12. Wanita Misterius
Menariknya lagi, seluruh nama hidangan yang mereka sajikan mengandung kata Ambrosia dan Nectar. Meski nama-nama itu disandingkan dengan jenis makanan umum yang bisa dibayangkan oleh Phoebe.
"Saya pesan salad Ambrosia," celetuk Calipso kemudian.
"Saya juga. Dan secangkir teh Nectar?" timpal Lira.
Deo mencatat pesanan mereka satu persatu. Phoebe pun ikut memesan makanan yang sama seperti yang lainnya. Ia tidak ingin menebak-nebak jenis lainnya dan nanti kecewa jika hasilnya tidak sesuai harapan. Setidaknya salad tidak mungkin dibuat dengan bumbu yang aneh-aneh. Itu makanan aman yang bisa dikonsumsi tanpa berekspektasi terlalu tinggi.
"Anda ... benar-benar menyajikan Ambrosia dan Nectar?" tanya Phoebe yang tiba-tiba merasa penasaran.
"Ah, benar, tadi sebelum masuk ke gang, kau juga bicara tentang aroma Ambrosia. Jadi ini maksudnya? Penciumanmu benar-benar tajam, Heib. Meski aku tidak yakin aroma Ambrosia itu seperti apa. Yang tercium olehku sekarang hanya bau sedap masakan biasa." Calisto menimpali.
Deo menanggapi percakapan itu dengan senyuman. Wanita itu lantas menjawab sembari membungkuk dan mengambil kembali buku menu yang dia bagikan sebelumnya.
"Tentu saja yang akan saya sajikan bukan Ambrosia dan Nectar yang asli. Tapi saya akan membuatnya semirip mungkin," ujarnya menjelaskan.
Akan tetapi, saat sampa pada giliran Phoebe, Deo menatapnya lekat selama beberapa detik sambil membungkuk mengambil buku menu di tangannya.
"Khusus untukmu, bisa kuberikan Ambrosia yang asli ... Artemis," bisik Deo tepat di telinga Phoebe.
Sontak gadis itu pun menoleh dan menatap Deo dengan terkejut. Namun, Deo sudah kembali berdiri tegak dan mengembangkan senyum bisnis yang sebelumnya dia tampilkan.
"Mohon ditunggu. Makanan akan siap dalam sepuluh sampai lima belas menit," kata sang pemilik restoran lantas berbalik pergi meninggalkan meja mereka.
Phoebe menatap kepergian Deo masih dengan ekspresi kebingungan. Lagi-lagi jantungnya mencelos ketika nama Artemis dibisikkan di telinganya. Rasanya seperti ia tengah melupakan sesuatu yang tidak seharusnya dia lupakan. Sensasi menusuk di dadanya itu seperti mengindikasikan rasa bersalah yang besar, meski Phoebe sama sekali tidak tahu kenapa ia harus merasa bersalah setiap kali mendengar nama Artemis.
"Heib? Kau baik-baik saja?" tanya Calisto sembari menepuk pundaknya.
"Ah, iya. Maaf. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," jawab Phoebe sekenanya.
"Sungguh?" Calisto memastikan. Phoebe menjawab dengan anggukan.
"Tapi kau hebat, Phoebe, bisa menemukan tempat sekeren ini. Kita bisa mengambil gambar arsitektur atau interior restoran ini," ujar Lira bersemangat.
Phoebe menoleh ke arah kameranya yang tergeletak di atas meja. "Kita harus minta izin dulu, apakah boleh mengambil gambar di sini," ujarnya kemudian.
Beberapa tempat, terutama di area wisata seperti Atticana, biasanya memberikan tariff terpisah untuk mengambil gambar. Tentu saja itu dilakukan karena sang pemilik tempat sudah bersusah payah membuat dekorasi nan indah sebagai ajang berfoto ria.
"Ah, iya. Nanti coba aku tanya saat pemilik restoran mengantar makanan," jawab Lira kemudian.
Sesuai dengan estimasi waktu yang sudah diberitahukan sebelumnya, makanan mereka pun tiba sepuluh menit kemudian. Karena penasaran, Phoebe langsung mencicip satu sendok kecil makanannya begitu dihidangkan. Salad Ambrosia rupanya berisi citrus, nanas, kelapa, ceri maraschino, pisang, stroberi, anggur kupas dan marshmallow, yang dicampur bersama saus dari mayones, susu, krim kocok, krim keju, serta yoghurt. Sungguh kekayaan rasa yang dijadikan dalam satu porsi hidangan.
"Maaf, Miss Deo, bolehkah kami mengambil gambar di tempat ini? Kebetulan kami sedang mengikuti Festifal Berburu tahun ini. Dan restoran Anda benar-benar merepresentasikan konsep yang akan kami usung," kata Lira begitu sang pemilik restoran selesai meletakkan seluruh mangkuk makanan di meja mereka.
Deo tampak tersenyum kecut. "Ah, maafkan aku, tapi tidak diperbolehkan mengambil gambar di tempat ini. Kami lebih suka memberi kejutan pada pengunjung yang baru datang dengan suasana yang tidak terduga," jawab wanita itu menolak dengan halus.
"Wah, sayang sekali. Padahal jika tempat ini dipromosikan, pasti banyak orang yang akan datang," sahut Lira kecewa.
"Biarlah orang-orang yang beruntung saja yang bisa menemukan tempat ini. Seperti kalian," tukas Deo sembari mengedik ke arah Phoebe.
Setelah mengatakan itu, Deo pun kembali meninggalkan meja mereka dan melakukan kesibukannya sendiri. Lira dan Sophie tampak kecewa dengan jawaban sang pemilik restoran. Padahal tadi mereka berdua yang paling antusias saat melihat tempat ini untuk pertama kalinya.
"Sudah, anggap saja ini pengalaman yang menyenangkan. Biasanya kenangan jauh lebih awet diingat kalau tidak diabadikan dalam gambar, tetapi di simpan dalam benak," hibur Phoebe kemudian.
Lira dan Sophie pun akhirnya tersenyum. "Yah, kau benar, Phoebe," jawab Lira.
Mereka pun makan dengan tenang sambil menikmati ambience di restoran tersebut. Salad serta teh yang disajikan di sana memang begitu nikmat. Padahal itu hanya dua menu sederhana yang bisa dibuat sendiri di rumah. Akan tetapi, entah kenapa rasanya Phoebe belum pernah mencicipi hidangan senikmat itu. Semakin disuap, rasanya ingin terus mengunyahnya lagi. Tidak bisa berhenti. Semacam candu.
Bahkan, meski tidak terlalu yakin, Phoebe juga merasa vitalitasnya bertambah setiap kali ia memakan suap demi suap makanan itu, atau menenggak tehnya yang beraroma bunga krisan. Energinya bertambah dan daya hidupnya juga semakin tinggi. Sulit menjelaskan sensasi tersebut jika tidak merasakannya sendiri. Ini pun juga baru pertama kali dia alami.
Setelah mangkuk makanannya habis, Phoebe pun pergi ke wastafel yang ada di depan toilet. Letaknya agak tersembunyi dan tidak terlihat dari ruang makan. Saat sedang membasuh tangan, tiba-tiba Deo menghampirinya dan turut mencuci tangan di sebelah Phoebe. Gadis itu hanya memperhatikan sekilas dari kaca panjang di depan wastafel.
"Bagaimana rasanya mencicipi Ambrosia lagi, Artemis? Apa itu membantu proses kebangkitanmu?" tanya Deo tiba-tiba.
Phoebe menoleh ke samping dan belakang. Tidak ada orang lain. "Anda bicara pada saya?" tanyanya memastikan.
Deo mendengkus kecil. "Siapa lagi," jawabnya. "Ah, benar-benar membuat frustrasi. Beginikah rasanya bicara pada kaum yang belum bangun?" lanjut wanita itu tiba-tiba mengeluh.
Phoebe mengerutkan kening kebingungan. "Maksud Anda? Kenapa Anda memanggil saya dengan nama Artemis. Nama saya Phoebe," ujarnya.
"Setiap dari kita membisikkan nama yang mengandung hubungan dengan jati diri asli kita, Nak. Dan kutanya padamu sekarang, apa kau tidak mengalami hal-hal aneh akhir-akhir ini? Apa kau tidak merasakan sesuatu saat nama Artemis diucapkan di hadapanmu?" Deo mulai memprovokasi. Wanita itu mematikan kran airnya, lantas berdiri tegak menghadap cermin dan menatap Phoebe dari sana.
Jantung Phoebe mendadak berdetak cepat. Pada titik ini, dia tahu bahwa wanita di depannya jelas bukan orang biasa. Phoebe pun kembali mengingat visinya yang terakhir, tentang sepasang raksasa kembar yang sedang menunggu waktu untuk membunuhnya. Bagaimana jika orang ini adalah antek-antek mereka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top