Sembilan
Liana menangisi nasib buruknya. Meskipun semua itu sia-sia. Ia bisa saja kabur bersama Alfaz tapi ia takut dengan resiko yang akan mereka hadapi. Ia takut keluarganya terkena masalah. Ia tak bisa egois hanya mementingkan perasaannya saja karena ia harus memikirkan perasaan banyak orang walaupun harus mengorbankan perasaannya sendiri.
Sejak kepergian Alfaz pagi tadi, hingga malam hari, Alfaz tak juga kembali lagi. Liana tak bisa menyalahkan Alfaz, ia tau Alfaz pasti tengah kecewa padanya. Sekarang liana hanya bisa menikmati setiap rasa sakitnya sendirian.
"Alfaz kemana?" Azam masuk ke ruangan Liana. Ia pikir, Alfaz ada bersama Liana.
"Tidak tau," jawab Liana singkat sambil menghapus air matanya. Meskipun itu hal sia-sia karena melihatnya saja pasti semua orang sudah tahu jika ia habis menangis seharian.
Matanya bengkak, hidungnya memerah. Sungguh kondisinya terlihat sangat menyedihkan.
"Baiklah. Aku pergi, semoga cepat sembuh," ucap Azam canggung. Ia memang tidak bisa melihat seorang wanita menangis.
"Zam," panggil Liana lirih.
"Ya."
"Temani aku sebentar," pinta Liana.
"Aku ada jadwal sebentar lagi," kilah Azam yang tak mau ikut terseret dalam peliknya masalah mereka. Lagi pula, masalahnya sendiri sudah banyak.
"Ya sudah, aku mau tidur." Liana menarik selimutnya dan tidur memunggungi Azam.
Azam sendiri tidak bicara apapun lagi. Ia memilih untuk keluar dan bersiap. Tapi langkahnya terhenti saat melihat kehadiran Juan.
"Apa Liana hamil?" tanya Juan begitu sudah dekat dengan Azam.
"Tidak."
"Lalu apa yang baru saja kamu lakukan di dalam?"
"Aku pikir Alfaz ada di dalam, tapi ternyata tidak ada," jawab Azam jujur.
"Aku pikir Liana hamil, jika dia hamil, aku ingin memintamu untuk gugurkan saja."
"Dasar tak waras, rumah tangga pasti inginkan kehadiran seorang anak."
"Tapi aku tidak mau punya anak dari wanita itu," ujar Juan santai.
"Kalau kamu belum siapa, kamu gunakan pengaman atau suruh dia minum pil kontrasepsi."
"Bukan aku belum siap, tapi aku tak mau."
"Sebenarnya otak kamu itu di taruh mana? Mau aku bantu oprasi otakmu itu?!" kesal Azam.
Juan bukannya marah dengan ucapan Azam malah tertawa seolah ucapan Azam sebuah lelucon.
"Sudahlah, aku masih ada kerjaan." Azam memilih pergi sebelum naik darah. Reputasinya sebagai dokter ramah bisa hancur jika dekat-dekat dengan Juan.
"Dah Pak Dokter." Juan melambaikan tangannya meskipun Azam tak mau melihatnya. Setelah itu, ia masuk ke ruangan Liana.
Juan melihat Liana tengah tertidur. Senyum keji langsung terbit di bibir Juan.
"Bangun!" seru Juan sembari menarik selimut yang Liana kenakan dan melemparnya asal.
Tentu saja, perlakuan Juan membuat Liana kaget. Dan kepalanya juga sedikit pusing karena ia baru saja tertidur.
"Dasar pemalas, kamu pura-pura sakit biar biasa malas-malasan, iya kan?!" tuduh Juan.
"Tidak, aku benar-benar tidak enak badan dan kepalaku masih terasa sakit."
"Aku tidak percaya dan kalaupun iya, aku tidak peduli. Sekarang pulang!"
Juan mencabut selang infus Liana paksa hingga ada darah yang ikut mengucur.
"Sakit." Liana meringis memegangi tangannya.
"Tidak usah acting di hadapanku. Air matamu itu tidak berguna, aku tidak akan luluh apalagi kasihan padamu."
Dengan kasar Juan menarik Liana hingga hampir terjatuh dari ranjang rawat.
"Cukup, kamu jahat!" seru Liana marah. Ia manusia, punya hati dan perasaan tak sepantasnya di perlakukan buruk seperti ini.
"Aku membenci wanita sepertimu. Jangan pernah coba-coba membentakku." Juan menjambak rambut Liana cukup kerasa.
"Lepas, lepaskan!" Liana memukul-mukul tangan Juan supaya dilepaskan karena rasanya sangat sakit seakan kulit kepalanya ikut tertarik.
"Wanita cengeng, sekarang kita keluar dan jangan coba-coba kamu berbuat ulah. Kamu tidak akan pernah bisa kabur dariku, mengerti!" bentak Juan tepat di wajah Liana.
"Jika kamu berani berulah, aku akan buat sengsara Alfaz dan juga keluargamu," ancam Juan.
Liana hanya bisa mengangguk pasrah sambil menitihkan air mata. Rasanya ia tak kuat lagi, tapi ia akan berusaha bertahan. Entah sampai kapan ia mampu menahannya, ia tak tahu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top