Arsenio #8 - Kekasih Hati?

Ada yang mengatakan bahwa apa yang telah dimulai, harus diselesaikan. Sekarang, biarkan aku meluruskan kisah ini karena aku yang membawamu masuk ke dalam duniaku.

Satu jam kemudian, semua bunga yang terpajang di toko tersebut sudah rapi tersusun menjadi beberapa buket bunga. Mulai dari yang ukurannya kecil hingga besar. Calysta mengangkat semua hasil rangkaian bunganya, menunjukkan itu pada Arsenio. Arsenio menaikkan salah satu ujung bibirnya, seperti sedang berpikir, tapi kemudian ia mengangkat ibu jarinya.

"Sekarang, ayo kita pergi!" Arsenio menarik tangan Calysta, sempat membuat gadis itu kehilangan keseimbangan dan hampir menjatuhkan sebuah buket bunga.

Calysta menahan langkah Arsenio. "Tunggu, toko ini siapa yang jaga?"

"Apa lagi yang mau dijaga? Semua bunganya udah laku terjual. Ditutup aja tokonya."

"Ini punya tanteku. Nanti Tante heran kalau toko udah ditutup secepat ini."

"Lo punya handphone, 'kan? Kabari tante lo dulu kalau lo mau pulang. Jangan lupa kabarin orang tua lo juga. Gue tunggu."

Gadis itu menghela napas dan mengambil ponsel yang disimpannya di dalam tas selempang kecil. Kalau bukan karena Arsenio sudah membantunya, ia ogah melakukan hal ini. Setelah urusan izin selesai, Calysta berjalan menuju pintu keluar dengan menggenggam bunga-bunga itu. Kesabarannya pada Arsenio sudah habis karena bahkan di saat ia kesulitan membawa seluruh bunga milik Arsenio, lelaki yang sedang asyik mengunyah permen karet itu dengan santai berjalan di depannya sambil terkekeh. Kekehan yang begitu menyebalkan untuk didengar.

Emang, cowok nggak peka. Ah, dia sih pura-pura nggak peka. Menyebalkan. Baru juga kenal, seenaknya nyuruh-nyuruh orang. Memangnya dia siapa?

Arsenio sudah sampai di samping motornya, sementara Calysta masih kesulitan mengunci pintu karena gerakan tangannya yang terbatas. Baru lelaki itu ingin menyalakan mesin motor, ia berdecak. Tangannya meraih bunga yang ada di dalam dekapan Calysta.

"Bunganya bisa rusak nanti. Kalau butuh bantuan, bilang dong. Jangan gengsi sama gue." Arsenio meraih benda yang sejak tadi menyulitkan gerak Calysta, sedang Calysta bengong menatap wajah Arsenio.

Gadis dengan rambut dicepol ke atas itu akhirnya bisa bernapas lega. Tangannya bergerak seperti mengelap keringat yang bercucuran di dahinya, meskipun sebenarnya tak ada.

"Kamu yang seharusnya tau tanpa diminta dong."

"Gue ini Arsenio, bukan dukun. Nggak bisa baca pikiran orang. Semua cewek sama aja, selalu anggap cowoknya nggak peka. Gue hidup di zaman apaan sih ini?" Arsenio menggeleng kemudian menaiki Ninjanya. Duduk menunggu Calysta selesai memastikan toko tersebut aman untuk ditinggal.

Calysta merespon kalimat Arsenio dengan cepat. "Cowoknya? Memang kamu siapanya aku? Kamu bukan cowokku, nggak usah mengakui secara sepihak."

Bibir tebal Calysta dimonyongkannya. Reaksi yang membuat Arsenio justru tertawa dan refleks mencubit pipinya. Tangan Calysta lebih dahulu memukul jemari Arsenio sebelum akhirnya mengelus bagian kanan pipinya yang menjadi korban lelaki itu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Terjebak dalam masalah selama di toko bunga ternyata memakan waktu Arsenio cukup banyak. Mau tak mau, ia harus cepat-cepat sampai di Jakarta sebelum malam. Tangannya meraih helm cadangan yang memang selalu dibawanya di dalam box berwarna senada dengan motornya. Maklum, kebiasaan Javier selalu menebeng dengannya saat pulang membuat Arsenio harus selalu sedia helm.

"Nih, pakai." Helm itu disodorkannya ke hadapan Calysta, tapi gadis itu tak bisa melihatnya dengan baik karena terhalang oleh bunga-bunga di tangannya.

"Itu apa?" tanyanya, "oh helm, sebentar."

Satu per satu buket yang ada di genggamannya berpindah ke atas jok motor. Calysta terlihat sibuk antara meletakkan bunga dan menjaganya supaya tidak terjatuh. Arsenio yang sudah duduk di depan sudah merasa gerah dengan kelakuan Calysta. Bahkan gadis itu mengabaikan helm yang sudah disodorkannya dan membuat Arsenio menunggu.

Merasa geregetan dengan gerakan tubuh Calysta yang baginya lambat, ia menarik lengan Calysta supaya tubuhnya bergeser ke dekatnya.

"Nunggu lo ngurusin bunga itu bisa sampai malam kita di sini. Lama. Sini!"

Helm berwarna merah itu kini sengaja Arsenio pasangkan pada kepala Calysta, sedang Calysta hanya bisa terdiam. Usai mengenakannya, lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Ia juga segera memakai helm miliknya.

"Selesai, 'kan? Cepat jadinya, nggak ribet kayak lo tadi."

Calysta tersadar dari diamnya. Tangannya memegangi benda bulat yang sudah terpasang di kepalanya. Namun, setelahnya langsung memukul lengan atas Arsenio. "Tadi kamu megang pipi aku, sekarang sok modus makein helm! Emangnya aku benda yang bisa kamu pegang seenaknya?" keluhnya.

Arsenio mendesis. "Ini cewek makannya apa sih? Bawel banget. Pantas lo tahan sama Alisya, bawelnya sama."

Manik hitam Calysta mendelik tajam ke arah Arsenio. Membuat lelaki itu menatapnya balik dengan tatapan yang tak kalah tajamnya. Ia menggertakkan giginya setelah beberapa detik Calysta tidak juga menjauhkan pandangan yang paling tidak disukainya itu.

"Jangan natap gue langsung kayak gitu! Gue nggak pernah suka. Salah apa gue bisa sampai tertarik sama cewek kayak lo?"

Arsenio membuang muka, menatap ke arah berlawanan.

"Bukan aku yang minta kamu tertarik sama aku, 'kan? Terus kenapa kamu nggak marah aja sama aku sekarang? Dengan begitu, aku jadi nggak perlu ikut kamu ke Jakarta." Nada bicara Calysta seperti sedang meledek Arsenio.

Kini, Calysta dapat melihat wajah Arsenio lagi setelah ia menoleh kembali dengan tatapan yang sama seperti tadi. "Nggak gitu. Udah, sekarang lo cepat naik deh. Bisa habis waktu gue buat berdebat aja sama lo begini."

🔽🔼🔽

Dari jauh, sebuah gedung tinggi sudah terlihat. Banyak orang berlalu-lalang dan tak sedikit yang membawa tentengan hasil dari berjam-jam berada di dalam gedung tersebut. Kendaraan beroda dua dan empat juga terlihat berbaris untuk dapat memasukinya. Pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Utara itu memang tidak pernah sepi, bahkan di hari kerja sekalipun.

Kini, motor milik Arsenio juga ada di dalam antrean. Calysta masih terdiam sambil memandangi betapa besarnya tempat yang akan ia kunjungi. Gadis itu memang belum pernah datang ke tempat tersebut. Keluarganya jarang pergi ke Jakarta, kecuali jika ada acara dari salah satu saudaranya yang ada di sana.

"Cal, turun. Lo ngapain? Kita udah sampai." Suara Arsenio mengacaukan kekaguman Calysta.

"Apa? Astaga, iya."

"Kalau mau berlama-lama nempel sama gue, bilang aja langsung. Nggak perlu pura-pura gitu."

Calysta nyaris tertawa. Bukan karena lucu, melainkan geli mendengar ucapan Arsenio. "Just in your dream. Kamu kenapa ngajak aku ke sini? Kamu nipu aku? Pura-pura bilang mau pulang ke rumah, tapi ternyata malah ngajak ke mall."

"Kalau ketemu orang baru alias calon mertua, harus dandan yang cantik." Arsenio mengambil beberapa buket bunga dari gengaman tangan Calysta. "Cepat. Gue tahu lo pegal bawa bunga sebanyak ini."

"Oh, Arsenionya udah balik lagi sekarang? Udah nggak sebal?" Calysta malah gantian meledek lelaki itu.
"Kalau tau mah harusnya sekarang kita cepat ke rumahmu aja."

"Lo mau gue gandeng biar cepat jalan tapi tetap bawel atau jalan sendiri tapi nggak ngomong apa-apa?"

"Mulut kan dipakai buat ngomong. Iya, aku jalan sendiri. Kamu nggak usah mencari kesempatan."

Keduanya berjalan memasuki pintu utama mall. Sejak mereka masuk, banyak pengunjung lain yang menaruh perhatiannya pada benda yang ada di tangan Arsenio dan Calysta. Samar-samar, Arsenio mampu mendengar apa yang mereka ucapkan.

"Ceweknya beruntung banget. Lihat betapa romantisnya dia beliin banyak bunga buat pacarnya."

"Duh, sisain buat gue satu yang kayak gitu."

Kedua sudut bibir Arsenio tertarik ke atas. Ia melirik gadis di sampingnya yang sepertinya tak peduli dengan reaksi orang yang ada di sekitarnya. Arsenio memegang erat buket bunga berukuran besar dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya dilayangkan dan sampai ke bahu Calysta. Dengan sengaja, menarik tubuh gadis itu supaya mendekat dengannya.

Mata Calysta bergantian melirik wajah Arsenio dan posisi lengannya yang sudah sangat dekat dengan lelaki itu. Kedua alisnya bertaut. Tubuhnya memaksa untuk menjauh, tapi pemilik tangan yang kini ada di bahunya itu menahan dengan cukup kuat. Ia mendekatkan wajahnya dengan telinga Calysta.

"Lo tau orang-orang lagi lihat kita? Banyak dari mereka iri karena gue romantis. Jadi, lo tinggal diam dan biar gue yang memainkan perasaan mereka. Biar romantisnya juga nggak cuma di mulut."

Arsenio menunjukkan senyum terlebarnya, sesekali diselingi tawa sambil melihat ke arah Calysta. Akhirnya, gadis itu pun pura-pura tertawa padahal tak ada hal lucu yang sedang dibicarakannya. Dasar tukang cari muka. Calysta menggeleng.

Sudah cukup jauh, Calysta mendorong tubuh Arsenio supaya menjauh. "Udah nggak ada orangnya, nggak usah keenakan modus."

"Marah mulu lo, senyum cantiknya dianggurin." Beralih dari wajah Calysta, pandangannya terpaku pada satu tempat. Telunjuk Arsenio menunjuk ke sebuah toko dengan berbagai maneken yang mengenakan dress. "Ke sana yuk!"

Arsenio tak ingin mendengar balasan apa pun dari mulut Calysta, terlebih saat gadis itu mulai mengeluh dan bertanya-tanya. Kedua kakinya melangkah masuk, diikuti dengan Calysta yang berjalan di sampingnya.

Seorang pramuniaga menyambut mereka dengan ramah, menuntun keduanya menuju sederetan pakaian cantik dengan tulisan 'New Arrival' di bagian atasnya. Sesuai dengan apa yang diminta oleh Arsenio, pramuniaga itu membawa Calysta untuk melihat-lihat pakaian yang ada di sana.

Calysta membuka tiap deretan midi dress berwarna pastel untuk dapat melihat modelnya satu per satu. Tak jarang pula ia menatap wajah Arsenio dengan heran, tapi lelaki itu selalu saja hanya tersenyum dan meminta Calysta untuk melanjutnya pencariannya.

"Kamu ngapain sih? Harus banget beli baju baru? Baju yang kupakai juga nggak jelek-jelek banget. Sayang uangnya." Kini, Calysta benar-benar mendaratkan tatapannya pada mata Arsenio.

"Apa? Iya, gue juga sayang lo," ledek Arsenio sambil menyentuh dagu Calysta. Sebuah kelakuan yang membuat Calysta mengusap dagunya berulang kali dan menatap malas ke Arsenio.

Arsenio tersenyum kemudian merogoh benda berbahan kulit dan berwarna cokelat yang ia simpan di dalam saku celana. Tangannya mengayun-ayunkan benda itu ke depan wajah Calysta.

"Yang lo khawatirkan ada di sini. Semua aman. Gue bisa belikan apa pun yang lo mau. Pilih aja."

"Tengil." Calysta sengaja mengecilkan volume suaranya supaya Arsenio tak mampu mendengar apa yang diucapkan. Namun, kenyataannya mata Arsenio langsung mendelik ke arah gadis yang baru saja mengejeknya.

Daripada diajak bicara yang aneh-aneh dengan Arsenio, Calysta memutuskan untuk lanjut memilih jenis dress yang akan dipakainya. Setelah hampir satu setengah jam berada di toko tersebut, akhirnya mereka keluar dengan membawa pulang sebuah midi dress berwarna salem.

"Lo simpan aja. Kalau gue minta pakai, baru lo pakai," perintah Arsenio.

Usai mendapatkan apa yang dicari, keduanya kembali ke tempat parkir. Berhubung rumah Arsenio berada di kawasan yang sama dengan mall tersebut, ia tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke rumah. Langit yang awalnya terang sudah berubah menjadi gelap. Arsenio melirik jam yang tertera di layar ponselnya. Setengah sembilan malam. Kenyataannya, mereka sudah menghabiskan banyak waktu di jalan.

Rumah tingkat dua dengan area yang luas dapat mereka lihat dengan jelas. Bunyi derit pintu terdengar ketika Arsenio sudah sampai di depan rumah. Ia melirik ke dalam, tak ada orang selain seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan kepala yang terangguk-angguk menahan kantuk.

"Selamat malam, Ma," sapa Arsenio sambil memeluk wanita yang disayanginya itu dari belakang. Melihatnya, Calysta tertegun. Di matanya, Arsenio adalah seseorang yang hanya punya kekerasan, bukan hati. Namun, apa yang baru saja dilihat itu telah mengubah pemikirannya.

"Ah, Arsen? Aduh, maaf Mama ketiduran di sini ya? Kamu baru sampai?" tanya Karenina—mamanya Arsenio—sambil balik memeluknya.

Arsenio menggeleng. Calysta yang berdiri tidak begitu jauh dari Arsenio pun akhirnya disadari kehadirannya oleh Karenina. Wanita itu melepas pelukannya dan menghampiri Calysta yang disambut dengan jabatan tangan. Ia pun bertanya-tanya, "Ini siapa, Sen?"

"Malam, Tante. Saya Cal—"

"Pacarnya Arsen, Ma." Secepat kilat Arsenio memutus pembicaraan Calysta dan secepat kilat pula kalimat itu membuat Calysta membuka lebar-lebar matanya. "Namanya Calysta."

Jangan lupa vote dan comment jika kalian suka, terima kasih ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top