Keychain

Katina, ayo kita makan malam.

Dimana?

Tunggu saja. Nanti aku jemput setengah jam lagi.

Ok.

Aku bergegas cuci muka. Tadi itu chat Aurora dan aku di direct message instagram. Kita belum saling follow. Dia duluan yang memulai obrolan. Foto dan nama akun instagramku itu tidak ada "Katina"nya sama sekali. Tautan foto saja tidak aku aktifkan. Bahkan isi postingannya saja hanya beberapa karya desain dan beberapa hasil jepretan fotografi yang sama sekali tidak memunculkan sosok manusia. Tapi dia dengan yakinnya mengirim pesan padaku langsung seperti percakapan di atas.

Kehadiran Aurora ini sukses menyita bagian dari pikiranku. Kalau saja anak ini bisa jadi bahan skripsiku, aku makin senang hati memikirkan Aurora. Sayangnya, dia hanya adik tingkat beda empat angkatan yang penuh kejutan dan punya mata amber memikat. Astaga, aku memikirkan mahasiswi yang baru saja memasuki dunia perkuliahan. Eh, tapi, siapa tau dia dua tahun kerja dulu atau bagaimana.

Sudahlah. Jangan menduga-duga. Salah duga malah bikin makin bingung sama Aurora.

Setelah wajahku sudah segar, aku mulai memoleskan make up. Sederhana, tapi terlihat. Aku berusaha untuk tampil rapi, cantik, dan mengesankan. Aku tidak tahu dia akan membawaku ke mana. Kalau aku memakai baju yang terlalu rapi, takut salah kostum. Kalau terlalu santai, takut terkesan tidak antusias.

Ah tapi untuk apa terlalu memikirkan hal seperti ini? Dia hanya Aurora. Bukan siapa-siapa. Aku pakai baju yang biasa kugunakan saja. T-shirt, jaket, jeans, bot. Selesai.

Katina, aku sudah di depan kosanmu.

Ok. Tunggu sebentar.

Bahkan anak ini tahu alamat tempat tinggalku. Aku sudah di luar kamar, hendak mengunci pintunya. Tapi aku teringat sesuatu lalu buru-buru aku masuk lagi, menghampiri meja, mengambil sesuatu dan memakainya. Perfume. Oke, oke, aku mulai berlebihan tapi aku benar-benar ingin makan malam ini mengesankan sekalipun ternyata Aurora membawaku ke angkringan di Taman Sari atau di mana, terserah.

Dengan berlari kecil aku menuruni tangga dan membuka pagar dengan agak terburu.

"Katina santai saja. Sudah tidak sabar jalan sama aku, ya?" Kata Aurora yang sudah berdiri di samping pintu pagar. Membuatku agak terlonjak karena sama sekali tidak menyadari keberadaannya di sana sebelumnya.

"Hah! Aku cuma tidak enak membuat kamu menunggu."

"Ini." Dia menyodori helm yang dilapis kulit sintetis padaku. Tanpa basa-basi lagi aku langsung menerimanya kemudian mengikuti Aurora menghampiri motor sport yang sudah dimodifikasi sana sini oleh pemiliknya. Dia menaiki motor itu dan entah kenapa tubuhnya yang ramping itu terlihat pas-pas saja dengan badan motor yang gagah. "Ayo" katanya, sambil memakai helm full face yang kalau ditutup, dan dia pakai jaket tebal, mungkin tidak ada yang bakal manggil dia "teh" di jalanan.

Aku naik dengan ragu. Lalu mengecek isi saku jeansku di bagian kiri. Pisau lipatku ada di sana, aman. Jika terjadi sesuatu, aku bisa menggunakannya.

Perjalanan dari tempatku ke jalan Dago terasa jauh. Ditambah dia terus memacu motornya menaiki jalanan aspal yang makin lama makin menyempit sampai ada beberapa jalanan yang hanyalah tanah dan bebatuan lalu kembali lagi ke aspal. Aku tidak mau bertanya lagi ke mana dia akan membawaku karena dia tidak akan menjawabnya. Aku sudah mencobanya dua kali, jika pertanyaan yang sama kuucapkan sebanyak tiga kali dan masih tidak mendapatkan jawaban, aku akan kesal. Jadi aku diam.

"Katina?"

"Ya?"

"Oh. Ada. Ku kira tertinggal."

"Adaa." Sahutku malas.

"Iya, ada."

Aurora kemudian menepi, memarkirkan motornya di sebuah halaman kedai kopi yang bersebelahan dengan tempat makan.

Aku langsung turun. Menyimpan helm di motor, lalu mengamati bentuk arsitektur bangunan dan interiornya.

"Katina suka kopi, jadi aku bawa ke sini." Tanpa permisi Aurora menarik tanganku untuk mengikutinya masuk ke kedai.

Saat pintu terbuka, aroma khas kopi langsung menerpa wajahku. Menggodaku untuk meneguk pahitnya.

Aurora terus membawaku sampai ke bagian ujung. Rupanya dari sini aku bisa melihat pemandangan indah langit malam walau hanya ada sedikit bintang dan keelokan cahaya Bandung di malam hari.

"Permisi, reservasi atas nama Aurora?" Tanya seorang waitress berseragam rapi yang tiba-tiba muncul sambil membawa menu.

"Ya." Sahut Aurora singkat. Matanya terfokus pada gemerlap Bandung di bawah sana.

"Silakan duduk, ini menunya. Saya tinggal dulu, kalau ingin memesan atau ada yang ditanyakan bisa langsung panggil saya. Terimakasih."

Aurora mengangguk sembari menerima buku menu dan memberikan senyum manisnya pada waitress itu. Dia lalu duduk di sofa yang menghadap pemandangan indah ini. Tanpa diminta, aku duduk di sisinya karena menginginkan pemandangan yang sama.

Kami membaca buku menu bersama, memilih, lalu memesan. Aurora bilang kopi di sini diolah dengan sangat baik dan rasanya tidak mengecewakan. Dia menceritakan tentang beberapa jenis kopi dan membanggakan tempat ini karena memiliki jenis kopi yang dia sebutkan tadi. Aku melihat matanya berbinar saat membahas kopi. Sama cemerlangnya dengan cahaya bintang paling terang di langit saat ini.

"Kamu pecinta kopi, ya?" Tanyaku.

Pipinya merona. Seakan aku baru saja menyebutkan nama kekasih yang sangat dicintainya.

"Ya. Kopi itu, membuatku merasa lebih hidup."

"Hidup karena jadi lebih terjaga berkat kafein?"

"No, lebih dari sekedar kafein. Yang jelas kopi bisa membuatku merasakan sensasi mirip jatuh cinta. Juga, kopi itu bisa mempertemukan beberapa manusia dengan cara tidak terduga. Seperti itulah."

Semua pesanan kami sudah datang dan Aurora masih asik membahas kopi. Kalau saja aku tidak menyukai kopi, ini akan menjadi malam yang sungguh membosankan.

Kami makan dengan dia sesekali mengoceh tentang sajian kopi. Perbedaan cappuccino dan cafe latte. Long black dan americano. Sampai makanan kami habis dan hening mulai menyelimuti kami.

Aku tersenyum sambil menikmati pemandangan di hadapanku. Titik-titik lampu yang berserakan, menghampar di bawah sana. Melihat Bandung di malam hari itu indah. Apakah Aurora juga tahu, bahwa aku sangat suka melihat titik-titik cahaya di dalam gelap? Dan melihat Bandung dari ketinggian seperti ini sambil meminum kopi adalah cara terbaik untuk membahagiakan diri.

"Katina, jika tidak keberatan, aku ingin cerita tentang diriku."

"Cerita saja, Rora. Dengan senang hati aku akan dengar." Bicara kopi saja aku dengar apalagi membahas tentang dirimu yang penuh misteri ini. Jelas aku ingin tahu.

"Tapi sini, jangan jauh-jauh dari aku. Dingin." Dia membentangkan tangannya, membuatku tertawa, dan aku menurut saja untuk menggeser posisi dudukku jadi di sisinya. Dia merapatkan lagi jarak yang tersisa di antara kami lalu memelukku.

Hangat.

Dia membuatku sangat nyaman dan merasa luar biasa spesial pada detik ini. Entah setelah dia bercerita. Mungkin kenyamanan ini akan musnah. Jadi, aku balas memeluk dia, sebelum segalanya buyar.

"Aku menyukai seorang laki-laki yang salah." Dia mempererat pelukannya, membuatku melakukan hal serupa padanya. "Awalnya dia manis padaku. Ku kira, dia juga menyukaiku. Ternyata dia menyukai orang lain."

"Aku ikut sedih, Rora."

"Padahal, dia adalah laki-laki pertama yang bisa membuatku suka. Aku selalu menyukai perempuan, Katina."

"Dia pasti laki-laki tampan."

"Ya."

"Dan berkesan."

"Emm, cukup berkesan. Tapi ternyata aku menemui orang yang lebih berkesan."

"Oh ya? Kamu sudah move on dong berarti. Selamat ya." Entah mengapa di sini senyumku mengembang.

"Belum, Katina. Aku masih menyukai lelaki itu dan berharap dia menyadari bahwa ada aku untuknya, dan perempuan yang dia suka tidak akan pernah jadi miliknya."

Aku tidak paham mengapa senyumku memudar.

"Ah, ya. Kalau nanti Kak Fera sudah kembali, aku tidak bisa janji akan bersikap manis seperti ini pada Katina."

"Mengapa?"

"Aku takut sama Kak Fera. Wajahnya galak. Jadi kalau Katina sedang bersama Kak Fera, aku hanya ingin diam. Cuma ingin memandangi Katina dari jauh saja. Aku tidak akan mengganggu kalian."

Justru diam dan caramu menatapku itulah yang menggangguku, Aurora! Argh.

"Oh, jadi di sini ada yang takut sama Fera rupanya. Sampai kalau bertemu, jadi ketus sekali dan sombong sama aku?" Aku menaikkan kedua alisku, menggodanya. Dia melepaskan pelukannya padaku lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Cute.

"Argh, Katina jangan bilang begitu. Aku malu. Habisnya muka galak Kak Fera bikin seram. Dulu aku pernah dimarahi Kak Fera waktu masa bimbingan mahasiswa baru." Wajahnya jadi sedih, membuatku tertawa. Kasihan juga adik tingkatku satu ini sudah jadi korban kegalakan Fera di himpunan.

Aku mengusap-usap pucuk kepalanya yang lebih tinggi dariku, tersenyum manis padanya sambil bilang, "Fera cuma menjalani perannya sebagai komisi disiplin. Aslinya dia manis." Terjadi jeda beberapa detik, "tapi kamu ada benarnya. Kadang Fera bisa galak dan menyeramkan."

Aurora terbahak.

Aku tidak tahu bagian mana yang lucu tapi tawanya itu sukses menjauhkan tanganku dari kepalanya. Ah. Padahal rambutnya itu halus. Bikin betah mengusap dan ingin mengacak rambutnya.

"Katina tunggu sebentar ya, aku mau ke toilet."

"Ya." Aku mengangguk, mengambil cangkirku yang masih menyisakan sedikit kopi. Yang Aurora bilang tentang kualitas rasa kopi di sini benar. Aku baru mencoba satu macam tapi langsung menyukainya dan memiliki kesan tersendiri saat meneguknya. Sweet after taste.

"Buatmu."

Sebuah gantungan kunci berbentuk moka pot menggantung di jemari Aurora di depan mataku. Dia ada di belakangku, tangannya bertumpu pada sandaran sofa, seperti ingin memelukku dari belakang.

"Biar Katina selalu ingat rasa kopi yang diminum bersamaku di sini."

Aku mengambil gantungan kunci itu, menoleh ke belakang, tepat pada wajah Aurora yang hanya sejengkal dengan ujung hidungku. "Terimakasih."

"Dipakai ya."

Aku mengangguk.

"Mau pulang sekarang?"

Aku mengangguk lagi. Dia berdiri tegap, menyodorkan tangannya untuk kusambut. Jika saja Aurora tidak bercerita tentang lelaki yang disukainya, aku akan mengira bahwa perempuan ini benar-benar menyukaiku.

Aku menyempatkan diri untuk menghampiri kasir tapi Aurora menarikku menjauh. "Sudah dibayar."

"Kenapa? Aku juga kan mau bayar."

"Tidak apa. Aku ingin treat Katina malam ini. Jangan menolak, Katina." Dia merangkulku, membiarkanku ada dalam dekapannya sambil berjalan ke parkiran.

Membuatku lupa kalau aku sedang di kawasan Dago Atas pada malam hari yang dingin. Aurora bisa bersikap semanis ini. Lelaki mana, sih? Bisa-bisanya tidak menyadari betapa manisnya Aurora? Perempuan ini juga menarik, cantik, dan punya gaya yang khas. Tampilannya yang casual tapi berkesan dan pembawaannya yang sungguh artistik, menegaskan bahwa dia adalah seniman berjiwa bebas, sebenarnya memikat. Aku yakin yang menyukai Aurora bukan hanya satu atau dua, bahkan pasti melebihi jumlah jemari.

Di tambah, kutegaskan lagi, matanya itu sungguh memikat. Daya tarik utamanya selain tampilannya yang artistik namun sederhana adalah manik matanya.

Dia menyodori helmnya. Menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu banyak berkhayal. Padahal cuma sepanjang jarak pintu kedai sampai parkiran.

"Ayo naik, Katina."

Dia sudah siap melaju, tapi aku malah terpaku menatapnya menyeluruh. Motornya juga keren. Dia keren. Apa lelaki itu merasa kalah keren?

"Katina? Katina baik-baik saja?"

"Ya." Aku langsung menaiki motornya dan dia pun mulai membawa kami pulang dengan kembali melindasi aspal.

Sepanjang perjalanan aku diam. Pikiranku sibuk menerka-nerka hal yang sama sekali tidak perlu aku pikirkan. Urusan Aurora bukan urusanku. Tapi aku penasaran dengan lelaki yang diceritakannya. Ingin bertanya, bingung bagaimana memulainya. Lagipula dari cerita dia di tempat kopi tadi, dia tidak mau memberitahu siapa lelaki itu.

"Katina?"

"Aku ada kok, tidak tertinggal."

"Aku dingin. Peluk aku."

"Eh?"

"Katina, peluk aku."

Aku menurut. Kasihan juga dia kalau sampai menggigil beku. Kalau tiba-tiba tangannya kebas lalu badannya terlalu kaku dan dia tidak fokus, bisa-bisa dari Dago kita lurus terus dan berakhir di rumah sakit Borromeus.

Ternyata, memeluk Aurora seperti ini di motor membuatku merasakan sensasi yang berbeda. Rasanya, nyaman dan aman. Aku menyandarkan daguku di bahunya. Tubuhnya terasa pas sekali untuk kupeluk dari belakang.

"Hangat. Terimakasih ya." Katanya.

"Sama-sama. Oh ya Rora, maaf lancang bertanya, berapa usiamu?"

"21."

Ternyata, hanya beda satu tahun denganku. Tapi kami beda empat angkatan. Baiklah. Masih banyak yang belum kuketahui dari adik tingkatku ini.

Wait.

Hanya beda satu tahun.

"Kamu habis pindah jurusan atau bagaimana?"

"Aku main dulu satu tahun, lalu kerja satu tahun. Berhenti kerja, kuliah."

"Wah, kamu kerja apa sebelumnya?"

Hening. Dia tidak menjawab pertanyaanku sampai satu menit berikutnya dan kami tetap asik melintasi jalanan Bandung malam hari. Terlalu lama sampai aku enggan untuk mengulangi lagi pertanyaanku yang sudah dibawa angin entah kemana. Apa Aurora tidak mendengar pertanyaanku? Apa tadi aku bicara di saat ada kendaraan bising melintas? Ah, tidak.

Mungkin pertanyaanku memang hilang diculik angin sebelum sampai ke telinganya.

Atau memang aku tidak berhak mendapatkan jawaban darinya karena dia tidak mengizinkanku untuk mengetahuinya.

Dia terus saja diam. Begitu pula aku, sampai kami sampai di depan pagar kontrakanku.

Aku melompat turun, mengembalikan helmya. "Terimakasih untuk malam ini, Rora."

"Terimakasih juga sudah mau menemani."

"Iya." Aku mengambil kunci, membuka pintu gerbang. Dia masih saja diam di motornya memandangiku.

"Katina."

"Ya?" Aku menoleh padanya saat pintu gerbang sudah membuka.

"Dulu aku barista."

Aku tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top