Arsenio #4 - I Got It!

Mendapatkannya sudah menjadi tekadku. Apa pun asal bersamanya, aku rela, meski harus terluka dahulu.

"Jangan ganggu dia." Seseorang mempercepat langkah kakinya ketika lelaki yang ia lihat memajukan tubuh sedikit lebih dekat dengan gadis yang ada di depannya.

Keduanya menoleh, tapi tak menunjukkan ekspresi apa pun selain mengangkat alisnya. Bingung. Salah satu dari mereka harus memfokuskan pandangannya terlebih dahulu sebelum akhirnya menyadari siapa yang datang.

"Jordan?" sebut gadis itu.

"Kamu kenal dia?" tanya laki-laki yang dari tadi berdiri di hadapannya.

Menjawab pertanyaan itu, ia mengangguk. "Dia anak dari fakultas teknik."

Jordan melangkahkan kakinya dan sampai di samping gadis yang sejak tadi diperhatikannya dari luar. Hanya dengan isyarat mata, gadis itu sudah tahu bahwa Jordan pasti bertanya siapa yang ada dengannya saat ini.

"Dan, ini Kak Bara. Kak Bara, ini Jordan," ucapnya sambil memperkenalkan keduanya.

"Apa yang mau dia perbuat sama kamu, Cal?" tanya Jordan dengan tatapan mengintimidasi Bara.

Calysta menggeleng. Ia tahu pasti akan ada salah paham jika Jordan melihatnya sekarang. Baru saja Calysta ingin memberitahu jawabannya pada Bara, tapi momen itu langsung dirusak oleh kedatangan Jordan. Tanpa basa-basi, Calysta langsung saja mengutarakan maksud dan tujuannya bertemu dengan Bara sebelum Jordan bertanya lebih jauh. Memang, lelaki itu selalu ingin tahu tentang kehidupan Calysta.

"Kak Bara, aku nggak bisa. Maaf ya." Sesingkat itu kalimat yang keluar dari mulut Calysta kemudian ia pergi sambil mengajak Jordan juga ikut dengannya.

Bara berusaha untuk menahan langkah Calysta karena masih banyak yang ingin ia dengar darinya, tetapi sekeras apa pun Bara meneriaki namanya, Calysta tidak mau menoleh. Langkahnya justru semakin jauh. Dengan begitu, Bara akhirnya menyerah dan membalikkan badannya dengan kepala tertunduk.

Sementara itu, Calysta membawa Jordan ke luar dari fakultasnya. Kali ini, Jordan yang berhasil dibuatnya keheranan. Seperti ada yang disembunyikan Calysta darinya. Ia pun menahan tangan Calysta supaya ia berhenti dan mau berbicara dengannya.

"Kamu kenapa? Yang tadi itu benar orang jahat, 'kan? Nggak mungkin kalau dia orang baik, kamu sampai lari kayak gini," tanya Jordan.

Gadis itu menggeleng dan menutup wajahnya. Ia mengatur napasnya dengan perlahan. Emosi yang sejak tadi ditahannya sudah tak mampu lagi disembunyikan. Calysta mengarahkan dirinya berhadapan dengan Jordan, menatap mata lelaki itu.

"Kamu itu ngapain sih? Lagi pula aku udah sering kasih tahu, jangan suka muncul tiba-tiba kayak gini. Kamu buatku nggak nyaman."

Jordan menatap gadis di hadapannya sambil terdiam. Tak ada kata-kata yang dapat dikeluarkan dari mulutnya. Seorang Calysta yang begitu ingin ia lindungi kini mengatakan hal yang menusuk hatinya. Ia tak membalas ucapan Calysta dengan kalimat-kalimat penuh emosi, hanya sebuah senyuman. Senyuman untuk menutupi kepedihan hati yang dirasakannya.

"Oke, maaf kalau aku salah. Aku hanya mau melindungi kamu dari siapa pun yang punya niat jahat. Kalau suatu saat kamu butuh aku, panggil aja. Sekarang ... aku akan pergi."

Melihat Jordan yang lama-lama menghilang dari pandangannya, Calysta merasa bersalah, tapi ia tak bisa mengejar lelaki itu saat ini. Saat ini, Calysta memang sedang butuh waktu untuk menyendiri.

Berulang kali Calysta menepuk-nepuk kepalanya dan memejamkan matanya. Aduh Calysta, apa yang kamu lakukan? Satu kali lagi kamu melukai hati orang. Nggak seharusnya kayak gitu.

Calysta memutuskan untuk segera pulang. Langit yang sudah menunjukkan gelapnya. Jam yang semakin lama semakin malam, tak memungkinkan Calysta untuk pulang terlambat. Tentu ayah dan bundanya akan khawatir jika ia tidak cepat pulang.

🔽🔼🔽

Kerumunan orang telah memenuhi area kosong di sepanjang Jalan Diponegoro. Hanya sedikit lampu jalanan yang menerangi malam itu. Sisanya, disinari oleh lampu utama motor-motor yang sudah berjejer. Sebagian orang di sana meneriaki nama pengendara andalannya. Area itu didominasi oleh para lelaki, tetapi tidak sedikit pula perempuan yang datang untuk sekadar menonton dan mendukung laki-laki pilihannya.

"Bos Zaidan! Jangan mau kalah!" teriak seorang laki-laki yang kemudian diikuti dengan tiga orang di dekatnya.

"Arsen! Arsen! Arsen!" Javier tak mau kalah memberikan dukungan pada sahabatnya, ditambah dengan beberapa perempuan yang sengaja datang hanya untuk melihat aksi gagah Arsenio.

Bunyi mesin motor keduanya semakin keras terdengar saat seorang perempuan mulai menghitung dan mengangkat tinggi-tinggi bendera di genggaman tangannya. "Tiga!" teriaknya sambil menggerakkan bendera itu ke bawah.

Di antara mereka, tak ada yang mau kalah. Jelas saja. Taruhan mereka bukan hanya sekadar uang dalam jumlah yang banyak, tetapi juga harga diri. Arsenio dan Zaidan sama-sama ketua geng yang disegani di tempatnya masing-masing. Tak ada yang mau kalah. Hal itu sangat memalukan bagi mereka.

Adegan salip-menyalip terjadi di beberapa sudut jalan. Kecepatan motor keduanya jelas tak dapat diragukan karena mereka sudah seperti tak mempedulikan keselamatannya lagi. Hanya tinggal beberapa kilometer lagi untuk sampai ke garis finish. Melihat dua motor yang melaju menuju garis akhir, penonton yang berdiri di pinggir itu berteriak dan mencuri pandang kepada siapa yang kira-kira akan menjadi pemenangnya.

Tidak ada yang lebih unggul, keduanya melaju secara beriringan. Hanya selisih berapa sentimeter saja, sangat tipis. Mesin motor dimatikan dan dilanjutkan dengan teriakan kemenangan seseorang dengan helm full face berwarna putih.

"Yes! Tanggung malu lo!" ucap lelaki dengan wajah kegirangan itu sambil menoyor tubuh lawannya.

Sementara itu, lawannya melepas helmnya segera dan melemparnya ke aspal. Membiarkan helm itu bergelinding entah ke mana arahnya, ia tak peduli. Seseorang yang ada di sampingnya menjadi korban pukul untuk melampiaskan kekesalannya.

Lelaki yang sedang kesal itu mengepalkan tangannya dan menatap tajam tubuh Arsenio dari belakang. Kedua alisnya saling bertaut, ia menggertakkan giginya. Sebuah pukulan melayang mengenai tubuh Arsenio. Ah, tidak. Hampir mengenainya karena Arsenio keburu berbalik dan menahan pergelangan tangan itu. Tangan satunya segera mengangkat kerah Zaidan.

"Heh, pengecut! Kalau lo laki, berantem dengan cara laki juga dong. Jangan menyerang diam-diam dari belakang. Banci!" teriak Arsenio.

"Gue ... Arsenio ... nggak takut sama lo!"

Sebuah pukulan dilayangkannya mengenai wajah Zaidan. Lelaki itu tersungkur sambil memegangi pipi kirinya yang lebam akibat pukulan Arsenio. Mengumpulkan segala emosinya, Zaidan berdiri dan kembali menghadapi Arsenio meskipun ia menahan sakit. Bukan lagi mengandalkan tangannya, Zaidan mengayunkan kakinya pada kaki Arsenio supaya tubuhnya melemah. Dengan begitu, Zaidan bisa menghabisi Arsenio dengan mudah.

Namun, tampaknya trik itu tak berlaku bagi Arsenio. Pertahanan dirinya kuat. Meski terasa sakit, ia tak terjatuh seperti apa yang diharapkan oleh Zaidan. Lelaki itu justru maju lebih dekat lagi, menantang Zaidan.

"ARSEN!" teriak gadis di ujung jalan itu dengan lantang, membuat setiap orang yang ada di sana menoleh, termasuk Arsenio dan Zaidan.

Ia berlari di antara segerombolan orang yang memandangnya heran. Seorang gadis dengan piyama berwarna navy tengah berlari di tengah malam, buruknya lagi ... di tengah balapan liar. Ia berhenti dan mengatur napasnya yang terengah-engah saat sampai di dekat lelaki yang diteriakinya.

"Lo ngapain ke sini? Bahaya." Pandangan Arsenio kini teralih ke gadis itu.

"Tambah bahaya kalau gue nggak ke sini. Apa yang harus gue bilang kalau nanti Ayah tahu? Kalau sampai diaduin ke Om Zian? Duh! Panjang urusannya. Lagi pula berapa kali lagi gue harus kasih tahu lo? Jangan ikut balapan liar. Apa sih yang lo cari di sini?" tanya gadis itu. Ia tampak khawatir dengan Arsenio.

Arsenio menghela napas. "Kebebasan yang jarang gue dapat. Mending sekarang lo pulang deh, gue masih ada satu ronde lagi."

"Arsenio Rafferty anaknya Om Zian yang paling ganteng, aku bilang ... pulang. Sekarang!" pekiknya.

"Iya, gue pulang, nona bawel!"

"Lo beruntung kali ini," tegasnya pada Zaidan kemudian melepas cengkeraman tangan dari baju lelaki itu.

🔽🔼🔽

Rumah berpagar hitam itu terlihat sepi dari luar. Seperti kelihatannya, bagian dalam rumah itu juga sudah didominasi oleh lampu berukuran kecil berwarna kuning. Pemiliknya sudah tertidur, hanya tinggal dua orang yang baru saja kembali dari luar. Mereka berjalan dengan sangat hati-hati. Tak mau sampai membangunkan sang pemilik rumah.

"Sya, lo ngapain ikut ke kamar gue?" tanya Arsenio saat mendapati Sya—begitu panggilan sepupunya yang memiliki nama lengkap Alisya Zivanna—berjalan mengikutinya dari belakang.

Bukan menjawab, ia justru menggeleng kemudian melenggang masuk ke dalam kamar Arsenio yang pintunya sudah terbuka. Gadis itu duduk di atas kasur dan mengambil salah satu bantal yang terletak di sana untuk dipeluknya.

"Gue mau tau kenapa sebenarnya lo punya sikap yang buruk banget begini? Ngeyel. Sekali dikasih tahu, nggak cukup ya?" ujar Alisya.

Arsenio memutar bola matanya dengan malas. Ia mendesis. "Apa? Balapan tadi? Gue udah bilang kalau gue butuh kebebasan dan gue temukan itu di sana. Nggak selamanya gue harus dikekang sama lo, bahkan Om dan Tante."

"Iya ... ini memang bukan hak gue, tapi papa dan mama lo kan juga titip pesan ke gue untuk ngejaga lo. Lo pikir itu bukan beban buat gue? Menghadapi satu orang kayak lo aja susah. Kalau masih belum mau berubah, gue aduin ke Tante Nina nih."

Arsenio mengepalkan kedua tangannya dan mengarahkannya ke wajah Alisya. Gadis itu menutup matanya, tapi ia masih dapat melihat karena matanya tidak benar-benar terpejam. Ia tau kalau salah-salah berbicara dengan Arsenio, lelaki itu bisa saja mudah emosi. Memang begitu sifatnya.

Namun, bukan sebuah pukulan yang diterima oleh Alisya. Kedua tangan Arsenio mencubit pipi Alisya. Kencang sampai gadis itu terpaksa membuka pejaman matanya. Ia segera mengelus kedua pipinya yang sudah memerah akibat ulah Arsenio.

"Semarah-marahnya gue, mana bisa gue mukul cewek. Untung lo cewek, Sya," ucap Arsenio. Namun, bukan berarti hal itu membuat Alisya mengurungkan niatnya untuk mengadu pada Karenina—mamanya Arsenio—tentang tingkah anaknya.

Mata Arsenio membulat saat melihat nama seseorang yang begitu dihormatinya muncul di layar ponsel milik Alisya. Dengan segera, tangannya menyambar benda berbentuk persegi panjang itu dari tangan Alisya. "Lo gila? Ini jam berapa, Mama udah tidur. Jangan ganggu."

Tombol berwarna merah yang terdapat di layar itu segera ditekannya. Mengakhiri panggilan. Sebelum mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya, sekilas ia melihat wajah gadis yang ditemuinya di jalan. Ia sedang bersama dengan Alisya di sebuah taman bunga. Ini gue yakin. Dia ... temannya Sya?

"Kan bisa bilang baik-baik, Sen. Jangan ngatain gue gila gitu dong," keluh Alisya sambil meraih ponselnya kembali dari tangan Arsenio.

"Eh, itu yang ada di wallpaper, teman lo?"

Alisya mengangguk. Sebuah senyuman terukir tipis di wajah Arsenio.

"Lebih dari teman, sahabat gue. Satu jurusan, satu kelas. Kenapa? Suka?"

"Namanya siapa?"

"Calysta. Ada apa sih?" tanya Alisya bingung. Pasalnya, sudah sejak lama wallpaper itu menghiasi layar ponselnya dan tidak jarang juga Arsenio melihatnya, tapi mengapa baru sekarang ia mempertanyakan siapa gadis yang bersama dengan Alisya.

"Nice! Thank you, Sya. Udah gue mau tidur, keluar sana."

Arsenio menarik tangan Alisya supaya gadis itu bisa segera keluar dari kamarnya. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat dan menguncinya. Calysta, tunggu gue.

🔽🔼🔽

Sejauh ini, bagaimana ceritanya menurut kalian?

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top