jyuto tersenyum, menoleh ke mereka dan berdeham untuk mengambil alih atensi di seluruh ruangan. "Tolong jangan menghiraukan dia, marah-marah memang kemampuan alaminya," ucap Jyuto dengan nada menenangkan yang hanya dibalasi anggukan kikuk oleh adik kelasnya yang tidak menyangka kalau ketua osis sebelumnya sebrutal itu.

.
.
.

Sore itu, Samatoki memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan bermain game saja seperti remaja tanggung lainnya, marah-marah dan memaki kala ada yang tidak benar di tim. Sebenarnya ia berencana untuk mampir ke rumah Chia lagi, tapi Samatoki pikir lagi buat apa, toh nanti palingan dia akan menemani Chia membaca buku sampai Samatoki ketiduran lagi.

Moodnya bagus sekali sore itu karena timnya terus-terusan memenangkan pertandingan itu. Win streak kembali muncul di layar dan Samatoki tersenyum puas. Namun naas, sepertinya kesenangan Samatoki itu sejenak berlalu begitu saja kala sebuah notif chat bertuliskan nama "Jyuto-Waketos Bangsat" muncul. Ia mendadak ingat akan betapa kesalnya ia siang tadi dan mood bagusnya barusan seakan-akan menguap begitu saja.

Samatoki membuka chat dari Jyuto dan memelotot kala membaca isi acara sambutan pada Amayado-sensei yang akan dibawakannya. Sumpah serapah dan maki-makian menyusul sepersekian detik kemudian.
.
.
.

Hari H, Samatoki sudah merasa pengap memakai jas yang rasa-rasanya sebentar lagi akan segera mencekik lehernya. Dasinya hendak ia longgarkan sedikit sebelum suara manis memanggil.

"Kiki?"

Ah, itu dia Elschia Rostevski, namanya membelit-belit memang makanya Samatoki lebih senang memanggilnya dengan sebutan Chia beralasan bahwa Chia terdengar lebih lucu. Tapi, hei, jangan pedulikan soal nama, lihatnya Chia-nya itu begitu manis dengan strapless dress semi-formal biru muda itu. Rambutnya yang biasa diurai jadi bermodel chignon. Jangan tanya Samatoki tahu dari mana nama-nama model rambut itu. Adiknya yang mendalami jurusan kecantikan selalu membicarakan banyak hal terkait model rambut, dress sampai jenis make-up saat bersama Chia dan sesekali Samatoki curi-curi dengar berkedok iseng.

"Hei, melamun lagi?" Chia menatap Samatoki lurus-lurus dengan kepala dimiringkan dan Samatoki merasa ia betulan membeku saat itu juga.

"Oh, nggak, maaf hanya kepikiran sesuatu. Kau nampak cantik sekali hari ini," puji Samatoki setelah tersadar dan demi semesta raya ia bisa melihat merah meledak di wajah kasihnya.

"T- Terima kasih," cicit Chia menunduk malu. Wajahnya serasa begitu panas dan kemudian ia merasa tangan dengan lapisan sarung tangan putih menggenggam tangannya dengan erat dan Chia betulan merasai kalau ia pasti sedang di neraka karena ia merasa begitu panas sekarang.

Samatoki tersenyum, Chia meledak merah di wajah sampai ke telinga dan Samatoki merasa itu sangat manis sampai-sampai tidak bisa menahan diri untuk menggandeng tangannya dan enggan melepasnya. Takut-takut kalau Chia hilang tiba-tiba karena saking manisnya ada lelaki lain yang mengajaknya untuk berdansa di acara prom satu jam nanti (yang mana sebenarnya itu tidak mungkin juga) dan Samatoki tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Samatoki hendak mengucapkan sesuatu kalau-kalau saja keberadaan seseorang yang seharusnya tidak ada di acara itu saat ini tidak membuatnya membulatkan manik terkejut.

"Wow, santai saja, Samatoki. Aku tidak berniat ribut denganmu hari ini. Sayang, bajuku sudah terlalu rapi," ujar sosok berhelai arang yang sisi kanannya disisir belakang itu ke Samatoki seraya menyesap minumannya. "Aku hanya kesini untuk mengucap selamat atas kelulusanmu,"

"Tidak butuh," ketus Samatoki segera setelah kalimat itu selesai. "Bisa-bisanya kau di sini lagian, Bangsat? Buat apa?"

Chia mendongak, mendapati raut terkejut setengah marah milik lelakinya, kemudian Chia mengikuti arah tatapan mata Samatoki dan terpaku dengan manik hijau-merah yang memukau dan Chia tahu siapa pemilik warna netra berbeda warna itu.

Yamada Ichiro. Mantan Ketua Osis sekolah sebelah, musuh bebuyutan Samatoki dalam mempersaingkan perebutan gelar ketua osis terbaik satu kota.

Ichiro mendengus. "Siapa juga yang mau kemari? Toh, Sekolahku lebih bagus. Sayang sekali acara perpisahan kami masih minggu depan," ujar Ichiro. Dan sebelum Samatoki naik pitam betulan, ia melanjutkan, "aku kesini diajak oleh ayahku,"

"Ayahmu yang mana bangsat? Kami tidak ingat pernah mengundang ayah cecunguk sepertimu!" tuding Samatoki tidak terima. Mana sudi ia mengundang Ichiro ke acara perpisahan angkatannya, apalagi sampai ayahnya.

Ichiro menaikkan satu alis. "Oh, benarkah kau tidak tahu? Tapi katanya kau yang akan menjadi pembawa acara sambutan untuk ayah?"

Dan Samatoki menjatuhkan rahangnya dengan tampang tidak percaya. Sebelum sempat memverifikasi ketidak percayaannya, ia dipanggil oleh Jyuto yang menyuruhnya untuk segera bersiap-siap. Dengan decakan kesal, ia setengah tidak rela pamit kepada Chia untuk mempersiapkan diri dengan mood tidak karu-karuan.

Chia tergugu diam. Ia mengerjap. Sebentar, jangan bilang Ichiro ini anaknya guru besar kesenian yang dulu mengajar di tempatnya yang disebut Samatoki waktu lalu? Sebentar, tadi Ichiro bilang apa? Samatoki jadi pembawa acara sambutan bagi ayah Ichiro? Yang mana itu berarti ayah Ichiro adalah guru besar kesenian, kan? Memangnya Samatoki mau menampilkan apa? Dia kan tidak punya bakat seni?

Duh, bertanya-tanya sendiri membuatku bingung. Dan Chia memijit pelan kepalanya. Ini lebih rumit daripada menghitung keuangan ayahnya yang kurang karena tidak tercatat di catatan pengeluaran. Toh pada akhirnya daripada terus memikirkan soal apa yang akan dibawakan oleh Samatoki, ia memilih untuk duduk di kursi yang sudah tersedia saja. Lagian sebentar lagi lelakinya akan tampil entah menampilkan apa.

Walaupun Chia pikir akan lucu kalau bisa melihat lelakinya menari apapun itu.

"Kau yang bersama Samatoki tadi, kan?" ujar seseorang yang setelah Chia menolehkan kepalanya baru menyadari kalau itu adalah Yamada Ichiro yang mendudukkan diri di bangku sampingnya.

Mati aku.

"Iya," balas Chia seadanya.

"Tidak takut dekat-dengan dengan preman sepertinya?" tanya Ichiro lagi.

"Buat apa? Kami sudah berpacaran selama dua tahun," datar Chia. Pikirannya masih berkelana dengan rapalan dan doa-doa kepada Tuhan semoga Samatoki tidak melihatnya yang duduk di samping Ichiro atau Samatoki dan sumbu pendeknya akan meledak di atas panggung dengan instan.

Ichiro ber-Oh ria. Tidak menyangka kalau model Samatoki ternyata juga bisa punya pacar.

Mic mendadak berdenging-denging, seluruh hadirin sontak terdiam di atas tempat duduk mereka masing-masing. Disusul dengan itu, Samatoki muncul dengan rambut yang setengahnya diikat rapi ke belakang, beberapa sisa di belakang dibiarkan tidak terikat, sementara poninya disisir belah tengah, di tangannya membawa secarik kertas yang entah apa isinya, membuat banyak wanita dan gadis di ruangan itu mampu jatuh cinta padanya detik itu juga.

"Selamat malam, saya, Aohitsugi Samatoki yang akan membawa acara sambutan seni bagi Amayado Rei-sensei malam ini. Terima kasih telah menyempatkan diri hadir si acara perpisahan angkatan kami malam ini," ujar Samatoki dengan mic di tangan dan senyum karismatik.

Ia menyisir seluruh penonton dan mendapati Amayado-sensei duduk di barisan paling depan mengacungkan dua jempol padanya. Samatoki baru lihat sosok aslinya hari ini sebenarnya, dan masih agak terkejut melihat betapa nyentriknya sosok itu. Tapi ia memilih abai, lanjut menyisir penonton hendak mencari gadisnya yang lucu, tapi matanya sekejap memicing kala melihat gadisnya.

Tidak, gadisnya tidak salah apa-apa. Tapi orang di sebelahnya itu. Yamada Ichiro, buat apa dia ambil duduk di sebelah Chia? Seperti tidak ada kursi lainnya saja. Dan tanpa sadar genggaman Samatoki pada mic dan kertasnya mengerat. Tiba-tiba, Samatoki merasa mendapati ide gila dan ia terkekeh senang.

"Malam ini, saya akan membawakan puisi dadakan yang saya buat, bertajuk "Raja dan Ratu" mohon untuk tenang selama saya membaca," ujar Samatoki di mic kemudian. Ia bisa melirik dengan sudut mata Jyuto dan Riou yang sudah menatapnya dengan tampang panik tidak percaya sementara hadirin riuh bertepuk tangan.

Bodoh amatlah, yang paling penting saat ini untuk memberi pelajaran pada Yamada Ichiro sial itu.

"Oh Ratu, maafkan daku
Mungkin dikau tiada akan setuju.
Tapi Ratu dengarkan penjelasanku
Menjauhlah kamu dari pemuda itu."

Chia sudah bergidik ngeri. Wah sial, Chia langsung tahu siapa yang dimaksud dari puisi dadakan yang dibuat Samatoki itu. Mengingat Samatoki yang sangat membenci puisi, membuat Chia tak urung jadi bergidik ngeri mendengar Samatoki menggunakan kata-kata arkais.

"Wahai Ratu, akulah yang sanggup bersanding di sisimu.
Aku seorang. Bukannya pemuda itu.
Karena sungguh, ia tidaklah mampu
Karena ia begitu dungu,"

Dan hadirin tertawa-tawa mendengar puisi romansa aneh itu, sementara Ichiro mengerutkan kening dan Chia bergidik ngeri.

"Wahai Ratu Percayalah padaku
Akan kubakar dunia kalau sampai ia berani berbuat sesuatu padamu
Dan akan kutunjukkan gemilang kilau mentari yang sanggup kucuri
untuk membuktikan
Bahwa hanya aku seorang, yang mampu berdiri menganut gelar Raja di sisimu,"

"Maka dari itu, Ratu,
Maukah engkau berpaling?
Menjauh dari si dungu yang menganggap dirinya sebagai Prince Charming
Dan pergi ke sisiku untuk membuat seluruh dunia pangling?

Karena sesungguhnya dibanding dengan bocah dungu ini,
Kuyakin yang pantas menyandang gelar sebagai Raja yang selalu berdiri di sisimu hanya aku seorang diri,"

"Sekian, puisi dari saya, kalau ada kurang saya mohon maaf karena puisi tersebut baru dibuat ditempat, terima kasih," Samatoki mengakhiri puisi aneh dadakannya dengan membukukkan diri dan anehnya mendapat tepuk tangan meriah dari para hadirin bahkan Yamada-sensei sendiri yang sampai bersiul.

"Cheesy betul brengsekk!" komentar Jyuto yang sudah kepalang geli dan cringe bercampur aduk.

"Bodoamat, Jyuto bangsat! Kau tidak lihat apa cecunguk itu duduk di samping Chia-ku yang lucu, hah? Pasti dia mau merebut gadisku!" semprot Samatoki menghentakkan kakinya kesal seraya turun dari panggung dan bergegas mendatangi Chia.

"Chia!" teriak Samatoki mendapati Chia di antara kerumunan yang masih sibuk berkerubung dan tertawa atas puisi cheesy Samatoki.

Chia menoleh, mendapati Samatoki kemudian segera melangkah cepat mendekatinya.

"Kau tidak apa-apa? Dia melakukan sesuatu padamu? Mengajakmu dansa? Menyentuhmu?" tanya Samatoki bertubi-tubi.

"Tenang saja, dia tidak melakukan apa-apa, kok," ujar Chia berusaha menenangkan Samatoki yang dari raut wajah sudah jelas nampak mencari-cari batang hidung Ichiro hendak menonjok wajah rupawan si mata belang itu.

"Hahahahaha! Pacarmu benar, Nak Samatoki! Putraku yang tampan ini tidak akan bertindak brengsek seperti pikiranmu itu!" tawa Amayado-sensei dari belakang.

Samatoki dan Chia membalikkan badan, terlihat Amayado-sensei yang sedang merangkul Ichiro yang nampak geram ingin melepaskan diri dari rangkulan ayahnya.

"Ngomong-ngomong, barusan tadi puisi dadakan yang begitu bagus walau terlalu lebay," ucap Amayado-sensei sambil tetap merangkul Ichiro yang kini nampak sudah pasrah dirangkul pak tua norak itu dengan wajah muram.

"Tidak butuh pujian dari anda, tapi terima kasih." Samatoki bersungut-sungut, masih tidak terima dengan bayangan Ichiro duduk di samping Chia.

"Ngomong-ngomong lagi, sepertinya Nak Samatoki sangat berjiwa seni," ujar Amayado-sensei.

Samatoki mengerutkan kening.

"Darimananya? Aku saja tidak punya bakat seni," Samatoki mencibir pak tua norak itu.

Amayado-sensei tertawa lagi. "Kamu tahu apa artinya seniman, Nak?"

"Aku bukan anakmu!" semprot Samatoki. "Dan jawabannya adalah tidak, tidak peduli juga mungkin,"

"Seniman adalah seorang yang mampu mengekspresikan apa yang dirasakannya dalam bentuk apapun dengan lantang tanpa takut ditertawakan orang baik secara lukisan maupun verbal, dan kamu, mungkin bisa menjadi bagian hebat dari sastrawan yang mampu membuat puisi dadakan dari keadaan yang tercipta!" jelas Amayado-sensei menggebu-gebu sembari menunjuk tepat di pucuk hidung Samatoki.

Oke, tingkat menyebalkan orang ini lebih mengerikan dari Ichiro.

Samatoki berjengit sedikit kala merasakan tangan lembut menggenggam jemarinya. Ia kemudian menoleh ke arah Chia, mendapati samar merah di kedua pipi gadis yang mengalihkan pandang dari tatapnya dengan sengaja.

"Puisimu, sebenarnya, boleh juga," puji Chia kecil dengan merah meruah di wajah.

Oke baiklah, kalaupun Chia boleh membaca terus-terusan buku-buku kumpulan puisi, Samatoki akan menjadikan buku-buku kumpulan puisi itu berisi koleksi puisi yang ditulisnya.

Sepertinya ide menjadi sastrawan tidak buruk juga. Dan kemudian sepasang sejoli itu menghabiskan malam indah dengan berdansa dengan bertabrakan dengan pasangan lain karena mereka berdua sebenarnya sama-sama tidak bisa berdansa sama sekali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top