Arsenio #9 - Sandiwara

Terkadang, berbohong tak selalu terdengar buruk. Itu juga baik. Mampu membahagiakan orang lain misalnya.

Mata Calysta terbelalak mendengar ucapan yang dikatakan oleh Arsenio, sementara lelaki itu hanya menyeringai dari tempatnya berdiri. Dengan terpaksa, Calysta juga tersenyum saat Karenina melemparkan senyumnya menatap wajah Calysta. Suasana tiba-tiba menjadi awkward di antara ketiganya, tapi Calysta tiada henti menatap kesal lelaki yang sedang bersenda gurau dengan mamanya itu.

"Ah!" Arsenio mengambil satu buket bunga besar yang ia letakkan di sampingnya kemudian menyodorkannya ke depan Karenina. "Bunga untuk Mama, selamat ulang tahun."

Wanita itu menerimanya dan memeluk erat tubuh Arsenio. Calysta yang hanya duduk tak jauh dari mereka pun akhirnya mengangguk dan menaikkan kedua ujung bibirnya. Senyum Arsenio yang kini terukir bukan lagi senyum yang biasa dilihat Calysta saat lelaki nakal itu menggoda perempuan atau bahkan senyum karena bangga baru mengalahkan lawannya. Ia membuktikan satu fakta pada Calysta bahwa laki-laki tukang bikin onar juga masih bisa sayang dan menghargai keberadaan mamanya.

"Psst!" Lelaki yang sejak tadi ditatap Calysta tanpa sadar itu bersiul, menyadarkan Calysta sekaligus memanggilnya. "Bunga."

Baru sadar kalau sejak tadi Calysta masih memeluk sisa buket bunga yang dibeli oleh Arsenio, gadis itu langsung berjalan menuju Karenina dan memberikan sisanya. "Selamat ulang tahun, Tante."

Karenina melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya terhadap Arsenio. "Udah cantik, baik, perhatian pula. Nggak salah kamu pilih dia, Sen."

"Iya dong," ucap Arsenio bangga.

"Calysta, ada ruang kosong di dekat ruang makan. Kamu bisa tidur di sana, ya." Telunjuk Karenina menunjuk ke arah baratnya. "Sudah malam, sebaiknya kamu istirahat."

Tangan Arsenio meraih pergelangan tangan Calysta, membuat gadis itu menoleh. Arsenio menuntunnya menuju ke kamar tamu, sementara Calysta tak ada hentinya menggerutu. Pertama, lelaki itu seenaknya mengajak Calysta ke rumahnya dengan alasan membantu membawakan bunga. Kedua, ia tiba-tiba diminta untuk menginap di rumah Arsenio yang baru dikenalnya.

"Kamu ngomong apa tadi? Bilang pacar seenak jidat." Bibir tebal Calysta dikerucutkannya. Namun, seseorang yang diajaknya bicara tidak menunjukkan respon lain kecuali menjulurkan lidah.

Kenapa pertemuan singkat waktu itu malah jadi panjang begini sih urusannya?

🔽🔼🔽

Sinar matahari pagi sudah menerangi seluruh ruangan dengan cat berwarna putih. Gadis yang masih berada di atas ranjang itu membuka matanya perlahan. Tangannya diregangkan ke atas. Matanya melirik ke arah jam dinding yang terletak di atas pintu. Manik hitamnya terlihat jelas setelah Calysta membulatkan matanya.

"Jam setengah 10?"

Tubuhnya segera bergegas bangun dari tempat tidur. Memang, Calysta hanya bisa bangun pagi jika bundanya yang membangunkan secara langsung atau setidaknya menggunakan alarm. Dan bagi Calysta, tidak sopan jika bangun terlalu siang di rumah orang lain.

Seseorang sudah menatapnya sejak kenop pintu itu terbuka. Kaos sleveless berwarna hitam dengan celana pendek berbahan jeans tengah menjadi pemandangan Calysta. Calysta sempat mengalihkan pandangannya, enggan bertemu mata dengan lelaki itu, sampai akhirnya Arsenio berjalan menghampiri Calysta.

"Jadi cewek itu bangunnya pagi, masa kalah lo sama ayam."

Calysta hanya memandang Arsenio dengan malas kemudian mengabaikannya. Kakinya terus dilangkahkan meskipun ia tidak tahu harus ke mana. Bodohnya, ia tak sempat bertanya pada Arsenio letak kamar mandi di rumahnya. Lagi pula Calysta juga malas berbicara dengan Arsenio.

Terdengar suara kekehan dari belakang. Diam-diam Arsenio mengikuti Calysta yang sejak tadi hanya berjalan di sekitar ruang makan. "Kamar mandi ada di sana. Makanya jangan malu bertanya, nanti sesat di rumah orang," ejek Arsenio sambil menyeringai.

"Makasih," ucap Calysta singkat kemudian segera menghindar dari hadapan Arsenio supaya rasa malunya tidak bertambah besar.

Di balik sifatnya yang jutek dan galak, dia juga lucu. Manis. Gue suka.

"Oh iya, cepat lo siap-siap dan pakai baju yang kemarin dibeli. Nggak usah protes, lakuin aja," ujar Arsenio sedikit berteriak.

Usai mandi, Calysta kembali ke kamarnya dengan handuk yang terpasang di kepala. Ia mengusap-usap rambutnya sambil meraih tas belanja yang diperolehnya kemarin. Direntangkannya dress tersebut kemudian dikenakannya. Calysta sedikit memutar tubuhnya, melihat cocok tidaknya dress itu melekat di badan Calysta.

Seseorang dari luar tiba-tiba mengetuk pintu, mengalihkan pandangan Calysta dari sebuah cermin di depannya. Awalnya ia mengabaikan hal itu, tapi lama-kelamaan dirinya tak tahan mendengar ketukan pintu yang luar biasa kencangnya. Pasti Arsenio.

"Apa sih?" keluh Calysta seraya membuka pintu.

Senyum Arsenio dibalas dengan tatapan sinis Calysta. "Lo cantik," kata Arsenio setelah melihat penampilan Calysta dari bawah hingga atas.

Kulitnya yang putih berpadu manis dengan dress berwarna salem. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan terurai sebagian, sementara sebagian lagi diikat tengah membentuk sebuah kepangan fishtail. Tatanan rambut yang membuatnya semakin feminin.

"Gue ganteng nggak?"

Berbalik, kini Calysta mengamati pakaian yang menempel di tubuh laki-laki itu. Setelan yang sama seperti saat dilihatnya tadi, hanya saja ditambah dengan kemeja lengan pendek berwarna abu-abu muda yang sengaja tidak dikancing. Matanya beralih melihat jendela, tapi kemudian kembali lagi menatap Arsenio.

"Panas kayak gini kamu pakai celana pendek? Mau jadi gosong?" ujar Calysta.

Arsenio menunjukkan senyumnya. "Perhatian banget. Gue jadi senang."

"Whatever." Calysta mengibaskan tangannya dan berjalan melewati Arsenio.

"Sayang, mau ke mana sih? Jangan cemberut terus, kecut."

Arsenio tahu bahwa ucapannya bisa memicu rasa kesal Calysta. Benar saja, gadis itu menengok ke belakang. "Nggak ada mama kamu, nggak usah ngaku-ngaku."

"Biar lo terbiasa dipanggil sayang pas kita pacaran nanti."

Calysta memilih untuk mengabaikan kalimat Arsenio dan duduk di sofa ruang tamu. Ia tak tahu apa yang akan dilakukannya, jadi menunggu adalah pilihan terbaik. Tak lama, Karenina datang dengan membawa sebuah keranjang rotan berukuran sedang berwarna cokelat. Melihat itu, hati Calysta tergerak untuk membantu. Karenina tersenyum setelah keranjang itu berpindah tangan.

Dari belakang, Arsenio datang dan menyandarkan kepalanya ke bahu Karenina sambil berucap, "Pacarnya Arsen perhatian ya sama calon mertua?" Tak menolak, Karenina mengangguk.

"Ayo, Ma. Kita berangkat sekarang."

Tanpa tahu ke mana ia akan dibawa pergi, Calysta sudah berada di dalam mobil Mazda berwarna putih. Arsenio fokus melihat jalanan di depannya, sementara Karenina sibuk dengan ponselnya. Dalam waktu hampir satu jam, mobil itu melaju membelah jalanan ibu kota.

Lajunya berhenti ketika sampai di depan area luas yang didominasi warna hijau. Orang yang melihatnya saja pasti akan merasa nyaman.

"Taman Cattleya." Calysta menengadahkan kepalanya supaya dapat membaca tulisan itu kemudian berjalan mengikuti Arsenio dan Karenina dari belakang.

Terik matahari menemani acara piknik yang direncanakan oleh Arsenio. Meskipun bayangan pohon sudah menutupi tubuh mereka, suasana panas masih saja tetap terasa. Begitulah Jakarta. Karenina mengeluarkan beberapa makanan dari dalam keranjang rotan, menatanya di atas alas yang sudah dibentangkan sebelumnya.

"Mama rindu kita kumpul kayak gini, Sen, apalagi sama Papa." Karenina mengambil sepotong sandwich dan memasukkannya ke dalam mulut.

Arsenio berdeham. "Jangan bahas Papa kalau kita lagi berdua, Ma. Ada hal lain yang bisa dibahas. Calysta misalnya."

Merasa namanya dipanggil, Calysta mendongakkan kepalanya usai memakan bekal yang dibawakan oleh Karenina. Mendengar apa yang dikatakan oleh Arsenio, Calysta jadi bertanya-tanya bagaimana hubungan Arsenio dengan papanya. Sangat buruk sampai mendengar namanya saja enggan?

Awalnya, gadis itu berpikir bahwa Arsenio memiliki segalanya yang ia punya. Tentu karena harta yang selalu dibanggakannya. Kehidupan yang sempurna. Namun, hari ini terungkap bahwa seseorang yang selalu bahagia di depan orang banyak pun tentu memiliki masalah di dalam kehidupan pribadinya.

"Calysta, kamu ketemu Arsen di kampus ya? Satu jurusan?" tanya Karenina, mengalihkan pembicaraan.

Gadis itu menggeleng. "Ketemu di jalan, Tante."

Karenina memandangnya dan Arsenio secara bergantian dengan heran. Namun, Arsenio langsung mengambil alih. "Waktu itu aku nolongin Calysta yang lagi diganggu orang jahat, Ma. Eh, ternyata kita satu kampus juga."

Calysta mengernyitkan dahinya. Kayaknya orang jahat itu kamu deh.

"Tante senang tahu Arsen dapat pacar yang cantik dan baik kayak kamu. Jarang-jarang juga dia ini ngajak pacarnya ke rumah."

Arsenio mendekat ke arah Calysta dan berbisik. "Mama aja udah setuju, lo kapan setujunya?"

"Berisik," balas Calysta ketus.

Acara makan itu berlanjut tanpa banyak suara. Hanya kicauan burung dan tiupan angin yang mengisi kesepiannya. Keheningan pecah saat ponsel milik Calysta berdering, menunjukkan kontak nama yang tidak asing. Ia beranjak dan menjauhkan diri sedikit untuk mengangkat panggilan itu.

"Halo, Cal. Kamu ke mana? Aku datang ke rumahmu, tapi kata Bunda kamu lagi ada di rumah teman."

Suaranya tak asing. Lelaki yang akhir-akhir ini sering muncul di hadapannya. Jordan.

"Iya, aku ada di rumah temanku, Dan. Ada apa kamu ke rumah?"

"Tadinya aku mau ajak kamu pergi, mumpung hari libur. Kamu ada di mana? Biar aku jemput nanti pulangnya."

"Nggak perlu, Dan. Aku bisa pulang sen—"

Seseorang merampas ponsel itu dari genggaman Calysta. Ia membaca nama yang tertera di layar sebelum akhirnya menempelkan benda berwarna silver itu ke telinga.

"Calysta ada sama gue. Lo nggak usah kaget atau ngatur dia."

"Arsen? Calysta nggak mungkin dengan mudahnya mau diajak sama orang yang baru dikenalnya. Kamu mengancam dia kalau nggak mau ikut kamu? Busuk banget caranya."

"Nggak, tapi emang udah waktunya Calysta kenalan sama calon mertua. Dia pacar gue. Mulai detik ini."

Sambungan telepon itu terputus diikuti dengan pukulan keras di lengan Arsenio. Calysta masih berdiri di sampingnya dengan geram. "Berhenti ngaku-ngaku kamu adalah pacarku."

Arsenio menatap gadis itu dengan tatapan yang tajam. Tangannya meraih beberapa helai rambut Calysta kemudian membelainya. "No, sampai lo mau jadi pacar gue yang sesungguhnya."

🔽🔼🔽

Gimana episode "Arsenio" kali ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top