Outline
Aku kembali lagi ke toilet. Hanya untuk melihat hasil gambar Aurora yang sedari tadi kupegang.
Goresan itu membuatku tercengang. Sketsa yang dia buat sungguh memiliki karakter yang kental. Hasil goresannya tegas, namun menghasilkan kesan anggun yang cantik, kuat, elegan. Fera yang sedang menikmati es krim cone terlihat begitu cantik, anggun, dan galak di waktu yang bersamaan. Membuat perempuan itu jadi kian menarik dan membuat betah mata terus memandangnya.
Di jurusan ini, aku merasa seperti seseorang yang memiliki bakat visual paling rendah. Maksudku, untuk membuat sketsa saja goresanku sangat biasa sekali. Bahkan mungkin, anak jurusan bahasa Inggris ada yang lebih berbakat, mahir, dan lebih rajin berlatih serta kecanduan membuat sketsa daripada aku yang sudah kuliah tiga tahun lebih di seni rupa.
Aurora menggambar kekasihku seakan dia memang sudah kenal lama dengan Fera, hingga karakter yang dia munculkan benar-benar menunjukkan sisi Fera yang bahkan tidak semua orang bisa paham sisi itu.
Mengapa aku tidak bisa membuat sketsa dengan goresan yang lebih artistik ketimbang mereka? Dasar aku payah.
Aku ingin memajang sketsa ini di kamar, tapi, ah mana mungkin. Fera tidak boleh lihat sketsa ini. Tapi tidak mungkin juga jika aku buang. Aku akan scan sketsa ini nanti setibanya di kamar biar gambarnya bisa abadi di format digital. Tapi untuk karya aslinya, ah.. akan ku simpan di mana?
Ku selipkan kertas ini di buku sketsaku. Lalu aku berjalan pelan menuju sekretariat jurusan dan menemukan Fera yang sedang berbincang dengan beberapa orang yang seangkatan denganku.
Salah seorang temanku menyadari keberadaanku lalu memberi kode pada Fera dengan tatapan matanya yang berulang kali melirik padaku lalu menatap Fera lagi.
Aku tidak mau mengganggu obrolan mereka, sebenarnya. Tapi aku bingung mau menunggu Fera di mana selain di sini. Karena, aku tidak mau duduk di aula depan yang jadi tempat Aurora menghabiskan waktu untuk membaca buku. Sedangkan kursi di depan sekretariat lain penuh. Aku tidak mau duduk di tangga karena ada sepasang kekasih yang sudah menduduki tangga tersebut sebelum aku.
"Katina, tunggu sebentar ya. Tidak akan lama kok." Kata Fera yang langsung menyadari keberadaanku berkat tatapan temanku ini.
"Santai saja, aku cuma mau ikut duduk di sini. Sambil main game." Kuangkat ponselku, menunjukkan layar yang sedang memuat tampilan loading untuk mulai bermain di game mainstream saat ini. PUBG.
Fera tersenyum sambil mengangguk. Dia paham masih punya waktu cukup lama untuk berbincang. Kecuali jika ternyata aku mati di beberapa menit pertama. Tidak sadar ada yang menembak dari belakang, misal? Aku tidak membawa headset dan aku mematikan suara ponsel. Mana tahu kalau ada suara langkah kaki mendekat atau ada suara tembakan bertubi-tubi di sekitar?
Tapi ternyata aku bertahan sampai hampir setengah jam kemudian. Sedang bersembunyi di balik dinding samping jendela. Jadi pemain bertahan yang hanya tinggal dua orang. Tinggal membunuh satu pemain lagi dan aku menang.
"Katina, mau kopi?" Dion, teman sekelasku yang punya rambut ikal dan telinga lebar menghampiriku sambil menyodorkan botol kopi susu yang membuatku ingat pada Aurora.
"Tidak terimakasih. Buat Dion saja." Kataku, menoleh padanya sekilas lalu tersenyum. Saat perhatianku kembali pada permainan, aku langsung menyadari bahwa aku kalah. Tertembak oleh satu-satunya pemain selain aku.
"Yuk kita pulang." Fera langsung menghambur memelukku. Lalu tertawa saat menyadari alasan di balik wajah datar tak bergairah yang kutunjukkan beberapa detik sebelumnya. "Dion! Kamu sadar tidak, karena kamu tadi nawarin dia minum, si Katina ketembak mati di game! Kalah dia."
"Ha? Astaga Katina, maaf. Aku tidak sadar kamu lagi main PUBG. Mau duo sama aku? Aku bakal buat kita menang." Dion jadi panik sendiri.
"Tidak apa, cuma game." Jawabku hambar. Tapi di dalam hati aku terus mengucapkan mantra yang sama berulang-ulang. Cuma game, cuma game, cuma game, cuma game. Nanti bisa main lagi, bisa menang lagi. Cuma game, cuma game, cuma game, cuma game.
"Ayo Katina. Simpan dulu sedihnya. Kita pulang sekarang." Sebelum meninggalkan ruang sekretariat, dia menghampiri loker untuk mengambil sesuatu. Aku menyempatkan diri untuk membuka beberapa item di crate. Siapa tahu dapat barang bagus.
Dion menghampiriku lagi, "sorry Katina, kalau ingin main denganku, bilang saja ya. Mungkin kita bakal jadi tim yang hebat."
"Ya, nanti kalau sama-sama senggang dan ingin main, kita main." Aku terus melempar senyumanku pada Dion. "Tapi aku lebih suka solo sebenarnya."
"Ah, baiklah. Kabari saja kalau ingin duo."
"Oke."
Fera muncul di antara aku dan Dion. Menyuruh lelaki itu untuk pergi. "Ayo ke tempat kopi yang waktu itu lagi." Dia menghampiriku dengan membawa tas laptop di pelukannya. Tas itu miliknya. Mungkin dia memang meninggalkannya di sekretariat atau ada yang meminjam laptopnya? Entah. Aku tidak begitu memperhatikan.
"Yuk. Kamu ingin sambil menyelesaikan tugas, kan?" Aku menjepit hidung mancungnya dengan jemariku. Gemas.
"Sayangku ini tahu saja." Dia terkekeh. Fera pamit pada penghuni sekretariat yang tersisa lalu menarik tanganku untuk segera mengikutinya enyah dari gedung kegiatan mahasiswa.
Kami berjalan saling bergandengan dari pintu sekretariat sampai ke aula.
Dan lagi, tatapan Aurora mengikuti langkah kami meninggalkan ruangan. Aku tahu Fera melihatnya tapi perempuan itu memilih untuk diam dan aku malah berpura tidak menyadari apa-apa.
Kami naik angkot sampai ke cafe. Angkot warna hijau yang ngetem lama di jalan Setiabudi. Lalu ikut menjebak diri di kemacetan jalan Cihampelas.
Aku ingin membeli motor tapi rasanya tidak perlu amat. Lagipula, malas juga untuk menyetir motor di padatnya jalanan Kota Bandung saat ini. Tapi, naik angkot kadang bikin kesal apalagi di saat panas dan macet begini.
Sesekali aku melirik pada Fera yang terhanyut dengan pemandangan langit cerah dan pucuk pepohonan tinggi. Wajahnya sesekali diterpa angin yang berhembus melewati kaca jendela angkot yang terbuka saat kendaraan hijau ini melaju di celah-celah kepadatan jalan raya.
Memang ya, orang cantik mau naik apa saja tetap cantik.
"Kiri!" Angkot mulai memelankan lajunya dan menepi akibat suaraku tadi. "Ayo Fer," aku membiarkan Fera turun terlebih dahulu lalu membayar dengan uang pas dari belakang bahu pak supir.
Sofa tempat kami biasa duduk sudah dihuni orang lain. Akhirnya Fera memilih duduk di kursi dekat balkon yang terhalang pintu kaca. Meja ini mendapatkan banyak cahaya namun tetap terasa teduh dan dingin karena air conditioner yang menyala.
Rene menghampiri meja yang baru saja kami tempati, lalu dia menyimpan sekotak tisu di meja. "Selamat siang, selamat datang di Segi Cafe, mau pesan apa kali ini?"
"Americano, ice." Cukup untuk minum strong coffeenya saat ini. Double espressonya nanti lagi.
"Aku mau iced cafe latte. Sama fries."
"Ada lagi?" Tanya Rene masih sambil menulis pesanan kami.
Aku menggeleng. Begitu juga Fera. Rene mengangguk lalu permisi pergi menyampaikan pesanan kami pada barista yang sedari tadi berdiri di samping mesin kopi. Lelaki kurus dengan rambut lurus cokelat tua yang melebihi telinga.
Seperti biasa, Fera mempersiapkan laptopnya. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan karena tugas kami sudah selesai. Baru saja dia membuka folder di laptopnya, iPhone di sakunya berdering. Ketika dia hendak menjawab panggilan masuk itu, panggilannya selesai. Menyisakan notifikasi satu panggilan tidak terjawab. Tak lama kemudian, muncul pemberitahuan pesan masuk.
Aku tidak memperhatikan lebih jauh karena aku tahu pesan itu bukan untukku. Jadi, buat apa aku repot-repot memicingkan mata untuk melihat isi pesan masuk itu?
Fera membalas pesan itu, lalu menyimpan iPhonenya di meja. Dia mulai kembali fokus pada laptopnya, membiarkan aku yang sibuk mengamati dirinya.
Dia terlihat begitu gelisah. Beberapa kali mengecek iPhone putih itu untuk membalas pesan yang baru saja masuk. Lalu menjawab beberapa panggilan masuk. Aku tidak mau dengar apa yang dia bicarakan pada si lawan bicara di seberang sana. Lagipula Fera berjalan agak menjauh saat berbincang dengan ponselnya. Sampai dia meninggalkan ruangan ini untuk berbicara di balkon. Aku yakin dia akan memberitahuku nanti, apa yang baru saja dia bicarakan.
Tapi dari segala gerik yang dia tunjukkan, aku bisa menyimpulkan kalau Fera sedang membahas suatu hal yang penting. Jarang sekali dia terlihat begitu serius berbincang dengan ponselnya.
Cukup lama aku membiarkan dia berbincang dengan si penelepon. Sampai pesanan kami semuanya sudah ada di meja. Aku terus meneguk kopiku pelan-pelan. Sampai setengah cangkir habis. Aku tidak mau main game online karena jika Fera tiba-tiba selesai dengan obrolannya, aku mesti rela kalah lagi di tengah permainan. Satu persatu kentang gorengnya yang mulai dingin aku makan. Dia masih saja setia berbincang dengan entah siapa itu, dengan ekspresi tidak nyaman.
Demi membunuh waktu, aku bermain Candy Crush. Game satu ini paling aman.
Benar saja. Di tengah permainan, Fera menghampiriku dengan iPhone di genggamannya. Layarnya mati.
Dia kembali duduk di sisiku. Aku diam menatapi matanya, menunggu sampai dia bercerita. Aku yakin ada yang ingin dia sampaikan padaku.
"Besok aku akan pergi ke Pangandaran. Pulang ke rumah, ada hal yang mesti ku bereskan." Fera mengatakannya dengan tak rela. Sama seperti telingaku yang tak menyukai apa yang baru saja didengar. "Tidak akan lama. Hanya mengurus beberapa dokumen."
"Mendadak sekali."
Dia menghela napas berat, "ya."
"Tidak bisa nanti saja? Weekend, biar aku bisa ikut ke sana. Kita bisa main dulu ke pantai. Batukaras, mungkin? Madasari?"
"Kalau saja bisa diundur beberapa hari. Tapi aku harus segera mungkin ke sana." Aku tahu bahkan dia tidak menyukai ucapannya sendiri. "Kamu jangan nakal aku tinggal ya."
"Nakal bagaimana?"
"Jangan pokoknya. Kalau sampai kamu nakal ke orang lain, aku pasti akan tau." Tatapannya mengancam saat mengucapkan beberapa kata terakhir. Bukannya takut, aku malah gemas. Fera yang galak begini malah membuatku makin menyukainya.
"Aku kan anak baik, masa aku akan nakal kamu tinggal?" Aku terkekeh.
"Pokoknya aku akan tau Kat. Pasti."
"Iya." Aku mengusap kepalanya, mengacak rambutnya sedikit, membuat alisnya jadi berkerut.
Tanpa mesti diminta, kami sepakat untuk tidak membahas besok pergi ke Pangandaran. Fera mulai asik dengan adobe dan aku membaca komik di ponselku. Fera menjadikan pundakku sebagai sandaran kepalanya dan sesekali aku menyuapinya kentang goreng.
"Kat, nanti malam kamu tidur di tempatku ya. Bantu aku packing." Pinta Fera di sela-sela mengunyah kentang.
"Aku tidak kamu packing juga?"
Fera meninju pundakku pelan, "jangan bilang begitu, Katina."
Dan benar saja. Malamnya aku berada di kamar Fera, mengemas pakaiannya ke ransel. Menyiapkan peralatan mandi, merapikan pouch berisi peralatan make up, sampai memasukkan beberapa kabel untuk keperluan elektroniknya. Aku yang melakukan semuanya. Dia diam di kasurnya sambil sibuk berkutat dengan laptop dan iPhonenya. Aku tidak boleh lupa untuk memasukkan laptop dan charger ke ransel. Dia pasti ingin membawa laptopnya juga.
Aku mempersiapkan ransel Fera untuk pergi selama empat hari. Semoga cukup. Toh, di sana dia pasti akan ke laundry.
"Sayang, siapa tahu aku lupa. Ingatkan kalau nanti setelah kamu beres pakai laptop, masukkan ke ransel ya. Sama charger." Aku membaringkan tubuhku di sisinya. Masih belum ganti baju. Sudah gerah ingin mandi tapi malas ke kamar mandi.
"Mandi sana." Pas sekali Fera mengucapkan itu. Membuatku makin enggan untuk mandi. "Katina, mandi sana." Dia mengulangi kalimatnya lagi. Membuatku bangun, lalu menghampiri lemari bajunya. Mengambil kaus milikku di lemarinya. Juga celana pendek berbahan katun dengan motif burung hantu.
"Kamu tidak mandi, Fer? Mau bareng?"
Fera menggeleng. "Tadi sore aku datang bulan." Sahut dia ketus.
Ah, oke. Malam ini bisa jadi sangat panjang atau bahkan sangat singkat. Menghadapi perempuan yang sedang datang bulan apalagi di hari pertama atau kedua itu memang bikin panik dan berdebar-debar. Khususnya menghadapi Fera.
Pantas saja tadi dia menyuruhku packing dengan wajah galak. Untung cantik.
Esoknya, jam setengah sembilan pagi kami sudah sampai di stasiun. Aku mengantar Fera dengan meminjam motor Rama yang kujemput dulu di kontrakannya jam tujuh. Aku mesti keliling isi bensin sekaligus beli sarapan untuk Fera yang sudah menekuk muka sedari bangun tidur. Ada sebersit perasaan tak rela saat melepas Fera untuk naik kereta pemberangkatan ke Banjar setengah jam lagi.
"Jangan lupa bikin catatan selama kuliah ya. Kabari kalau ada tugas atau apapun itu." Katanya, sambil memegangi kedua tanganku.
"Ya, Fera. Pasti aku akan lakukan itu."
"Kamu ingin apa dari Pangandaran?"
Aku berpikir sejenak dan tidak menemukan apa-apa. Tapi Fera menunggu jawaban dari mulutku jadi aku bilang "aku ingin kamu saja."
"Kamu bilang ingin main ke pantai, kan? Batukaras atau Madasari? Nanti aku bawakan pasir pantai dan kerangnya."
"Benar?"
"Ya. Tentu."
Aku memeluknya. Bukan sebagai bentuk ucapan terimakasih karena dia berbaik hati akan membawakanku pasir pantai dan kerang. Tapi memeluknya karena aku ingin merasa memilikinya sebelum dia pergi meninggalkanku walau hanya untuk beberapa hari.
Berlebihan memang.
Aku menunggu sampai kereta yang dinaiki Fera berangkat. Setelah itu membawa motor Rama ke kampus. Dia ada kelas jam 10 dan aku diminta memarkirkan motornya di lahan parkir samping gedung fakultas.
Sesampainya di parkiran dan motor Rama sudah manis tersimpan berjajar dengan motor lainnya, aku sadar akan sesuatu. Tepat di belakangku, ada seseorang yang baru saja memarkir motornya. Kini aku menatapi orang tersebut yang juga sedang menatapku. Kami saling diam beberapa saat sampai dia terlebih dulu mengambil langkah, membelokkan pundaknya lalu berjalan meninggalkanku.
Ghani. Semakin dingin setiap hari. Ingin rasanya aku menceburkannya ke pemandian air hangat biar sikap bekunya itu mencair walau sedikit.
Atau, apa akunya saja yang memang terlalu berlebihan padanya?
☘️
Menuju penghujung hari, sebelum tidur, aku mengambil buku sketsaku dan menarik selembar kertas dari Aurora. Kuhampiri scanner yang merangkap dengan printer. Kunyalakan semua mesinnya dan menghubungkannya pada laptop. Selembar kertas itu aku balik untuk siap discan. Saat itulah aku sadar bahwa ada tulisan di balik bagian permukaan gambar.
Ayo melukis bersamaku.
Temui aku di studio lukis 1.
Sepertinya aku memang harus membuang kertas ini saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top