2. Bebas
Phoebe mendengkus menanggapi. Itu adalah hal terkonyol yang pernah dia dengar. Sejujurnya, seluruh keadaannya saat ini memang sudah sangat konyol. Fakta bahwa seekor rusa perak aneh yang bercahaya tengah bicara padanya melalui pikiran saja sudah sangat tidak masuk akal. Memangnya dia sedang masuk ke dalam buku dongeng atau semacamnya?
Sungguh, pada titik itu, Phoebe hanya bisa mempertanyakan kewarasannya sendiri. Benarkah dia sedang melihat seekor rusa? Atau semua itu hanyalah halusinasinya saja karena terjebak dalam labirin bawah tanah aneh dengan kondisi tubuh penuh luka dan kelaparan.
"Sepertinya aku benar-benar sudah gila," ratapnya kemudian.
Phoebe lantas menarik napas dalam-dalam, sembari menutup matanya, berharap dirinya hanya sedang berada di dalam mimpi buruk. Segalanya mungkin akan segera kembali normal setelah ia membuka matanya lagi. Sayangnya, harapan itu hanyalah angan-angan kosong belaka. Rusa itu tetap ada di hadapan Phoebe, menatapnya dengan mata Kristal yang mengkilau.
Jika makhluk itu memang hanya khayalannya saja, lantas kenapa cahaya yang dia keluarkan benar-benar nyata? Bahkan lebih terang dari sorot lampu senternya. Selain itu, rasa sakit di seluruh tubuh Phoebe juga membuktikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Bagaimana dia bisa memahami situasi itu?
"Sebaiknya Anda segera keluar dari sini." Lagi-lagi sang rusa kembali berbicara dalam benak Phoebe. Suaranya seperti seorang pria dewasa yang tenang dan kharismatik.
"Rusa jantan," gumamnya setelah mengamati tanduk makhluk itu yang begitu megah dan bercabang-cabang.
"Kerinitia. Itu nama saya. Anda sudah mengingatnya, tetapi Anda tidak yakin dengan ingatan Anda tersebut," ujar sang rusa membalas gumaman Phoebe.
"Jadi itu namamu. Keri ... ah, sulit sekali. Bagaimana kalau kupanggil Ker? Lebih mudah," sahut Phoebe.
"Terserah Anda," jawab sang rusa melalui telepati. "Kekuatan Anda belum bangkit sepenuhnya, karena itu saya tidak bisa muncul dalam waktu yang lama. Sebisa mungkin, saya akan membantu Anda keluar dari tempat ini. Setelah itu, sebaiknya Anda segera berusaha mengingat esensi dewata Anda untuk bisa melawan serangan para Aloadae," imbuh Ker kemudian.
"Aloadae?" tanya Phoebe. Namun, belum sempat Ker menjawab, mendadak kepala gadis itu dilanda rasa sakit yang hebat. Telinganya berdengung hingga membuatnya terpaksa menghentikan langkah lalu jatuh berlutut.
"Ukh," pekik Phoebe mengerang kesakitan. Rasa nyerinya nyaris tak tertahankan. Pada titik ini, Phoebe yakin bahwa dirinya mungkin akan pingsan lagi. Namun, detik berikutnya, mendadak ia dibawa pada sebuah ingatan yang bahkan tidak dia sadari sebelumnya.
Gambaran dua sosok raksasa kembar berwajah jelek muncul dalam benaknya. Hanya sekilas kemudian tergantikan oleh visual lain yang menampilkan suasana hutan rimba. Seorang wanita cantik berubah menjadi rusa dan menjebak dua raksasa tersebut hingga saling bunuh dalam perburuan palsu.
"Aloadae." Sepotong nama kembali dibisikkan dalam kesadaran Phoebe. Gadis itu pun mengerjap. Rasa sakit di kepalanya berangsur pulih dan ia pun kembali mendapati dirinya berada di tengah labirin bawah tanah.
"Apa itu tadi?" gumamnya terbelalak. Ia sungguh yakin bahwa dirinya mulai berhalusinasi parah. Entah karena dehidrasi atau kekurangan oksigen.
"Anda harus segera keluar dari sini." Ker lagi-lagi membuyarkan ketertegunan Phoebe.
Gadis itu lantas mendongak, dan mendapati sang rusa berdiri menghadap ke arahnya dengan ekspresi serius. Meski berwajah rusa, tetapi Phoebe benar-benar yakin bahwa Ker sangat serius dan tegang. Karena intimidasi tersebut, akhirnya Phoebe pun kembali berdiri. Toh dia tidak punya pilihan lain selain menurut meski dalam hati merasa seluruh keadaanya sangat konyol dan tidak masuk akal.
Phoebe tidak banyak bicara lagi sepanjang sisa perjalanan. Ia terlalu tenggelam dalam pikiran negatif yang mengerucut pada kesimpulan bahwa dirinya mungkin akan mati di sana. Penglihatan-penglihatan aneh serta keberadaan rusa perak itu saja sudah cukup menjadi pertanda bahwa kondisi mentalnya tidak baik-baik saja.
"Ini mungkin adalah tanda-tanda sebelum kematian," pikir Phoebe putus asa.
"Anda tidak akan mati." Sekonyong-konyong Ker berbicara dalam benak Phoebe. Makhluk itu rupanya bisa membaca pikirannya.
Phoebe tak menjawab, merasa bahwa seluruh kejadian, termasuk jawaban Ker, hanyalah bagian dari imajinasinya belaka.
"Setelah berbelok, Anda akan menemukan celah retakan di atas sana. Anda bisa merayap keluar dari Parthenon ini," kata Ker lagi, merujuk pada sebuah jalan berkelok lima meter di depan mereka.
Gadis itu pun mendongak dan menyadari bahwa tubuh renik Kar mulai terburai. Titik-titk cahayanya meredup dan makhluk itu perlahan lenyap sambil menatapnya dengan nanar.
"Bertahanlah, Dewi," ujarnya sebelum benar-benar menghilang.
Phoebe menghela napas berat. Kegelapan kembali melingkupinya. Gadis itu kemudian menyalakan lagi senternya dan berjalan sesuai petunjuk sang rusa. Tanpa diduga, di kejauhan, setidaknya lima belas meter di depannya, Phoebe benar-benar melihat secercah cahaya dari retakan celah dinding bangunan. Semangatnya lantas mulai membara lagi dan ia pun berjalan terpincang-pincang menuju cahaya tersebut.
Udara segar menerpa wajah Phoebe ketika gadis itu memanjat naik. Sinar matahari yang hangat menyambutnya dan desir angin lembut terdengar di sekitar. Phoebe berhasil keluar dari tempat aneh itu! Kini ia berada di sebuah hutan lebat yang mengelilingi Parthenon raksasa di belakangnya.
"Ini ... Parthenon Artemis," gumam Phoebe mengenali struktur bangunan yang ada di depan matanya. Reruntuhan itulah yang tengah dia liput bersama anggota timnya beberapa hari yang lalu. Lantas kenapa dia bisa terjebak di bawah tanah?
"Phoebe!" Suara seorang pemuda mengejutkannya. Gadis itu menoleh dan mendapati Orion Leander, rekan kerja sekaligus sahabatnya, berlari ke arahnya dengan wajah cemas. Di belakang Orion, ada tiga orang lain yang tampak berseragam serba hitam, seragam kepolisian wilayah Atticana.
"Ori–" Belum selesai Phoebe bicara, pemuda itu sudah langsung memeluknya begitu erat.
"Lima hari! Lima hari penuh kau menghilang! Sebenarnya kau pergi ke mana?" ujar pemuda itu dengan suara bergetar.
Phoebe mendesah lega. Ia sendiri pun rasanya ingin menangis karena akhirnya bisa bertemu dengan rekannya. Rasanya seperti terbangun dari mimpi buruk yang panjang.
"Maaf sudah membuatmu khawatir. Aku terjebak di bawah sana," jawab Phoebe sambil menunjuk ke arah celah kecil tempatnya keluar tadi.
Orion melepaskan pelukannya, lantas melihat ke arah yang ditunjuk oleh Phoebe. "Kau terkubur di dalam tanah atau bagaimana?" tanya pemuda itu kebingungan.
"Itu, celah itu. Aku keluar dari–" Phoebe tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena anehnya, celah tempat dia keluar dari labirin tadi sudah menghilang begitu saja tanpa bekas. Tidak ada lubang atau apa pun. Hanya lapisan tanah keras dan dinding batu Partheon yang berdiri kokoh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top