5. Pulang

Setelah visi aneh yang terjadi sebelumnya, Phoebe tidak mengalami apa-apa lagi. Bukannya terjawab, misteri hilangnya dia di bawah reruntuhan Parthenon justru semakin membingungkan. Pertanyaan-pertanyaan lain terus bermunculan di benak gadis itu setelah melihat fail foto aneh bergambar papyrus. Karena merasa lelah dengan berbagai peristiwa janggal yang sudah dia alami tersebut, Phoebe akhirnya memutuskan untuk memperpanjang cutinya.

Orion membantu mengurus pekerjaan yang ditinggalkan Phoebe selama cutinya. Gadis itu bisa lebih tenang menata pikirannya dan melepaskan ingatan buruk sebelumnya. Dan lebih dari itu, Phoebe juga harus menemui orang tuanya terlebih dahulu. Ia belum sempat bertemu langsung dengan keluarganya sejak tragedi menghilang di reruntuhan Parthenon. Ayahnya cemas bukan main, dan sebelum ibunya nekat mendatangi apartemen Phoebe sambil merepet tentang pilihan karirnya, Phoebe harus mengunjungi mereka.

Setidaknya dengan begitu, ia bisa menunjukkan bahwa terpisah dari rombongan di tengah hutan lebat tempat ditemukan reruntuhan kuil kuno bukan masalah besar. Meski faktanya, nyawa Phoebe rentan terpisah dari raganya jika lebih lama terjebak dalam labirin misterius, tetapi toh pada akhirnya ia selamat. Ia harus memberi kesan bahwa insiden kecil itu wajar terjadi di dunia kerjanya. Dan itu aman. Jika cukup beruntung ditemukan saat masih memiliki darah dan daging, alih-alih seonggok tengkorak kering.

Setelah bersiap-siap membawa pakaian sekadarnya, Phoebe memesan layanan antar jemput pribadi untuk membawanya ke pinggiran Athens, tempat orang tuanya tinggal. Sebelumnya ia menitipkan apartemen berikut dua hewan peliharaannya pada Orion yang akan datang tinggal di apartemennya untuk sementara.

Sambil berjongkok di depan pintu, Phoebe mengusap kepala anjing dan kucing peliharaannya tersebut dengan penuh kasih.

"Agro, Sote, jaga rumah baik-baik, ya. Maaf karena harus meninggalkan kalian lagi, tapi Orion akan merawat kalian dengan baik meski aku tidak ada. Jadi jangan nakal dan dengarkan dia, oke?" ujar Phoebe sebelum keluar dari pintu apartemen. Ia berencana menunggu di lobby karena jemputan mungkin akan tiba sebentar lagi.

Setelah puas mengusap dan memeluk Sote serta Argo, Phoebe lantas beranjak berdiri dengan menenteng tas besar di tangannya. Sote tampak menggeliat malas, lalu berbalik pergi, sementara Argo menjulurkan lidahnya sambil menatap kepergian Phoebe untuk terakhir kalinya.

Gadis itu baru saja melambai kecil pada kedua hewan berbulu itu, dan sudah nyaris menutup pintu, ketika selama sepersekian detik, ia samar-samar mendengar hewan peliharaannya berbicara. Ya. Berbicara. Dengan bahasa yang dia pahami!

"Jadi makhluk sialan itu sudah mengendus keberadaan kita?" ujar sebuah suara ketus yang sedikit mirip dengkuran kucing.

Agro menggonggong satu kali sambil mengibaskan ekornya, masih menatap tuannya dengan mata lembutnya. Namun, gonggongan tersebut entah bagaimana bisa dimengerti oleh Phoebe.

"Sepertinya begitu," balas Argo dengan suara miri gonggongan.

Sontak Phoebe pun membeku di pintu. Sebagian tubuhnya sudah melangkah keluar, sementara satu tangannya yang membawa tas besar masih di balik pintu. Dengan dramatis, gadis itu pun menoleh ke arah dua hewan peliharaannya tersebut

"Kalian berdua ... barusan ... bicara?" tanyanya terbengong-bengong.

Akan tetapi, Sote dan Argo justru duduk manis menatapnya.

"Miaw ...." Sote berbunyi lembut.

Phoebe menyipitkan matanya, berusaha mencerna apa yang barusan dia dengar. "Aku yakin sekali tadi aku mendengar kalian ... bicara," gumamnya serius.

Meski begitu, kedua hewan peliharaannya itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Sejenak Phoebe merasa seperti orang bodoh yang mencoba bicara pada hewan. Sambil menghela napas, gadis itu pun mulai memijat keningnya.

"Sepertinya aku kelelahan sampai berhalusinasi," ujarnya kemudian.

Bunyi ponsel akhirnya memecah keheningan yang janggal itu. Jemputannya sudah tiba. Phoebe harus segera turun dari apartemennya di lantai lima.

"Akan kupastikan setelah kita bertemu lagi nanti, Sote, Argo," gumam gadis itu menatap tajam ke arah dua peliharaannya.

Karena hanya mendapat respon normal seperti hewan pada umumnya, Phoebe akhirnya benar-benar meninggalkan mereka dan menutup pintu apartemennya sambil masih berpikir keras.

"Kenapa hal-hal tidak masuk akal terus berdatangan akhir-akhir ini," gerutunya lelah.

***

Hampir satu jam lamanya Phoebe melakukan perjalanan membelah ibu kota. Lalu lintas Athens yang padat merayap membuat perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh selama tiga puluh menit menjadi dua kali lipat lebih lama. Beruntung mobil yang dia tumpangi cukup nyaman dan bersih. Phoebe bisa sedikit relaks meski benaknya masih berusaha mencerna beragam hal aneh yang dialaminya. Sang pengemudi juga sepertinya tahu bahwa gadis itu tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri, sehingga ia sama sekali tidak berusaha mengajak Phoebe mengobrol.

Tanpa terasa, mereka pun akhirnya tiba di alamat tujuan. Phoebe segera turun dari mobil setelah pembayarannya dikonfirmasi secara online. Sang driver langsung melesat pergi setelah sukses mengantarkan penumpang ke tempat tujuan.

Sebuah rumah bertingkat dengan gaya klasik menyambut Phoebe. Pagar putih dengan gerbang setinggi dua meter melingkupi area rumah megah tersebut. Phoebe memencet bel dan setelah menyapa sekadarnya, pintu gerbang pun terbuka secara otomatis.

Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangannya dengan tergopoh-gopoh.

"Phoebe! Putriku! Astaga, betapa khawatirnya ibumu ini. Bagaimana bisa kau menghilang di tengah hutan seperti itu! Kami sudah akan pergi ke Atticana kalau sampai kau tidak ditemukan setelah lewat dari satu minggu, tapi Orion, berandal itu, terus meyakinkan kami untuk tidak cemas. Bagaimana mungkin ibumu ini tidak cemas kalau kau menghilang begitu saja?" wanita yang tak lain adalah ibu Phoebe itu pun langsung merepet panjang sambil menepuk-nepuk lengan Phoebe dengan lembut.

Gadis itu pura-pura meringis kesakitan. "Aduh, Ibu. Sakit. Jangan memukuliku. Lagi pula Orion benar, kan. Buktinya aku baik-baik saja dan bisa pulang dengan selamat. Jangan terlalu menyalahkan Orion. Dia hanya tidak ingin kalian khawatir," kilah Phoebe.

"Baik-baik saja apanya? Kau kurus begini, dan lihat seluruh kulitmu penuh luka lecet. Astaga anakku. Sudah ibu bilang untuk bekerja di tempat yang aman saja. Lagi pula ayahmu juga punya bisnis yang sukses. Kau bisa membantu kakakmu mengurus bisnis saja."

"Ah, ibuu ... jangan marahi aku setiap kali aku datang. Ini yang membuatku malas pulang," rengek Artemis mengerucutkan bibir sambil menatap memelas ke ibunya.

"Dasar anak nakal. Bisa-bisanya kau bilang begitu padahal semua orang mengkhawatirkanmu," tukas sang ibu sembari memukul pelan punggung putrinya.

Phoebe hanya memekik pelan sambil tertawa kecil, sementara ibunya menghela napas lelah.

"Yasudah, yang penting kau baik-baik saja. Sekarang ayo masuk. Ibu sudah buatkan masakan kesukaanmu," sahut sang ibu akhirnya mengalah.

"Yay! Ibu memang yang terbaik," balas Phoebe sembari memeluk ibunya.

Gadis itu tersenyum senang setelah berhasil meluluhkan omelan ibunya. Setidaknya untuk saat ini, beliau tidak akan menyinggung lagi soal pekerjaan Phoebe, atau gadis itu benar-benar tidak akan pulang ke rumah lagi. Ancaman kecil yang sangat efektif untuk membujuk ibunya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top