Lily

"Enam bulan lagi kalian lulus. Oleh karena itu, sensei ingin kalian membuat hadiah kelulusan untuk teman yang kalian anggap berharga, keren, teman terbaik, teman yang membawa perubahan besar terhadap kalian, intinya teman yang keberadaannya penting bagi kalian. Siapkan hadiah terbaik kalian dan jadikan momen kelulusan sebagai kenangan terindah bersama teman-teman!"

Perkataan sensei sebelum kelas berakhir tadi masih terngiang-ngiang di kepalaku. Hadiah kelulusan, ya. Tidak disangka aku sudah mau lulus SMA saja. Padahal baru seperti kemarin mengikuti masa orientasi sekolah, antusias ikut klub seni, dan perasaan membuncah ketika mengenakan seragam SMA. Selama tiga tahun ini tentu saja banyak memori yang telah aku buat bersama teman-teman sekelasku yang sudah bagaikan keluarga. Memang benar jika pertemanan SMA itu jauh lebih erat ikatannya dibandingkan pertemanan ketika SMP maupun SD. Aku akui itu. Kekompakkan, keakraban, dan keceriaan kelas ini benar-benar menyatu dan aku masih bisa mengenangnya dengan baik. Bersama kelasku yang sekarang ini aku tidak pernah mengalami hal-hal buruk. Semuanya menyenangkan. Aku akrab dengan hampir seluruh teman sekelas.

Kecuali satu orang. Nakahara Chuuya namanya.

Tidak, kami tidak bermusuhan. Aku juga tidak menyimpan kebencian maupun ketidaksukaan. Hanya saja aku dengan Nakahara itu ... tidak akrab? Kami jarang berbicara berdua. Paling bertukar sapa kalau tatap muka. Selebihnya tiada interaksi yang berlebih. Jujur saja, aku itu ... sangat canggung dengan Nakahara.

Bagaimana, ya, mengatakannya. Nakahara Chuuya itu dikenal sebagai salah satu anak berandal. Seragam tidak sesuai aturan, rambut jingga ikal yang berantakan, sumpah serapah dan teriakan selalu identik dengan Nakahara. Perawakannya memang cukup pendek dan kecil dari laki-laki kebanyakan. Bahkan tubuhnya yang kecil itu jadi bulan-bulanan ejekan oleh Dazai Osamu, teman dekat Nakahara sekaligus si penyabet peringkat satu paralel seangkatan. Keduanya memang menjadi salah sebagian anak populer di angkatanku. Hanya saja alasan mereka populer cukup berbeda.

Dazai populer karena kecerdasan dan ketampanannya. Nakahara populer karena keberandalan dan serampangannya. Akan tetapi, jika kalian pikir si Nakahara ini nakal dalam artian negatif kalian salah besar. Justru Nakahara ini bukan anak yang sembarang suka membuat onar. Ia melakukan hal-hal yang melanggar aturan pasti suka ada alasannya. Entah itu berkelahi dengan sekelompok perundung dan preman sekolah karena membela anak-anak yang dirundung dan diintimidasi oleh mereka, atau dahulu ia pernah adu mulut dengan para kakak kelas perempuan yang suka merundung adik-adik kelas perempuan yang tampak lemah, bahkan Nakahara ini pernah membuat guru BK mengundurkan diri saat kelas dua karena ia membeberkan ketidakbecusan kinerja guru BK dalam mengatasi masalah perundungan siswa.

Nakahara itu orang baik. Ia suka menolong siswa-siswa yang dirundung dan ditindas. Ya, walaupun caranya cukup barbar dan ekstrim. Tetapi, itulah Nakahara Chuuya. Ia punya cara tersendiri untuk menolong orang. Siapa sangka, kan, tampang serampangan begitu ternyata suka menolong orang. Oh, aku pernah sekali melihat Nakahara membantu nenek-nenek menyebrang sambil membawakan barang bawaannya juga. Aku masih ingat sekali bagaimana senyumnya Nakahara dalam membalas ucapan si nenek. Itu adalah ingatan masa lampau ketika di hari terakhir kelas dua SMA sebelum liburan panjang.

Karena kebaikan dan ketulusan Nakahara dalam menolong orang lah membuatku jadi segan kepadanya. Ada semacam perasaan canggung karena rasa hormat yang aku rasakan kepada Nakahara. Maka dari itu aku agak malu jika mencoba berbicara kepada Nakahara. Ia salah satu sosok teman yang aku kagumi. Ah, sepertinya aku tahu siapa yang akan aku beri hadiah kelulusan nanti. Tentunya teman sebangkuku, ketua kelas, dan Nakahara Chuuya.

Soal hadiah kelulusan aku tidak berpikir muluk-muluk. Bakat seni yang aku miliki khususnya menggambar dan melukis bisa menjadi pondasi awal seperti apa bentuk hadiahku nanti. Akan tetapi, sepertinya aku tidak akan memberikan mereka sebuah lukisan maupun gambar. Tidak begitu berguna. Aku harus memberikan mereka hadiah yang dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari.

Ah, aku jadi ingat cerita saudara sepupuku tempo lalu. Ia bercerita jika ia sedang kecanduan membuat gantungan kunci akrilik. Sepertinya ide bagus jika akriliknya aku lukis dengan objek yang sesuai dengan sosok mereka.

Teman sebangkuku, Yosano Akiko namanya. Ia sangat cocok dengan kupu-kupu. Yosano pernah memberitahuku jika ia sangat suka kupu-kupu. Aksesoris yang ia gunakan pun berbentuk kupu-kupu entah itu jepit rambut, kalung, maupun gelang. Selalu ada aksen kupu-kupunya. Sudah kupastikan jika gantungan kunci akrilik untuk Yosano nanti berlukiskan kupu-kupu. Akan aku tambahkan kaligrafi namanya di bawahnya.

Selanjutnya untuk sang ketua kelas, Kunikida Doppo. Hmm ... jika mengingat sosok Kunikida itu aku langsung teringat buku catatan yang selalu Kunikida bawa. Teman-teman sekelas menyebutnya Kitab Doppo. Buku itu berisikan catatan penting yang ditulis oleh Kunikida entah itu catatan tugas, PR, peraturan sekolah yang harus ditaati, jadwal keseharian Kunikida, ulasan buku-buku yang pernah ia baca, sampai daftar orang yang meminjam buku-buku miliknya. Kitab serbaguna milik Kunikida yang sering menyelamatkan teman-teman dari lupa mengerjakan tugas/PR. Sepertinya aku akan melukis Kitab Doppo di akrilik gantungan kunci yang akan aku berikan kepada Kunikida nanti. Oh, tambah gambar kacamata juga. Kacamata dengan Kunikida adalah hal yang tidak bisa dipisahkan.

Selanjutnya Nakahara Chuuya. Hmm .... jujur aku tidak bisa membayangkan satu hal pun yang menggambarkan sosok Nakahara. Senja agar selaras dengan warna rambutnya? Tidak, lukisan senja terlalu biasa dan tidak terasa spesialnya. Apa ya hal yang disukai oleh Nakahara? Apakah aku harus menanyakannya? Tapi, aku malu dan takut akan responnya.

Hah, kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?

Ah, aku bisa membayangkan reaksinya yang tidak ramah lalu tatapan anehnya. Tentu saja aneh. Kami ini tidak akrab lalu jika aku tiba-tiba bertanya demikian pasti akan terasa aneh.

Tidak ada pilihan lain selain mengobservasi objek secara langsung agar bisa memvisualisasikan hal-hal yang sangat menggambarkan dirinya. Tentu saja aku mengobservasi Nakahara dari kejauhan. Aku curi-curi tatap ketika kelas berlangsung. Oh, Nakahara itu suka mengantuk jika pelajaran Matematika, tetapi langsung semangat jika pelajaran Fisika terutama materi gravitasi. Ah, Nakahara ini memang lumayan ahli dalam pelajaran Fisika. Memang tidak disangka-sangka.

Selama mengobservasi Nakahara dalam seminggu ini, aku pun mengetahui beberapa fakta baru yang langsung masuk dalam kamus entri otakku mengenai Nakahara Chuuya. Aku baru tahu jika warna bola mata Nakahara itu biru terang seperti langit musim panas. Aku baru sadar jika Nakahara itu suka mencebikkan bibirnya jika ia sedang kesal atau jika dalam suasana hati yang bagus. Aku juga tidak menyangka jika rambut Nakahara akan sewangi itu saat aku berpapasan dengannya. Wanginya sangat menyegarkan seperti lemon? Sepertinya ia baru keramas.

Oh, aku juga baru tahu jika Nakahara itu suka mengoleksi topi dan sepatu. Ia ternyata bisa bermain musik?? Biola katanya?? Aku jadi ingin melihatnya bermain biola. Apa aku menggambar biola saja di akrilik gantungan kunci yang akan aku berikan padanya? Tidak, jangan. Terlalu biasa. Aku harus menggambar sesuatu yang lebih filosofis dan indah tentunya.

Tidak ada ide.

Selama mengobservasi Nakahara, aku sama sekali tidak memiliki ide hal apa yang sangat menggambarkan Nakahara. Ia punya banyak hal-hal baik sampai-sampai aku kebingungan dan merasa aneh. Aku sudah terlalu tahu banyak hal soal Nakahara sehingga aku pun semakin malu dan canggung jika harus berhadapan dengan pemuda itu. Sungguh perasaan yang aneh dan sulit aku deskripsikan.

Hari-hari telah berlalu. Ujian-ujian telah terlewati. Tiba saatnya seminggu sebelum hari kelulusan. Tentu gantungan kunci milik Yosano dan Kunikida sudah jadi. Hanya punya Nakahara saja akriliknya masih kosong. Sungguh aku ingin sekali memberikan hadiah kelulusan untuk Nakahara. Tetapi, aku sama sekali tidak tahu harus menggambar apa. Ditambah keberanianku semakin ciut tatkala mengetahui jika hadiah kelulusannya harus diberikan secara langsung kepada orangnya. Aku malu jika harus memberikan gantungan kunci buatanku kepada Nakahara nanti. Tidak berani. Apa tidak jadi saja?

Tidak, tidak, tidak. Aku harus memberikannya. Maka dari itu, aku pun memaksakan diri untuk duduk di kursi dengan akrilik kecil di atas meja beserta alat lukis lainnya. Aku harus menggambarnya. Aku pun mencoba menggali pikiranku, mengeluarkan hal-hal yang aku tahu soal Nakahara yang tidak disangka aku tahu terlalu banyak?? lalu aku tuangkan ke dalam akrilik yang ukurannya tak seberapa ini, jauh lebih kecil dibandingkan kanvas standar. Aku harus ekstra hati-hati saat melukis di atasnya.

Aku pun mengingat kembali sosok Nakahara yang suka membela siswa yang dirundung. Nakahara yang membantu nenek-nenek menyebrang. Nakahara yang membantu menurunkan layang-layang milik anak-anak SD yang tersangkut di pohon, Nakahara yang suka menolong orang dengan caranya sendiri.

Ketulusan.

Jariku pun mulai bergerak sendiri menggoreskan kuas di atas akrilik yang kecil. Tanganku menggambar objek sesuai naluriah. Membutuhkan waktu satu jam untuk menyelesaikannya. Bunga lily dengan latar belakang langit senja. Aku sangat puas dengan gambarku ini. Indah dan filosofis. Bagiku, Nakahara itu melambangkan ketulusan seperti bunga lily.

Baiklah, sekarang aku memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa memberikan gantungan kunci akrilik ini secara langsung kepada Nakahara. Sudah kusebutkan sebelumnya jika aku ini malu dan canggung terhadap Nakahara. Aku tidak berani berhadapan langsung dengannya. Maka, satu-satunya ide yang bagus ialah menaruh gantungan kuncinya di loker sepatu milik Nakahara, sehari sebelum hari kelulusan.

Akan tetapi, sial sekali aku malah ketahuan. Tepat setelah aku menutup pintu loker sepatu milik Nakahara dan aku hendak memakai sepatuku, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

"Oi, kau memasukkan apa ke dalam loker sepatuku?!"

Itu suara Nakahara. Walaupun kepergok, aku sedikit bersyukur lantaran posisiku sekarang memunggungi Nakahara. Jadi, aku tidak bisa melihat wajahnya. Ada kemungkinan Nakahara tidak bisa melihat wajahku. Semoga saja ia tidak menyadari jika itu aku. Segera saja aku berlari secepat kilat keluar gedung meninggalkan Nakahara yang berteriak-teriak. Beruntung aku tidak dikejar. Dalam perjalanan pulang, aku berharap jika Nakahara tidak mengenaliku. Aku harap dia bukan orang yang dapat mengenali orang lain hanya dengan melihat punggung.

Harapanku terkabul. Keesokannya, Nakahara tidak bersikap bagaimana-bagaimana terhadapku. Ya, sebenarnya aku selalu menghindari Nakahara, sih, saat di sekolah. Setelah berhasil memberikan hadiah kepada Kunikida dan Yosan, aku segera pergi ke tempat di mana tidak ada Nakahara. Hari kelulusan, Nakahara sama sekali tidak menghampiriku. Aku bernapas lega karena aku sungguh tidak tahu harus bereaksi apa jika Nakahara mengetahui bahwa aku yang memberinya hadiah gantungan kunci.

Tapi, tunggu. Apakah Nakahara menyimpan gantungan kunci pemberianku? Atau justru malah membuangnya? Mengingat nada suaranya yang tidak suka saat memergokiku menutup loker sepatunya. Ya, semua orang pasti tidak suka jika hal privasinya disentuh sembarang orang. Aku hanya berharap jika Nakahara tidak membuangnya. Jika ia tidak suka, aku harap ia menyimpannya saja entah di mana. Semoga tidak dibuang. Semoga.

Tahun demi tahun pun berlalu. Selepas SMA, aku disibukkan oleh kehidupan kampus. Soal gantungan kunci dan Nakahara pun lama-kelamaan aku lupakan. Sudah tiga tahun berlalu semenjak hari kelulusan.

Sekarang, organisasi fakultasku mengadakan semacam study visit dengan fakultas kampus tetangga. Dari pihak kampus tetanggalah yang datang ke fakultasku. Memori perkara gantungan kunci yang seharusnya aku lupakan kembali muncul ke permukaan tatkala aku melihat sosok Nakahara Chuuya yang menjadi bagian rombongan organisasi kampus sebelah. Ditambah aku melihat gantungan kunci buatanku tiga tahun lalu berayun-ayun di tas ranselnya. Seketika perasaan yang cukup lama mengendap di dalam sana pun kembali muncul. Perasaan gugup, canggung, dan malu yang menjadi satu kini aku rasakan saat melihat Nakahara. Ditambah penampilan Nakahara yang cukup berbeda membuatku semakin bertambah gugup.

Rambut jingganya yang ikal kini bertambah panjang dan diikat bun. Setelan kemeja putih dengan lengan yang ditekuk sesiku dan dibalut vest rajut berwarna biru tua serta celana panjang hitam dan sepatu kets putih membuat penampilan Nakahara sangat modis. Penampilannya sangat menunjukkan sosok mahasiswa sekali. Oh, jujur entah kenapa Nakahara sekarang jauh lebih menawan. Mungkin karena efek kedewasaan yang sudah menghampiri? Aku sama sekali tidak bisa mengalihkan diri dari sorot mata birunya yang cerah.

Kami sempat bertukar sapa sebentar sebelum Nakahara sibuk mengobrol dengan ketua. Ternyata Nakahara menjadi wakil ketua organisasi fakultas di kampusnya. Ketuanya tidak bisa datang, makanya Nakahara yang jadi perwakilan. Selama study visit, aku hanya bisa memperhatikan sosok Nakahara dari kejauhan dengan perasaan tidak karuan. Aneh. Apa yang kurasakan sangatlah aneh.

Kunjungan study visit telah berakhir. Kini kedua organisasi akan makan malam bersama di salah satu restoran ramen dekat kampusku. Kami telah mereservasi tempat sehingga cukup untuk memuat sekitar 50-an orang. Saat di sana, dari sekian 50 orang, mengapa aku harus duduk berhadapan dengan Nakahara?!?!

"Eh, aku dengar Nakahara-san satu SMA ya denganmu?"

"Iya, kami dulu satu SMA. Bahkan satu kelas."

"Woah, sungguh? Kebetulan sekali!"

Itu Nakahara yang menjawab sambil menatapku. Aku hanya tertawa canggung sebagai reaksi. Selanjutnya, topik perihal aku dan Nakahara yang satu SMA pun mengalir. Aku sebisa mungkin bercerita dengan biasa saja. Kemudian, topik pun beralih kala Naomi, bendahara organisasi fakultasku, yang duduk di samping Nakahara menanyakan sesuatu yang membuatku hampir tersedak.

"Maaf sekali, nih, Nakahara-san. Aku salah fokus sekali dengan gantungan tasmu. Bagus sekali lukisan di gantungannya. Kau beli di mana?"

"Oh, aku tidak membelinya. Ini hadiah kelulusan SMA yang aku temukan di loker sepatuku," jawab Nakahara sambil memperlihatkan gantungan kunci buatanku tersebut. Yang lain melihatnya sambil berdecak kagum. Aku berusaha menetralkan ekspresiku agar tidak terlalu bangga.

"Hah? Ya, ampun seperti adegan di dalam drama. Kau tahu siapa yang memberikannya? Perempuankah?" tanya Naomi lagi. Aku pun kembali menyumpit karaage yang ada di atas meja.

"Perempuan. Sebenarnya, aku memergokinya memasukkan gantungan kunci ini ke dalam loker sepatuku. Tetapi, sayang sekali posisi perempuan itu membelakangiku sehingga aku tidak tahu wajahnya. Ditambah dia cepat sekali kaburnya."

"Haah, sayang sekali! Kalau kau tahu siapa perempuan itu, kau akan bagaimana?"

"Mengencaninya mungkin."

UHUK!

Aku tersedak oleh karaage yang aku makan setelah mendengar ucapan Nakahara barusan. Ditambah ia juga melirik ke arahku sekilas sambil menyeringai. Maksudnya apa????

Percakapan pun terpotong karena beberapa orang sekitarku membantuku untuk mengatasi diriku yang tiba-tiba tersedak. Setelah aku berhasil menguasai diri, makan malam kembali dilanjutkan. Aku sempat bertatapan sebentar dengan Nakahara yang menopangkan dagunya ke arahku lalu aku pun mengalihkan pandangan ke arah lain. Entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Makan malam bersama pun akhirnya selesai. Satu-persatu anggota organisasi berpamitan dan membubarkan diri. Aku tidak ingat bagaimana awalnya sehingga aku bisa berjalan pulang bersisian dengan Nakahara berdua saja saat ini. Oh, tadi aku sempat memberi tahu aku pulang ke arah mana. Nakahara pun bilang jika ia searah denganku. Jadi, kami pun akhirnya pulang bersama.

Hening.

Dari restoran sampai setengah perjalanan hanya diisi keheningan. Jujur, aku tidak tahu harus membuka topik obrolan apa. Aku sangat sangat gugup.

"Kenapa bunga lily?"

"Hah?"

Aku menoleh. Jantung seperti hampir merosot saat mendengar pertanyaan Nakahara barusan.

"Kenapa kau memberikanku gantungan kunci yang berlukiskan bunga lily?"

Jadi, dia sudah tahu?!?!?!

"Kau sudah tahu?!"

"Kamu memberikan gantungan kunci yang mirip kepada Kunikida dan Yosano saat hari kelulusan. Tentu saja aku tahu."

"Tapi, kamu seperti tidak tahu kalau itu dari aku?! Kamu tidak mengatakan apapun kepadaku setelahnya."

"Gimana mau mengatakan sesuatu ke kamu kalau hari itu kamu seperti menghindar dariku!"

Ah, iya. Saat hari kelulusan, kan, aku menghindari Nakahara seharian. Bodoh, kenapa aku bisa lupa.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa bunga lily? Dan kenapa kau tidak memberikannya langsung kepadaku, sedangkan hadiah ke Kunikida kau memberikannya secara langsung?!"

Entah kenapa aku mendengar nada protes di sana. Apakah ia cemburu? Tidak, tidak. Jangan berpikiran aneh-aneh. Aku harus menjawab pertanyaannya. Tidak disangka jika hari ini akan tiba. Hari ketika Nakahara tahu jika aku yang memberikan gantungan kunci lily kepadanya. Aku pun menatap ke depan, berusaha menghindari tatapan Nakahara yang aku yakini sedang menatapku lekat-lekat. Aku bisa merasakannya.

"Ketulusan. Bunga lily putih melambangkan ketulusan. Pandanganku ke kamu selama masa sekolah itu kamu tidak ragu untuk menolong orang. Entah itu menolong nenek-nenek yang hendak menyebrang, menolong anak-anak yang layangannya tersangkut di pohon, sampai menolong siswa sekolah yang dirundung. Kamu selalu menolong orang tanpa ragu dengan caramu sendiri. Aku melihat ketulusan di sana. Kamu ... bagaikan bunga lily, menurutku."

"Lalu, alasan kenapa aku tidak memberikanmu secara langsung itu karena ... aku ... malu," cicitku pelan mengakhiri penjelasan panjang lebarku. Aku bisa merasakan jika pipiku memanas. Sepertinya wajahku memerah. Aku benar-benar gugup sekarang.

Tiba-tiba tangan Nakahara menahanku untuk berhenti berjalan. Kini kami berdiri berhadapan. Aku menunduk. Tidak berani menatap wajahnya. Dari bawah, aku bisa melihat gerak-gerik Nakahara yang sedang mengeluarkan sesuatu dari tas. Gelang?

"Dari dulu ... aku sangat ingin memberikan ini kepadamu sebagai hadiah kelulusan. Tapi, kamu malah susah ditemui sampai hari kelulusan berakhir. Menyebalkan. Kerja kerasku dalam menyimpul tali makrame dan mengukir kayu agar berbentuk bulan ini jadi sia-sia. Aku akhirnya selalu membawa gelang ini di tasku agar jika ada kesempatan untuk bertemu kamu lagi, aku akan memberikannya dan memakaikannya kepadamu secara langsung. Akhirnya, kerja kerasku tidak sia-sia dalam membuat gelang ini."

Sebuah gelang kini terpasang di tangan kiriku. Gelang makrame yang bertalikan berwarna hitam dengan hiasan di tengah berbentuk bulan yang terbuat dari kayu dan ada ukirannya. Gelang sederhana yang cantik. Aku terpukau.

"Te-terima kasih, Nakahara."

"Ya. Lalu bagaimana tawaran kencanku?"

"Hah?"

Aku mendongak, menatap wajah Nakahara yang memerah. Sontak saja aku pun ikut merona. Melihat Nakahara yang merona malu seperti ini adalah pemandangan langka.

"Kau pasti ingat jawabanku di restoran atas pertanyaan Naomi soal apa yang akan aku lakukan jika aku tahu siapa yang memberikan gantungan kuncinya. Aku akan mengencaninya."

Bagaimana aku melupakan hal ituuuu??!?!?!

Aku pun mengalihkan pandangan ke arah lain. Gugup, aku sangat gugup. Namun, sensasi perasaan campur aduk yang aku rasakan ini tidak serta merta membuatku tidak nyaman. Aku malah ingin terus berada di sisi Nakahara. Aneh. Tunggu, apa jangan-jangan perasaan aneh yang aku rasakan itu karena ... aku menyukainya?

Kencan. Kencan antara laki-laki dan perempuan. Bermuara pada hal romansa. Aku memiliki perasaan romansa terhadap Nakahara?

Aku pun mendongak berusaha menatap Nakahara yang ternyata masih menatapku lekat-lekat. Wajahnya sangat merona, tetapi sorot mata birunya begitu meyakinkan. Ketika melihat wajah Nakahara yang berada di bawah lampu jalanan ini, aku tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Perasaan ingin memiliki. Tidak, jangan secepat ini.

"Nakahara, kalau yang memberikan gantungan kunci tersebut ternyata bukan aku, apakah kau tetap akan mengencaninya juga?"

"Tidak. Aku tidak mungkin mengencani gadis yang tidak aku sukai. Lagipula aku tidak ingin jadi pengecut lagi yang hanya bisa memendam rasa selama enam tahun. Tawaran kencanku tadi ... adalah kesempatan untukku."

Ah, hidup. Kenapa hidup penuh kejutan ya? Aku tidak menyangka jika aku memiliki kesempatan melihat sisi Nakahara yang menyatakan perasaannya dengan pelan sedikit malu-malu bagaikan seorang tsundere yang akhirnya jujur akan perasaannya. Entah kenapa aku tidak bisa menahan senyumanku.

"Kita ... kencan pendekatan dulu, ya, Nakahara? Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi sebelum kita berkencan sungguhan," ucapku pada akhirnya sambil memberanikan diri menatap Nakahara yang masih merah merona.

"Chuuya. Jika kau ingin mengenalku lebih jauh, maka hal pertama yang harus kau lakukan ialah memanggilku Chuuya."

Tangan Naka-tidak, Chuuya kini perlahan menggenggam tangan kiriku yang mengenakan gelang. Aku menerima genggaman tangannya tanpa ragu.

"Baiklah, Chuuya. Mohon kerjasamanya, ya!"

Kami pun kembali berjalan bersisian sambil berpegangan tangan. Obrolan-obrolan ringan pun kini mengisi langkah-langkah kami dalam perjalanan pulang. Sungguh ajaib sekali akan perubahan singkat ini. Padahal tadi aku masih sangat canggung berjalan berduaan dengan Naka-Chuuya, maksudnya. Sekarang malah berjalan sambil berpegangan tangan dengan gantungan kunci berlukiskan bunga lily buatanku yang berayun di tas ransel Chuuya dan tangan kiriku yang mengenakan gelang makrame buatan Chuuya serta status kami yang sudah berubah pula.

Ah, hidup memang penuh kejutan. Aku tidak pernah menyangka jika kisah romansaku akan diawali oleh hadiah kelulusan berupa karya seni yang merupakan perwujudan ketulusan.

Gantungan kunci lily dan gelang makrame bulan.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top