Would You?
"Sampai kapan Fera pergi?" Tanya Lana saat aku, dia, dan Rama sedang makan siang bersama seperti biasa di kampus.
"Entah. Dia tidak bilang. Semoga tidak akan lama."
"Cie, kangen nih ceritanya?" Lana punya hobi baru sekarang: menggodaku yang sedang ditinggal pacar.
"Fera titip pesan untuk kamu, Kat. Katanya jangan nakal. Memangnya kamu sedang nakal ke siapa?" Rama menghentikan kegiatan mengunyah kebab untuk fokus menatapku dan menunggu jawaban.
"Kalau aku bilang aku nakal ke Lana, kamu percaya?" Aku mencoba untuk memberikan wajah penuh keseriusan padanya. Tapi gagal. Mataku lalu menatap turun, ke ransel yang ada di atas meja, tepat di hadapanku. Terfokus pada gantungan kunci dari Aurora yang kupasang di sana. Lalu kami bertiga sama-sama melihat si gantungan kunci.
"Sejak kapan kamu punya gantungan itu?" Lana meraih gantungan kunciku dan memainkan di tangannya. Moka pot itu jadi begitu mungil dan menggemaskan berada dalam genggaman Lana. "Lucu. Aku jadi mau."
"Dikasih teman, di coffee shop." Jawabku.
"Aku jadi ingat sesuatu." Lana mengambil tasnya lalu mengeluarkan buku catatan dan pena. "Ada beberapa hal yang harus kucari tahu untuk bahasan di bab 1. Aku tidak mau sampai lupa lagi." Dia lalu mulai menulis di bukunya. Di sebelahnya, Rama memperhatikan apa yang ditulis Lana dengan serius.
"Aku tidak yakin kamu mesti cari bahasan tentang kayu jenis itu." Komentar Rama sambil menunjuk tulisan Lana yang berbunyi "sonokeling" kalau dibaca.
Kalau dilihat-lihat, mereka berdua ini serasi. Saling melengkapi. Yang satunya super berantakan dan yang satunya super rapi. Rama ini santai dan Lana serba gerak cepat. Rama lumayan tampan dan Lana ini cantik, hem, poin yang satu ini sepertinya bukan saling melengkapi. Tapi mereka memang terlihat manis kalau bersama-sama.
"Kamu sedang memperhatikan apa sih Kat?" Rama mendelik padaku.
"Memperhatikan kalian. Tau tidak? Kalian berdua ini cocok. Kenapa tidak jadian saja? Sana pacaran." Aku melipat lenganku di atas perut.
Lana terbahak melihatku. Sedangkan Rama hanya tertawa kecil.
"Tidak, Kat. Lana ini sudah seperti adikku. Lagian mana mau aku sama dia? Bisa panas telinga diceramahi setiap hari karena katanya kamarku itu mirip tempat penampungan tikus. Padahal tidak ada tikus di kamarku." Rama cemberut.
"Kat, jangan suka becanda yang aneh-aneh. Aku sedang dekat dengan seseorang di gereja."
"Whoaa, setelah lulus sepertinya ada yang bakal menikah." Aku bertepuk tangan. "Jangan lupa undangan. Nanti aku bantu sebar."
"Kat, sudah." Wajah Lana memerah. Aku yakin aku baru saja memecah konsentrasinya untuk menulis catatan karena kini dia menyimpan pena dan menatap bukunya dengan tatapan kosong.
"Lan, mau lanjut pindah ke perpustakaan? Sekalian aku juga mau lanjut nulis. Sambil charge laptop di sana."
"Boleh."
"Kat, mau ikut ke perpustakaan?" Rama sudah siap berdiri, menunggu Lana memasukkan semua peralatan tulis ke ranselnya.
Aku menggeleng, "kalian saja. Aku mau pergi ke tempat lain. Kedai kopi, mungkin, atau pulang untuk tidur siang."
"Uuh, Kat, jangan sedih berlarut gitu ya karena ditinggal Fera. Pacarmu akan kembali ke kampus kok. Semangat." Lana mencolek daguku. Rama melambaikan tangannya padaku lalu mereka berdua pergi. Meninggalkan aku sendirian di meja kantin.
Tak lama kemudian, muncul sebuah suara yang sangat familiar bagiku.
"Katina."
Aku menoleh pada sumber suara dari arah punggungku. Ada Aurora di sana. Memakai kemeja abu-abu polos sambil memeluk kain yang mirip sweater berwarna hitam.
"Hai Rora."
"Mau ikut aku ke kedai kopi?"
Aku tidak tahu ini kebetulan atau apa karena aku tidak terlalu percaya pada apa itu kebetulan. Semuanya pasti adalah sebab dan akibat. Semuanya pasti memiliki alasan. Bisa jadi Aurora sudah lama duduk menunggu di suatu tempat memperhatikan kami lalu mendekat saat kedua temanku pergi. Soal pertanyaannya tadi, aku mengangguk, "mau. Ayo." Aku yakin dia mendengarku mengatakan ingin ke kedai kopi pada teman-temanku.
Dia menarik tanganku pelan, seperti biasa. Untuk mengikuti kemana dia berjalan. Tapi aku tidak perlu menebak ke mana dia membawaku sambil memegang pergelangan tanganku. Pasti ke parkiran dan benar. Aku bisa melihat motornya yang sangat khas itu parkir dengan dua helm di sana.
Nah mulai saat ini aku tidak tahu dia akan membawaku ke mana. Aku tidak mau tanya karena kemungkinan dia tidak akan memberikanku jawaban. Jadi aku menunggu sampai dia mau bilang dengan sendirinya.
Tapi setelah kami sudah menaiki motor dengan dia yang memakai sweater hitam bergambar bayi pinguin yang sangat menggemaskan di dadanya dan melaju di jalan raya, menuju arah pusat kota, dia masih belum memberitahu kita akan ke mana.
"Rora, kita mau ke mana?" Akhirnya, kutanyakan juga.
"Tidak tahu. Ada usul?"
Aku terbengong. Setelah sekian lama perjalanan yang cukup bikin pahaku pegal, aku menyesali kini, mengapa aku tidak menanyakan hal ini padanya sedari awal dia menyalakan mesin motornya?
"Katina? Masih ada di motorku?"
"Masih."
"Ku kira Katina tadi turun waktu berhenti di lampu merah."
"Maunya sih begitu."
"Jangan, Katina."
"Iya, tidak. Kan aku masih ada di belakangmu, di motormu. Tidak turun."
"Jadi kita akan ke kedai mana?"
Serius. Banyak kedai kopi di Bandung tapi tidak ada satu nama pun yang muncul di kepalaku untuk ingin kukunjungi saat ini. "Cari yang paling dekat dari sini saja. Kedai mana pun."
"Baiklah."
Ya Tuhan, salah aku apa sampai aku dipertemukan dengan manusia semacam Aurora?
Lalu, kenapa pula aku mau saja mengikuti kemauan perempuan satu ini?
Aku menyandarkan daguku di pundaknya. Berharap dengan begini sebagian dari keresahanku hilang. Ya. Sebagian saja karena aku akui aku pun menikmati sebagiannya lagi. Aurora datang dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari siapa sebenarnya perempuan ini, apa maunya, sampai mengapa dia bisa tahu banyak tentangku sampai ke alamat tempat tinggalku.
Dia juga tahu aku suka kopi padahal aku tidak pernah bilang padanya.
Dia tahu akun instagramku.
Dia seakan tahu di mana aku berada sehingga dia begitu mudah menemuiku.
"Katina?"
"Ya?"
"Tidak mau memelukku lagi?"
Dia pun tahu bagaimana caranya membuatku tersenyum.
"Memangnya kamu merasa dingin?"
"Tidak."
Akhirnya Aurora menepikan motornya dan memasuki lahan parkir sebuah kedai kopi kecil yang baru aku lihat pertama kali. Coffee shop dengan konsep minimalist yang jelas terlihat sederhana namun manis.
Aku langsung turun. Bersyukur akhirnya kakiku bisa bergerak bebas.
Aurora mengambil helm dari tanganku lalu menyimpannya di motor.
"Terimakasih ya sudah pakai gantungan kuncinya."
"Iya. Aku suka."
Dia merangkulku, membawaku masuk ke kedai lalu membawaku ke meja yang dekat dengan jendela. Dari jendela ini kami bisa melihat langit yang mulai sore, begitu cerah tanpa awan mendung.
Kami duduk berhadapan di meja yang memuat dua kursi ini. Posisi seperti ini membuatku bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas ditambah jarak kami tidak begitu jauh karena meja ini kecil, kalau ada dua piring dan dua gelas, tidak ada lagi benda lain yang bisa di simpan di sini.
Seorang barista yang tadi sedang asik dengan mesin kopi terburu-buru menghampiri kami sambil mengeluarkan catatan kecil dan pulpen dari saku apronnya.
"Selamat sore kak, mau pesan apa?"
Kami menoleh pada daftar menu yang tertulis di papan menu di dinding belakang bar, membaca satu persatu sajian yang ada. Lalu Aurora menyebutkan pesanannya.
"Aku mau cokelat panas saja."
"Aku mau green tea. Panas."
Pesanan kami sudah dicatat, tanpa tambahan apa pun lagi. Setelah memastikan pesanan kami sudah sesuai, barista itu kembali ke tempatnya dan mulai membuat minuman lagi.
Tempat ini memang kecil tapi pengunjungnya tidak sedikit dan beberapa yang memilih take away juga terus berdatangan. Kasihan barista itu hanya sendirian.
"Rora, kamu tidak mau bantu baristanya? Kasian dia sendirian, pesanan banyak.
Aurora melirik pada barista tadi yang sedang membuat minuman dengan begitu cekatan. "Tidak. Aku yakin dia bisa handle semuanya sendiri. Sebentar lagi juga paling ada yang datang membantu dia bikin kopi."
"Yasudah. Aku hanya kasihan lihat dia repot begitu."
"Katina tidak pesan kopi?" Jelas sekali Aurora tidak menyukai pertanyaanku sebelumnya. Mungkin menjadi barista tidaklah semenyenangkan apa yang dipikirkan.
"Sedang ingin teh. Kamu kenapa tidak pesan kopi? Sedang ingin cokelat?"
Aurora mengangguk. "Terlalu banyak meneguk kopi juga kurang baik, kan?"
"Iya deh, mbak barista pasti lebih paham." Aku terkekeh.
Setelah obrolan ini, kami terdiam diselimuti kecanggungan yang teramat sangat. Aku bingung ingin membahas apalagi dengannya. Aurora kembali jadi orang yang pendiam, seakan yang kemarin itu hanyalah kebetulan dia bisa bersikap manis padaku.
"Katina." Akhirnya.
"Kenapa, Rora?"
"Katina sedang kesal?"
"Eh? Kenapa kesal? Memangnya aku terlihat sedang kesal?"
Dia mengangguk. "Katina kesal padaku?"
Aku menatapnya lekat. Cahaya sore yang menimpa wajahnya membuat warna matanya jadi lebih terang. Aurora, mana bisa aku kesal pada pemilik mata yang sedang kutatap ini? Sekali pun memang ingin. "Tidak."
"Habisnya Katina banyak diam dan tadi seperti kesal karena aku membawa Katina tanpa tujuan. Maaf ya, kita malah jadi memutari Bandung padahal aku mengajak Katina ke kedai tapi aku sendiri malah tidak tau mau ke mana."
Aku tersenyum lebar, melihatnya mengoceh seperti ini ternyata lucu juga. Apalagi kalau ingat betapa ketusnya perempuan ini saat pertama kali aku menyapanya di aula gedung kegiatan mahasiswa.
"Aku diam karena kamu diam, Rora. Tapi kamu curang. Karena walaupun kamu banyak diam, kamu malah banyak tahu tentang aku sedangkan aku tidak tahu apa-apa tentang kamu selain beberapa hal." Aku mempertahankan senyumku padanya.
"Apa yang ingin Katina tau dari aku?" Dia balas tersenyum, manis.
"Semuanya." Aku menarik ujung bibirku sebelah lebih tinggi.
"Jangan, nanti Katina jatuh cinta."
Demi apa pun aku ingin sekali melempari wajah anak ini dengan meja. Kalau saja bisa.
"Permisi, ini pesanannya. Maaf lama." Barista yang tadi datang dengan membawa dua cangkir dan meletakkannya di meja, membuatku makin mengurungkan niatku untuk melempar meja walau memang tidak akan pernah aku lakukan.
"Jadi, kamu tahu darimana tentang aku?"
"Tentang Katina yang mana?"
"Aku yang suka kopi?"
"Katina bau kopi."
Speechless. Aku tidak menyadari fakta tentang diriku yang satu itu. Aku memang menyukai kopi dan ruanganku pakai pengharum beraroma kopi.
"Canda. Katina tidak bau kopi. Tapi aku kira orang-orang di jurusan sudah tau tentang Katina yang menyukai kopi. Apa pun yang berhubungan dengan Kak Fera, sepertinya sudah jadi rahasia umum."
Oke. Aku tidak bau kopi. Fakta yang tadi tidak jadi ditambahkan pada diriku. Mungkin karena aku suka membawa kopi ke kelas dan minum kopi bersama Fera, lalu Fera upload foto bersamaku yang sedang minum kopi ke media sosial, dan.. boom! Semua orang tahu aku suka kopi. Masuk akal.
"Kalau alamat kosanku, tau dari mana?"
"Kalau itu aku tanya ke orang."
"Siapa?"
Aurora menunduk. Mengambil cangkirnya lalu meneguk isinya. Dia terlihat seperti dunianya sendiri dan seakan aku tidak ada di sini. Dia menoleh pada jendela, menatap langit dengan kedua tangan yang masih memegang cangkir.
Ah, mungkin kali ini pertanyaanku akan bernasib sama seperti pertanyaan kemarin yang diculik angin saat di motor. Mungkin aku butuh waktu untuk membuatnya menjawab pertanyaanku, di saat aku sudah tidak begitu ingin dengar apa yang akan dia katakan.
"Aku lupa siapa namanya. Yang jelas dia teman Katina."
Baguslah, dia menjawab lebih cepat dari dugaanku. Aku menanggapinya dengan ber "oh" ria lalu mengurungkan niatku untuk melemparinya beberapa pertanyaan lagi. Aku tidak mau jika harus mendapatkan jawaban yang menggantung lagi.
Akhirnya kami terjebak dalam kebisuan dan kecanggungan. Aku mulai menikmati tehku yang hangat. Menikmati momen yang terasa begitu aneh namun membuat betah. Sesekali aku melirik pada matanya. Dia sedang balik menatapku. Bibirnya sesekali terbuka, namun kembali tertutup rapat. Tubuhnya sesekali tegak, namun kembali lagi bersandar.
"Ada yang ingin kamu katakan?"
Dia menyimpan cangkirnya, menatapku, "Katina, mau tolong aku?" Suaranya nyaris berbisik. Membuatku harus benar-benar menajamkan telinga.
"Apa?"
"Jauhi Kak Fera."
"Mengapa aku harus jauhi dia?" Jelas aku tidak terima. Enak sekali Aurora berbicara.
"Katina tidak akan suka alasannya."
"Suka atau pun tidak, aku ingin dengar."
"Aku tidak bisa bilang." Dia membuang pandangannya pada langit yang begitu jingga. Wajahnya benar-benar datar. Aku tidak suka ekspresinya yang satu ini. Membuatku sulit menerka apa yang sedang dia pikirkan. Tapi di sisi lain, wajahnya ini begitu tenang dan menarik untuk lama dipandang.
Tiba-tiba dia menoleh padaku saat aku sedang asik menikmati garis wajahnya. Kedua tangannya lalu meraih kedua tanganku, menggenggamnya. Kedua ibu jarinya mengelus punggung tanganku dengan begitu lembut. "Katina, aku mulai membenci lelaki itu."
"Mengapa? Bukannya kemarin kamu bilang masih menyukainya dan masih berharap padanya?"
"Apakah suka dan benci bisa hadir di waktu yang bersamaan?" Wajahnya kali ini terlihat sedikit frustasi. Membuatku balas menggenggam tangannya erat.
"Tidak perlu menyiksa dirimu begitu. Hatimu tau mana yang paling kamu mau. Berhenti menyukai dia, atau tetap berharap pada ketidakpastian."
Dia tersenyum kecil, "Katina ingin aku melupakan dia?"
"Jangan tanya aku. Kamu yang paling tau."
Dia melepas tanganku. Lalu matanya kembali menatap jingga yang memudar di ujung sana. Di mana matahari pergi membawa jejaknya.
"Katina." Dia kembali menatapku lekat. "Jika aku.. ah sudahlah."
"Apa? Jika kamu apa?"
Aurora menggeleng. Dia memasukkan tangannya pada saku sweater, lalu mengeluarkan semacam obat berbentuk tablet dan dia mengambil satu. Tanpa menatapku lagi, dia meminumnya.
Lalu pandangannya kembali pada langit yang mulai gelap.
"Kamu sakit?" Aku hendak meraih tangannya tapi dia bergerak menjauh.
"Emm, hanya sedang merasa kurang baik."
"Tadi obat apa?"
"Vitamin."
Aku tahu Aurora berbohong. Aku tidak bisa membaca tulisan di obat itu tapi aku sangat yakin itu bukanlah vitamin seperti yang dia bilang.
"Kalau kamu sakit, ayo kita pulang. Kamu mesti istirahat, Rora."
"Ya, tapi nanti. Masih ingin di sini. Atau, Katina bisa bawa motorku?"
Aku diam, berpikir sejenak. Motor Aurora itu tinggi, tapi aku penasaran ingin coba bawa. Mestinya tidak akan beda jauh dengan membawa motor gigi, tapi entah kenapa motor Aurora ini terasa beda. Terakhir aku bawa motor gigi, aku menabrak pohon. Hem. "Belum pernah coba, tapi sepertinya bisa."
Aku bisa melihat dengan jelas, wajahnya memucat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top