Arsenio #2 - Kepincut

Siapa gerangan? Ia yang tak membiarkan mata ini lepas dari pandangannya. Menarik hati untuk mendekat.

Sebuah pintu kaca bening terbuka. Aroma kopi sudah dapat tercium sejak siapa pun sampai di depan kedai. Sederetan barista dapat terlihat jelas saat pertama kali memasuki gedung tersebut. Tangannya dengan lihai bergerak di antara beberapa alat berwarna monoton, hitam dan cokelat, yang dalam sekejap dapat menghasilkan secangkir kopi dengan rasa yang nikmat.

Tiga orang remaja dengan pakaian yang berantakan berjalan di antara meja dan kursi yang sudah terisi oleh pendatang sebelumnya. Siapa pun yang melihat mereka pasti langsung berpikir bahwa ketiganya baru saja melakukan perkelahian. Bagaimana tidak? Pakaian yang tidak rapi, beberapa bagiannya sengaja dirobek. Ditambah ekspresi wajah yang mengerikan. Namun, mereka bukan habis berkelahi, melainkan memang begitu style yang mereka pilih. Kecuali dengan bekas luka yang terlihat jelas di tangannya. Itu benar hasil perkelahian.

"Selamat siang, Mas. Seperti biasa ya?" sapa seorang barista ramah.

Dari kelihatannya, mereka sudah sering mengunjungi kedai kopi tersebut sampai-sampai beberapa barista yang bekerja di sana hafal dengan menu yang biasa dipesan. Tentu saja, setiap mereka lari dari mata kuliah, tempat itu menjadi tujuan utama. Suasana yang nyaman dan tenteram, membuatnya betah.

Salah satu dari ketiga lelaki itu mengangguk kemudian pergi menjauh setelah memberikan beberapa lembar uang berwarna biru dan menerima tiga gelas kopi. Tangannya meraih kursi berwarna cokelat tua kemudian mendudukinya. Emosinya selalu naik setiap mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.

"Berani-beraninya Jordan ngaduin gue ke Bu Luciana. Udah nggak pengen hidup kali ya itu anak," keluh Arsenio sambil menyeruput ice macchiato caramel yang ada di hadapannya.

"Lagian semua orang juga udah tahu gue siapa. Yang berani berurusan dengan gue, berarti berani terima akibatnya," sambungnya.

Javier dan Liem hanya mengangguk. Kalau Arsenio sedang naik emosinya, tak ada dari mereka yang berani berbicara, apalagi sampai melawan perkataannya.

"Ingat nggak sih? Beberapa kali ini lo dipanggil ke ruangan Bu Luci selalu karena Jordan. Entah anak itu punya nyawa sembilan kayak kucing apa gimana," sahut Liem, tetapi dengan nada bicara yang berhati-hati, khawatir Arsenio salah paham.

Tak mau hanya diam, Javier juga mengeluarkan suaranya. "Lo nggak tahu aja. Si Jordan itu emang sengaja disuruh sama Bu Luci langsung buat ngelaporin segala masalah yang dialami atau dilakukan sama anak-anak angkatan 2016. Ya ... dia ketua tingkat. Udah tugasnya."

"Pantes," ucap Liem pelan.

"Tapi tetap aja. Gue paling nggak suka sama orang yang sok kayak dia. Cukup gue aja yang punya kuasa di kampus. Siapa yang mau merebut itu, harus ngalahin gue dulu," protes Arsenio sambil menggebrak mejanya. Sesaat, orang-orang yang duduk di dekatnya menoleh. Namun, cepat-cepat mengalihkan pandangannya karena mata Arsenio mendelik tajam ke arah mereka.

"Sen, tempat umum. Jangan main gebrak. Kalau rusak, siapa yang ganti?" tanya Javier.

Arsenio menempelkan punggungnya ke sandaran kursi. "Gue punya uang. Rusak biar gue yang ganti."

Memang, di antara ketiganya, Arsenio termasuk ke dalam anak yang berasal dari keluarga kaya. Papanya, Zian Rafferty, adalah pemilik perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta. Uang bukanlah masalah besar dalam kehidupan Arsenio. Makanya, ia tak jarang menganggap remeh apa yang menurutnya bisa dibeli dengan uang.

"Ah, iya. Makasih, Mbak," ucap Javier tiba-tiba ketika seorang pelayan datang ke mejanya untuk memberikan tiga roti berukuran besar.

Arsenio tak lagi meluapkan emosinya seperti tadi. Mungkin hanya ingin supaya kekesalannya tidak terlihat di muka umum. Terutama setelah seorang pelayan menghampiri mereka. Ia memilih untuk menahan amarah dengan cara mengepalkan salah satu tangannya.

Javier tiba-tiba berdiri dari kursinya setelah berbisik dengan Liem, sedang Arsenio masih menggenggam gelas kopi miliknya seakan tak peduli ke mana Javier akan pergi atau apa yang akan dilakukannya.

Sebuah musik beraliran electric house mengalir masuk ke dalam telinga Arsenio, juga para pengunjung kedai kopi tersebut. Javier kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum. Samar-samar terlihat, Arsenio menggoyangkan kakinya di bawah meja. Dihentak-hentakkannya kaki itu berulang kali, mengikuti irama musik yang menggema ke seluruh sudut ruangan. Di sampingnya, Liem menyenggol siku Arsenio dan mengarahkan pandangan mata ke sisi kanan mejanya yang kebetulan kosong.

"Apa? Gue lagi nggak mau nge-dance," tolak Arsenio. Ia melipat tangannya di depan dada kemudian menyandarkan tubuhnya.

Javier mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya dan menarik kursi miliknya supaya duduk lebih dekat dengan Arsenio. "Nggak mungkin seorang Arsenio Rafferty nggak punya hasrat untuk menari kalau dengar lagu model begini."

🎵🎵🎵
Turn up the music cause I'm tryna hear the speakers blow
Turn up the music, fill your cup, and drink it down
If you sexy and you know it, put your hands up in the air
Put your hands up in the air, girl put your hands up, hands up, hands up, hands up
🎵🎵🎵

Perpaduan irama dan lirik lagu yang sejak tadi seakan memanggil nama Arsenio itu akhirnya tak mampu dilawan lagi. Arsenio menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri juga meregangkan tangannya, seperti sedang melakukan pemanasan. Ia beranjak dari kursinya, diikuti dengan Javier dan Liem, sebagai tim hore.

Seirama dengan nada yang berdentum dari speaker ruangan, badan Arsenio bergerak dengan lihai. Gerakan popping selalu menjadi favorit dan andalan Arsenio dalam menari. Kedua lengannya membuat gelombang dengan sangat sempurna yang diikuti dengan tubuhnya. Sesekali diselipkan hentakan dari tubuhnya yang membuatnya terlihat kaku seperti robot yang sedang menari, tetapi masih mengikuti tempo.

Tarian dadakan yang dilakukan Arsenio tak hanya menarik perhatian kedua sahabatnya yang memang selalu antusias menontonnya, tetapi juga beberapa pengunjung. Beberapa di antaranya juga ada yang memilih untuk masa bodoh dan mungkin hanya keanehan yang ada di dalam pikiran mereka. Tentu saja, tidak ada ajang pencarian bakat menari atau pun pertunjukan semacamnya yang sedang berlangsung di tempat itu. Bagaimana bisa seseorang begitu percaya diri bergoyang di lokasi yang ramai? Namun, apa yang dilakukan Arsenio bukanlah pemandangan pertama kali yang dapat disaksikan di sana. Ia sering melakukannya.

"Mas Arsen, padahal saya udah bilang ke Pak Bos untuk merekrut Mas supaya bisa tampil di sini seminggu sekali loh. Gajinya lumayan, tapi Mas Arsen kok masih menolak terus ya?" tanya Rico—salah satu pelayan di sana—yang kebetulan lewat dan menghentikan gerakan tubuh Arsenio.

Lelaki yang baru saja menari itu menoleh dan tertawa setelah mendapati siapa yang sedang mengajaknya bicara. "Eh, Ric. Gue nggak minta digaji. Kayak gini aja juga asyik. Sekalian tebar pesona sama cewek-cewek yang datang ke sini." Arsenio memajukan tubuhnya, berbisik pada Rico, "Lo tahu lah gue kayak apa." Ia tertawa pelan.

"Coba Mas Arsen lihat." Tangan Rico merangkul bahu Arsenio dan membawanya melihat ke sekeliling. "Banyak yang suka sama penampilan, Mas. Kan sayang kalau bakatnya dianggurin."

Arsenio menjauhkan tangan Rico dari pundaknya. Berbalik, kini ia yang menepuk bahu Rico. "Halah! Bisa aja lo kalau ngerayu, Ric, tapi lama-lama geli juga kalau lo yang ngerayu. Kalau cewek sih gue terima langsung. Lo laki sih. Kalau gue terima rayuan lo, nanti gue dikira suka sesama."

"Bukan gitu juga, Mas. Suka salah tangkap gitu. Saya masih normal kok."

Lelaki itu tertawa setelah melihat perubahan ekspresi wajah Rico. "Bercanda, Ric. Ya, lo tahu segala alasan gue nggak pernah bisa terima tawaran lo. Nggak perlu gue ulang berkali-kali, 'kan?"

Rico mengangguk kemudian beralih dari Arsenio setelah dirinya dipanggil oleh pengunjung yang lain. Arsenio kembali ke tempat duduknya, menyeruput habis kopi yang masih tersisa dan melahap roti miliknya. Sudah cukup untuk hari ini. Emosinya sedikit teredam setelah melakukan hal yang disukainya. Ia akui, menari tidak pernah gagal meningkatkan mood-nya yang sedang jatuh.

"Sen, gue balik duluan ya. Nyokap gue minta diantar ke rumah Tante," ujar Liem.

"Lah, bareng aja Liem keluarnya. Gue juga udah mau pulang nih," balas Arsenio.

Hanya Javier yang diam memperhatikan kedua sahabatnya. Ia hanya berdiri di samping Arsenio sampai-sampai Arsenio bertanya apa yang sedang dilakukan oleh Javier.

"Sen, numpang ya. Kan gue ke sini sama lo tadi. Gue nggak bawa motor juga ke kampus," pinta Javier.

"Iya. Ayo balik!" jawab Arsenio. Ketiganya pergi meninggalkan kedai kopi tersebut.

Arsenio dan Liem berpisah karena memang menuju arah pulang yang berbeda. Berhubung kos Javier juga dekat dengan kos Arsenio, ia tidak masalah jika hanya untuk mengantarkan sahabatnya pulang.

Ninja hitam itu kini melaju dengan cepat di jalan raya, diikuti dengan sinar matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Lampu merah yang menyala memaksa Arsenio menghentikan laju motornya sementara. Ia selalu tak suka jika bertemu dengan lampu itu karena ia harus berhenti dalam waktu yang cukup lama dan itu membosankan. Namun, kali ini mata Arsenio mendapati seseorang yang begitu menarik perhatiannya.

Seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang tengah menyeberang di depannya. Ia mengangkat tangan, menunjukkan telapak tangannya pada para pengendara motor. Meskipun lampu merah memang memberi kesempatan para pejalan kaki untuk menyeberang jalan, tetapi gadis itu masih saja menghentikan kendaraan dengan tangannya. Hal aneh yang juga dipikirkan oleh Arsenio. Namun, beralih dari itu, Arsenio tak bisa menyembunyikan senyumnya kala melihat apa yang dilakukan oleh gadis itu. Tangannya merangkul tubuh wanita tua dan menuntunnya berjalan dengan sangat perlahan serta sabar.

Hari gini masih ada cewek yang perhatian bahkan sama orang asing? Gila, ini nggak bisa dilewati begitu aja. Mata Arsenio masih setia memandangi ke mana gadis itu berjalan hingga sebuah telapak tangan mendarat di punggung Arsenio. Javier memukul punggungnya setelah mendengar bunyi klakson yang memekakkan telinga.

Setelah tersadar dari lamunannya, Arsenio kembali membawa motor itu melaju. Namun, bukan ke arah yang seharusnya, melainkan berlawanan arah. Javier sempat memperhatikan sekeliling sebelum akhirnya tersadar bahwa ia sedang tidak berada di jalan arah pulangnya.

"Sen, lo mau ke mana? Tadi harusnya kan kita belok kiri, kok ini beda?" Javier sedikit mengeraskan volume suaranya supaya Arsenio bisa mendengarnya.

"Ada urusan bentar, Jav. Ini penting, menyangkut masa depan." Arsenio sama sekali tak melepaskan pandangan pada gadis yang kini berada tak begitu jauh darinya.

Gadis berambut hitam kecokelatan itu masih berjalan dengan santainya tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, seolah memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Padahal dari belakang Arsenio sedang mengikuti kemana langkah kaki membawanya. Meskipun lajunya pelan, suara mesin motor Arsenio masih terdengar sehingga gadis itu berhenti dan menengok ke belakang. Menemukan dua sosok laki-laki tengah mengendarai motor, membuntutinya. Lelaki yang di depan tersenyum. Dia Arsenio. Sementara, yang di belakang menundukkan kepalanya. Mungkin karena malu dengan tingkah yang kini dilakukan oleh Arsenio.

"Kamu mau apa? Penjahat ya? Aku teriak nih!" respon gadis itu sambil memegangi tasnya dengan erat.

"Teriaklah kalau berani. Gue nggak takut sama mereka," balas Arsenio sambil turun dari motornya.

"TOLONG!" teriak gadis itu dengan segera yang segera disusul dengan Arsenio yang menutup mulutnya.

Tubuh Arsenio mendekat hingga gadis itu memundurkan wajahnya, tapi matanya masih menatap kedua mata lelaki yang ada di depannya. Bibir Arsenio didekatkan pada telinganya. "Berani lo melawan Arsenio, nggak akan selamat. Ah, bukan lo yang nggak selamat, tapi hati lo," bisiknya yang diikuti dengan kedipan sebelah mata.

Bukan terpancing dengan ucapan Arsenio, gadis itu justru bergidik ngeri. Lelaki yang sedang di depannya tidak ada bedanya dengan preman yang suka mengganggu perempuan di malam hari.

"Gue Arsenio. Nama lo siapa?"

"Buat apa aku kenalan sama kamu? Aku nggak mau kenal kamu."

Mendengarnya, Arsenio justru menunjukkan senyum nakalnya. "Cewek kalau jaim gini biasanya lagi menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Nggak ada yang bisa tahan melawan pesona gue."

"Ah," ucap gadis itu sambil mengangguk-angguk, "gini ... mungkin kadar pesonamu lagi turun, makanya aku ngga tertarik sama kamu."

Damn! umpatnya dalam hati. Namun, bukan Arsenio kalau mudah menyerah. "Lo percaya nggak kalau gue akan tahu nama lo secepatnya?"

Gadis itu mengangkat bahu dan kedua tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak tahu. "Coba buktikan."

Setelah dua kata itu keluar dari mulutnya, ia pergi meninggalkan Arsenio dan Javier. Javier yang sejak tadi duduk di atas motor pun akhirnya menghampiri Arsenio. Mengajaknya untuk segera pulang saja, tak perlu memedulikan gadis yang baru ditemuinya.

"Sen, balik. Lo ngapain sih? Random banget, tiba-tiba mencegat orang di jalan dan lo bahkan nggak kenal dia."

"Gue kenal dia. Dia aja yang sok jaim."

"Nggak usah ngarang. Buktinya aja cuek sama lo. Balik ah, ayo!"

"Lah ini kan motor gue, lo numpang doang. Terserah gue mau balik kapan dong," bela Arsenio.

Javier menepuk dahi dan memejamkan matanya sesaat. "Oh iya, lo benar juga. Sorry, Sen. Ampun, ampun."

Arsenio menghela napas sambil melihat ke jalanan. Gadis itu sekarang sudah hilang dari pandangannya. Tak ada yang bisa dilakukannya lagi, ia berjalan menghampiri Ninja hitamnya, menyalakan mesin motornya dan kembali melaju.

Ini yang namanya tantangan baru. Arsenio tersenyum sambil melihat refleksi wajahnya di kaca spion.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top