Bab 9

Love dulu buat part ini ♥️

Jangan lupa follow vote and Coment 💜

Beberapa peraturan baca cerita ini. Karena antusias kalian menentukan cerita ini lanjut atau enggak. Karena kalian tahu aku suka bgt unpublish cerita hahah disaat merasa kurang.

1. Komen disetiap part-nya dan tekan bintang/vote..
2. Follow wattpad aku biar kalian ngk kaget kalau ada bagian yg tiba-tiba hilang.
3. tolong tag juga temen-temen kalian biar ikut bucin
4. Jangan Hate Komentar ya 💜😉
5. Semakin dikit yang komen dan vote semakin lama aku update.

Sebelumnya aku mau ucapin terimakasih atas 3.86 K view + 1.43 K vote and 2 K komen.. kalian luar biasa sekali. 💜

Aku kali lagi sibuk persiapan sidang skripsi jadi cuma bisa update sebisanya aku seluangnya aku.

***

Yola menyisir rambutnya sambil menatap kaca, ia bingung harus menggerai atau menguncir rambutnya. Setelah berpikir panjang, akhirnya Yola memutuskan untuk mengikat rambutnya. Ia mengenakan kaus putih lengan pendek dengan cardingan pink dan rok rempel berwarna putih kapas selutut. Awalnya, Yola ingin membatalkan janjiannya dengan Arsha, tapi pagi sekali pria itu sudah menerornya untuk mengirim di mana lokasi indekosnya. Yola hanya bisa pasrah sekarang.

Setelah selesai berdandan dengan make up yang tipis, Yola keluar kamar dengan membawa helm. Tak lupa ia mengunci pintunya. Meski indekosnya aman, tapi Yola selalu waspada. Dulu, temennya di indekos sebelah, ada yang kemalingan. Jadi, Yola tidak ingin barang-barang berharganya hilang, apalagi laptopnya. Baginya, laptopnya itu benda berharganya. Senjatanya untuk menulis baik cerita Wattpad dan tugas akhir.

Arsha tadi menghubunginya, pria itu akan menjemputnya pukul empat sore. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi, sebelum kedatangan pria itu. Namun, Yola lebih memilih menunggu duluan. Ketika ia akan keluar indekos, Pintari mendekatinya. Ia jarang bertemu satu teman kosnya itu karena ia sibuk bekerja.

"Mau ke mana, Yol?"

"Ke toko buku," jawab Yola asal.

"Kok, sendiri? Mana geng rempong lo? Bukannya lo nggak bisa naik motor, ya?" Teman-teman rempongnya itu sedang pulang kampung.

Awalnya Yola diajak, tapi ia tidak mau, ada janji dengan dosennya. Mereka berasal dari kota yang berdekatan. Vivi dari Sukoharjo, Adelia dari Boyolali, Kiran dari Sragen, dan Yola sendiri dari Klaten. Bagi Yola, ketiga temannya itu satu-satunya keluarga yang ia miliki selama tinggal di Yogyakarta.

Yola bersyukur temannya pulang kampung. Andai saja ada teman-temannya, pasti mereka akan menerornya dengan berbagai macam pertanyaan mengenai peristiwa boncengan sama dosen ganteng kemarin. Bukan hanya itu, jadwal kencannya dengan Arsha sekarang pasti diketahui. Lebih buruk lagi, teman-temannya akan membuntutinya.

"Aku naik ojek online." Yola tidak mungkin mengatakan kalau ia pergi bersama Arsha. Meski Pintari tidak kenal siapa itu Arsha, ia takut Pintari akan cerita ke Vivi jika ia jalan dengan cowok. Lalu, Yola akan diinterogasi seharian penuh.

Maafkan saya, Arsha. Menyamakan kakak dengan tukang ojek.

"Oh. Ya, udah, gue mau nyuci baju dulu."

Kemudian, Pintari pergi meninggalkan Yola yang berjalan ke depan gerbang indekos. Yola mengembuskan napas lega ketika Pintari tidak menaruh curiga padanya. Jujur, Yola gugup bertemu dengan Arsha sendirian. Mereka lebih mirip pergi berkencan daripada membicarakan urusan kontrak terbit.

Yola sebisa mungkin untuk tidak baper nanti. Jantungnya ini murahan sekali jika sudah berdekatan dengan cowok macam Arsha.

Suara klakson motor membuyarkan lamunan Yola. Ia terkejut melihat motor yang biasa Arsha pakai terparkir di depannya. Sejak kapan pria itu datang? Kenapa Yola tidak menyadarinya?

Yola menelan ludah ketika Arsha turun dari motor melepas helm, lalu menghampirinya. Arsha tampak tampan dengan kaus putih yang dilapisi jaket hitam. Pria itu terlihat lebih muda dengan penampilan seperti itu.

"Maaf, saya datang lebih awal," ujar Arsha sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Seketika Yola tersadar jika Arsha datang lebih cepat sepuluh menit.

"Sepertinya, bukan hanya saya yang tidak sabar untuk bertemu, kamu juga." Arsha tersenyum kecil ketika tahu Yola menungguinya lebih awal dari jam janjian mereka. Itu tandanya Yola memiliki rasa yang sama dengannya.

"Ah, itu saya...." Yola bingung mau menjawab apa. Otaknya blank seketika. Adakah yang bisa menjelaskan arti dari perkataan Arsha padanya?

"Kita pergi sekarang, sebelum kita kehabisan slot waktu film."

Yola terdiam sejenak tangannya terasa kaku. Tunggu dulu, kenapa harus nonton bukannya mereka mau membicarakan kontrak buku? Tiba-tiba pipi Yola bersemu, seumur hidup ia tidak pernah nonton bioskop bersama pria. Biasanya, ia pergi bersama teman-temannya. Yola merasa apa yang pernah ia tulis di Wattpad, seperti menjadi kenyataan. Dia pernah menulis tentang dirinya dan Kak Arsha yang nonton bioskop berduan. Persis sekali dengan hari ini, bahkan ditulisannya Arsha menjemputnya.

Mengingat itu, membuat Yola malu. Apa Arsha tahu bagian ini? Yola menatap sang dosen sebentar. Apa Arsha memiliki pemikiran yang sama dengannya?

Yola mendesah. Apa nanti ia ganti saja nama cowok dalam ceritanya? Biar dia tidak canggung jika berdekatan dengan Arsha. Jujur, Yola masih malu karena ketahuan memakai nama dosennya sebagai tokoh cerita. Untung, Arsha tidak menuntutnya.

"Yol, tukang ojeknya udah dateng?" Tiba-tiba Pintari keluar dari gerbang.

"Eh?"

Yola terkejut, apalagi melihat raut wajah Arsha yang tiba-tiba berubah. Aduh matilah Yola sekarang. Kenapa, sih, Pintari harus mengatakan hal seperti itu? Kenapa juga Pintari harus keluar? Bukannya dia mau cuci baju. Bayangkan saja, orang yang dibilang tukang ojek itu adalah dosennya. Kalau temen sekelasnya mah bodo amat. Ini dosen pembimbingnya, pemegang hidup dan matinya. Bagaimana nasib tugas akhirnya nanti?

"Ganteng juga tukang ojeknya. Hati-hati di jalan, La. Gue mau ke warung dulu beli sabun bye have nice day...." Kemudian Pintari pamit berlari ke arah warung sebelah kos mereka. Ingin rasanya Yola menyantet temannya itu. Sekarang Yola dalam masalah besar.

"Tukang ojek maksudnya itu apa?" Suara Arsha begitu dingin. Yola sampai ketakutan mendengarnya.

"Biasa, Kak, temen saya suka bercanda. Jangan dipikirin Kak. Masa saya tega ngatain dosen saya yang ganteng tukang ojek." Yola berharap ucapannya berhasil meredakan amarah Arsha. "Ayo, Pak, kita pergi keburu malem. Katanya mau nonton." Yola mengalihkan.

Untungnya, Arsha tidak mempermasalahkan lagi perihal tukang ojek.

Yola mengembuskan napas lega. Ia segera memakai helm naik ke atas motor sport hitam milik Arsha. Yola memilih duduk menghadap ke depan daripada menyamping, ia trauma duduk menyamping semenjak kejadian di kampus. Ia juga menaruh tas selempangnya di tengah untuk menjaga jarak. Paling tidak ada pembatas di antara mereka.

*

Yola ragu untuk berdiri di sebelah Arsha. Bagaimana jika nanti ada teman kelasnya yang melihat? Apalagi, mereka mengunjungi Jogja City Mall, tempat nongkrong teman kampusnya. Jogja City Mall memiliki bangunan dengan gaya arsitektur Romawi dengan pilar-pilar megah yang mengelilingi. Sementara itu, bagian dalamnya desainnya dikombinasikan dengan khas Jawa. Yola memelankan langkahnya sambil menunduk agar tidak ada satu pun teman kampusnya yang mengenali, sesekali ia menengok ke berbagai arah untuk memastikan posisinya aman. Tangannya mencengkeram erat tali tas selempangnya. Pergerakan Yola seperti itu malah menjadi tontonan orang-orang.

"Kamu malu jalan sama saya?" tanya Arsha ketika tahu Yola tertinggal jauh darinya. Ia menatap Yola bingung. Gadis itu seperti menghindarinya.

Yola mendongak sambil menggeleng cepat. Dalam hati, ia berteriak kepada Arsha untuk tetap jalan tanpa harus melihatnya. Yola ketakutan jika ada yang melihatnya bersama Arsha. Bukan hanya itu, Yola merasa insecure berdiri di dekat Arsha. Ia lebih terlihat seperti babu jika disandingkan dengan Arsha.

"Terus, kamu kenapa jalan di belakang saya?" Bukannya menjawab, Yola malah jalan duluan meninggalkan Arsha.

Arsha terpana melihat itu. Apa dia kurang tampan sehingga Yola tidak mau berjalan di sampingnya? Apa Yola malu jalan dengannya? Arsha mendesah, lalu berjalan menyusul Yola.

"Pak, kita benaran mau nonton bukan ngomongin kontrak buku?" Yola bersyukur ketika tidak mendapati salah satu teman kelasnya di kawasan lantai menuju bioskop. Itu tandanya aman jika ia berada disekitar Arsha.

"Dua-duanya. Sekalian nanti kita makan," ujar Arsha sambil memasukkan kedua lengannya di saku celana.

Yola kemudian teringat isi uang di dompetnya. Bagaimana ini hanya ada tiga puluh ribu? Tiket masuk bioskop saja tidak cukup, apalagi di tambah makan. Kalau ia pura-pura puasa juga percuma.

Yola mau berkata pada Arsha jika ia tidak punya uang, tapi malu. Yola tipe orang yang tidak bisa mengungkapkan kesulitannya pada orang lain. Ia lebih memilih diam hingga ada orang yang peka terhadapnya. Padahal, Yola sendiri tidak pernah peka terhadap sekitar.

"Karena kamu sudah update cerita kemarin, sebagai gantinya saya yang traktir."

Perkataan Arsha membuat Yola mengerjapkan mata berulang kali. Ia tersenyum tanpa sadar. Kenapa dosennya itu peka sekali? Arsha seakan-akan bisa mendengar kegundahan di hatinya.

"Nggak usah, Kak, saya nggak enak." Ciri khas orang Jawa selalu menolak pemberian orang, padahal dalam hati mau banget.

"Saya tidak terima penolakan!" Suara tegas Arsha membuat Yola terpesona. Suaranya Arsha itu ganteng banget. Kalau begini terus, bisa-bisa Yola akan baper. Ya Tuhan, kasih tahu caranya biar nggak baper sama mahluk ciptaannya yang satu ini.

"Makasih, Kak. Maaf saya ngerepotin."

"Santai aja, yang penting kamu jangan lupa update cerita buat saya."

Senyum Yola luntur seketika. Nah, kan, ujung-ujungnya pasti minta update. Bisa tidak, sekali aja dosennya itu tidak menyinggung soal update di depannya. Rasanya, Yola mau cubit ginjalnya Arsha.

*

Yola mencuri pandang ke arah Arsha. Mereka sekarang berada di dalam bioskop, anehnya Arsha memilih tempat duduk paling depan. Bukan hanya itu, Arsha juga memilih film kartun Frozen untuk mereka tonton. Kebanyakan pengunjung bioskop berisi keluarga yang terdiri ayah, ibu, dan anak. Yola merasa tersesat berada di sini. Bahkan, ada yang terang-terangan menatap mereka aneh.

Arsha tampak aneh, pria itu menonton tanpa ekspresi. Pandangannya lurus ke depan, di saat ada adegan lucu pria itu hanya mengernyit. Yola jadi penasaran apa yang sedang dipikirkan pria itu. Kenapa juga harus nonton kartun?

"Kak?"

"Iya," jawab Arsha sambil menyilangkan kakinya.

"Kapak suka nonton Frozen, ya?" tanya Yola.

"Tidak." Kening Yola berkerut mendengar jawaban Arsha. Terus, kenapa malah nonton ini kalau tidak suka. Aneh....

"Kalau tidak suka ngapain nonton ini?"

"Kamu yang suka."

Dari mana Arsha tahu itu. Jujur, Yola sangat menyukai film-film kartun Disney princess. Bagaimana dosennya ini bisa tahu? Padahal, Yola tidak memberitahu.

"Di cerita kamu yang bab dua puluh tujuh, di sana tertulis kamu ingin menonton film Frozen bersama Arshaka," ujar Arsha sambil menatap Yola. Di tengah gelapnya ruangan, membuat pipi Yola merona. Untung saja Arsha tidak bisa melihat ekspresinya sekarang.

Apa itu artinya sedang berusaha mewujudkan khayalannya di Wattpad? Namun, di lain sisi Yola malu karena menggunakan Arsha sebagai wujud kehaluanya di dunia Wattpad. Ia jadi ingin tahu apa yang Arsha pikirkan. Apa pria itu tidak marah namanya dipakai? Yola hanya diam tanpa berani bertanya. Ia takut menerima kenyataan buruk.

Yola kembali menatap layar yang menayangkan manusia salju sedang bernyanyi. Tampak begitu lucu dan menggemaskan. Arsha masih betah dalam posisi diamnya, pria itu terlihat begitu dingin. Hanya berbicara di saat ingin atau ketika Yola memulai pembicaraan.

"Kak," panggil Yola.

"Iya," jawab Arsha tanpa menoleh. Pria itu fokus menonton. Katanya tidak suka, tapi kok nonton?

"Kakak mirip deh sama Olaf," ujar Yola sambil menunjuk sosok manusia salju di layar bioskop.

"Mirip apanya?" Kening Arsha berkerut bingung. Ia lebih tampan daripada si snowman, jelas ia tidak terima disamakan.

"Sama-sama dingin." Yola menyampaikan hal yang dipendamnya. Jujur, ia agak canggung duduk berdua dengan Arsha yang sama sekali tidak mengajaknya bicara, harus ia yang lebih dahulu memulai. Pria itu seperti membentengi jarak di antara mereka. Ia merasa tidak nyaman.

"Dingin? Kamu kebanyakan halu kayaknya. Coba pegang tangan saya. Hangat, kan?" Tiba-tiba Arsha menggenggam tangan Yola erat. Sontak hal itu membuat Yola salah tingkah. Tangannya bergetar, bahkan dinginnya AC di ruangan tidak terasa berkat sentuhan Arsha. Sialnya lagi, Arsha yang sudah baper berkepanjangan.

*

Selesai menonton film, mereka salat magrib di mushola. Yola menatap Arsha yang berdiri di sampingnya. Pria itu bilang akan membicarakan kontrak sambil makan. Mereka sedang mencari tempat makan.

"Mau beli boneka?" tanya Arsha di tengah keheningan.

"Eh... nggak usah repot-repot, Kak." Yola tidak enak, sungguh. Cukup ia dibayarkan nonton bioskop dan makan, jangan ada yang lain.

Arsha mengabaikan penolakan Yola. Pria itu menarik tangan Yola membawanya masuk ke dalam dengan paksa. Ia hanya ingin Yola mempunyai kesan yang indah jalan dengannya. Ia juga tidak ingin dikenal sebagai orang yang pelit. Ia juga tidak ingin gadis itu mestempel dirinya dingin. Ia diam karena tidak ingin berlebihan, mereka belum lama dekat.

"Pilih yang kamu suka!"

Yola meringis mendengarnya. Ia bergerak kaku melihat berbagai boneka. Andai saja yang mengajaknya bukan Arsha tapi Vivi atau ibunya. Yola pasti tidak akan ragu memilih semua boneka.

"Ini aja, Kak." Yola mengambil boneka salju yang tampak lucu.

"Kamu beneran suka sama snowman?"

"Suka banget, Kak."

Senyum di sudut bibir Arsha mengembang. Itu tandanya, Yola menyukainya, bukan? Mengingat, tadi di dalam bioskop Yola berkata jika dirinya mirip dengan si manusia salju.

"Ada lagi yang mau kamu beli?"

Yola menggeleng dengan cepat. Ia bukan siapa-siapa Arsha, ia tidak ingin dicap matre karena memanfaatkan kesempatan ini. Dibelikan boneka saja Yola merasa tidak enak, apalagi yang lain-lain.

"Baiklah kita bayar dulu, setelah itu kita makan."

Yola mengangguk. Ia mengikuti Arsha ke kasir untuk membayar boneka tersebut. Semoga saja harganya tidak mahal kalau sampai di atas seratus ribu Yola bisa-bisa mati mendadak. Tidak lucu, bukan, sehari jalan sama Arsha menghabiskan uang pria itu begitu banyak.

*

Arsha memilih restoran Jepang untuk makan mereka. Yola jadi teringat salah satu adegannya dengan Arsha yang kebetulan juga makan di restoran Jepang. Mimpinya seperti menjadi kenyataan. Apakah pria itu mengajaknya makan di sini karena novel yang ia tulis? Jujur, seumur hidup Yola belum pernah makan di restoran Jepang. Bagi anak indekos sepertinya, lebih baik uangnya disimpan dari pada dihabiskan untuk membeli makanan mahal yang hanya sekali habis.

"Kakak yakin makan di sini?"

Arsha tidak menjawab, pria itu malah sibuk mencari tempat duduk. Yola mengekor, sepertinya Arsha tidak suka diajak bicara. Pria itu lebih suka berbicara kalau memang dirasanya penting.

"Kamu bisa pesan apa aja yang kamu mau," perintah Arsha, ketika Yola duduk di hadapan Arsha.

"Saya samain aja sama Bapak." Yola takut nanti menu yang ia pilih harganya mahal. Lebih baik Arsha aja yang memilih. Lagi pula, pria itu yang mentraktirnya, bukan?

Kemudian, Arsha memanggil pelayan dan menyebutkan beberapa makanan yang mereka pesan.

"Pak. Ini jadi, kan, kita ngomongin kontrak penerbitan?" Jujur, Yola ragu karena ia tidak melihat Arsha membawa tas atau kertas perjanjian untuk di tanda tanganinya nanti.

"Tentu saja."

"Boleh saya lihat surat kontraknya, Pak?"

"Belum saya print," balas Arsha santai. Mata Yola mmelotot, mendengar itu. Lalu, untuk apa mereka ke sini kalau tidak membahas kontrak.

"Terus, ini gimana, Pak? Katanya, kita mau bahas kontrak."

"Besok datang ke kantor penerbit saya untuk kelanjutannya. Sementara saya akan kirim draft kontrak ke email kamu."

Besok weekend alias minggu, jadi hari yang tepat untuk mereka bertemu. Arsha tidak memiliki jadwal di kampus. Yola mendesah mendengarnya, itu tandanya ia harus bertemu Arsha lagi. Kenapa dosennya ini tidak praktis sama sekali? Apa Arsha tidak bosan melihatnya setiap hari?

"Iya, Pak." Yola tidak bisa menolak. Ia takut jika ia protes Arsha akan mempersulit tugas akhirnya. Jadi, nurut aja kata dosen. Namun, masalahnya hari Yola tidak akan siap jika terus-menerus di dekat Arsha.

"Saya suka tulisan kamu."

Yola terkejut mendengar perkataan spontan Arsha. Ia menatap pria itu malu-malu. Baru kali ini ada cowok yang suka tulisannya. Biasanya mereka lebih suka fisiknya. Pipi Yola merona. Siapa, sih, yang tidak bangga tulisannya disukai oleh dosen sekelas Arsha.

"Makasih, Pak."

"Alurnya menarik, beda dari tulisan yang saya baca. Biasanya cerita mahasiswa dosen itu karena perjodohan, tapi kamu berani ambil tema tentang karya tulis ilmiah," ujar Arsha sambil menyatukan kedua jemarinya dengan siku tangan yang bertumpu di atas meja.

Cerita yang Yola tulis tentang mahasiswi yang kesulitan dana untuk pergi presentasi ke Inggris mewakili kampus. Kampus hanya memberikan dana hanya untuk satu orang, padahal dalam satu tim ada tiga orang. Mahasiswi tersebut tidak menyerah mereka bahkan sampai mencari dana CSR ke perusahaan ternama. Lalu mereka karya mereka berhasil dipublikasikan diluar negeri dan menjadi best presentation. Hal itu membuat Arshaka sebagai dosen jatuh cinta pada gadis berprestasi itu.

"Terinspirasi dari kisah temen saya." Yola rasa obrolan seperti inilah yang Arsha sukai, tak jauh dari menulis atau seputar akademik. Ternyata, dosennya ini tidak terlalu seram seperti dulu. Mungkin karena di kelas.

"Saya suka cerita itu karena mengingatkan waktu saya kuliah dulu. Masa-masa paling memorable buat saya di bangku perkuliahan. Saya suka sekali presentasi karya tulis ilmiah, lomba debat, dan pertukaran pelajar. Bahkan, saya hampir tidak pernah masuk kelas." Arsha mengingat masa-masa itu. Dosennya sampai heran karena setiap namanya diabsen pasti tidak ada dan alasannya tidak masuk adalah lomba ke luar negeri. Sampai dosennya pernah mengirimnya pesan, 'Kamu nggak bosen keliling dunia terus?'.

"Beneran, Kak? Jadi, bolosnya banyak, dong?"

"Ya, nggak banyak banget, kadang ikut kelas pengganti atau tugas tambahan. Lagi pula, dosen-dosen memakluminya bahkan langsung memberikan nilai A. Mungkin karena saya pulang bawa piala dan mendali coba kalau tidak."

Yola takjub, ia belum pernah tahu masalah ini. Ia memandang Arsha, baru kali ini ia melihat dosennya tertawa. Jadi, begini cara orang pinter tertawa. Padahal, menurut Yola tidak ada yang lucu sama sekali.

Yola tidak fokus melihat gerakan tangan Arsha yang merapikan rambutnya ke belakang. Perasaan rambutnya selalu rapi, ia saja yang perempuan biasa saja.

"Oh, pantes." Yola tidak tau mau membahas apa. Ia termasuk mahasiswa kupu-kupu yang tidak aktif dalam kegiatan apa pun di kampus. Setiap kali temannya mengajak, ia malas ikut. Maka dari itu ia menulis ini terinspirasi dari curhatan temannya.

"Makannya, saya takjub sama kamu yang bisa nulis novel sambil kuliah. Saya baru nemu mahasiswa seperti kamu yang berani mem-publish karyanya tanpa malu dan juga kamu konsisten sekali nulisnya nggak peduli mau dibaca apa enggak sama orang. Bahkan, sampai merevisinya berulang kali."

Yola terdiam mendengar pujian dari dosennya. Padahal, dulu teman-temannya selalu mengejek hobi menulisnya mereka bilang percuma ngabisin waktu, kuota, dan pikiran. Yola jadi penasaran apa nama akun Wattpad dosennya itu, tapi ia takut untuk bertanya.

"Di jurusan kita belum ada yang menjadi penulis buku seperti Tereliye, Dee Lestari, Pramoedya, dan lain-lain. Jadi, saya berharap kamu bisa menjadi seperti mereka." Yola terdiam mendengar itu, baru kali ini ia melihat Arsha selembut ini.

"Iya, Kak, semoga bisa. Amin...." Yola juga mengharapkan hal itu. Apalagi, ia sangat menyukai Tereliye.

"Kamu tahu, Yola, salah satu quote di novel kamu yang paling saya suka?"

Yola menggeleng, ia terlalu malu untuk mengingat kata-kata gombal yang ditulisnya sendiri. Kenapa dosennya ini suka sekali membahas perihal tulisannya?

"Izinkan aku untuk menjadi tulang punggungmu dan maukah kamu menjadi menjadi tulang rusuk untukku?" ucap Arsha sambil menatap Yola.

Yola terpaku mendengarnya.

***



Jangan pups follow RP nya yaaa..


Gimana part ini?

Ada yang mau disampaikan ke Arshaka?

Ada yang mau disampaikan ke Yolanda?

SPAM NEXT yang banyak DISINI BIAR CEPET UPDATEEEE

Jangan lupa follow @wgulla_ @wattpadgulla

Salam

Gulla

Istri sahnya Lee min ho ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top