Artavazda

Sudah sebulan aku pindah ke rumah Tante Ria, sahabat Mama, sejak Mama wafat dan Papa lebih sering berada di luar negeri mengurus bisnis. Bukan hal yang menyenangkan. Di saat aku dituntut sempurnaa dalam prestasi dan harus melewati prestasi Drew, malah aku harus tinggal di rumah sainganku itu. Ya, Drew adalah putra Tante Ria.

Selama sebulan itu juga, aku memilih menyendiri, berbicara secukupnya saja dengan penghuni rumah Tante Ria atau merespons dengan tatapan tajam ketika Drew mulai mengusiliku. Ketika di sekolah, cowok itu selalu mencari-cari kesempatan untuk mengkonfrontir diriku tanpa tahu kesalahanku di mana yang membuatku selalu naik pitam.

Sisanya, aku menghabiskan waktuku untuk curhat segala yang aku rasa dan pikirkan pada bunga peninggalan Mama. Namanya Ruhi. Nama yang sudah ada sejak masih bersama Mama. Aku membawanya bersamaku ke rumah Tante Ria.

Hari ini aku harus menghadapi kenyataan, vas Ruhi pecah dan Ruhi tergeletak di lantai. Tanahnya berceceran. Drew yang cengegesan di dekat Ruhi membuat hatiku makin berantakan.

“Zeta, maaf ya. Aku tadi cuma lewat, eh, nggak sengaja kesenggol.” Ekspresinya terlalu santai untuk orang yang menyesal.

“Nggak sengaja? Posisimu ada di kamarku itu nggak sengaja?”

“I … itu, tadi aku cari kamu mau tanya tugas matematika peminatan.”
Seorang Drew tanya tugas? Aku hanya bisa menggeram atas karangan bebasnya yang tidak kreatif.

“Keluar sekarang juga!” bentakku.

“Berarti dimaafin nih?”

Aku membalasnya dengan pelototan.

“Oke, oke. Aku keluar sekarang juga.” Drew pun menghilang di balik pintu kamar.

Aku segera merapikan tanah dan membungkus akar Ruhi dengannya. Aku tersentak kaget begitu menyadari ada sesosok cowok yang kesakitan muncul entah dari mana.

“K—kamu siapa?” Aku berusaha bersuara meski napasku terasa sesak.
“Hai! Aku Ruhi yang selama ini jadi teman ngobrolmu.”

Aku hanya bisa mengernyit. Pakaiannya terlalu berlebihan dengan berbagai kain yang mengurai meski terlihat bukan kain sembarangan.

“Tapi Ruhi itu nama ….”

“Bunga peninggalan mamamu.” Cowok dengan raut wajah Persia di hadapanku santai memotong kalimatku dengan senyumannya.

“Bagaimana bisa? Kamu bule gila yang menyusup ke sini?”

“Aku selama ini tinggal di situ.” Dia menujuk bunga yang sedang kugenggam. “Namaku memang Ruhi. Aku akan menjelaskannya nanti. Sekarang, aku butuh bantuanmu, Soul.”

“Soul? Namaku Zeta.” Sembarangan ganti nama orang!

“Nggak ada waktu. Bawa bunganya.”

Ruhi menarik dan membawaku ke suatu tempat yang tidak asing. Tempat yang biasa aku dan mama datangi waktu aku kecil, lorong panjang dari semak-semak tinggi. Awalnya, pemandangan biasa saja. Lama-kelamaan penuh bunga dan rindang.

“Selamat datang di negeri Artavazda, Soul.”

Aku tidak menghiraukan panggilan Ruhi terhadapku. Aku terpesona oleh udara segar yang menyapu kulitku. Aromanya pun memanjakan hidung. Air jernih yang mengalir, pepohonan rindang bertabur buah ranum, burung cantik beterbangan dan banyak bunga seperti milik Mama.

“Negeri indah yang sedang dalam bahaya.”

Aku menoleh tajam pada Ruhi. Meminta penjelasan.

“Artavazda akan segera hancur jika tidak segera diselamatkan.”

“Diselamatkan dari apa? Bahaya apa dan seperti apa?”

“Ketamakan.”

“Siapa yang tamak?”

“Manusia dan nafsunya.”

“Aku manusia. Kamu menyindirku langsung. Aku tersinggung.”

“Sikapmu yang tidak ingin membantu itu wujud ketamakan. Padahal kamu kunci dari semua ini, Soul.”

“Kenapa aku? Dan satu hal, berhenti memanggilku Soul. Namaku Zeta!” tegasku.

“Kamu memiliki jiwa yang bersih. Kamu keturunan Artavazda.”

“Apalagi ini? Pakai bahas masalah keturunan yang jelas aku anak Mama dan papaku. Kenapa malah jadi keturunan negeri antah-berantah ini?” protesku sengit.

Ruhi dengan segala ekspresi mukanya yang tetap tenang menarik tanganku, mengajakku berkeliling. Bukan berkeliling, lebih tepatnya mengarah ke satu tempat, tempat yang keadaannya berbeda jauh; kering kerontang, panas dan terasa hampa udara yang membuatku seketika oleng. Aku tak kuasa menahan tubuhku yang tumbang ke tanah.
Pandanganku perlahan jernih. Aroma segar yang tidak asing menyapa indra pembauku. Drew?

“Iya, ini aku.”

Aku terbelalak. Suara Drew yang sangat dekat menyadarkanku kalau sekarang aku berada dalam rangkulannya.

Drew melabrak Ruhi. “Kenapa harus membahayakan nyawa dia? Apa masih kurang selama ini kamu sudah membuatnya menepi dari kehidupan sosialnya?”

Bagaimana dia bisa ada di sini?

Ruhi tertawa kecil. “Maaf, Drew, kalau aku harus membangkitkan rasa khawatirmu pada soul. Hanya ini cara yang tepat untuk membuat Soul cepat memahami semuanya. Kita tidak punya waktu lama. Kerusakan Artavazda akibat ulah manusia makin meluas. Jika Artavazda punah, bumi hancur.” Nada Ruhi makin lama makin tajam.

Kini dia menatapku. “Soul, nama yang merujuk pada Zeta sang pemilik jiwa yang bersih, murni akan memahami segala sesuatu dengan jiwanya. Dia juga mewarisi darah Artavazda yang membuatnya cepat memahami segala sesuatu.”

“Jadi, ini semua akibat dari pembakaran hutan?”

“Cerdas! Dan Zeta adalah generasi terakhir yang mampu mengembalikan semuanya.”

“Jadi, apa yang bisa aku lakukan?”

“Zeta—”

“Jika memang aku yang dikatakan mampu, aku yakin aku bisa melakuannya.”

“sekarang, gerbang semak sudah rusak oleh api.”

Aku menoleh ke arah pandang Ruhi, asap merah membumbung. Burung-burung yang tadi beterbangan lenyap. Tak ada lagi suara indah memanjakan kuping dan udara segar mengelus lembut dengan wanginya.

“Mau tidak mau harus melalui gerbang tugu bunga.”

“Itu di mana?”

“Drew akan menuntunmu ke sana. Segera tancapkan bunga ruhi ini di sana sebelum jangkrik terbangun. Jika berhasil, kalian akan berada di kota bunga. Jika gagal, kalian bisa saja keluar, tetapi paru-paru bumi akan meledak.”

“Kamu juga ikut dengan kami, kan?”

“Aku harus tetap di sini. Memastikan rakyat Artavazda tetap bersama pemimpinnya.”

Drew segera menarikku dan berlari menuju tempat yang dimaksud. Begitu tiba, aku mengumpulkan konsentrasiku lalu bersiap menancapkan bunga ruhi.

“Aku minta maaf.”

Suara Drew menghentikanku. Aku membuka mata. Matanya menatapku lurus.

“Aku sengaja masuk kamarmu. Aku sengaja memecahkan vas bungamu, wadah bunga ini, jendelanya Ruhi dari Artavazda. Hari ini waktunya dan tidak bisa ditunda.

Aku mematung. Sengaja? Jendelanya Ruhi? Artavazda? Sudah waktunya?

“Ruhi adalah nyawa Artavazda. Soul adalah jiwanya bumi yang terlahir dari Artavazda. Drew? Perantara keduanya. Tiga detik lagi.”

Aku memejam, berusaha mencerna semuanya. Drew meraih tanganku yang menggenggam bunga ruhi.

***

“Selamat pagi, Anak-anak,” sapa Bu Kartika, “Kalian punya teman baru. Dia murid pindahan. Silakan masuk.”

Seorang murid cowok berparas Persia memasuki kelas. Spontan aku menoleh pada Drew yang melakukan hal yang sama.

“Ruhi?” gumamku dan Drew bersamaan.

“Perkenalkan, saya Iota Ruhi Artavazda.”

===

Word: 981 kata
WP: 983 kata

First published: Fri, 24th September 2021

Dalam rangka festival #SeptemberRAWSCeria yang diadakan oleh RAWSCommunity.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top