Bab 25
Senyum Afiqah begitu cerah, berkat semalam Arsena sudah tidak marah lagi padanya. Pria itu juga berjjanji akan memberitahu apa asalan marahnya nanti ketika pulang kampus. Ia jadi penasaran hal apa yang membuat Arsena bisa begitu marah padanya.
Afiqah berlari-lari kecil menghampiri sosok Tania yang terlihat sedang berada di depan gedung universitas. Berkat ide temannya itu, ia sudah tak marahan lagi. Ia harus berterima kasih. Sepertinya ia akan menteraktir teman-temannya mie ayam di kantin.
"Tania!!!!" panggil Afiqah dengan ceria. Ia langsung memeluk sahabatnya itu.
Tania terkejut namun ia tak menghindar. Sepertinya rencana mereka berhasil dilihat dari reaksi Afiqah yang bahagia. Sudah ia duga, kalau dirinya jenius.
"Seneng banget keliatannya. Udah baikan sama suami kamu?" tanya Tania.
"Udah dong, makasih ya berkat ide kamu."
"Siapa dulu Tania, kalau masalah kayak gitu mah gampang. Gimana aku pinter, kan?"
"Pinter banget, oh, iya Iin mana, kok gak keliatan?"
"Masih di jalan. Dia kan jalan kaki dari kos." Afiqah menganggukan kepala. Lalu ia berjalan dengan Tania sambil bergandengan tangan.
"Kita duluan masuk ke kelas."
Disaat mereka melangkah memasuki gedung, terlihat sosok Bella. Gadis itu menatap Afiqah dan Tania aneh. Bella berdecih, ia kesal karena dulu Tania yang dekat dengannya sekarang sangat akrab sama Afiqah. Kesal dengan hal itu, ia langsung berjalan duluan tanpa menyapa kedua orang itu.
"Bellaa..." panggil Tania.
Namun hal itu tak membuat Bella menoleh.
"Dia kenapa?" tanya Afiqah.
"Entahlah, dia aneh banget akhir-akhir ini."
"Apa dia gak suka aku deket sama kamu?" Afiqah mengatakan itu dengan rasa bersalah. Ia sangat tahu kalau dulu Bella sangat dengan Tania. Ia seperti merusak persahabatan mereka.
"Biarin aja, Fi. Dia aja yang suka menutup diri. Kadang dia juga nyari aku kalau ada perlunya aja. Nanti juga kalau butuh nyari lagi." Tania tak peduli. Paling tidak selama ini ia selalu menyapa Bella dan tidak menunjukkan aura permusuhan. Hidup di bawa santai aja.
"Tetep aja aku ngerasa bersalah kamu jauh dari dia."
"Aku gak pernah ngejauh dari dia, tapi dia sendiri yang bikin jarak. Yang penting aku gak pernah benci atau bikin masalah sama dia."
Apa yang dikatakan Tania ada benarnya. Meski Tania absurd, tapi dia paling realistis. Kadang Afiqah iri, kenapa ia yang sudah menikah dan punya dua anak masih terlihat kekanakan. Bahkan sifatnya juga. Afiqah menghembuskan napas, menyadari hal itu. Ia harus banyak bergaul dengan orang-orang agar ia bisa berpikiran terbuka dan tidak sempit.
"Semoga kalian bisa baikan lagi."
"Em, nanti istirahat makan mie ayam di kantin yuk, sekalian sama Iin. Aku mau traktir kalian. Berkat kalian aku udah baikan lagi sama suami aku."
"Wahhh, asyikk, nanti aja bilang sama Iin dulu. Dia belum dateng."
Kemudian mereka masuk ke dalam kelas. Masih sedikit mahasiswa yang datang. Sedangkan Afiqah dan Tania duduk bersebelahan. Mereka masih sibuk bicara.
***
"Gimana berhasilkan cara yang aku kasih?" tanya Tania sambil melahap mie ayam dibelikan oleh Afiqah.
"Iya."
"Makasih loh udah neraktir kita-kita."
"Tambah aja kalau mau."
"Terus kamu udah tau alasan kenapa suami kamu marah?" Iin ingin tahu apa yang membuat Arsena marah.
"Belum katanya nanti sore suami aku baru mau kasih tau. Semalaman kita sibuk nenene, mana sempet ngomong. Selesai itu langsung tidur." Afiqah mengatakan itu dengan malu, pipinya merah. Membayangkan apa yang terjadi semalam. Bisa-bisanya teman-temannya membuatnya mengatakan hal ini.
"Lembur sampai jam berapa?" goda Tania.
"Ih, udah jangan tanya-tanya itu, malu tau."
"Hahahahaa...."
"Maklum jomlo." Iin menimpali, ia juga penasaran seperti apa sih hubungan di pernikahan.
"Apa Arsena udah tau soal mantan kamu, Fi? Si Andreas? Dia mungkin gak sengaja liat." Tiba-tiba Tania mengatakan hal itu. Ia merasa Andreas akhir-akhir ini sering terlihat di sekeliling Afiqah. Ia rasa tidak mungkin kalau Arsena tidak tahu.
Afiqah terdiam sebentar, "Apalagi Andreas suka nyamperin kamu, ngikutin kamu, dan cariin kamu di kelas. Udah pasti suami kamu gak sengaja ketemu terus dia merajuk."
"Bisa jadi, tapi Mas Arse gak bilang apa-apa."
"Gengsi kali. Namanya cowok, dia pengen ceweknya sadar sendiri akan kesalahannya. Tapi nanti Arsena kan mau cerita, jadi kamu gak usah cerita dulu sebelum Arsena cerita. Kamu dengerin dulu dia. Takut nanti malah salah paham. Pokoknya kalau dia tanya soal mantan kamu Andreas ngapain aja di kampus sama kamu, kamu harus jujur jangan malah nutupin meski kamu gak ngapa-ngapain. Itu justru bikin Arsena curiga dan marah."
Perkataan Tania benar. Ia harus bersikap dewasa. Kalau ia menghindar dan menyembunyikan keberadaan Andreas. Ia seperti anak kecil saja yang ngumpet-ngumpet. Padahal kalau diselesaikan secara dewasa akan lebih mudah selesai dan tidak runyam.
"Tenang aja aku bakal jujur kok."
"Bagus."
"Semoga kalian gak berantem lagi," ucap Iin dengan tulus. Ia tidak mau melihat temannya sedih lagi. Ia justru senang bisa membantu sahabatnya itu.
***
Pangeran berniat untuk menjemput Raga di sekolahnya. Ia disuruh oleh Arsena, karena neneknya mau bertemu dengan cucunya itu. Ia sudah lulus kuliah, sekarang Pangeran memperluas usaha cafenya.
Ketika ia memarkirkan mobil. Ia tak sengaja melihat Raga berbicara dengan seorang pria yang usianya diatas Arsena. Wajahnya nampak tidak asing. Tapi siapa? Pangeran mencoba mendekat, namun disaat ia mendekat orang itu pergi. Hal itu membuat Pangeran curiga. Kalau diliat orang itu mirip ssama dengan Nathan, pria yang memiliki dendam dengan Arsena. Sepertinya tidak mungkin seharusnya orang itu ada di penjara. Kenapa ada di sini? Sepertinya hanya mirip.
"Om Pangeran."
"Jangan panggil aku om, panggil Kak."
"Maunya om." Raga menolak dengan tegas. Hal itu membuat Pangeran mendesah. Ia merasa panggilan om tidak cocok untuknya yang masih muda. Umurnya masih 25 tahun. Rasanya tidak adil dianggap sebagai om.
"Dasar bocil."
"Biarin! Om kan udah tua. Om juga bukan kakak aku!"
Sialan! Arghhh! Rasanya Pangeran mau mencekik bocil itu. Ia hanya menahannya.
"Tadi ngomong sama siapa?"
"Sama papanya temen aku, dia katanya mau jemput Zara."
Berarti pria yang tadi bukan Nathan. Ia bisa lega. Nathan tidak memiliki anak. Berarti hanya mirip saja. Kalau orang tadi benar Nathan ia akan khawatir. Ia takut orang itu akan menyakiti Raga. Nathan pasti masih menyimpan dendam pada Arsena.
"Oh, kirain siapa, ayo pulang, cil!"
"Aku bukan bocil, aku udah gede." mendengar itu Pangeran memutar bola mata. Rasakan itu bocil, emang enak dipannggil bocil. Seperti itulah dia saat dipanggil om.
"Makannya panggil kakak jangan om, nanti gak kakak panggil bocil lagi."
"Gak mau, om udah tua."
Sabar Pangeran sama anak kecil. Gak boleh kasar. Harus tetep senyum apapun yang terjadi.
"Terserah, cil."
Plak!!!
"AKU BUKAN BOCIL!!!"
Tiba-tiba bokong Pangeran di pukul oleh Raga. Hal itu membuat Pangeran berteriak. Ia langsung melotot ke arah Raga. Dasar bocil sialan!!! Kesabaran Pangeran sudah habis. Ia akan memberikan pelajaran pada bocil itu. Agar tahu sopan santun. Ini namanya pelecehan.
Awas aja kau bocil!!!
****
Mau lanjut?
Spam next di sini!!!
50 komen baru lanjut
Love you
Gulla
. Istrinya Jeno.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top