Bram
"Kita mesti tetap butuh bantuan orang lain untuk membereskan kekacauan ini, Kat." Suara Fera pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya berkat segala keheningan di ruangan ini.
"Aku panggil Aurora ya, karena karya dia juga ikut kena."
Fera mengangguk. Entah perasaanku saja atau bagaimana, dia terlihat agak pucat. Setelah aku menghubungi Aurora yang sepertinya baru bangun, anak itu datang dengan cepat. Tidak lama setelah adzan subuh beres, Aurora sudah ada di ruangan ini dengan kalimat pertama yang dia ucap adalah "ikan siapa yang mati?"
"Ada darah di bingkai. Kenapa ikan?" Tanyaku.
"Ini bau amis ikan mati." Ujarnya bersikukuh. Dia lalu berjalan menghampiri beberapa titik sampai akhirnya dia menemukan apa yang dia cari.
Astaga kalau bukan karena Aurora, aku tidak akan sadar kalau ada beberapa bayi-bayi ikan yang tergeletak tak bernyawa di sudut lantai, bagian siku yang menempel pada dinding. Tidak jauh dari karya kami.
Jadi aroma amis ini bukan dari darah?
"Darah kan nggak seamis ini." Ucapan Aurora secara kebetulan menjawab pertanyaan dalam hatiku. "Tapi ini darah siapa?"
"Berhenti bertanya ini itu punya siapa! Justru kita nggak tahu. Tapi kita mesti beresin ini dan jangan bikin heboh. Kalau memang nggak mau minta bantuan panitia lain." Fera mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan agak gagap.
"Kak Fera kenapa?" Aurora melirik perban yang melingkar di lengan Fera, lalu dia menoleh pada bercak darah di bawah bingkai.
"Aku sakit kepala dengar pertanyaanmu terus."
Aurora langsung diam. Dia lalu beranjak pergi tanpa penjelasan apapun.
"Fer, kamu ingin cerita sesuatu?" Aku mendekati Fera lalu mengusap punggung tangannya dengan lembut.
"Aku takut Kat, aku takut. Ini semua nggak benar dan nggak mestinya terjadi. Aku takut semuanya bertambah buruk. Luka ini dibuat oleh orang lain. Dan kalau kamu ingin tau, aku curiga dan entah kenapa aku yakin kalau darah di lukisan itu adalah darah aku." Kini matanya berkaca-kaca. Buru-buru aku mengusap butiran pertama yang tergelincir di pipi halusnya dengan jemariku.
"Halo?"
Mata Fera terbelalak, mulutnya agak menganga. Aku tau dia benar-benar shock.
"Orang itu mengucap kata itu saat dia pergi meninggalkan aku!" Bibirnya kini agak gemetar. Membuatku jadi ikut panik. "Kat, mana ada orang yang pergi tapi bilang halo?"
Aku kehabisan kata-kata (bahkan authornya juga nyaris ikut kehabisan kata-kata). Yang bisa kulakukan hanyalah memeluk Fera, berusaha menenangkannya, sambil mengusap kepalanya pelan.
Aurora muncul lagi. Kali ini dengan ember, gagang pel, dan beberapa kantung plastik. "Nodanya cuma ada di sini saja, kan?" Tanyanya sambil mulai menjadikan satu kantung plastik jadi sarung tangan lalu dia memunguti bangkai-bangkai ikan dan memasukkannya ke kantung plastik yang lain.
"Ya, hanya di karya kita. Dan, di lukisanmu, ada serpihan abu."
Aurora terbeku sejenak dengan pose jongkok agak nungging sambil menyomot ikan mungil. "Oh oke. Nanti aku bereskan juga."
"Aku sudah bilang hari ini pameran buka lebih siang. Jadi semua pintu bisa dikunci rapat dan kita di dalam sini bisa beres-beres." Kesadaran sudah mulai kembali. Bibirnya sudah tidak gemetar lagi.
"Iya, tak apa. Kalian tenangkan diri saja. Biar aku yang membereskan ini."
"Rora, di balik bingkai juga bayak noda darahnya. Mau kamu apakan?"
"Ha?" Aurora yang sudah beres memasukkan semua bangkai bayi ikan langsung berdiri dan mengangkat bingkai sampai dia bisa melihat punggungnya.
"Damn!" Aurora langsung menoleh pada Fera dan aku bisa menangkap dengan amat jelas walau keadaan ruangan cukup remang, bahwa tatapan Aurora benar-benar dipenuhi rasa tidak suka yang sangat mendalam pada Fera.
"Your blood, huh?"
Fera menatap Aurora tidak percaya. "How could you?"
"Bram, kan?" Kini ada tatapan marah dari Aurora.
"Kamu....."
"Bodoh. Setidaknya jaga jarak, hindari dia! Pasti Bram yang bikin luka itu!" Aurora menunjuk lengan Fera yang diperban.
"Siapa Bram?!" Kali ini aku yang marah. Merasa paling tidak tahu apa-apa. Mengetahui mereka menyembunyikan sesuatu yang sepertinya penting dariku membuatku merasa sama sekali tidak dianggap berarti oleh mereka.
Keduanya menatapku dengan diam. Bingung. Tidak ada yang mau berbicara.
"Tidak ada yang mau menjawab?" Nada bicaraku sudah berubah menjadi sinis.
"Dia mantanku dulu di sekolah."
"Dia lelaki yang pernah aku suka itu."
Keduanya menjawab nyaris bersamaan tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas dan tidak mungkin tertukar. Suara sopran Fera dapat dengan mudah dibedakan dengan suara khas Aurora.
"Shit!" Fera mengumpat lagi untuk Aurora.
"What?"
"Seleramu payah!"
"Why? He's hot! Hot troublemaker."
"Gila. Sakit jiwa. Sana makan kegilaan dia itu sampai puas!"
"I do! Dan sudah cukup. Dia makin ke sini makin tidak menarik."
"ASTAGA SEBENARNYA INI ADA APA?!"
"Ssh! Jangan teriak, masih pagi." Aurora menghentakkan gagang pel dengan geram. "Kalian kalau tidak mau membantuku beres-beres lebih baik diam saja. Pikirkan saja bagaimana cara mengeyahkan mantan kak Fera itu."
"Dia itu pujaan hatimu." Ledek Fera.
"Dia itu mantan kekasihmu. Dia tidak pernah ada hubungan denganku."
"Kamu jatuh cinta padanya dan aku tidak."
"Kak Fera bermesraan dengannya dan aku tidak."
"Aku tidak pernah bermesraan!"
"Pacaran macam apa yang nggak ada bermesraan?"
"Ada! Aku dan dia!"
"Tapi dulu kak Fera pernah memanggilnya sayang!"
"Sayang dalam artian kesal karena dia itu amat menyebalkan! Paham nggak? Ha?"
"Nggak! Jujur aja kenapa sih dasar mantan pacarnya!"
"Bisa diam nggak? Diam deh diam." Aku mulai tidak nyaman dengan pertikaian dua perempuan ini. Untunglah mereka menurut. Aurora kembali melanjutkan kegiatannya membersihkan darah di lantai. Fera kini terduduk lemas dengan tatapan yang nyaris kosong. Aku berusaha mengambil fokus perempuanku lagi. Kalau sampai dia kerasukan atau ngigau di situasi begini bakal makin runyam nantinya.
"Ferrari, ada yang mau kamu ceritakan? Hem?" Tanyaku lembut.
Dia mendongak sedikit agar tatapan kami sejajar.
"Aku tidak tau mau cerita darimana, bahkan aku tidak tau mau cerita apa. Kat, tidak semestinya kamu terlibat. Kalau kamu ingin marah, kamu boleh marah padaku. Mungkin, aku layak dibenci. Tapi aku selalu berusaha untuk membuatmu aman. Maaf kali ini aku lengah."
Aku memeluk perempuanku lagi, mencoba menenangkannya dalam dekapanku. Padahal yang ingin aku dengar adalah penjelasan mengenai si Bram itu. Namun tidak mungkin aku menanyakannya. Biarkan saja Fera yang menceritakannya sendiri tanpa kutanya. Biar dia jadi merasa jauh lebih nyaman. Aku tidak mungkin memaksanya di saat seperti ini, kan?
"Kamu pasti penasaran sama Bram." Akhirnya, Fera mengatakan itu. "Tapi seandainya kamu tau dia, apa yang bakal kamu lakukan, Kat?"
"Ingin dia segera menyelesaikan apa yang dia mulai. Menjadikannya baik seperti semula."
"Dengan cara?"
"Biarkan dia lakukan dengan caranya sendiri?"
Fera gusar, "tidak bisa semudah itu."
"Harus jadi bisa."
Dan obrolan ini berakhir dengan aku tidak mendapatkan kejelasan tentang Bram. Jam 10 gedung dibuka yang semestinya sudah mulai ramai di jam 7 pagi dengan beberapa rangkaian kegiatan. Jam 9 lebih, aku pergi diam-diam tanpa mengabari Fera ataupun Aurora. Mereka sedang sibuk untuk menata beberapa tempat dan ngobrol sama panitia lain.
Aku pergi ke sebuah tempat untuk mendapatkan kopi. Aku ingin menenangkan pikiran dan emosiku dulu. Urusan lantai kamar dan kaca jendela yang retak biar nanti saja. Aku pasti akan mengganti kerugian ibu kos. Mengganti kaca dan keramik. Ah memang sungguh iseng si Bram ini. Niat sekali.
Tapi, ada alasan lain mengapa aku pergi, aku kesal. Sungguh. Mengapa mereka menyembunyikan Bram ini dariku?
"Kue?" Ghani datang ke sofa ruang barnya dengan tangan menyodorkan toples kue jahe padaku.
"Mau." Aku mengabil toples itu dan mengambil sebuah kue jahe yang tidak mirip seperti kue jahe dalam pikiranku. Ku kira akan berbentuk seperti boneka natal itu, yang menemani Shrek menjemput Viona saat dua ogre itu berubah jadi manusia.
"Kopi buatanmu makin enak loh." Serius ini bukan basa-basi. Aku benar-benar memuji racikannya.
"Thanks." Dia tersenyum senang. "Kamu tidak stay di pameran?"
"Malas." Kataku.
"Loh, kenapa? Ada masalah apa?"
Aku menghabiskan dulu kue jahe di mulutku, lalu membenarkan posisi duduk, menyamping di sofa demi bisa menatap Ghani yang duduk satu sofa denganku agar jelas. "Kamu kenal Bram?"
Ghani terdiam cukup lama. Ekspresinya benar-benar datar. Sungguh sulit ditebak. Setelah diam terus begitu, kadang alisnya terangkat sebelah, sekali momen dia terlihat seperti menahan tawa, dan terakhir raut wajahnya jadi sedikit kusut. Dia berpikir keras.
"Ghan? Are you there?"
"I am. So, tadi kamu nanya apa?"
"Hah." Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa. "Memang semua orang sedang menyebalkan hari ini." Kataku, lalu mengambil lagi sepotong kue jahe. Benar-benar potongan, maksudku, ada kue yang terpotong, jadi aku ambil sebagiannya satu-satu. Rasanya enak juga.
"Mau kubuatkan minum lagi? Matcha? Cokelat?"
"Mau. Matcha."
"Oke, tunggu sebentar." Ghani langsung melesat ke balik bar dan mulai meracik.
"Ghan, kamu tidak bosan sendirian terus di rumah?"
"Nggak. Lagian aku bisa ngerjain banyak hal di rumah."
"Bikin minuman?"
"Salah satunya."
"Salah lainnya?"
"Bikin patung, main game."
"Kamu nggak ke pameran?"
"Tidak. Aku di sini."
"Baru Lana yang datang lihat karyaku. Kamu sebegitu nggak mau datang ya karena aku?"
"Katina mau coba matcha tabur cokelat?"
Aku belum pernah mencoba matcha ditaburi cokelat sih, tapi mungkin enak. "Boleh."
"Oke."
Aku mendengar suara mesin frothing yang beradu dengan susu dalam milk jug. Suaranya enak sekali. Menunjukkan Ghani memang lihai dalam menggunakannya dan bisa membuat froth milk dengan hasil yang amat pas.
"Nanti sore kita ke pameran ya. Masa senimannya hilang. Dan kamu tidak mengabari siapapun di sana, kan?"
"Kamu tau dari mana aku nggak mengabari siapapun?"
"Fera chat aku. Katanya nomor kamu tidak aktif."
Setelah minuman jadi, kami asik mengobrol dan dilanjut dengan main video game. Di luar sana langit mendung, awan gelap terus saja kian banyak membawa hawa yang bikin gerah. Menjelang sore, hujan mulai turun dari yang awalnya rintik menjadi langsung deras. Ghani dengan cekatan menutupi jendela agar tidak ada cipratan air yang masuk. Kali ini hujan angin, dan cukup membuatku ngeri.
"Kita nggak jadi ke pameran kan? Hujannya serem gitu."
"Tetap jadi. Naik mobil."
Hah, Ghani ini memang keras kepala. Tapi sedari tadi aku memikirkan sesuatu yang begitu mengganjal dalam benakku tapi aku tidak tahu apa itu. Hanya saja, aku merasa aneh. Seperti banyak sekali pertanyaan dalam benakku namun aku tidak begitu ingat dan rasanya pertanyaan-pertanyaan itu sudah terlontar namun belum mendapat sahutan.
Aku mengamati Ghani yang begitu tampan dengan postur tubuhnya yang ideal. Lengannya jelas kekar namun dalam kadar yang amat pas. Bukti dari betapa dia sering mengangkut benda berat, menggunakan tenaga lengannya untuk mengolah berkilo-kilo logam menjadi bentuk kekaryaan murni yang estetik. Lelaki itu saat ini sedang berdiri menghadap jendela besarnya yang dicumbui air hujan bertubi-tubi. Kepalanya menengadah, matanya menatap langit yang sialnya mulai nampak kembali cerah. Membuat alasan untuk tidak datang ke pameran semakin nihil saja.
"Kat, kalau kamu tau siapa Bram, apa yang bakal kamu lakukan?"
Aku agak tersentak, teringat pertanyaan Fera pagi tadi. "Aku akan mengakhiri apa yang dia buat. Karena, tidak penting siapa yang mulai, tapi, siapa yang mengakhiri semuanya. Dia tidak sepenting itu untuk terus bermain tanpa ada akhirnya."
"Brama Astana Jingga. Dia orangnya. Jadi kamu ingin mengakhiri semuanya dengan cara apa? Apakah dengan tanganmu sendiri? Atau kamu butuh orang lain untuk ikut menyudahinya Kat? Karena aku pun ingin membuat dia selesai. Dia sudah mengganggumu sampai sejauh ini. Kamu memang tidak cerita tentang batu yang masuk ke kamarmu. Tapi bukan berarti aku tidak tahu. Aku juga ingin membuat perhitungan dengan orang itu."
Kepalaku sibuk mencerna ucapan Ghani yang tidak mau kupercayai pada awalnya.
"Kamu tau siapa yang mengajariku membuat kopi? Dia adik tingkat kita. Namanya Aurora Malena. Keponakan dari teman dekat kakak sepupuku. Aku juga tau Aurora suka padamu. Kamu tau Kat? Aurora mencintai Brama, tapi rupanya kamu bisa mencuri cintanya itu. Perempuan itu juga mencintaimu, sampai menepis Brama begitu jauh. Dan lelaki itu sedang mencari peruntungan dengan mendesak Fera. Kini kamu kena imbasnya. Kalau kamu berkenan, aku akan dengan senang hati melenyapkan lelaki itu."
"Tapi Ghan, Brama orang baik. Dia ramah, dia suka mencairkan suasana, dia teman kita. Selalu bersama kita. Dia baik padaku, Ghan."
"Kat, dia tidak akan melakukan semua ini kalau dia memang orang baik. Teman Aurora itu satu kosan dengan kamu. Di kamar dekat pintu. Dia aku suruh untuk jaga kamu dan dia sering bilang ada Brama di depan pagar. Kamu kira selama ini walau aku jarang bersama kamu, aku lepas semuanya tentang kamu? Aku selalu peduli padamu, Kat. Selama ini kita ditipu. Alasan lainnya hanya Fera dan dia yang tau. Entah hal apa namun itu berkaitan dengan masa lalu mereka. Ini kisah mereka yang memaksa kita terlibat di dalamnya."
Aku masih belum mau percaya. Aku lebih kenal lama dengannya daripada dengan Ghani. Ya walaupun kadar waktu tidak bisa mengukur seberapa kenal dekat kita dengan orang itu. "Kamu yakin?" Tanyaku, lebih kepada meyakinkan diri sendiri.
"Rama semalaman bersama Fera. Alasan apa lagi yang paling dekat dengan saat ini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top