Arsenio #6 - Cemburu

Adalah wajar jika hati terusik kala melihat dia bersama yang lain.

Setelah ditinggalkan sekaligus diabaikan oleh Calysta, Arsenio kembali ke fakultasnya. Kini, ia sudah berada di dalam kelas Pak Hendro yang sejak tadi sedang menyampaikan materi mengenai pengujian beton serta bahan-bahan pembentuk beton. Jurusan teknik sipil memang menjadi wadah Arsenio dalam menambah pengetahuannya. Meskipun itu bukan murni pilihannya, ia mau tak mau tetap menjalankannya.

Arsenio lebih memilih untuk mengunyah permen karet yang selalu disimpannya di dalam tas ketimbang mendengar penjelasan panjang materi yang sama sekali tak menarik perhatiannya. Kala bosan menghampiri, ia memang lebih suka melakukan berbagai gerakan tarian dan mengunyah permen karet. Namun, karena Arsenio masih sadar di mana ia sedang berada sekarang, lelaki itu menyembunyikan hasrat menarinya.

"Jav, gue nemu cewek cantik lagi di kampus kita." Arsenio mendekatkan tubuhnya dengan Javier supaya dapat berbisik.

Javier tidak membalas dengan kata-kata, hanya gerakan kepala yang ditunjukkannya. Ia mengangkat kepalanya seolah bertanya siapa gadis yang dimaksud oleh sahabatnya.

"Lo masih ingat sama dia yang ketemu kita di jalan kemarin nggak? Dia anak fakultas seni. Satu kampus sama kita, coy."

"Halah." Javier mengibaskan tangannya ke depan wajah Arsenio. "Lo mah semua cewek di kampus juga dibilang cantik. Terus lo mau apa? Bertindak kayak biasanya?"

Keduanya sibuk berbicara dengan volume suara yang kecil, Liem yang berada di sampingnya pun penasaran dengan apa yang sedang diobrolkan. Merasa tidak dianggap dan tidak diajak bercerita, ia pun ikut nimbrung. "Asyik banget kalian. Ngomongin apaan?"

"Biasa, apa lagi yang bisa bikin Arsen semangat cerita kalau bukan masalah cewek?" Javier terkekeh, disusul dengan pukulan Arsenio yang membuatnya mengelus lengan kanannya secara berulang-ulang.

"Iya, kayaknya seru juga kalau jadi pacar ke-21 gue."

"Terus beberapa hari kemudian, langsung masuk ke dalam daftar mantan lo yang ke-21. Gila lo, Sen," komplain Liem sambil menggelengkan kepalanya.

"Sirik aja lo." Arsenio membela dirinya.

Javier tidak mau kalah dari Liem, ia juga mengutarakan pendapatnya. "Eh, tapi benar juga kata Liem. Lo kapan mau tobat? Hati cewek dimainin mulu."

"Tobat? Nanti kalau udah nemu yang cocok. Puas?"

"Puas juga kamu berbicara di dalam kelas saya, Arsenio?"

Suara berat yang tak asing tiba-tiba terdengar jelas di telinga Arsenio. Ketiganya mendongakkan kepala. Seseorang yang tingginya mencapai 175 cm dengan pakaian kemeja batik dipadukan dengan celana kain berwarna hitam tengah berdiri di depannya. Kumis tebal menambah efek galak pada wajahnya. Namun, namanya Arsenio yang suka bertingkah seenaknya bahkan dengan dosen, ia tak terlihat panik sama sekali. Berbeda dengan Javier dan Liem yang sudah saling berpandangan dan khawatir.

"Bapak mau ikut ngobrol juga sama kita?" tanya Arsenio enteng.

Pak Hendro mengangguk. "Boleh. Coba kamu jawab, apa saja proses yang perlu dilakukan dalam pembuatan beton?"

Arsenio menepuk dahinya kemudian terkekeh. "Pak, nggak ada bahan obrolan lain? Yang seru gitu. Kalau pertanyaan itu sih, Javier pasti bisa jawab."

Mata Javier melotot ke arah Arsenio, sementara lelaki yang baru saja mengumpaninya itu hanya menahan tawa. Secepat kilat, Javier menggeleng dan pura-pura membalikkan lembaran bukunya yang hanya berisi sedikit catatan. Melihat tingkah itu, Pak Hendro menghela napasnya dan beralih memandang Liem yang tertunduk.

"Kalau kamu ... bagaimana, Liem?" Satu kalimat lagi dari Pak Hendro yang mengagetkan Liem.

"Ah, itu, Pak. Saya ... lupa." Liem menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Bagaimana bisa lupa? Saya baru menjelaskannya beberapa menit yang lalu. Saya tidak suka dengan mahasiswa yang berbicara hal lain saat saya juga menjelaskan materi," geram Pak Hendro.

"Sama dong, Pak. Saya juga nggak suka waktu tadi Bapak ikut ngobrol tiba-tiba sama saya, Javier, dan Liem." Ekspresi wajah Arsenio kali ini benar-benar menyebalkan sampai-sampai Pak Hendro kehabisan kesabaran.

"Arsenio, tidak bisa sedikit saja menghargai dosen kamu? Silakan keluar kalau memang tidak berniat untuk hadir di perkuliahan saya."

Pak Hendro benar-benar mempersilakan mahasiswanya untuk keluar. Tentu saja karena ia sudah tak sanggup menghadapi Arsenio. Lagi pula, ia memang tidak suka dengan mahasiswa yang sukanya membuat onar seperti Arsenio. Umurnya sudah tua, jika terus-terusan dihadapkan dengan Arsenio, darah tingginya bisa saja kumat.

Tanpa mengeluarkan suara, Arsenio menggendong salah satu tali ranselnya di pundak dan beranjak dari kursi. Kedua sahabatnya hanya mengikuti gerakan Arsenio dengan matanya. Mereka tidak ikut dengan Arsenio karena Pak Hendro masih memberikan kesempatan bagi Javier dan Liem mengikuti kelasnya.

"Anak itu nggak pernah bisa dibilangi dengan cara halus." Pak Hendro mengeluh sambil kembali berjalan ke kursinya.

🔽🔼🔽

"Teh, batagornya satu porsi dong."

Arsenio menghabiskan waktu selama jam perkuliahan Pak Hendro di kantin fakultasnya. Entah sudah berapa makanan yang masuk ke dalam perutnya. Ia memilih meja yang terletak di tengah kantin. Alasannya hanya satu, supaya bisa menjadi pusat perhatian. Namun, jangankan menjadi pusat perhatian, mahasiswa lain tak ada yang berani berjalan di dekatnya apalagi memperhatikannya.

"Ini batagornya." Sepiring batagor lengkap dengan bumbu kacangnya terhidang di depan Arsenio. Makanan itu langsung dilahap lagi olehnya.

Dari jauh, dua orang sedang berlari kecil ke arahnya. Arsenio yang sedang menikmati batagor miliknya sama sekali tak terganggu dengan keberadaan orang yang baru saja sampai di dekat tempat duduknya. Salah satu dari mereka menarik kursi juga garpu dari genggaman tangan Arsenio. Satu suapan batagor masuk ke dalam mulutnya.

"Woy!" teriak Arsenio.

"Lapar, Sen. Minta sesuap sama lo kan bukan apa-apa." Liem segera menelan batagor yang masih ada di dalam mulutnya.

"Sorry, kita nggak ikut lo tadi," timpal Javier.

Arsenio bergumam. "Gue tau kalian terlalu khawatir sama nilai, nggak kayak gue."

"Tadi lo belum selesai cerita tentang si cewek dari fakultas seni itu. Lanjut, Sen. Gue jadi ikut penasaran gini." Javier ikut-ikutan menyuapkan batagor ke dalam mulutnya.

"Namanya Calysta, temannya Alisya, sepupu gue. Kalau emang udah jodoh mah ada aja jalannya. Dengan adanya Alisya, gue lebih gampang tahu segalanya tentang dia, 'kan?"

"Sekali-kali gue pacaran sama anak luar fakultas lah. Udah bosan sama yang di sini," sambung Arsenio lagi.

"Terus lo mau ngelakuin apa?" Javier duduk mendekat sambil mengangkat salah satu kakinya.

"Gue mau ikutin dia pulang, biar tau rumahnya," jawab Arsenio.

Javier dan Liem saling berpandangan heran. Mendengar apa yang dikatakan oleh Arsenio, baginya itu adalah cara kuno. Arsenio bisa saja melakukan suatu hal yang keren untuk menarik hati gadis itu seperti yang sudah dilakukannya pada mantan-mantannya. Tentu itu bukan hal yang sulit bagi Arsenio. Lagi pula, sepupunya adalah sahabat baik gadis yang sedang diincarnya, kenapa tidak langsung tanya saja? Dia bisa menggali informasi lebih banyak dari Alisya.

"Cara ini berlaku buat cewek kayak dia. Pesona gue luntur di depan dia," keluh Arsenio sambil melahap suapan terakhir batagornya.

Liem tertawa kecil. "Baru kali ini lo kalah pesona, Sen."

Sebelum mengakhiri pembicaraannya, Arsenio teringat akan sosok Jordan yang ditemuinya berada di dekat Calysta. Ia tak bisa berbohong kalau ia penasaran dengan status Jordan bagi Calysta. Selain karena Jordan mengancam hubungan Arsenio dengan Calysta, ia juga tak mau kalah dari ketua tingkat angkatannya yang semakin ke sini makin menunjukkan kekuasaannya.

Arsenio pun menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan Jordan. Javier dan Liem mendengarkan ceritanya dengan baik. Dari ekspresi wajah Arsenio, kedua sahabatnya itu tahu kalau sebentar lagi pasti akan ada yang dilakukan oleh Arsenio supaya Jordan mau tak mau mundur dari mendekati Calysta.

"Gila ya itu anak. Di mana-mana gue harus saingan sama dia. Apa nggak ada saingan yang selevel sama gue? Jordan jauh di bawah gue. Takut dia malu kalau kalah dari gue terus nanti ngadu lagi ke Bu Luciana," ucap Arsenio sambil terkekeh.

"Udah gitu, waktu gue tanya apa hubungannya sama Calysta, jawabannya sok keren banget." Arsenio membersihkan tenggorokannya dan bersiap untuk memperagakan ulang ucapan yang dikatakan Jordan. "Karena aku harus melindungi Calysta. Cih!"

"Ngga usah cemburu, Sen," ledek Javier.

Liem ikut tertawa lagi mendengar cerita yang disampaikan sahabatnya. Pasalnya, Arsenio tak pernah sekesal ini hanya karena kalah saing dengan urusan perempuan. "Terus Calysta itu gimana sikapnya?"

"Dia udah pergi duluan. Entah, jadi cewek cuek amat."

"Gue jadi ingat seseorang yang sikapnya selalu cuek," timpal Liem.

Tanpa menanggapi perkataan sahabatnya, Arsenio langsung menyampirkan tali tas di salah satu pundaknya kemudian beranjak. "Mampus, gue lupa. Gue harus balik ke Jakarta sebelum terlalu sore."

"Lo mau ke Jakarta? Ikut dong, Sen. Gue juga pengen pulang," rengek Javier.

"Ah, lo ikutan gue mulu, Jav. Ada hal penting dan mendesak makanya gue harus pulang. Gue duluan."

Dengan langkah cepat, Arsenio melewati beberapa lorong hingga akhirnya sampai di pintu keluar fakultasnya. Ia mengendarai Ninja hitamnya sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Gara-gara ngurusin Calysta sama Jordan, gue bahkan lupa kalau ada janji sama Mama. Masa gue cemburu hanya sama Jordan? Bukan level gue. Dia nggak ada apa-apanya.

Ia menghentikan laju motornya sebentar. Lelaki itu meraih sebuah ponsel di dalam saku celananya. Jarinya dengan cepat menyentuh huruf-huruf yang tertera di layar tipisnya.

Ma, Arsen baru berangkat dari Bandung. Tunggu aja ya. Sementara Papa belum pulang, Arsen mau ajak Mama pergi sekaligus merayakan hari yang terlalu indah untuk dilewatkan ini.

Senyuman tipis terukir di wajahnya. Lelaki yang dikenal galak dan suka bikin onar itu memang begitu menyayangi mamanya. Satu-satunya wanita yang ingin ia lindungi. Satu-satunya wanita yang menjadi alasannya masih bertahan di rumah itu meski keadaan tak pernah berpihak padanya. Belum lama ini, hubungan Arsenio tidak begitu baik dengan keluarganya, terutama dengan papanya. Sosok yang dianggap Arsenio sebagai seorang manipulator yang selalu asyik memainkan marionette di setiap pertunjukannya. Marionette itu tidak lain dan tidak bukan adalah Arsenio. Kehidupannya terlalu banyak diatur oleh Zian, sampai-sampai Arsenio muak hanya dengan melihat wajahnya. Bahkan meski ia tahu kalau hal itu sebenarnya dilarang, Arsenio tak bisa mengelak. Sampai saat ini, belum ada yang bisa meredakan rasa bencinya dengan Zian.

"Cukup gue aja yang diresahkan sama Papa, Mama ngga boleh terus-terusan merasa tertekan. Andai gue bisa bawa Mama pergi dari rumah itu sejak dulu, pasti gue udah lakukan itu." Arsenio menggeleng kemudian memukul stang motornya, melampiaskan kekesalan yang sedang memenuhi pikirannya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top