Bab 11

Love dulu buat part ini ♥️

Jangan lupa follow vote and Coment 💜

Beberapa peraturan baca cerita ini. Karena antusias kalian menentukan cerita ini lanjut atau enggak. Karena kalian tahu aku suka bgt unpublish cerita hahah disaat merasa kurang.

1. Komen disetiap part-nya dan tekan bintang/vote..
2. Follow wattpad aku biar kalian ngk kaget kalau ada bagian yg tiba-tiba hilang.
3. tolong tag juga temen-temen kalian biar ikut bucin
4. Jangan Hate Komentar ya 💜😉
5. Semakin dikit yang komen dan vote semakin lama aku update.

Sebelumnya aku mau ucapin terimakasih atas dukungan kalian ♥️🙏

***

Yola duduk di kursi bersebelahan dengan Arsha. Ia meremas roknya gugup. Ia baru sadar jika ia memilih pakaian yang warnanya sama dengan Arsha, Yola mengenakan sweter biru dan rok putih renda.

Padahal, sebelum masuk indekos untuk berganti baju, ia sudah melihat apa yang Arsha kenakan. Kenapa jadi matching seperti ini, sih? Yola diam-diam mencuri pandang melihat cara menyetir Arsha. Ia juga masih tidak menyangka Arsha akan membawa mobil hanya karena omongan mbak kosnya.

"Kamu kenapa melirik saya dari tadi?" Ternyata Arsha itu sangat peka, sehingga sadar setiap gerakan Yola.

"Maaf, kak." Yola hanya meringis.

Ponsel Yola berdering. Ia bernapas lega karena setidaknya dia tidak perlu berurusan dengan sang dosen lebih jauh.

"Saya angkat telepon dulu, kak."

Yola mengerutkan kening melihat nama yang tertera di ponsel. Ia bosan jika nomor ini memanggilnya lagi. Pasti hanya akan meminta sesuatu darinya. Yola dengan malas mengangkat panggilan videonya. Muncul wajah cowok di layar ponselnya.

"Apalagi, Res?" tanya Yola sewot.

"Beliin gue helm baru yang kemarin hilang."

"Minta sama mama."

"Nggak bakal dikasih."

"Kamu kira aku bakal kasih!" Yola memutuskan panggilan dengan sepihak.

"Siapa?"

"Adik saya, Kak."

"Oh."

"Iya, Kak." Arsha mengembalikan ponsel Yola. Cowok itu melajukan mobilnya. Dalam hati ia tersenyum senang, sedangkan Yola bertanya-tanya dengan maksud cowok itu?

Mereka sampai beberapa menit kemudian di kantor Arsha. Meski hari libur ada beberapa orang yang masih berada disini. Kantor ini bukan hanya sekadar tempat bekerja, tapi juga nongkrong. Arsha mendesainnya lebih santai, bahkan di lantai paling atas dibuat taman yang menyejukkan.

"Turun," perintah Arsha. Cowok itu keluar dari mobil. Yola baru saja ingin membuka pintu mobil, tapi Arsha lebih dulu membukakan untuknya.

"Kamu tunggu sebentar di ruangan saya." Arsha menunjukkan sebuah ruangan agar Yola masuk ke sana.

Arsha bergegas pergi meninggalkan Yola. Yola ragu-ragu masuk ke dalam ruangan. Ia dikejutkan dengan beberapa bingkai foto yang terpasang di dinding. Foto-foto Arsha di berbagai negara.

Bukan hanya itu, ada foto Arsha bersama anak-anak kecil sedang membersihkan kamar mandi masjid atau mengajar di TPA. Yola tersenyum melihat itu, ternyata Arsha memiliki jiwa kepedulian yang tinggi. Ia jadi penasaran bagaimana Arsha mengajar di TPA dengan anak-anak kecil. Kalau jadi dosen saja bikin mahasiswa ketakutan, apakah berbeda saat dengan anak-anak?

Hingga satu foto menarik perhatian Yola. Foto Arsha dan kedua temannya. Cowok itu terlihat tersenyum penuh kebahagiaan.

"Kita udah temenan dari SMA." Tunjung tiba-tiba berdiri di belakang Yola membuat gadis itu terkejut.

"Eh, iya, Kak."

"Arsha itu orangnya sulit ditebak, kadang gue suka bingung sama jalan pikirannya. Akhir-akhir ini Arsha aneh----"

Belum sempat Tunjung mengatakan kelanjutannya, Arsha datang dengan sebuah helm. Kening Yola berkerut. Untuk apa helm itu?

"Ini buat adik kamu." Arsha menyerahkan sebuah helm pada Yola.

"Buat adik saya, Kak?" Yola merasa aneh dengan perlakuan baik Arsha. Padahal dulu cowok itu sinis dengannya.

"Kebetulan itu sudah tidak pakai lagi."

"Memang ini punya siapa, Kak?"

"Keponakan saya. Sekarang dia sudah di langit, jadi sudah tidak memerlukannya lagi."

"Innalillahi wa Inna ilaihi roji'un." Yola langsung sedih.

"Bukan mati Yola, maksud saya jadi pilot." Arsha memang suka berbicara dengan kata pengandaian. Hingga membuat orang-orang di sekelilingnya suka bingung menerjemahkan bahasanya.

"Maaf, Kak. Dan, makasih juga ya, Kak." Yola senang karena ia tidak perlu repot memikirkan Ares yang menangis merengek meminta helm.

"Lebih baik kita bahas yang lain. Tadi Sri sudah mencetak surat perjanjian kita. Kamu sudah setuju bukan dengan apa yang tertulis." Kemarin Arsha telah memberikan kertas berisi perjanjian penerbitan.

"Sudah, Kak."

"Yakin."

"Tidak ada yang mau kamu tambahkan?"

"Tidak, Kak."

"Berarti kita sudah sah, ya," ujar Arsha membuat Yola malu karena bahasanya yang ambigu. Tuhan! Tolong katakan pada Yola, bagaimana caranya untuk tidak terbawa perasaan lagi?

*

"Sudah sarapan?" tanya Arsha mendapati muka Yola yang pucat.

"Udah, Kak. Makan bubur ayam sama temen."

"Temen?" Arsha mengulang jawaban Yola.

"Temen kuliah, Kak. Antariksa namanya. Kak Arsha juga nggak kenal, kok." Arsha terdiam sebentar, lalu menghembuskan napas.

"Saya lapar, lebih baik kita makan." Arsha tiba-tiba berdiri.

Yola dibuat bingung apa maksud Arsha. Apa cowok itu mengajaknya untuk makan bersama? Ia takut menyalahartikan keinginan cowok itu. Ia tidak mau memalukan dirinya sendiri seperti yang sudah-sudah. Arsha mendesah, ia balas balas menatap Yola seakan-akan untuk mengikutinya.

"Temeni saya makan," jelas Arsha.

Yola segera bangkit berdiri mengikuti Arsha dari belakang. Keningnya berkerut ketika Arsha berhenti di sebuah lift.

"Kita makan di atas. Kamu tidak keberatan?"

"Enggak, kok, Kak." Makan dimana saja, Yola setuju asal gratis dan enak. Lagi pula mana berani ia menolak perintah Arsha, bisa dipenggal kepalanya.

"Saya sudah menyuruh Sri untuk membelikan makanan."

"Iya, Kak."

"Jangan terlalu kaku. Setelah ini kita akan sering bertemu."

Yola hanya takut jika dianggap tidak sopan. Bagaimanapun Arsha adalah asisten dosen

pembimbingnya.

Mereka tiba di atap, Yola berdecak kagum melihat taman kecil dengan berbagai tanaman, ada mawar merah, anggrek bulan, dan kaktus hias. Tanaman tersebut ditanam di sebuah bangunan seperti rumah kaca. Selain itu juga ada pendopo, kursi, ayunan juga. Dosennya itu tidak pernah main-main untuk membangun sesuatu.

Arsha duduk lebih dahulu di sebuah pendopo. Yola ikut duduk di samping Arsha. Saat itu juga Yola melihat kandang burung.

"Kak Arsha punya burung?"

Arsha mengernyit sebentar mencerna pertanyaan Yola. Lalu, ia baru mengerti ketika melihat kandang burung yang ditunjuk Yola.

"Ada."

"Boleh lihat, Pak?"

"Tentu saja."

Mereka melangkah menuju sebuah kandang berbentuk rumah berwarna putih. Ukurannya lumayan besar. Yola jadi penasaran berapa banyak burung yang dimiliki Arsha. Namun, saat ia mengintip di celah bolongan kandang, ia tidak menemukan satu ekor pun di dalam. Ia mendesah kecewa.

"Kok, nggak ada Kak burungnya?" tanya Yola.

"Berarti dilepas sama office boy tadi pagi. Kemungkinan nanti malam atau sore akan kembali lagi," balas Arsha kembali ke pendopo.

Yola berjalan di belakang Arsha. Ia penasaran burung seperti apa yang Arsha miliki hingga bisa pulang dan pergi. Seumur hidup, ia tidak pernah memiliki peliharaan.

"Memang burung apa yang dipelihara?"

"Sepasang merpati putih."

"Kakak suka burung merpati?" Yola penasaran kenapa dari sekian banyak burung harus merpati. Ia juga jadi teringat kata-kata Arsha pada buku puisi yang waktu itu diberikan untuknya. Arsha menulis tentang cinta layaknya sepasang merpati yang tak akan pergi meninggalkan satu sama lain.

Arsha mengangguk sambil bersedekap, lalu menatap Yola sebentar. Ia tidak bisa menceritakan alasan kenapa ia memelihara burung merpati.

"Lebih baik kita makan." Yola terkejut melihat bungkusan plastik berisi makanan dan minuman. Sejak kapan makanan tersebut muncul. Perasaan tadi tidak ada apa-apa.

"Kamu terlalu banyak melamun hingga tidak sadar kehadiran Sri. Tadi dia marah sama kamu karena dicuekin." Yola menoleh ke kanan dan kiri.

"Dia udah pergi."

"Maaf, ya, Kak."

Tadi Arsha meminta Tunjung untuk membeli nasi ayam geprek dan lalapan lengkap dengan air mineral. Tunjung adalah asisten pribadinya di kantor. Bisa dibilang Tunjung mengabdikan diri kepada Arsha menjadi orang kepercayaan cowok itu. Tidak peduli dengan umur Arsha yang jauh di bawahnya. Bagi Tunjung, Arsha itu sosok panutan. Banyak sekali orang-orang yang meragukan kinerja Arsha dulu hanya karena umur. Namun, cowok itu bisa membuktikan pada semua orang bahwa perusahaannya bisa berkembang maju.

"Kak, kira-kira yang jadi editor saya siapa ya, Pak?" tanya Yola penasaran.

"Saya."

Yola langsung tersedak mendengar jawaban Arsha. Mana mungkin bisa itu terjadi. Itu artinya ia akan terus berhubungan dengan Arsha.

Arsha dengan sigap menepuk punggung belakang Yola berulang kali. Lalu ia membukakan botol minum dan memberikannya pada gadis itu.

"Sudah baikan?"

"Makasih, Kak."

"Kamu keberatan saya jadi editor kamu?"

"Tidak, kok, Kak."

Arsha mengangguk.

"Saya janji akan membuat kisah cinta Arsha dan Yola menjadi cerita terindah yang akan dikenang seluruh masyarakat Indonesia seperti kisah Habibie dan Ainun," ujar Arsha membuat jantung Yola bertalu-talu. Kenapa dosennya bisa berkata seperti itu? Andai saja yang dibilang Arsha bukan tentang novel, pasti Yola sudah terbang sekarang melayang di angkasa bahkan menembus langit ke tujuh.

Pak Arsha tolong jangan bikin baper terus..., batin Yola bergejolak ingin menangis. Ini namanya penyiksaan tiada henti. Hatinya seperti ombak yang terombang-ambing oleh kata-kata ambigu yang Arsha ucapkan.

Andai saja ada Vivi. Ingin rasanya Yola berkata, "Cekik aku sekarang cepat...."


***

Follow RPnya @pangeran_arsha

Gimana part ini?

Ada yang mau disampaikan ke Arshaka?

Ada yang mau disampaikan ke Yolanda?

SPAM NEXT DISINI BIAR CEPET UPDATEEEE

Jangan lupa follow @wgulla_ @wattpadgulla

Salam

Gulla

Istri sahnya Lee min ho ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top