Tortor Sigale-gale

Taksi yang mengantarkan seorang perempuan berhenti setelah memasuki sebuah desa, Ambarita namanya. Tampak dari sekilas, Desa Ambarita hanyalah perkampungan dan beberapa model rumah biasa yang juga diselingi dengan model rumah adat Batak. Melihat kehijauan alam sepanjang jalan yang tidak dia dapatkan di kota membuat perempuan itu senang.

“Terima kasih, Pak.” Dia mengeluarkan selembar uang berwarna biru setelah mengeluarkan kopernya dari bagasi taksi.

Karin berbalik, kini ia mendapati sebuah rumah berbentuk rumah adat Batak dengan ukuran lebih kecil.

“Permisi.”

Setelah beberapa kali mengucapkan kata permisi, akhirnya seorang wanita paruh baya keluar dan mengajaknya. “Ayo masuk, Amang sudah menunggu di dalam.”

Saat masuk, perempuan kota itu dipersilakan untuk duduk dan dihidangkan tiga jenis kue serta air putih untuk meyambutnya. Kepala desa menampakkan diri dan perempuan itu segera berdiri.

“Selamat siang, Pak. Maaf kalau saya membuat Anda menunggu.”

“Tidak masalah, kok. Yang penting sudah sampai dengan selamat sentosa saja cukup. Selamat datang di Desa Ambarita ini, Inang.” Setelah berbicara begitu, kepala desa beralih ke wanita yang menyambut pertama tadi. “Ini, lho. Orang yang kubicarakan kemarin.”

Sebagai bentuk inisiatif, perempuan itu memperkenalkan ulang identitasnya dan maksud dari kedatangannya. “Perkenalkan, Amang, Inang. Nama saya Karinina Savitri, panggil saja Karin. Saya bekerja di agensi majalah Horizoni, dan ingin menelusuri lebih dalam dan mengangkat salah satu budaya sini di majalah kami.”

“Saya benar-benar merasa terhormat dan senang akan kedatangannya yang akan membawa dampak positif. Untuk menyambut Anda, kami sudah mempersiapkan pertunjukan Tari si gale-gale yang diadakan besok.”
Karin tersenyum, bersyukur karena kepala desa mau bekerja sama untuk tugasnya.

Sekalian saja karena sudah menyerempet sedikit mengenai Tari Sigale-gale, dia bertanya, “Kalau berkenan, apa Amang bisa menjelaskan lebih lanjut mengenai Tari si gale-gale?”

“Oh, tentu-tentu. Tari si gale-gale ini adalah sebuah pertunjukan tari yang disertai dengan boneka Sigale-gale. Awalnya tari si gale-gale ini dilakukan untuk upacara kematian, tetapi namanya juga perkembangan jaman, ya. Sekarang tari si gale-gale kami gunakan untuk festival, bagian dari penyambutan, dan lain-lain yang untuk memperkenalkan tari si gale-gale ke masyarakat lebih luas. Boneka si gale-gale sendiri, adalah boneka kayu yang kerangkanya seperti persendian manusia asli.”

Penjelasan singkat tadi sudah cukup bagi Karin, dan ia yakin bisa mengingatnya dengan baik. “Wah, saya semakin tidak sabar untuk menonton pertunjukkannya besok. Kira-kira nanti lokasi pertunjukannya ada di mana, ya?”

“Tidak usah khawatir, saya akan menjemput Anda. Omong-omong, daripada tinggal di penginapan, sebaiknya tinggal di salah satu rumah warga desa saja, ya? Bukannya mau menghalang rejeki penginapan, tapi biar Anda bisa berbaur dan lebih merasakan suasana dari desa ini. Tidak apa-apa, kan?”

“Tidak masalah kok, Pak.” Justru dengan begini Karin bisa menghemat pengeluarannya. “Asal tidak memberatkan semua orang di desa ini, saya akan menerima tawarannya. Terima kasih, Pak.”

Kepala desa tampak senang dengan persetujuannya. Sebenarnya untuk menerima kedatangan tamu yang akan menginap di salah satu rumah warga desa membutuhkan persetujuan dari pemuka agama. Namun, karena pemuka agama sedang berhalangan hadir, terpaksa kepala desa memutuskan sepihak.

[***]

Esok siang, sesuai jadwal yang telah ditentukan Karin dan juga kepala desa setempat. Pertunjukan tari si gale-gale yang akan ia angkat dalam artikelnya berlangsung. Namun, sebelum pertunjukan itu dimulai, akan ada pementasan drama yang menampilkan legenda asal-usul tarian tersebut.

Di tanah lapang yang telah dipersiapkan sebagai tempat pertunjukan, warga desa setempat mulai berkumpul. Sementara para penampil berdiri di sisi lain lapangan sambil mengenakan atribut, menyiapkan perlengkapan, berias, dan memindahkan beberapa alat musik tradisional.

Karin tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan mulai mengambil beberapa gambar dengan kameranya, gambar yang nanti akan ia sisipkan dalam artikel yang ia garap.

Selama drama berlangsung, Karin mencoba untuk mencatat maksud dari cerita yang disampaikan.

Tarian si gale-gale bermula dari kisah seorang raja di Samosir yang kehilangan putra mahkota, satu-satunya pewaris kerajaan. Oleh karena itu, raja pun sangat terpukul. Karena kesedihan yang mendalam, raja pun jatuh sakit. Berbagai pengobatan diberikan, tetapi tidak mampu menyembuhkan penyakitnya.

Kemudian para penasihat menyarankan, untuk dibuatkan boneka kayu yang menyerupai wajah sang anak. Setelah boneka tersebut jadi, kemudian dilakukan beberapa upacara termasuk pemanggilan arwah anak raja agar masuk ke dalam patung tersebut, kemudian patung tersebut ditunjukkan pada raja. Ajaibnya, setelah raja melihat boneka tersebut, raja langsung sembuh dan dapat memimpin rakyatnya kembali. 

Karin baru saja menabuh titik di akhir catatannya, tentang asal-usul si gale-gale. Ketika bunyi musik dari arah depan membuat perhatiannya jatuh ke para penari dan juga sebuah boneka kayu. Pementasan drama usai, berganti dengan puncak acara, tarian si gale-gale.

Boneka kayu yang tengah berlenggak-lenggok bersama para penari, dengan alunan musiknya. Semua ia catat, berharap tak ada satu pun yang tertinggal. Sesekali ia memotret beberapa adegan pertunjukan boneka itu menggunakan kamera yang terkalung di lehernya. Satu, dua jepretan bagi Karin rasanya masih kurang. Lensa kamera pun beralih ke kumpulan para pengunjung dan anak-anak kecil di sana.

Tak sengaja Karin menabrak seorang anak laki-laki saat dirinya memotret. Awalnya, ia berniat mundur beberapa langkah untuk mendapatkan jepretan objek yang tepat. Namun, ternyata di belakangnya ada seorang anak kecil, yang kemudian menangis gara-gara minumannya jatuh tertabrak.

"Aduh. Maaf ya, Dek. Kakak enggak sengaja," ucap Karin seraya bertinggung menyejajarkan tubuhnya dengan si anak kecil. "Kita beli lagi, yuk!" bujuknya, sembari mengulas senyum terbaik.

Sang anak tidak segera menjawab. Dia justru terdiam memandangi Karin dengan pandangan kosong. Mata mungil itu seakan-akan membulat, dengan raut muka tanpa ekspresi.

"Lului ma na asing." Anak kecil itu bergumam.

"Kenapa, Dek?" tanya Karin, tak mendengar apa yang anak kecil itu ucapkan.

"Lului ma na asing."

Kata-kata itu terus terucap dari bibir lesi sang bocah. Semakin Karin memperhatikan, semakin ia merasa tidak nyaman. Apa yang anak kecil itu ucapkan terdengar seperti gema yang berulang-ulang, membuat telinganya menangkap janggal suara itu. Seketika suasana aneh datang menggerayangi. Bulu tengkuk Karin merinding. Ia lalu beranjak, berdiri ke posisi semula. Ia berjalan menembus kerumunan, menjauhi anak kecil yang masih menatap seram dirinya.

Astaga! Apa yang salah dengan bocah itu?

Karin berusaha membuang jauh-jauh berbagai macam pikiran aneh di kepalanya.

Setelah selesai dengan anak lelaki itu, Karin bergerak maju untuk melihat pementasan lebih jelas. Ia menaruh atensi kepada golek yang digerak-gerakkan ke sana kemari dengan sebuah tali. Tak luput dari jepretan kamera tentunya, sembari ia menikmati aksi para penari di atas panggung.

Penari-penari itu mengiringi dengan luwes, selaras dengan gerakan golek. Suling, gendang, dan gong dimainkan. Iringan musik tersebut menambah kesakralan, memberi kesan tradisional nan khidmat. Para penari dengan kain ulos yang khas makin gencar memeriahkan pentas. Karin larut dalam suasana, seakan dirinya digeret ke tengah-tengah.

Namun entah kenapa, perasaan gundah semakin merayap dalam hati Karin. Ia merasa alunan musik yang semula khidmat tiba-tiba saja berubah. Nada musiknya tenggelam, campur aduk dengan suara-suara lain di sekitar. Para penari melenggak-lenggok tanpa henti seperti orang kesetanan. Golek kayu yang ikut menari di hadapannya seperti melihatnya dalam, membuat tubuh Karin bergeming. Keringat dingin mengucur tanpa ia sadari, membasahi kening, punggung dan beberapa anggota badan lainnya.

Tetiba saja, teriakan riuh terdengar, tatkala ia masih terhipnotis oleh para penampil. Netranya membulat sempurna ketika boneka dan penari bergerak agresif. Mereka berjalan tak tentu arah dan menggerakkan tubuh semaunya tanpa mengindahkan tempo lagu. Irama musik gondang bertambah cepat. Gerak para penari semakin tak beraturan. Patah-patah dan kaku. Tangan-tangan mereka seolah digerakkan benang tipis di setiap sendi.

Boneka yang berada di barisan paling depan juga bergerak tak kalah ekstrim. Dari yang Karin lihat di YouTube, si boneka hanya menggerakkan tangan patah-patah dan kedua kakinya sesekali terlihat berjinjit. Kedua tangan yang terbalut pakaian adat itu masih bergerak. Kepalanya hanya tertuju pada Karin. Sepasang bola matanya yang terpahat di kayu melempar pandangan tajam. Sarat ancaman. Tak lama kemudian, tangan si boneka putus. Tergeletak di tepi panggung. Para penonton menahan napas. Karin sendiri terperangah.

Karin berinisiatif mendokumentasikan kejadian ini. Tangannya menarik kamera dan mulai merekam pertunjukkan.

Sampai pada akhirnya, para penari bergerak di luar batas wajar. Ekspresi mereka sangat datar, tetapi kedua matanya membelalak. Mereka juga mulai mencakar diri sendiri. Meninggalkan bekas goresan di tangan, kaki, dan leher. Beberapa merangkak dan menggeram layaknya binatang. Warga desa berteriak histeris, beberapa mulai menjauh dari tempat pertunjukan. Satu-dua warga berlari kencang, mencari orang-orang yang dirasanya bisa mengetahui penyebab kekacauan itu terjadi. Sekumpulan pemuda mulai menaiki panggung dan mengepung para penampil.

Sementara itu, napas Karin tercekat. Ia hendak menjauhi barisan depan, tetapi tubuhnya gemetaran hebat dan akhirnya bergeming dengan raut wajah memucat. Beberapa warga yang telah naik ke panggung mulai menahan para penari dan boneka. Seluruh penari dibawa ke sebuah aula kecil tak berdinding.

Aneh sekali. Karin merasa perutnya teraduk tiba-tiba. Denging di telinganya merebak hingga kepala. Dingin menggelitiki tengkuk. Udara lembab merangkap. Aroma sesajen menyeruak membuatnya pening. Namun, dia tetap menguatkan diri untuk tidak tumbang. Karin mengira dirinya kurang beristirahat. Iya, pasti begitu. Tidak mungkin tubuhnya mendadak menjadi sensitif, meski dia menyadari bahwa ada hal ganjil dalam acara ini.

Karin mengerutkan dahi, ketika seseorang bergumam di sampingnya. "Kenapa mereka marah?"

Karin menoleh dan memiringkan kepala. Dia tentu tidak paham maksud dari bisikan itu. Lantas, dia membuka suara. "Marah? Apa maksud, Amang?"

Pria yang dipanggil Amang mengalihkan perhatiannya kepada Karin. Sepasang matanya menilik Karin dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kenapa kamu di sini?" Pertanyaan Amang segera dibalas senyum ramah milik Karin.

"Saya ada keperluan untuk mencari informasi mengenai tarian si gale-gale."

Jawaban Karin membuat Amang menatapnya tajam. Tatapan yang mengerikan. Namun, Karin mengabaikannya, dan kembali menanyakan pertanyaan yang sempat menguap tadi. "Jadi, mengapa menyebut mereka marah, Amang?" dan lagi-lagi pria itu tak langsung menjawab.

Amang justru membuang muka, menatap insiden yang tengah terjadi di lapangan. Hal itu membuat Karin merasa kurang nyaman.

"Aku tidak tahu. Sesuatu yang jelas adalah roh-roh itu bersikap aneh. Gerakan mereka kasar dan menyentak seolah-olah memberitahu kemarahannya. Ini tidak seperti biasanya."

Karin mengangguk paham. Dia pun ikut melihat keramaian di lapangan, sambil terus merekam. Akan tetapi, fokusnya kembali buyar saat perutnya terasa ditusuk oleh sesuatu. Karin merintih kesakitan. Oleh karena itu, dia bergerak menjauh dari baris penonton dan menyudahi sesi dokumentasi.

Karin bergerak cepat menuju salah satu pohon lalu beberapa kali melakukan gestur seolah tengah memuntahkan sesuatu, tetapi tidak ada satu pun yang keluar selain air matanya. Karin bersandar pada pohon, menatap tanah dengan sayu. Tubuhnya melemah. Energinya terkuras habis. Karin ingin cepat-cepat kembali ke tempatnya menginap.

Karin melangkahkan kaki, hendak pergi dari sini. Akan tetapi, hal tak kasat mata malah menahannya untuk berdiri kaku. Sepasang netranya bergetar, melihat keramaian di tengah lapangan yang tak kunjung usai.

Karin melihat tepat sasaran. Di sana, dia melihat salah satu boneka tengah menunjuknya. Seorang penari melotot ke arahnya di sisi lain. Ketakutan absolut tertancap di dada Karin. Keringat dingin yang mengucur cukup menandakan seberapa besar rasa takut itu.

"Maafkan aku."

Dia rasa, dirinya sudah melakukan pelanggaran besar. Dengan isak tangis, Karin terus membisikkan kata maaf sampai tubuhnya mampu bergerak.

Seharusnya, Karin tidak lancang memasuki desa dengan perasaan ringan. Namun, dia agaknya merasa bersyukur karena mereka memaafkan kelalaian yang telah ia perbuat.

[×××]


Seolah-olah kejadian semalam belum cukup. Pagi harinya, ketika Karin harus mengirimkan surel ke kantornya, berupa bukti dokumentasi kegiatannya di sini. Ia tidak bisa tersambung ke internet di ponselnya.

Wanita itu mengangkat benda pipih di tangannya, menunjuk ke berbagai arah guna mendapatkan sinyal internet. Namun, hasilnya nihil, membuatnya lantas pergi keluar rumah dan berjalan tak tentu arah.

"Padahal kemarin masih lancar kok. Mana harus laporan lagi," geram Karin saat tak kunjung mendapatkan sinyal meski telah berpindah tempat.

Di saat yang sama, beberapa anak tengah sibuk bermain kejar-kejaran. Tanpa sengaja, salah satu di antara mereka Karin hingga tubuhnya terhuyung dan ponsel di tangannya terlepas. Jatuh dengan bunyi kecemplung ke dalam got.

Karin sudah siap untuk meledak, kaau saja ia tak ingat jika tempat ini bukanlah wilayahnya seperti di perkotaan. Ia harus bisa menjaga sikpa jika kejadian semalam tak terlulang kembali.

Melihat bocah di depannya yang sudah siap menangis kencang, Karin buru-buru menghampiri sambil menahan letupan-letupan emosi dalam dada. Ia mengusap-usap punggung anak kecil itu dengan maksud menenangkannya.

“Maafin aku,” lirih bocah itu dengan bibir bergetar.

"Iya. Tapi, tolong ambilkan ponselnya, ya." Karin berucap getir sambil menunjuk parit di dekat mereka dengan tatapan matanya.

Anak laki-laki itu tanpa ragu memasukkan dirinya ke selokan dan menarik keluar benda pipih yang nyaris terkubur dalam lumpur hitam berbau tak sedap. Ia menyerahkan ponsel tersebut yang diterima Karin di atas berlapis-lapis tisu. Belum sempat Karin mengatakan apa pun, bocah itu sudah berlari kencang. Takut jika wanita yang ditabraknya berubah pikiran dan meminta dia ganti rugi. Karin membuang napas panjang, ia mengelap jejak kehitaman di ponselnya dan menekan tombol power.

Sesuai dugaannya, ponsel tersebut enggan menyala. Layarnya tetap menghitam dan menampilkan raut wajah masam Karin. Dahinya berlipat-lipat dan bibirnya menekuk ke bawah. Tak kehabisan akal, Karin mulai melangkah untuk meminta bantuan kepada warga desa setempat. Ia berniat untuk meminjam hotspot supaya bisa tersambung dengan laptopnya dan memberikan laporan serta kabar mengenai ponselnya yang baru saja rusak.

Setelah berjalan cukup lama, ia menghampiri tiga orang pemuda yang sedang membenarkan atap rumah warga. Tanpa basa-basi, Karin langsung mengutarakan maksud hatinya.

Seorang pemuda yang sedang berada di atap, mencoba memberikan ponselnya pada Karin dengan perantara temannya yang berjaga di bawah tangga. Pria itu tanpa sengaja menyenggol kotak perkakas hingga jatuh, dan akan mengenai kaki Karin. Kalau saja wanita itu terlambat melonjak.

"Untung saja," ucap Karin dengan jantung yang berdetak cepat. Namun, sebelum jantungnya kembali normal, pria yang memegangi tangga tadi. Melepaskan pegangannya dengan maksud mengambil kotak perkakas berat yang jatuh barusan dan hendak ia berikan ke temannya di atas. Tindakannya itu membuat tangga menjadi oleng dan jatuh ke arah Karin.

Karin menjerit kencang, untung sekali tubuhnya lolos dari tangga tersebut dan ia berdiri di celah antar anak tangga. Tubuh Karin lemas.

Dua pria yang berada di dekatnya langsung mengangkat tangga dari kedua sisi. Beberapa orang yang datang pun, ikut membantu mengeluarkannya dengan panik.

Selama beberapa waktu, Karin berada di situasi yang sangat memalukan baginya. Mendadak jadi pusat perhatian belasan, bahkan puluhan pasang mata yang penasaran dengan kejadian barusan.

Setelah terbebas, Karin kembali menagih ponsel yang tadinya hendak dipinjamkan pemuda di atas atap padanya. Baru saja Karin berniat membawa benda itu pulang untuk dipinjamnya sesaat, notifikasi berdentang yang menyatakan bahwa paket bulanan si pemilik ponsel habis. Tidak sampai di sana, ketika Karin berkehendak menghubungi kantornya, ponsel tersebut mendadak mati.

Karin mengembalikan benda tersebut ke si pemilik. Pemuda di depannya meminta maaf karena ponselnya kehabisan daya. Karin tersenyum lesu, ia merasa malu meminta bantuan ke orang lain setelah kejadian barusan.

Setelah berbincang sebentar, Karin berbalik dan hendak kembali ke rumah warga tempatnya menumpang. Dua rumah lagi dan dia akan sampai, ketika tiba-tiba saja separuh tubuhnya tersiram air dingin berbau seperti bunga—aroma detergen. Karin duga, wanita paruh baya yang melenggang masuk seolah tak terjadi apa-apa itu baru usai membereskan jemuran keluarganya.

Karin lantas berlari sebelum ada yang sempat menyadari bahwa pengunjung yang satu ini, sudah terkena sial di depan publik berkali-kali dalam rentang waktu tak sampai sepuluh menit.

Sesampainya di rumah tempat ia meninap. Karin langsung mandi dan mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih. Ia menyalakan laptop. Paling tidak, ia ingin memindahkan file foto yang ada di kameranya ke dalam benda tersebut sambil memikirkan cara untuk pergi ke gerai ponsel.

Gelisah menghampiri Karin, kala benda di pangkuannya tak kunjung menyala sekalipun ia sudah menancapkan pengisi daya. Jangan sampai laptop uzur ini mengikuti nasib ponselnya yang malang.

Pintu kamar diketuk. Karin menoleh dengan wajah lesi, ia tidak berminat menerima tamu.

“Mbak Karin, itu ada yang cari,” ujar suara di balik pintu.

Wanita itu berpikir sejenak, siapa orang yang mendatanginya ini. Ia tak ingat punya janji temu dengan siapa pun.

“Iya, Inang,” sahut Karin sambil memindahkan laptopnya dan beranjak keluar dari kamar.

Dengan langkah-langkah ragu, Karin menghampiri seseorang yang sudah duduk di teras rumah. Pria berpakaian serba hitam yang dilihatnya dalam acara pementasan semalam.

“Mbak Karin?” tanya pria itu langsung. Wajahnya ditumbuhi bulu-bulu panjang berwarna hitam di bawah hidung sampai dagu.

“Iya? Ada apa ya, Pak?” tanya Karin dan memposisikan dirinya di kursi kayu. Bersisian dengan pria ini.

Pria itu tidak lantas menjawab. Ia memperhatikan Karin dengan sepasang matanya yang sayu, seolah tengah meneliti sesuatu yang terlampau rumit.

“Pak?”

Seperti tersadar, pria itu tersentak dan meminta maaf. Ia kemudian menjelaskan, bahwa dirinya adalah salah satu tokoh agama di desa. Seseorang yang harusnya Karin temui ketika ia pertama kali sampai di sini dan berkepentingan untuk menyebarluaskan salah satu kesenian setempat.

“Jadi gini, Mbak.” Tetua ini berdeham. “Kemarin itu, waktu Mbaknya baru sampe ke sini pertama kali. Harusnya bicara dulu sama saya, jadi saya bisa ngomong ke mereka soal kedatangan, Mbak,” tuturnya perlahan-lahan.

Agaknya, Karin memahami siapa yang dimaksud dengan mereka karena sekilas, terbesit dalam benaknya bayangan kejadian mengerikan semalam.

“Biar Mbaknya aman juga selama di sini,” imbuh pria di depannya. “Tapi, syukurnya. Mereka sudah tenang, Mbak juga sepertinya sudah menyesal dan minta maaf semalam.”

“Iya, Pak,” gumam Karin sambil menunduk. Ia meremas kedua tangannya yang mulai dibasahi keringat.

“Nah, maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk memberitahu ke Mbak ini, kalau misalnya … kejadian semalam jangan ditampilkan ke publik. Itu kejadian buruk, enggak baik.”

Karin terperenjat. Itu adalah bahan penting untum mengisi artikelnya, jika bukan itu. Lantas, apa yang harus ia berikan kepada kantornya. Majalah edisi mereka bisa terlembat cetak, jika sampai artikel itu tidak selesai sesuai jadwal.

“Tenang dulu, Mbak. Saya udah bicara sama Pak Kepala Desa, katanya beliau bersedia mengadakan kembali acara seperti semalam lusa ini. Sebagai pengganti kegiatan kemarin malam. Bagaimana? Mbak bisa hubungi kantor Mbak dan minta waktu sedikit lagi untuk di sini.”

Karin menimbang-nimbang sebentar, tetapi akhirnya ia setuju dan pria di hadapannya lantas berpamitan. Ia tidak mungkin kembali ke Jakarta tanpa hasil risetnya, bukan? Jadi, paling tidak dia harus memiliki bahan yang bisa dituliskannya nanti.

Mungkin, Karin akan terkena sangsi. Walau menurut perhitungannya, ia tidak akan menyelesaikan artikel ini terlambat. Sekali pun, dia melebihkan jadwal kunjungannya di sini. Setidaknya sangsi yang diberikan bosnya masih lebih ringan, ketimbang harus terus-menerus menerima kesialan dan kejadian mistis, hanya karena kelalaiannya waktu itu.

[End]


Distrik Pygmy

Catatan kaki:
"Lului ma na asing." = Cari saja yang lain.


Didedikasikan kepada hunterspin88

Ditulis bersama oleh
Zaskia_putri
ArchieElysia
Braino_S
xohanrie
Mochichi26
lecanopus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top