; one
author's note!
:: ueuueue aku seneng banget ternyata book games ini rame. kukira bakal flop :'). MAKASI BANYAK YA SEMUA YANG UDAH NGERAMEIN ILYSM <3!!
oh ya, narasi mungkin agak panjang ya. karena aku emang suka narasi panjang2 hehe. untuk bab 1, belum ada clue tentang pelakunya. si pelaku punya korelasi sama hilangnya anak junior di klub seni. jadi aku ga wajibin diskusi untuk bab 1 tapi kalau kalian mau, aku bakal seneng banget :D.
selamat bermain!
─── ⋅ ∙ ∘ ☽ ༓ ☾ ∘ ⋅ ⋅ ───
"Kalian udah denger belum?"
Sore itu, ruangan klub seni Hestia ramai seperti biasanya. Ada banyak junior yang masuk tahun ini, tepat saat tahun ajaran baru. Para junior sedang sibuk belajar mengenai teori garis dan bidang bersama pembimbing klub, Ms. Sonya. Sementara beberapa gadis senior nampak berkumpul di kursi belakang, bergosip ria.
"Denger apa?" tanya Aya polos.
Kana menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Itu lho, berita soal salah satu anggota klub seni kelas 11 yang hilang. Karena dia yatim piatu, dan kerabatnya tinggal jauh, gak ada satupun dari keluarganya tahu kalau dia hilang."
"Oh, gue tahu. Yang anak kelas XI-MIPA 3 itu, kan?" tanya Adhis memastikan.
"Serius?" Aruna melebarkan bola matanya. "Kok kejadian gede kayak gini gak ada ribut-ribut di sekolah, sih?"
Kana menjentikkan jari. "Nah, itu dia. Gue rasa ini kasus emang ditutupin sama sekolah. Gatau deh, alasannya apa."
"Kasian banget ga sih. Emang dia terakhir kali dilihat dimana?" Kini giliran Freya yang bertanya, sambil sibuk mengunyah sebungkus besar keripik kentang.
"Lo makan sebanyak itu sendirian ga takut gendut?" celoteh Aruna seraya menunjuk-nunjuk bungkusan camilan milik Freya.
Freya memutar bola matanya. "Kalo lo pengen bilang aja, Na. Gue tau, kok." Gadis itu menyodorkan bungkus keripik kentangnya. Aruna menyengir lebar dan merogoh bungkus camilan itu. Dia mengeluarkan tangannya yang penuh keripik kentang.
"Lo kok ngerampok sih!" Freya terperangah melihat seberapa banyak Aruna mengambil keripiknya.
"Lo masih punya banyak, kan. Pelit amat!" balas Aruna seraya mengunyah keripiknya keras-keras hingga membuat Freya jengkel.
"Tapi itu lo ambil banyak banget anjir!"
"Eh tapi," sela Adhis, "gue pengen denger, si kelas 11 itu terakhir kali ditemuin dimana, Kan?" Adhis nampak tidak terganggu sama sekali dengan pertikaian keripik kentang di sampingnya. Dua sahabat itu sudah sering sekali beradu mulut karena masalah apapun, bahkan makanan sekalipun. Entah karena memang mereka sangat cocok atau sebaliknya.
Kana menghela napas jengah. "Di ruang klub ini."
"Berarti habis itu dia gak keliatan lagi?" Aya, yang sedaritadi hanya diam sembari melempar tatapan bombastic side eye kepada Freya dan Aruna yang tengah bertengkar mirip bocah lima tahun, mulai mengeluarkan suaranya.
"Iya," jawab Kana sambil mengangguk.
"Rasanya gue jadi penasaran banget kenapa dia bisa hilang," kata Aya kemudian. "Ruang klub ini kan aman banget. Kalau dia diculik kan enggak mungkin. Pak Satpam juga terus jaga sekolah 24 jam. Gak mungkin dong dia diculik gitu aja."
Aruna yang sudah selesai bertengkar dengan Freya-dimenangkan Aruna karena Freya lelah beradu mulut dengannya -mengangguk-anggukkan kepala. "Bener. Agak aneh juga. Kalau dia beneran diculik, apa motif penculiknya sampe nyulik anak yatim piatu gitu?"
"Gimana kalau dia bukan hilang, tapi ...." Ucapan Aya terhenti kala pembimbing klub melempar tatapan tidak suka pada mereka berlima. Ini pasti karena pertengkaran Aruna dan Freya yang membuat suasana klub menjadi agak riuh.
"Makanya kalo ngegosip tuh dikecilin dikit suaranya. Jangan kayak ayam berkokok," celetuk Joy yang tengah sibuk menggores kanvasnya menggunakan kuas dengan gerakan halus. Dia duduk cukup dekat dengan perkumpulan para cewek.
"Lo tuh gak diajak," balas Kana malas.
"Tapi kalian emang ribut banget, ladies. Bisa diem gak? Gue keganggu pake banget sama suara kalian." Kini giliran Aksara yang bersuara. Cowok itu nampak tengah bereksperimen dengan berbagai warna cat lukis di paletnya. Tercetak jelas raut jengkel di wajahnya.
"Perhatian untuk seluruh kelas 12!" Ms. Sonya mengetuk-ngetukkan spidolnya di papan. "Karena kelas 10 mendapat tugas membuat lukisan bertema lingkungan sekitar dan kelas 11 lukisan gaya kubisme, kalian yang sudah memasuki materi seni rupa tiga dimensi juga akan mendapat tugas baru. Tugas kalian adalah membuat patung manusia ukuran waist up menggunakan gips. Modelnya bebas, tapi akan lebih baik lagi kalau kalian menggunakan model orang yang paling membekas di hati kalian, karena kalian pasti akan menuangkan perasaan dalam pembuatannya. Tugas dikerjakan mulai besok di ruangan klub, mengingat alat dan bahan juga tersedia di ruangan ini. Tapi kalau kalian ingin menetap di ruang klub untuk mempersiapkan alat dan bahan demi karya seni besok, diperbolehkan sampai batas pukul lima sore. Sekian kegiatan klub hari ini, terimakasih."
Beberapa murid lantas membereskan barang-barang mereka dan menjejalkannya ke dalam tas masing-masing. Tercetak jelas wajah lega karena pada akhirnya kegiatan klub selesai.
Freya sudah berdiri dengan menggendong tas punggungnya. "Lho, kalian nggak pulang?" tanyanya sambil menunjuk Adhis, Aya, Ley, Aksara, Haezar, dan Kana.
"Pasti mau ngambis, kan?" terka Aruna seraya mencebikkan bibir.
"Gitu deh, lebih cepet selesai lebih baik," jawab Ley sembari tersenyum. Sementara kelima temannya mengangguk menimpali.
"Oke, Bro, kita duluan ya!" Joy melambai di ambang pintu kemudian menghilang dan diikuti ketiga murid lainnya.
Suasana ruang klub cukup sepi di sore hari, jam dinding masih menunjukkan pukul tiga tepat. Keenam anggota klub seni itu nampak sibuk dengan urusan masing-masing, saling mengumpulkan alat dan bahan, serta mencari referensi.
Tak terasa, jarum jam hampir menunjukkan angka lima. Sudah dua jam lamanya mereka berenam berdiam di ruang klub seni, berkutat dengan kesibukan masing-masing.
Kana yang duduk di sebelah Adhis nampak penasaran akan sketsa kasar patung yang dibuat Adhis di buku sketsanya. "Lo modelnya siapa, Dhis?"
Adhis menoleh dan tersenyum. "Orang yang paling melekat di hati gue."
"Pasti pacar lo, kan?"
Adhis hanya terdiam dan menjawab dengan senyum simpul.
Kana kembali menengok ke sebelahnya di mana Arish duduk di sana, mengenakan headphone kesayangannya sembari bersenandung ria. "Cih, dia kalo gue panggil pasti ga denger. Kupingnya mendadak budeg kalo udah pake headphone."
Dia kembali melongok ke depan, Aksara duduk di sana, nampak tenang sembari menata bahan-bahannya. Kana mengerti, cowok itu sedang tidak ingin diganggu. Maka dari itu dia beralih pada Ley yang juga sedang menggambar sketsa kasar patung.
"Lo mau bikin siapa, Ley?"
Ley menoleh dan tersenyum. "Mama gue, dia pasti seneng banget."
"Lo emang anak paling berbakti." Kana akhirnya kembali ke tempat duduknya dan sadar sesuatu. "Oh iya, gue butuh palu pahat."
"Palu pahat? Ada di belakang, Kan," ujar Ley memberitahu.
Kana lantas beranjak dan pergi ke belakang, tepat di pojok ruangan dimana lemari kayu besar diletakkan menempel pada dinding. Sayangnya saat hendak melangkah, cewek itu tidak melihat ada kuas yang jatuh di lantai sehingga kakinya terpeleset gagang kuas dan tubuhnya menabrak dinding.
Semua orang kaget dan panik, menghampiri Kana tergopoh-gopoh.
"Ya ampun, Kana! Lo gapapa?" tanya Ley panik.
"Lo nginjek apa, Kan?" Ana terlihat cemas.
"Itu, ada yang naruh kuas di lantai, gue kepeleset," gerutu Kana sebal.
Adhis kemudian membantu Kana untuk berdiri dan menjauh dari dinding.
Aksara lantas mengambil kuas di lantai dan meletakkannya kembali di dalam lemari tanpa berbicara kemudian duduk lagi di kursinya.
"Lo harus hati-hati, Kan," ujar Haezar.
"Iya, gue gapapa kok. Tapi tadi kalian denger gak suara temboknya waktu gue tabrak? Kayak ... bukan tembok dinding. Suaranya nyaring, kayak di balik tembok itu ada ruangan lagi." Kana menatap tembok bercat putih di bekakangnya.
"Masa sih?" Haezar maju dan mengetuk-ngetuk
tembok itu dengan telunjuknya. Dan benar, setiap ketukan bersuara nyaring. "Lah, iya."
"Ada ruangan lain gitu di dalemnya?" tanya Adhis penasaran.
"Mungkin," jawab Haezar sembari melirik arlojinya.
"Udah jam lima, guys," kata Ley. "Mending kita pulang."
"Tapi gue penasaran sama isi di balik tembok!" Kana menolak.
"Mending kita pulang, gerbang bakal ditutup sebentar lagi, Kana," celoteh Adhis kemudian membantu Kana berjalan ke kursinya.
"Iya juga sih, ayo kita cabut sekarang." Haezar kembali ke kursinya.
Mereka ber enam pada akhirnya pulang meninggalkan sekolah. Sementara salah seorang dari mereka mulai panik.
"Bisa gawat kalau mereka tahu soal ruangan itu. Gue harus lakuin sesuatu." - pembunuh.
****
note:
sorry guys, aku ubah dr patung full body jd waist up aja karena bahannya gips ueurueue. jd agak kurang masuk akal aja krna kan teknik patungnya bukan cetak tapi di butsir atau cor.
apakah kalian udah nemu beberapa clue yang aku sebar? atau terlalu sulit?
ingat untuk aktif di grup diskusi ya!
see you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top