Arsenio #5 - Pertemuan Tak Terduga
Terkadang, apa yang kamu hindari justru akan kamu dapatkan. Seperti ini, aku, kamu, dan dirinya.
Matahari sudah menampakkan wujudnya sejak lima jam yang lalu. Udara sejuk berembus di setiap sudut tempat tersebut. Sebuah tempat yang dipenuhi dengan bangku-bangku keras seperti batu dan berbagai hiasan dinding berupa lukisan yang sengaja dipajang di bagian pilarnya. Begitulah penampakan gazebo yang terletak di bagian tengah fakultas seni rupa dan desain. Area tersebut memang terbuka sehingga setiap mahasiswa yang duduk bersantai di sana dapat merasakan betapa menyejukkan dan menenangkannya angin yang tertiup.
Gadis yang rambutnya dikuncir satu tengah serius menggerakkan jemarinya di atas kertas putih, sedang yang ada di sampingnya memilih untuk memakan camilan yang sempat dibelinya usai perkuliahan. Seorang laki-laki menghampiri keduanya tanpa bersuara sedikit pun. Kakinya juga sengaja dilangkahkan pelan-pelan supaya tidak menimbulkan bunyi berisik.
"Pergi sana," bisik lelaki itu pada gadis yang sedang asyik menikmati kudapannya. Ia sempat membalas dengan tatapan yang tidak menyenangkan, tapi akhirnya mengalah dan memilih untuk mengikuti perkataan laki-laki yang sedang berbicara dengannya.
"Menggambar wajah orang itu susah banget ya. Kayak gini udah pas belum sih proporsinya, Sya—AAAH!" Calysta berteriak saat menyadari bahwa orang yang berada di sampingnya bukanlah Alisya, tetapi laki-laki aneh yang sempat ditemuinya. Ia refleks memukul lengan Arsenio.
Orang lain yang kebetulan berjalan di depan gazebo itu menoleh setelah terkejut mendengar bunyi pukulan. Yang membuat mereka lebih kaget, suara itu bukan dihasilkan oleh Arsenio, tetapi gadis yang ada di sampingnya.
"Berani amat dia."
"Duh, Calysta, jangan macam-macam sama dia."
"Bentar lagi Arsenio pasti marah."
Beberapa bisikan samar-samar terdengar. Tentu saja, tiada satu orang pun yang berani memukul Arsenio terlebih dahulu. Mereka hanya bisa membalas jika Arsenio sudah melakukan serangan, bahkan yang berani berbuat seperti itu pun bisa dihitung jari.
Arsenio memejamkan mata sambil menghela napas kemudian tersenyum tipis untuk waktu yang singkat. "Kenapa lo pukul gue?"
"Kamu yang kenapa bikin aku kaget? Aku kira setelah pertemuan itu, aku nggak akan lihat mukamu lagi," balas Calysta.
"Gue masih punya janji sama lo."
Calysta memiringkan kepalanya. Kedua alisnya bertaut. Dalam hatinya bertanya-tanya janji apa yang sudah diucapkannya saat pertama bertemu. Dari segala janji yang akan terucap, ia hanya berharap satu hal. Janji untuk tidak muncul di hadapannya. Namun, bukan itu yang dimaksud oleh Arsenio.
"Iya ... gue janji untuk membuktikan kalau gue bisa tahu nama lo." Arsenio mengangkat salah satu kakinya dan menopang dagu dengan punggung tangannya. "Calysta."
Manik hitam Calysta membulat. Tak percaya kalau Arsenio bahkan bisa tau namanya dalam waktu yang dekat. Terlebih lagi, sekarang lelaki itu juga tahu di mana Calysta kuliah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian tersadar bahwa Alisya sedang tidak berada di dekatnya. Alih-alih mengganti topik, Calysta menanyakan keberadaan sahabatnya.
"Tadi ada cewek di sebelahku, ke mana?"
"Oh yang tadi di sini? Alisya? Gue suruh pergi."
Dan dia kenal Alisya? Calysta membatin. "Kamu ... kok bisa tau namanya juga?"
Melihat reaksi kebingungan Calysta, Arsenio justru terkekeh. "Gue tau semua nama di sini. Lo nggak perlu heran atau terkesima."
"Semua? Masa?" Kini, Calysta malah terlihat meremehkan.
"Kenalan dong." Arsenio mengulurkan tangannya dan tersenyum. Sesekali ia mengedipkan mata dan memainkan salah satu alisnya.
Calysta memutar bola matanya malas kemudian menghela napas. "Kan kamu udah tau nama aku, buat apa kenalan lagi?"
"Ya, lebih jauh. Masa cuma kenal nama doang."
Berhenti memfokuskan pandangannya pada sebuah buku di depannya, Calysta membalikkan badan dan melihat Arsenio yang masih mengulurkan tangannya. Gadis itu menurunkan tangan Arsenio dan melihat penampilan laki-laki di hadapannya dari atas hingga bawah.
Matanya tak berkedip, salah satu ujung bibirnya naik. Ada ekspresi jijik melihat penampilan Arsenio. Mengikuti arah bola mata Calysta, Arsenio memperhatikan dirinya sendiri. Tidak ada yang salah, menurutnya.
Dengan santai, Calysta menarik baju yang dikenakan Arsenio. "Baju kegedean, lusuh. Celana robek-robek. Mau aku kasih uang untuk beli pakaian yang layak dipakai ke kampus?"
"Ck. Ini style masa kini." Arsenio tersenyum dengan bangganya.
Calysta hanya menggeleng kemudian membalikkan tubuhnya kembali. Arsenio menggeser tubuhnya supaya duduk lebih dekat dengan Calysta. Dalam kamusnya, memang tidak tertulis kata menyerah. Meski gadis itu sudah merendahkan dirinya secara tidak langsung, ia masih bersikeras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hanya satu, menjadikan Calysta sebagai kekasihnya.
Keduanya diam. Calysta hanya bermain dengan pulpennya, menggoreskan tinta di atas kertas putih, sedangkan Arsenio mengamati tiap gerak-gerik Calysta. Semakin lama, Calysta merasa risih. Geraknya seakan terbatas.
"Aku nggak suka kamu di sini. Risih. Lagi pula ini kan bukan tempatmu," keluh Calysta. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan menenggelamkan kepalanya di antara tangan itu.
"Tapi gue suka di sini. Gue juga suka sama lo. Pacaran yuk," ujar Arsenio.
Calysta terbatuk, tapi suaranya tidak terlalu terdengar. Ia segera mengangkat kepalanya dan menatap Arsenio. "Apa?"
"Gue suka sama lo." Jari Arsenio berpindah mulai dari menunjuk dirinya kemudian menunjuk Calysta. "Ayo jadian."
Tanpa dikendalikan, tangan Calysta refleks menampar pipi Arsenio. Sebuah respon yang sama sekali tak pernah diperkirakan oleh lelaki dengan cap playboy nomor satu di kampus. Ia baru saja menerima tamparan pertama dari perempuan yang sedang didekatinya. Arsenio mendesis, menggertakkan giginya pelan.
"Sebelum mendekati orang lain, terlebih cewek yang kamu suka, perhatikan dulu apa kamu pantas buat dia atau nggak. Penampilan berantakan, ngomong seenaknya ... kamu pikir siapa yang mau pacaran sama kamu?" ucap Calysta.
Gadis itu segera berdiri dari bangku dan hendak pergi mencari Alisya. Akibat mengurus Arsenio yang tiba-tiba muncul di hadapannya, ia sampai lupa memikirkan keberadaan Alisya. Sebelum lelaki itu datang, jelas-jelas Alisya ada di sampingnya. Kini, gadis itu sudah pergi tanpa pamit. Selain ingin mencari sahabatnya, Calysta juga lebih memilih untuk menghindar dari Arsenio sebelum ada banyak percakapan tak terduga yang keluar dari mulutnya.
Arsenio memperhatikan gerak-gerik Calysta. Matanya terus bergerak ke kanan dan kiri seolah mencari sesuatu. Sudah jelas kalau gadis itu sedang menghindari pembicaraannya.
"Aku mau cari Alisya."
"Calysta!" Seseorang melambaikan tangan ke arahnya sebelum Calysta berjalan jauh dari gazebo.
Gadis itu memfokuskan pandangannya, mencari dari arah mana suara itu datang. Sementara itu, Arsenio sedikit menggeser tubuhnya dari belakang badan Calysta supaya ia bisa melihat siapa yang memanggil gadis yang sedang bersamanya.
Usai melambaikan tangan, lelaki yang membawa sebuah kotak makan menghampiri Calysta. Sedikit terkejut saat mengetahui bahwa Arsenio bersama dengannya. Namun, ia tak memedulikan hal itu. Ia ingin berbicara dengan Calysta tanpa harus menganggap keberadaan Arsenio.
Sejak melihat sosok itu dari jauh, Arsenio sudah memasang wajah galaknya. Perasaan tak suka itu menjalar ke seluruh ruang hatinya. Terlebih saat melihat lelaki itu masih berani menghampiri Calysta yang jelas-jelas sedang bersamanya.
"Udah siang. Kamu udah makan? Ini aku bawain makanan." Ia menyodorkan kotak makan bening berisi nasi goreng dengan telor dadar.
"Kamu makan aja. Aku ngga laper, Dan," tolak Calysta.
Mata Jordan beralih ke kotak yang masih dipegangnya kemudian berkata, "Meski kemarin aku bilang mau pergi, tapi kesehatanmu tetap penting. Ini bawa aja. Kalau nanti nggak dimakan juga nggak apa-apa."
Arsenio berdiri dan bertanya pada Jordan, "Lo ngapain? Kalau Calysta ngga mau, ngga usah dipaksa." Tangannya menyambar kotak tersebut. "Buat gue aja. Kebetulan gue lapar."
"Aku ke sini untuk Calysta, bukan buat berkelahi sama kamu," elak Jordan. Matanya menatap manik hitam milik Arsenio sejenak kemudian terusik oleh suara Calysta.
"Kamu kenal dia, Dan?"
Jordan mengangguk. "Anak bermasalah dari fakultas teknik."
Mulut Calysta ternganga. Anak bermasalah katanya? Pantas, seharusnya dari penampilannya pun aku udah tahu.
Kepalan tangan Arsenio nyaris dilayangkannya pada wajah Jordan kalau saja ia tidak ingat ada Calysta di dekatnya. Berada di dekat gadis yang sedang diincarnya membuat Arsenio mau tidak mau menjaga sikapnya. Ia sudah pernah diremehkan sekali oleh Calysta, tidak boleh ada lagi yang kedua.
"Sialan! Maksud lo apa?" umpat Arsenio.
"Orang yang nggak bisa mengontrol emosinya, selalu berantem tiap ada masalah kecil, apa namanya kalau bukan pembuat masalah?" jawab Jordan seolah menantang Arsenio.
"Ish!" Ingin rasanya Arsenio memukul lelaki yang sudah terang-terangan menguji emosinya, tetapi tak bisa. Sebagai gantinya, ia melayangkan kakinya seperti menendang sesuatu, tapi sebenarnya tak ada benda di dekatnya yang tertendang. Hanya emosinya yang diluapkan dengan cara itu.
Calysta lelah dengan Arsenio, juga dengan Jordan. Keduanya sama-sama sudah mengganggu hidupnya. Tangannya meraih kotak makanan dari tangan Arsenio dan mendekapnya. "Kalau kalian mau berantem, jangan pas ada aku. Aku pergi. Silakan dilanjut."
"Cal, tunggu, Cal," cegah Arsenio, "harusnya lo ngga datang, Dan. Ngapain sih ke sini? Hubungan lo sama Calysta juga apa?"
Percuma saja, Calysta juga sudah berjalan jauh meninggalkan keduanya. Rasa penasaran Arsenio tak dapat disimpannya terlalu lama. Sudah sejak tadi, hatinya bertanya siapa Jordan bagi Calysta. Tunggu, Alisya pernah cerita. Arsenio berbicara pada dirinya sendiri, pikirannya kembali ke saat-saat ia sedang mengorek informasi tentang Calysta dari Alisya kemarin malam.
"Masa kamu ngga tau Calysta? Padahal dia punya mantan pacar di fakultas yang sama kayak kamu," jelas Alisya.
"Siapa? Gue nggak pernah lihat wajah Calysta lewat di teknik."
Alisya menggaruk kepalanya, mukanya menghadap langit-langit kamar. "Ah, lupa namanya siapa."
"Dih, info penting malah lo lupain sih, Sya."
"Lah? Buatku kan itu nggak penting, Sen." Gadis itu mengangkat jari telunjuk dan tengahnya bersamaan sambil cengar-cengir.
"Calysta?" Suara Jordan mengusik lamunan Arsenio. "Orang yang memang seharusnya aku lindungi, apalagi dari orang kayak kamu."
Arsenio tidak ingin berpikir ke arah sana, tapi apa yang diperbuat oleh Jordan semakin memperjelas kemungkinan yang ada di dalam pikirannya. Menduga lelaki yang kemarin baru saja melaporkan kelakuannya pada Bu Luciana itu sebagai mantan kekasih Calysta bukanlah hal yang salah. Kalau benar begitu, tentu Arsenio tidak mau tinggal diam. Jabatannya sebagai ketua tingkat angkatan tidak menunjukkan apa-apa. Ia memiliki kuasa di fakultas teknik dan dihargai oleh para dosen, tapi tidak untuk ini. Sekali pun begitu, Arsenio tidak pernah merasa takut atau tunduk pada apa pun yang diminta oleh Jordan. Hal itu karena Arsenio bukanlah orang yang suka diatur. Ia hanya ingin mengatur kehidupannya sendiri, dengan caranya.
Kalau masalah hati cewek, gue yang punya kuasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top