3. Aloadae

Dua hari lamanya Phoebe menerima perawatan darurat di Atticana hingga kondisinya pulih secara perlahan. Setelah itu, Kantor Pusat di Athens pun mengirim beberapa ahli medis dan membawa rombongan Phoebe untuk kembali. Orion terus mendampinginya hingga selamat mendarat di bandara ibu kota Greecia tersebut.

"Kau yakin mau pulang ke apartemen saja? Kondisimu belum pulih sempurna, Phoeb. Kalau memang tidak mau menerima perawatan di rumah sakit, setidaknya pulanglah kerumah orang tuamu. Aku bisa tenang kalau ada yang menjaga dan merawatmu," bujuk Orion ketika keduanya berkendara dengan jemputan dari kantor.

"Aku sudah baik-baik saja, Ori. Hanya tinggal luka kecil yang tidak butuh perawatan ekstra," jawab Phoebe tanpa mengalihkan pandangannya dari hiruk pikuk jalan raya di ibu kota.

Mobil yang mereka tumpangi kini tengah terjebak kemacetan di kota metroplolis yang sangat padat. Perjalanan dari bandara menuju apartemen Phoebe memakan waktu lebih dari satu jam. Padahal lokasinya sama-sama di pusat kota. Phoebe tidak bisa membayangkan lamanya waktu yang harus ditempuh jika ia pulang ke rumah orang tauanya yang ada dipinggiran Athens. Mugkin bisa sampai tiga atau empat jam dengan lalu lintas yang padat merayap seperti ini.

"Kalau begitu, aku akan menginap di apartemenmu sampai kau benar-benar sembuh. Oh aku juga akan menjemput Agro dan Sote di penitipan hewan setelah mengantarmu pulang," kata Orion yang langsung membuat keputusan sendiri.

Phoebe menghela napas dengan malas. Ia melirik rekan kerjanya yang memang sudah ia kenal sejak di bangku kuliah itu. Keduanya memang cukup dekat hingga bisa disebut sahabat, tetapi Phoebe terkadang merasa terbebani dengan sikap overprotective Orion.

"Aku setuju soal menjemput Agro dan Sote. Tapi kau tidak perlu menginap. Orang tuamu pasti cemas karena kau juga sudah pergi selama berhari-hari mencariku," kata Phoebe berusaha menolak dengan lembut.

"Tapi –" Kalimat Orion terpotong karena Phoebe langsung menatapnya dengan tajam, seolah menekankan bahwa ia tidak ingin ada bantahan lagi.

Akhirnya, pemuda itu pun mengalah. Orion hanya mampir sebentar setelah menjemput dua hewan peliharaan Phoebe: seekor anjing siberian husky berbulu hitam putih bernama Agro dan seekor kucing main coons berbulu abu-abu gelap yang diberi nama Sote.

"Hubungi aku kalau ada apa-apa, Phoeb. Atau kalau kau butuh sesuatu. Dan jangan lupa panaskan makan malamnya lalu minum obat. Jangan begadang dan istirahatlah. Jangan menyentuh pekerjaan dulu! Aku sudah mengurus cutimu untuk beberapa hati ke depan. Jadi –"

"Cukup, Orion," potong Phobe sambil mengangkat satu tangannya ke depan wajah rekannya. "Ocehanmu membuatku pusing. Aku bukan anak-anak lagi. Jangan cemas," lanjut gadis itu lantas mendorong punggung Orion untuk segera pergi meninggalkan apartemennya.

"Baik, baik, aku pergi sekarang. Aku akan menghubungimu begitu sampai rumah." Orion menyahut sambil memakai sepatunya di depan pintu keluar.

"Tidak usah. Aku mau tidur," balas Phoebe singkat.

"Aku akan menelponmu agar kau bisa bangun saat makan malam."

Phoebe berdecak tak sabar. "Kau benar-benar rewel, Or."

Pemuda itu hanya meringis. Setelah selesai memakai sepatunya, ia pun mengusap kepala Phoebe dengan lembut. "Kalau tidak ingin membuatku serewel ini, kau harus menjaga diri dengan baik," ujarnya sebelum akhirnya berpamitan dan meninggalkan Phoebe sendirian di apartemennya.

Gadis itu mendesah lega. Sejujurnya ia memang bersyukur memiliki teman seperti Orion, yang selalu mengkhawatirkannya dengan tulus. Phoebe punya banyak kenalan, tetapi orang yang benar-benar dekat dan dia anggap teman bisa dihitung dengan jari. Dan di antara orang-orang itu, Orion menempati urutan pertama dalam daftarnya.

Meski begitu, Phoebe tidak ingin membuat Orion terus-terusan mengurusi dirinya. Pemuda itu juga pasti lelah setelah berhari-hari melakukan pencarian atas dirinya kemudian merawatnya selama di rumah sakit. Karena itulah Phoebe menolak tawaran Orion untuk menginap di apartemennya.

"Rasanya seperti ketenangan setelah badai besar," celetuk Phoebe sembari menyandarkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Agro dan Sote yang sudah lama tidak bertemu dengan sang majikan, bergelung manja di sekitar Phoebe.

"Kalian merindukanku? Maaf karena meninggalkan kalian lama sekali," ucap Phoebe sembari mengecup kepala kedua hewan peliharaannya itu.

"Nah, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Phoebe pada diri sendiri. "Tentu saja bekerja," lanjutnya sembari beranjak dari tempat duduknya.

Tanpa mengindahkan pesan Orion sebelumnya, Phoebe langsung meluncur ke studio yang biasa dia gunakan untuk bekerja dari rumah. Ruangan sebesar empat kali empat meter persegi itu didesain minimalis dan dipenuhi oleh alat-alat fotografi hingga seperangkat komputer canggih. Phoebe kerap mengambil gambar dalam ruangan di studio tersebut, atau mengerjakan editan untuk foto-foto alam liarnya.

Sambil menenteng kameranya yang berlensa tele –kamera yang dia bawa saat tugas terakhir di Atticana–, Phoebe pun masuk ke ruangan tersebut dan mulai menyalakan komputer. Sambil mengisi daya kamera, ia mencabut kartu memori dan memasukkannya ke dalam komputer.

"Mungkin ada sisa-sisa petunjuk dari foto-foto terakhirku. Bukan begitu, Sote?" kata Phoebe sembari mengelus kepala kucingnya yang bergelung di pangkuan. Agro juga mengikutinya dan kini duduk di belakang kursi Phoebe.

"Bisa-bisanya aku tidak ingat apa pun setelah jatuh di reruntuhan. Dan tempat apa itu? Kenapa lubang di dasar Parthenon menghilang begitu saja setelah aku keluar?" Phoebe masih menggumamkan rasa penasaran yang dia pendam selama beberapa hari terakhir.

Setelah berhasil memindahkan fail foto-foto dari memory cardnya, Phoebe lantas membukanya satu per satu. Ada ratusan foto yang sudah dia ambil selama dua hari sebelum akhirnya dia kehilangan kesadaran. Sebagian besar adalah foto arsitektur Parthenon yang mereka liput. Phoebe sempat mengganti lensa kameranya, dan terakhir kali ia menggunakan lensa tele, yang berarti dia sedang mengambil foto dari jarak jauh. Lantas bagaimana dia bisa berakhir di reruntuhan bawah tanah? Masih menjadi misteri.

Dari sekian banyak foto, gadis itu pun langsung melihat bagian akhir saja, berharap ada yang bisa memberinya petunjuk. Dan benar saja. Ada satu foto terakhir yang cukup mencurigakan. Gambar itu tampak buram dan gelap. Phoebe sampai harus mengeditnya agar lebih terang dan jernih. Namun, karena ia biasanya menggunakan pengaturan manual, maka ISO yang diterapkan terlalu rendah untuk mengambil foto di tempat minim cahaya. Alhasil, gambarnya dipenuhi distorsi sehingga menimbulkan titik-titik buram yang mengganggu.

Meski begitu, setelah usaha luar biasa untuk bisa memperjelas gambar tersebut, akhirnya Phoebe bisa melihat sesuatu. Tampaknya itu adalah potongan papyrus kuno yang berukirkan aksara asing. Phoebe memperbesar gambar yang diambil dengan tidak stabil itu. Anehnya, begitu ia berhasil menangkap tulisan kuno tersebut, Phoebe langsung bisa membacanya begitu saja.

"Aloadae ...?" gumamnya heran.


ISO adalah tingkat sensitifitas sensor kamera terhadap cahaya. Semakin rendah nilai ISO maka hasil foto akan semakin gelap, sebaliknya nilai ISO semakin tinggi maka semakin terang foto yang dihasilkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top